Benci
seperti memiliki jadwal kunjungan tetap saat itu. Teriakanku entah telah
menggema kemana saja. Segala pukulan tanganku pun seperti tak berarti. Ketidakberdayaanku
menghalaunya, seperti sia-sia. Ingin kujauhkan ia saja dariku jika bisa. Mereka
menertawaiku. Gelaknya terus menerus menyusuri tiap sudut kepala, enggan
berpindah. Aku gerah dan lelah. Merasa
kuasa, ia terus mengejekku penuh kemenangan. Tak adil. Mereka memihaknya.
Sedang aku hanya seorang tanpa daya. Mereka semestinya merasa beruntung. Jika
saja teralis besi ini tak menghalangiku, mungkin mereka telah hancur
ditanganku. Berkeping, hingga akhir. Tertawalah, tertawalah! Sakit jiwa dan
manusia gila hanya keputusan sepihak mereka padaku. Ia, si dinding abu masih
saja menghalangi jalan keluarku. Memang saat
ini semua upayaku seperti percuma. Tapi bisa saja berganti nanti. Ini mungkin
akhir baginya. Namun tidak bagiku. Suatu saat aku akan menerobos pergi darimu,
dinding abu! Meski seisi rumah sakit ini menertawaiku.
No comments:
Post a Comment