Pages

Sunday, July 24, 2016

Digital Literacy, Perlukah? : Ngobrol Bareng Hestia

Saya selalu menikmati waktu-waktu mengobrol dengan Hestia Istiviani. Pustakawan cemerlang lulusan jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan UNAIR ini selalu punya bahan menarik untuk didiskusikan di sela tema obrolan ringan. Beberapa waktu lalu, Hesti mesti berhijrah ke Bekasi karena terpilih untuk mendapat kesempatan magang di Rumah Perubahan Rhenald Kasali. Karena kesempatan mengobrol panjang lebar kami semakin jarang, kami berbincang melalui ruang obrolan digital. Suatu kali, terselip istilah "Digital Literacy" . Tertarik mengetahui lebih dalam tentang Digital Literacy, saya mengirimi Hesti beberapa pertanyaan, dan ia menjawab dengan sederhana dan gamblang. Saya sengaja mencantumkan "sesi ngobrol" ini di halaman blog. Anggap saja ini perbincangan kami di sebuah sore, sembari mempersilakan Anda untuk bergabung mendengar, jika tertarik. Selamat menyimak!  


Nabila (N) : Sejauh mana Digital Literacy dapat diartikan?

Hestia (H) : Digital Literacy sebenarnya kalau dihubungkan dengan apa yang menjadi konsumsi masyarakat saat ini, yakni informasi, merupakan suatu kemampuan yang sudah harus dimiliki. Baik itu untuk para orangtua, pendidik, hingga bisa jadi mereka yang ada di kursi pengambil kebijakan. Mengapa? Karena yang seperti mereka itulah yang disebut sebagai digital immigrant, mereka yang masih perlu belajar cara menggunakan alat-alat berbasis teknologi informasi untuk mengakses informasi dan berkomunikasi. Berbeda dengan generasi Digital Native atau yang kini akrab disebut sebagai Millennials. Mereka adalah generasi yang sudah terbiasa dengan peralatan elektronik untuk mendapatkan akses informasi dan melakukan kegiatan berkomunikasi.

Secara mudahnya, Digital Literacy bisa saja diartikan sebagai kemampuan untuk membaca informasi yang berada dalam media digital seperti apa yang ada di situs web, televisi, pokoknya media selain kertas. Kalau sebelumnya “literasi” diartikan secara sempit sebagai kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis aksara. Lebih luasnya bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk tidak sekedar membaca dan menulis, tetapi mampu memilah mana informasi yang memang layak dikonsumsi/diyakini serta mengungkapkan pendapat/opini/informasi yang memang berdasarkan fakta.

Bagaimana kalau dihubungkan dengan kata “digital” sehingga menjadi kata “Digital Literacy”? Ya berarti kemampuan yang sudah disebutkan di atas tadi digunakan untuk memahami informasi yang berada pada media digital. Paling mudah ya mengerti mana informasi di Facebook atau media sosial lainnya yang bisa dikonsumsi dan apabila ingin membagikan ulang (share), informasi tersebut sudah terbukti benar berdasarkan fakta/penelitian alias bukan lagi hoax.

Kemampuan tersebut yang masih kurang dimiliki oleh sebagian besar orang Indonesia, terutama yang berada di perkotaan, yang sudah terbiasa menggunakan ponsel untuk apapun.

N : Seberapa penting Digital Literacy di saat ini dan masa depan? Apa dampak positif dan negatifnya?

H : Penting sekali. Bayangkan saja, semua informasi sekarang sudah daoat beredar dalam hitungan detik. Namun, apabila seseorang bisa mudah percaya dengan apa yang cepat itu, tanpa memiliki kemampuan literasi yang baik, tentu akan mempengaruhi pribadinya. Bisa-bisa ia menjadi mudah termakan isu, mudah dihasut, dan kemungkinan buruk lainnya (tindak kriminal).

Apalagi di masa depan ketika semuanya sudah serba digital, serba cepat, dan serba canggih. Kalau tidak bisa mengimbangi dengan kemampuan literasi digital, manusia pun akan semakin tertinggal, akan menjadi korban dari kemajuan teknologi tersebut. Bukanya malah memanfaatkan kecepatan akses informasi untuk mendapatkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi mereka yang sudah tahu dan mengerti tentang kemampuan literasi digital, nantinya orang tersebut tidak akan tersesat di hutan informasi atau derasnya arus informasi. Ia juga tidak akan mudah dipancing emosinya untuk melakukan hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan nilai dan moral kemanusiaan.

N : Tahap apa saja yang perlu dilakukan untuk memasyarakatkan Digital Literacy?

H : Secara teori akan menjadi suatu tindakan yang tidak sulit. Namun, kalau secara praktik, seseorang yang memasyarakatkan kemampuan literasi digital pasti akan menemukan halangan. Yang paling mudah dicontohkan adalah adanya perlawanan dari masyarakat.

Berbicara soal masyarakat, kita juga harus ingat kalau mereka yang berada pada ekonomi bawah pun juga bisa mengakses informasi dari ponsel. Tidak hanya mereka yang berada di kelas menengah. Bagaimana dengan mereka yang ada di kelas atas? Kelas atas mari kita asumsikan kalau mereka punya dana yang cukup untuk bersekolah hingga jenjang paling atas di institusi pendidikan terbaik sekalipun sehingga kemampuan literasi digitalnya sudah terbentuk (meksipun belum terbukti secara benar, tapi mari kita anggap seperti itu dulu).

Maka, jadilah masyarakat yang perlu disasar adalah mereka yang ekonomi bawah dengan mereka yang ekonomi menengah.

Tantangan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat ekonomi bawah adalah masalah pembahasaan. Sebagaimana seperti yang kita semua ketahui, tidak peduli apa latar belakang pendidikan kita, berbicara kepada mereka supaya mereka memahami apa yang kita ajarkan dibutuhkan penyederhanaan kata-kata. Alias menggunakan kata-kata yang mereka sering dengar. Mengapa? Supaya mereka merasa bahwa materi tentang kemampuan literasi digital tersebut ternyata harus mereka miliki. Kedua, supaya hubungan kita sebagai pemateri atau yang memberikan sosialisasi kepada mereka tumbuh tidak hanya karena kebutuhan dan kepentingan sosialisasi saja, melainkan akan menjadi hubungan yang organik dan horizontal sehingga nantinya ketika mereka menemukan kesulitan untuk memilah informasi mana yang hendak mereka konsumsi, mereka tetap bisa berkonsultasi tanpa rasa dipaksa kepada kita.

Sedangkan untuk mensosialisasikan kepada mereka yang berada pada ekonomi menengah adalah masih banyak sekali yang merasa kalau kemampuan tersebut tidak perlu mereka miliki. Penyebabnya bisa karena mereka menganggap bahwa bekal pendidikan yang mereka miliki sudah dapat mengakomodir hal itu. Tapi juga bisa karena mereka merasa sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan padahal tindakannya di dunia maya atau di media sosial malah mencerminkan sebaliknya (seperti menyebarluaskan hate speech). Wajar saja, mereka adalah kaum yang bisa membeli media digital seperti ponsel dan tablet dan merasa mereka tahu semuanya.

Memberikan materi kepada kelas menengah memiliki tantangan untuk ditolak karena materi tentang kemampuan literasi digital dianggap tidak penting dan hanya membuang-buang waktunya saja. Pada fenomena Orang Kaya Baru misalkan, seseorang bisa menganggap dirinya sudah di atas dan tidak perlu nasehat orang lain. Tipe-tipe yang seperti itu yang menjadi hambatan. Sedih, karena para orangtua yang belum tahu tentang pentingnya kemampuan literasi digital malah memberikan gadget kepada anak-anaknya sebagai “dot” supaya mereka tenang dan tidak mengganggu waktu bekerja/tidur/istirahat mereka.

N : Siapa saja yang perlu berperan? Apa peran masing-masing secara garis besar?

H : Pendidikan mengenai kemampuan literasi digital hendaknya sudah dikenalkan sejak kecil oleh para orangtua. Minimal, dengan tidak memberikan akses kepada internet dan gadget secara sembarangan tanpa aturan kepada anak. Lebih baik, anak dikenalkan dengan bacaan-bacaan berupa buku atau koran. Memang, mereka belum bisa membaca, tetapi menumbuhkan kecintaan terhadap media cetak dimunculkan dari situ, dari mereka bisa meraba, menyentuh media tersebut akan mendorong mereka untuk belajar membaca secara sendirinya.

Guru, tentu saja, karena pada masa anak-anak, mereka menghabiskan waktu di rumah dan di sekolah. Boleh saja jika guru mengajarkan bagaimana cara mencari informasi menggunakan akses internet, tetapi tidak ditinggalkan begitu saja untuk mencari sendiri. Guru, dibantu dengan pustakawan, bisa bekerja sama untuk memberikan advokasi bagaimana caranya mendeteksi mana sumber informasi yang valid, yang bisa mereka gunakan, dan mana yang tidak. Namun, tetap saja harus diimbangi dengan media cetak lain seperti buku ensiklopedia. Memberikan pemahaman kalau internet lebih cepat ketimbang buku bukan menjadi masalah, tetapi ingat, terus diberi pengertian.

Kalau penguatan kemampuan literasi digital sudah terbentuk di keluarga dan di sekolah, individu pun tidak akan mudah dihasut dan termakan oleh informasi yang dia baca tanpa adanya pengecekan ulang atau pencarian mengenai informasi tersebut secara mendalam.

N : Korelasi critical thinking dan digital literacy?

H : Mereka yang sudah punya fondasi kemampuan literasi digital, seperti yang sudah disebutkan, tidak akan mudah percaya dengan informasi yang mereka terima saat itu juga. Boleh sekali arus informasi mengalir dengan derasnya, tetapi mereka akan mencari lagi lebih dalam. Apa benar informasi yang mereka terima begitu adanya. Ataukah jangan-jangan informasi tersebut dibuat oleh kelompok tertentu untuk menyulut pertikaian.

Ketika ternyata informasi tersebut tidak layak dikonsumsi, apalagi disebarluaskan, pasti mereka akan mengabaikanya.

Ketika informasi tersebut bisa dikonsumsi, mereka juga tidak akan secara spontan menyebarluaskan. Mereka akan mengendapkan dulu, membekali dirinya dengan cukup informasi sebagai persiapan kalau-kalau ada yang mengajukan pertanyaan kepada mereka terkait informasi tersebut. Mereka juga tidak akan menyebarluaskan dan memberikan pendapat jika diri mereka merasa cakupan pengetahuan yang ada hubungannya dengan informasi tersebut masih belum cukup.

Mereka yang memiliki kemampuan literasi digital yang baik tidak akan sembarangan mengkonsumsi, menyebarluaskan, dan berpendapat tentang informasi tersebut. Malah sebaliknya, mereka akan terus mencari hingga menemukan sumber informasi yang memang bisa dipertanggungjawabkan.

N : Seberapa penting pendidikan mengambil tempat dalam pembentukan pondasi Digital Literacy?

H : Penting. Sudah disebutkan pula bahwa generasi Millennials sekarang perlu sekali diberi pendidikan literasi. Maka dari itu, dibutuhkan pula peran guru plus pustawakan untuk mensosialisasikan kepada mereka.

Apakah orangtua juga perlu diberikan materi tersebut? Perlu, melalui mendidik si anak tersebut. Ada pepatah yang mengatakan kalau system pendidikan yang baik bukannya mendidik anak, melainkan akan mendidik anak sekaligus orangtua.

Sekolah pun perlu membina hubungan yang intensif dengan para orangtua, sesederhana mengkomunikasikan apa yang sudah sekolah lakukan agar di lingkungan keluarga, ajaran atau tata nilai tersebut tidak luntur.

N : Pendekatan apa yang mestinya dilakukan semua pihak untuk mendukung efektifnya Digital Literacy?

H : Pendekatan secara horizontal. Saya pribadi banyak belajar dari PAUD-TK Kutilang yang berlokasi di Pondok Jatimurni, Bekasi. Guru-guru yang ada di sana tidak menggunakan kata sebutan “anak-anak” kepada para siswa. Melainkan menggunakan “teman-teman” untuk menciptakan hubungan yang horizontal antara siswa dengan guru sehingga mereka merasa kalau mereka tetap diapresiasi sebagai manusia. Pihak sekolah pun juga melakukan pendekatan secara horizontal kepada para orangtua. Baik orangtua maupun pihak sekolah berusaha untuk saling memahami, untuk saling membantu dan menyelesaikan masalah. Jadilah, orangtua tidak menyepelekan sekolah dan sekolah juga tidak menyepelekan orangtua.

Andai saja semua system pendidikan di Indonesia bisa seperti itu, pendekatan untuk melakukan sosialisasi terhadap literasi digital tentu bisa berlangsung massif.

Bagaimana Literasi Digital telah dilaksanakan di negara lain? Apa yang bisa kita pelajari dari mereka?

Saya paling banyak membaca portal berita mengenai dunia perpustakaan yang ada di Amerika Serikat. Seringkali saya menemukan kalau pustakawan di sana memang benar merupakan seorang pustakawan. Bukan mereka yang dibuang oleh instansinya, juga bukan mereka yang merasa terpaksa menjadi pustakawan. Melainkan mereka yang berangkat dari hati untuk melayani dan membimbing manusia supaya tidak hilang dimakan arus informasi.

Pustakawan di Amerika Serikat dari sejauh yang saya baca, sangat membantu para penggunanya untuk mencari sumber informasi yang benar-benar valid, entah itu untuk konsumsi pribadinya atau untuk tugas sekolah. Pustakawannya sangat berdedikasi. Tidak sekedar mengatakan buku ini ada di rak sebelah mana. Melainkan juga membangun komunikasi dan interaksi yang membuat pengguna perpustakaannya merasa nyaman sekaligus tidak merasa digurui. Para pustakawan tersebut membangun hubungan rekan diskusi dengan para penggunanya.

Aktivasi pustakawan secara total seperti yang ada di Amerika Serikat bisa kita contoh. Pustakawan tidak hanya sebagai penjaga buku. Pustakawan bukan sebagai pilihan pekerjaan paling akhir.

N : Apa sesungguhnya dampak yang diharapkan dari kemampuan Digital Literacy yang baik?

H : Tentu saja, masyarakat yang tidak mudah diadu domba oleh kelompok tertentu yang ingin negara ini terpecah belah. Kriminalitas bisa ditekan, dan hal-hal negatif lainnya dapat turun drastic.

Masyarakat dengan kemampuan literasi digital yang baik malah akan cepat berkembang dan maju pesat karena mereka merasa harus melakukan sesuatu, seperti riset atau membuat temuan. Mereka tidak akan mudah goyah hanya dengan pemberitaan remah-remah.

N : Sebagai seorang pustakawan muda, peran apa yang bisa dilakukan pustakawan dalam memasyarakatkan Digital literacy?

H : Jadilah pustakawan yang terbuka dengan beragam pendapat pengguna, jadi teman diskusi pengguna, jadi orang yang tidak malu untuk terus belajar. Dengan menjadi dekat dengan pengguna, pustakawan bisa memberikan banyak saran dan sosialisasi mengenai kemampuan literasi digital secara lebih mudah. Minimal, pengguna mau menerimanya. Butuh waktu memang, tetapi kalau bisa membayangkan apa yang terjadi jika sebagian besar masyarakat Indonesia melek akan informasi di media digital, bukankah kita juga yang akan senang?