Pages

Monday, February 24, 2014

"Does every little girl really have to be a princess?”

"Aku menika sama pangeran." - aku menikah dengan pangeran.

Tulisan itu datang dari seorang gadis kecil yang melengkapinya dengan gambar perempuan berekor sedang tersenyum (mungkin maksudnya putri angsa atau yang lainnya). Seorang teman dari ujung timur Indonesia membagikan foto dari karya seorang anak didiknya. Ia memang kerap kali membagi gambar-gambar yang menarik dari aktivitas suatu sekolah di Timika, Papua tempat dirinya mengajar. Mulai isi kelas, kegiatan anak-anak, hingga karya-karya mereka. Ketika melihat gambar itu, saya tertawa. Betapa seorang gadis cilik sudah memiliki impian selayaknya dongeng putri Disney. Hal itu berlawanan dengan yang saya dapatkan dari seorang murid dari tempat saya mengajar. Dalam beberapa kesempatan ketika kami menyebut tentang kisah princess, murid saya, gadis cilik sepuluh tahun itu bicara, "Kenapa sih, kisah princess harus selalu happy ending? Kenapa harus selalu happily ever after? Kenapa harus selalu menikah? Itu kan cerita anak-anak? Kan bisa berteman (dengan pangeran)?" Baginya, belum saatnya bagi anak-anak untuk mendapatkan kisah yang berakhir dengan ciuman, apalagi menikah. Ia lebih senang dengan cerita putri yang berubah menjadi kodok, atau justru memilih menjadi penyihir di dalam pentas drama yang kami susun bersama. Terus terang saja, saya belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Saya hanya mencari jalan keluar mudah dengan mengatakan, "Kalau gitu, tugasmu untuk bikin cerita princess yang kamu mau. Yang ending-nya nggak menikah dengan pangeran." Merasa belum menemukan jawaban yang tepat, hal itu menyangkut dalam benak saya, hingga saat ini.

Sejak kecil ternyata saya bukan penggemar berat kisah-kisah princess. Meski, masih sesekali mengikutinya. Meski begitu, jika seseorang menyebut kisah princess, kepala saya akan mengarah otomatis pada karakter princesses Disney. Lalu dari mana Disney's Princesses lahir? Nyatanya, ide itu berawal dari Andy Mooney sebagai pimpinan Disney Consumer Products di akhir 1990an. Ia memutuskan untuk mematenkan rancangan princess pada produknya setelah melihat beberapa gadis cilik berpakaian ala princess hadir ke pertunjukan Disney on Ice. Kisah-kisah putri Disney menjadi lahan bisnis yang menarik untuk dikerjakan. Ia mewujud dalam berbagai bentuk pertunjukan, film, buku, dan lain sebagainya. Bahkan persahabatan, kecantikan, kebaikan hati dari Putri Salju dalam "Snow White and the Seven Dwarfs" mampu menyeret kesuksesan dari karya Disney lainnya seperti Pinocchio, Dumbo dan Bambi.

Namun, di balik kilau-kilau kisah putri Disney, di tahun 1937, "Snow White and the Seven Dwarfs" sudah menimba ketidaksetujuan dari kaum feminis karena dianggap sebagai perwujudan dari subjektifitas pribadi bagaimana Walt Disney, sang penemu, memandang kehidupan keluarganya. Selain itu, juga dianggap merepresentasikan budaya patriarki di tahun 1940an. Ketidaksetujuan tentang kisah princess Disney pada gadis-gadis cilik juga diutarakan  Peggy Orenstein, seorang feminis dan seorang ibu, yang menulis artikel "What's Wrong With Cinderella?" dan dipublikasikan tahun 2006 di New York Times. Tamara Weston dari Time memberikan kritik juga untuk kisah princess Disney yang dianggap tak cocok untuk menjadi contoh bagi gadis-gadis muda.

Saya teringat saat saya sedang mencoba satu dress panjang di toko kecil karena tertarik ketika dikenakan manekin di etalase. Ada dua warna yang mesti saya pilih. Putih dan oranye. Saat itu bagi saya lebih baik yang berwarna putih. Pramuniaga yang menatap saya mengatakan, "Pilih putih biar kayak putri-putri ya?" oke, kemudian saya merunduk sebal, tak menatap sang pramuniaga, meski akhirnya tetap membawa dress itu pulang. Setiap kali mengenakannya, setidaknya, belum ada yang mengatakan saya seperti princess, atau justru mengubah kehidupan saya layaknya princess. Pada akhirnya saya berpikir betapa kuatnya kesan princess pada kepala sebagian besar manusia. Mungkin saja di luar sana, seseorang sedang berharap memiliki kulit semulus putri salju, atau mati-matian berjuang mengecilkan perut demi sekadar terlihat selangsing princess, atau bahkan berharap pasangannya dapat berubah dari Beast menjadi Prince. Ya, bagaimanapun untuk sebuah bisnis, meski bukan satu-satunya, Disney Princess berhasil membangun image-nya, yang kadang kala tak kita sadari, beberapa detailnya masuk ke kepala kita. 

Saya mungkin tak setajam Orenstein dalam memandang pernik-pernik hal berbau princess. Terutama ketika di awal esainya ia berkisah tentang betapa kekesalan menumpuk di dada saat putrinya ditawarkan segala hal yang berbau princess (panggilan princess, makan siang ala putri, hingga balon warna pink), dan ia bertanya, "Does every little girl really have to be a princess?” pertanyaan yang selama ini ada di benak saya juga. 

Kembali melayangkan pikiran di kelas tempat saya mengajar, ketika menatap mata mereka, para gadis cilik, saya berharap setidaknya mereka bukan hanya memiliki harapan sebesar putri yang ingin hidup bahagia bersama sang pangeran, namun juga mampu berjuang seberani Pocahontas dan berani jujur pada diri sendiri layaknya Mulan. Rasa-rasanya, kisah princess tak akan terlalu buruk. Hanya, ekspektasi akan kehidupan seperti princess yang saya harap tak membebani langkah mereka kelak.

Tapi ternyata saya belum bisa merasa lega dan mesti memutar otak kembali, ketika baru-baru ini seorang gadis cilik yang berbeda bertanya, 
"Kenapa princess harus pink?"