Pages

Sunday, December 9, 2012

Seorang Anak yang Ingin ke Bulan



Suatu waktu, seorang anak berkata pada dirinya sendiri. "Aku ingin ke bulan. Karena disana pasti tak ada pertanyaan, sehingga pasti tak perlu ada jawaban pula." Dengan begitu yakinnya, ia berangkat seorang diri meninggalkan bumi dan berhasil menjejakkan kaki di bulan. Hatinya merasa begitu senang. Tak ada seorang pun di sini, sudah pasti tak akan ada pertanyaan dan tentu saja, jawaban.

Selama beberapa saat ia menikmati waktunya di bulan. Bermain-main dan berlarian sepuas hati. Hingga ia berhenti dan mulai merasa bosan karena lelah. Dicarinya batu yang datar dan cukup besar baginya untuk duduk. Sambil menatap bumi yang biru, ia merenung dan tanpa sengaja berkata. Bagaimana caranya agar aku bisa pulang? Ternyata ia belum memikirkan caranya untuk pulang. Hal itu menjadikan penyesalan dan jutaan pertanyaan lain pada dirinya. "Bagaimana ibu dan ayahku?", "Apa anjingku sore ini sudah diberi makan?", dan sebagainya.

Pernahkah kita jenuh dengan berbagai macam pertanyaan yang membosankan karena ditanyakan oleh setiap orang sepanjang waktu? Seperti : kapan nikah? Kapan lulus? Kapan punya anak? dan seterusnya.
Apakah mungkin pernah merasa kepala begitu penuh hingga ingin muntah jika pertanyaan yang sama datang kembali?

Ya. Anak yang ingin ke bulan itu adalah analogi. Kadang kita selalu berupaya lari dari segala pertanyaan tersebut. Menghindar, bersembunyi, dan sebagainya hingga menganggap kita menjadi tenang dan tak akan ada pertanyaan kembali. Saya tak sepenuhnya menyalahkan sikap yang demikian. Sebagai manusia, bukankah lelah adalah hal yang lumrah? 

Namun sesungguhnya dalam keadaan sembunyi dan lari pun kita tak pernah dapat lari dari pertanyaan. Benar adanya jika kita terhindar dari pertanyaan orang lain. Namun, apa kita terhindar dari pertanyaan diri sendiri?

Tidak.

Akhirnya pun diri kita sendiri yang akan bertanya-tanya sendiri akan diri kita. Misalkan : "Iya, kenapa saya tidak segera menikah? Apa yang salah dengan diri saya? Apa saya kurang pantas, kurang mapan?", "Iya, kenapa saya tak segera memiliki anak? Apa saya belum pantas menjadi seorang ibu/ayah?"

Pertanyaan tak akan pernah hilang. Menghindar pun seperti tak ada artinya. Saat ini, mungkin kita harus mulai berpikir. Bukannya menghindar, namun mulai mencari jawaban sebagai senapan untuk "melawan" segala pertanyaan. Agar tak tersisa penyesalan dari sebuah pelarian untuk begitu banyak never ending questions. Million dollar questions. Plus tambahkan koreksi diri. Jangan-jangan kita menjadi salah satu penanya 'menyebalkan' untuk orang lain. Jangan-jangan kita sendiri tanpa sadar telah mengajukan pertanyaan yang sama ratusan kali sebelum mereka bertanya pada kita. Karma?


Thursday, December 6, 2012

[Book - Review] Tamu Rumah Biru - K.Usman


Tamu Rumah Biru sempat membuat saya keder dengan jumlah halaman dan ketebalannya. Tentu saja sempat terpikir jika penulis tak pintar-pintar mempertahankan stamina pembaca, buku ini akan begitu saja ditutup sebelum mencapai halaman akhir, bahkan mungkin setengahnya. Kebetulan ini karya K. Usman pertama yang saya baca. Terbit melalui nulisbuku.com, harganya terbilang cukup mahal, seiring dengan jumlah halaman yang memang banyak. Awalnya saya pikir saya akan menghabiskan banyak waktu dengan buku ini. Bahkan saya sempat berkata, buku ini akan jadi penutup Reading Challenge 2012 saja (karena saya pikir saya akan menyelesaikannya di akhir tahun). Tak disangka, saya berhasil menuntaskannya dalam kurang lebih satu minggu. Dan saya menikmatinya.



Covernya yang memang biru itu terkesan serius dan dewasa. Seorang perempuan, raut wajah laki-laki dan rumah yang terbakar. Jika anda telah menikmati beberapa halaman awal dan mencoba memahami apa yang dimaksudkan cover, anda akan mudah saja mengerti apa artinya. Sangat jelas dan gamblang. Sesuai dengan kisah yang disajikan penulis. Saya sih suka dengan cover-nya. Saat break dan menempatkan pembatas buku di salah satu halamannya, saya akan mengamati cover-nya baik-baik. Desainnya cukup ampuh sebagai penyegar. Layout halamannya pun cukup bersahabat dengan spasi yang manusiawi untuk buku setebal ini.

Buku ini bercerita tentang satu bagian perjalanan hidup Ahmad Kamal, seorang wartawan dan pengarang yang kemudian di usia paruhbayanya memilih menjadi pengembara untuk dapat memandang hidup dengan lebih luas. Ia mencari kenangan masa muda yang ditinggalkannya begitu saja agar kembali secara nyata dan mampu ia hadapi dan tuntaskan kembali. Dari perjalanan itulah seorang Ahmad Kamal bertemu dengan banyak orang baru dan orang-orang yang mengisi masa lalunya. Ia akhirnya pun harus menerima bahwa waktu tak pernah meninggalkan segalanya dalam keadaan konstan. Begitu banyak hal yang tak lagi sama, dan ia harus menerima dan menghadapinya.

Sederhana. Itu kesan saya untuk buku ini. Plotnya tidak rumit, diksinya pun mengalir lancar tanpa efek berlebih. Ternyata kederhanaan itu yang justru menjadi kekuatan penulis. Karakter, konflik, setting terasa membumi, nyata, apa adanya. Seperti mudah saja karakter-karakter itu kita temukan dalam dunia nyata. Sejenak saya pikir tak akan ada ruang imajinasi lebih yang ingin dibagikan penulis. Namun ternyata menjelang akhir, bab 'Di Negeri Suci Berseri' membuktikan prasangka saya salah.  

Meski begitu, saya yang pemuja diksi berbunga dan quote indah harus sedikit kecewa dengan minimnya hal tersebut. Typo juga masih begitu banyak ditemukan. Saya juga sedikit terganggu dengan pemberian dan penyebutan nama karakter yang 'terlalu lengkap' dengan gelar jabatannya. Beberapa kali saya sempat 'kecele' dengan penyebutan nama karakter yang lengkap itu. Sempat terpikir karakter ini akan menempati posisi yang penting di lanjutan kisah. Namun nyatanya tidak. Ia hanya 'digunakan' penulis sebagai media penyampai pesan yang ingin dibagikan.  

Membaca buku ini saya serasa sedang didongengi oleh seseorang yang telah lama belajar menjalani hidup. Begitu banyak kearifan, nilai-nilai moral, pandangan dan sikap dalam mengatasi masalah yang dibagikan. Pandangan dan kritik penulis akan berbagai bidang, mulai politik, sosial, agama, moral, sastra, dsb begitu banyak tertulis. Kadang terasa pedas dan kejam, namun juga terasa sangat bijak dan benar. Mungkin idealisme penulis akan subjektifitas pribadi yang ingin disampaikan itu yang membuatnya ingin menerbitkan buku ini secara mandiri, tanpa harus terpotong akan proses editing. Berikut sepenggal kritik sosial penulis yang saya tandai :

  "Kamal memahami, bagi orangtua Mia, dunia sastra adalah impian-impian yang hanya membuai, dan indah bagi penikmatnya. Dunia materiil bagi orangtua Mia selalu kongkret berupa jabatan, pangkat, berupa benda-benda, serta angka-angka. Memang tidak akan bertemu dengan dunia Kamal yang abstrak, dunia kata-kata, dunia imajinasi yang khayali.
    Namun, yang menyedihkan Kamal adalah mengapa anugerah Allah yang diterimanya itu disepelekan, dipinggirkan dalam kehidupan, seakan tiada memiliki fungsi dan makna. Padahal, sastra dapat memelihara kelembutan hati, membuat pembaca punya rasa haru, juga menjadikan manusia terhibur, senang dan arif-bijaksana dalam kehidupan, setelah merenungkan hasil bacaan yang bernilai sastra."

Lantas, mengapa saya harus memberi empat bintang? Selain karena buku ini berhasil membuat kesederhanaan menjadi kekuatan, saya mampu belajar banyak dari buku ini. Belajar bagaimana hidup dari seorang yang memang telah kenyang pengalaman dan berpikir arif untuk hidup.

Impian saya bertambah satu lagi. Ingin bertemu dan berbicara banyak tentang buku ini (yang berarti bicara tentang banyak sisi kehidupan) dengan sang penulis, K. Usman. :)   

Sunday, December 2, 2012

"Ruang Putih 2 Desember 2012"

Ruang Putih, kolom Jawa Pos tiap Minggu itu selalu membawa insight bagi saya. Selain karena memaparkan hal-hal yang dibedah secara mendalam, juga menyadarkan saya bahwa selalu ada cara pandang dan sikap yang berbeda dalam memandang hidup. Seperti kali ini, Hari Minggu tanggal 2 Desember 2012. Pengisi kolom Ruang Putih kali ini adalah Sitok Srengenge, A.S Laksana serta Muhidin M. Dahlan (Gus Muh). Siapa yang tak kenal dengan mereka, bukan?
Di sini saya tak akan mengetik ulang apa yang mereka tuliskan, namun sekadar ingin 'menyarikan' apa yang beliau-beliau tulis dan pandangan subjektif saya akan tulisan-tulisan mereka yang luar biasa itu.

Saya rasa ketiga esai itu memiliki satu benang merah yang sama. Tentang dunia penulisan dalam masyarakat. Seperti Sitok Srengenge yang bercerita tentang 'kurang adanya tempat' seorang penulis di tengah masyarakat negeri kita ini. Diawali dengan beliau saat melakukan pengisian formulir data pribadi untuk pengurusan e-KTP. Yang membuat beliau (mungkin) terkejut dan sedikit kecewa adalah tak adanya opsi 'Penulis' pada kolom profesi yang harus dipilih. Justru, opsi 'Paranormal' nampak pada kolom tersebut. Hal itu lantas memberikan pertanyaan pada kepala beliau. Sesungguhnya, di manakah posisi penulis dan sejauh apa profesi ini diterima dalam masyarakat kita. 

Saya mungkin belum dapat disebut sebagai penulis. Hanya gadis kecil yang punya mimpi untuk dapat terus menulis. Namun, sejauh ini pun saya setuju dengan Pak Sitok. Penulis yang bekerja untuk keabadian kata Pram, penulis yang menjaga kemanusiaan dan berkembangnya imajinasi kata Bli Putu Fajar Arcana, belum mampu diterima sepenuhnya oleh masyarakat, meski berperan besar dalam mencatat dinamika kehidupan. Saya ingin kutipkan salah satu kalimat dari Pak Sitok :

"Yang terpenting dari menulis bukanlah bagaimana menyampaikan, melainkan apa yang disampaikan. ... Sebagaimana aktivitas lain, terutama yang bersifat sosial, selalu ada masa ketika yang menjadi tujuan utama adalah persembahan, bukan pengakuan."

Saya menyikapi paragraf ini sebagai konfirmasi. Bahwa menulis bukan sepenuhnya eksistensi, meski memang tak mampu sepenuhnya lepas dari itu. Namun, penulis juga senantiasa merekam realitas dan mengolahnya dalam kepala hingga terlahir kembali menjadi sebuah karya yang layak disajikan pada pembaca, lepas dari bagaimana interpretasi pembaca menangkapnya. Penulis yang awalnya (mungkin) bekerja untuk diri sendiri dan eksistensi akan menemukan kepuasan akan karyanya, kemudian akan tergerak untuk berbuat lebih banyak. Mempersembahkan apa yang mereka miliki untuk kemanusiaan.
Kemudian pun Pak Sitok mengutip kalimat Virginia Woolf tentang bagaimana tahap seseorang yang berprofesi sebagai penulis :

"Penulis pada akhirnya adalah profesi yang juga bisa dan layak dilakoni semata-mata sebagai upaya mendapatkan penghasilan."

Entah berapa banyak manusia yang menyetujui hal ini sebagai kebenaran. Namun, tentu lebih banyak yang berpendapat sebaliknya. Seorang teman pernah memberikan tanggapannya kepada saya : "Menjadi penulis? Apa kamu bisa mengalahkan kultur (mungkin maksudnya cara pandang mayoritas masyarakat kita)?" Masih begitu banyak orang yang menganggap penulis bukanlah suatu pekerjaan (menghasilkan uang dan mengangkat gengsi), dan akan begitu banyak kepala yang memandang sebelah mata untuk profesi tersebut. Ia ingin mengingatkan kembali kepada saya tentang realitas. Saya sangat hargai hal itu. Namun, di saat yang sama, timbul pertanyaan baru dalam benak saya, di mana impian harus diletakkan dan diyakini? Hal ini bukan berarti saya menyalahkan keadaan dan anti dengan seseorang yang juga tetap berprofesi lain, namun tetap menghidupkan impiannya sebagai seorang penulis. Sama sekali TIDAK. Saya justru kagum dengan mereka. Mereka tetap berhasil di kedua bidang dengan baik, di mana letak kesalahannya? Sama halnya dengan seorang full time writer yang berani membuat keputusan besar untuk menulis secara penuh.
Hingga saat ini, saya harus mengakui, saya terus mencari. Di mana kehidupan akan meletakkan saya. Di salah satunya, atau di keduanya? Di kedua opsi yang sama-sama baik tersebut.

Kembali, mengapa banyak masyarakat yang belum mampu menerima penulis sebagai profesi? Berikut Pak Sitok kembali mengatakan berdasarkan esai Barthes :

"Bagi orang yang berprofesi lain, kerja mereka terkesan sebagai "kerja semu", dan dengan begitu liburan mereka pun liburan semu. Kaum pemuja kepastian (kerja tetap, pendapatan tetap) bisa memandang totalitas seorang penulis sebagai "keberanian garda depan", hanya mungkin dilakukan oleh "orang-orang yang tidak biasa".

Maka, berbahagialah seharusnya anda yang termasuk "orang-orang yang tidak biasa", karena anda telah berani memilih untuk berbeda.

Dan beliau menutup esai "Sang Penulis" nya dengan kalimat yang sangat bijak dan sangat saya hargai :

"Penulis yang baik, tepatnya yang bertanggung jawab, mestinya orang yang konsekuen dengan pilihannya, menyadari responsibilitas masyarakatnya, berani mendada risikonya sampai ke tahap yang paling pahit, dan tidak menimpakan risiko itu kepada pihak lain."

Membaca kutipan tersebut, saya tergerak ingin mengulang : "Selalu ada pertimbangan di setiap pilihan, bahkan sekadar dalam 'teh atau kopi', maka hargailah!"
Sekali lagi, ini sama sekali bukanlah pembelaan, namun saya hanya sekadar ingin menatap segala sesuatu dengan luas dan berimbang. Saya pun masih sungguh-sungguh jauh dari segala idealisme-idealisme yang telah tersebutkan di atas. Oleh karena itu, saya ingin belajar dan terus mencari jawaban. Salah satunya dengan terbuka dan menghargai segala pilihan.

A.S Laksana membahas masalah yang begitu sering ditemukan dalam masyarakat. Tentang karya sastra yang sering dianggap rumit dan susah dicerna. Tentang sastra yang dianggap egois karena 'asyik dengan dunianya sendiri'. A.S Laksana menjawab dan menyikapi dengan cara yang sangat keren : 

"Kepadanya, dan kepada siapa saja yang mengeluhkan karya sastra, saya mengatakan bahwa kadang-kadang perlu juga kita membaca yang ruwet-ruwet, misalnya filsafat atau pemikiran-pemikiran yang membuat jidat kita berkerut. Itu agar kita tidak terbuai oleh kenyamanan membaca majalah anak-anak atau selebaran atau menggemari sinetron belaka."
 
"Gagasan-gagasan yang paling inovatif sering lahir ketika manusia dihadapkan pada kesulitan. Tanpa kesulitan orang akan merasa nyaman-nyaman saja, menggendutkan perutnya dan memperkecil volume otaknya."

Saya rasa saya tak perlu banyak membahas banyak dari paragraf itu. Beliau sudah banyak menjawab. Belum lagi ditambah dengan :

"Tanpa kesulitan, kita tidak tahu apa yang kita inginkan. Tanpa tahu apa yang kita inginkan, kita tidak akan bergerak kemana-mana."

Saya pun memandang, tak ada salahnya mengungkapkan sesuatu dengan jalan yang berbeda. Bukankah perbedaan dan keunikan itu yang membuat menyenangkan? Diksi adalah bagian dari keindahan berbahasa. Bukankah mulia seseorang yang memutuskan bekerja untuk berbagi keindahan? Keindahan akan menyentuh banyak hati, bahkan menggerakkan hati untuk lebih peka menatap segala sesuatu. 

Sedang Gus Muh memilih mengajak pembaca untuk mengabadikan dinamika perkotaan dengan Almanak Kota. Bukan melulu pada yellow pages dan brosur. Agar sesuatu dapat dinikmati dan dibaca ulang dengan cara yang lebih menyenangkan. Bahkan mungkin dengan keindahan dari bahasa. Agar kemudian (lagi-lagi) dapat menyentuh banyak kepala untuk belajar dan membuka hati.

Ruang Putih bercerita banyak hari ini. Terutama untuk saya sendiri. Untuk mulai sedikit demi sedikit memperbaiki isi kepala sendiri, kemudian menata sikap dan hati. Anda?