Pages

Thursday, August 1, 2019

Sore bersama Na Willa : Obrolan Patjar di Patjar Merah

Ini kisah Na Willa. Gadis kecil yang merasa bisa begitu saja menjadi laki-laki dengan memakai celana, gadis kecil yang sempat marah karena dikatai "Asu Cino", gadis kecil yang terkejut melihat kaki temannya putus karena terlindas kereta api.

Na Willa menyuguhkan cerita, Na Willa menyimpan makna.

***


Minggu sore 28 Juli 2019, angin semilir sejuk menenangkan keramaian festival literasi dan pasar buku keliling Patjar Merah. Setelah beberapa bulan sebelumnya di Jogja, untuk pertama kalinya Patjar Merah hidup di Kota Malang. Puluhan penulis dan pegiat literasi bergantian mengisi panggung dan ruang lokakarya, berinteraksi langsung dengan pembaca. Temanya pun beragam. Mulai bincang buku sastra, horor, kiat kepenulisan, pertunjukan musik, hingga menonton layar tancap. Salah satu yang menarik dan perlu ditengok lebih dalam adalah obrolan tentang seorang gadis kecil bernama Na Willa. 



Kita tahu, kisah-kisah Na Willa kembali muncul sekian tahun lalu melalui tangan-tangan penerbitan POST Press, sebuah penerbitan indie yang terafiliasi dengan toko buku alternatif POST di Pasar Santa, Jakarta. Semenjak itu Na Willa bermain lebih luas di kepala orang-orang dewasa. Mengusik kembali kenangan masa kanak-kanak, maupun menyentil sisi superioritas sebagai orang dewasa. Dengan ilustrasi dari Cecilia Hidayat, Na Willa sebegitu mudahnya dicintai karena menunjukkan kesederhanaan dan apa adanya.

Cinta dari pembaca itu membawa Sang Penulis, Reda Gaudiamo berhasil menerbangkan Na Willa ke London Book Fair di Inggris Maret tahun ini. Lebih-lebih, Na Willa telah meluaskan petualangannya dengan diterjemahkan oleh Emma Press ke dalam Bahasa Inggris. Kesuksesan itu tak semerta-merta datang. Di baliknya, ada upaya penulis untuk bertarung dengan kompleksnya membuat cerita anak. Terbiasa menulis karya untuk dewasa, bagi Reda, Na Willa adalah tantangan yang rumit dan berbeda. Reda mengambil bahan dasar pengalaman masa kecilnya dengan beberapa penambahan agar lebih menarik sebagai cerita fiksi. Terbukti, adegan-adegan pada Na Willa bekerja dengan baik.



Awalnya, Reda tak menyasar pembaca cilik ketika menulis naskahnya. Ia justru berangkat karena kegelisahannya akan banyaknya orang tua yang tak menganggap anak sebagai individu yang bebas memilih, justru memaksakan kehendak pada anak. Tak disangka, naskahnya menarik perhatian beberapa penerbit, sampai akhirnya diterbitkan POST Press yang dikelola Maesy Ang dan Teddy Kusuma. Penerbit merasa naskah Na Willa masih bisa dikembangkan kembali, sehingga muncullah seri Na Willa berikutnya : Na Willa dan Rumah Dalam Gang. Dalam perjalanannya, Reda dan penerbit berencana untuk menerbitkan kembali seri berikutnya untuk Na Willa. Berbagai apresiasi baik tentang Na Willa pun berdatangan. Sebuah sekolah bahkan mewajibkan baca dan membedah naskah Na Willa. Tawaran untuk alih wahana pun berdatangan. Menyikapinya, Reda terbuka dan membiarkan Na Willa menemukan jalannya. 

Na Willa adalah kenangan yang lekat bagi Reda. Tak beranjak banyak dari kenangan masa kecilnya, Na Willa mendapat pengaruh dari situasi apa yang terjadi saat itu. Termasuk lagu-lagu Lilis Suryani yang memang kerap diputar di masanya, di lingkungan di mana Reda tinggal. Penyampaian kenangan masa kecil berlanjut pada sang putri, Soca Sobhita yang juga membukukan catatannya bersama sang Ibu melalui Aku, Meps, dan Beps.


Dokumentasi : Tim Patjar Merah


Na Willa begitu banyak menyimpan pesan bagi orang dewasa. Bagaimana membangun kepercayaan pada anak-anak bahwa mereka juga kelak akan memiliki jalan hidupnya sendiri. Reda sedikit membagi tentang bagaimana ia membangun kondisi yang demokratis dalam menjadi orang tua. Ia merelakan Soca yang memilih menempuh pendidikan dan memutuskan tinggal di Jepang. Reda begitu menghindari untuk memaksakan keinginannya pada Soca. Ia menghargai Soca sebagai individu yang bebas menentukan pilihannya sendiri. Termasuk prinsip untuk tak membiarkan anak berkompetisi karena tuntutan ambisi orang tua. Ditanya tentang bagaimana ketika harus menghadapi tekanan lingkungan pada anak yang mungkin tak sejalan dengan gaya mendidik Reda, ia menjawab bahwa sangat penting menguatkan prinsip dalam keluarga sendiri terlebih dahulu. Baginya, Tuhan tak akan membiarkan seseorang tergagap begitu saja dalam mendidik anak, namun akan selalu disertakan kemampuan untuk menyesuaikan diri.

Beralih pada bahasan buku cerita anak, Reda memulai naskah Na Willa karena terlalu banyak buku cerita anak yang menyajikan pesan moral begitu saja. Hal itu sesungguhnya tidak mengajak anak dan orang tua untuk membaca bersama dan mengadakan pembahasan lebih dalam tentang sesuatu. Padahal buku cerita anak di luar negeri lebih cair, tidak melulu hitam-putih. Yang menarik, Reda sempat menolak naskah Na Willa untuk dikonsultasikan pada psikolog anak terlebih dahulu. Ia merasa penulis bisa menyampaikan apa saja melalui cerita anak asal dengan cara yang benar dan tetap berhati-hati. Bagi Reda, tak harus sudah memiliki atau pernah bersinggungan langsung dengan anak untuk bisa menulis cerita anak. Semua orang dapat berkontribusi. Bekalnya, dengan banyak membaca berbagai referensi cerita anak dan buku-buku yang membahas tentang anak. 


Terselip Kalis Mardiasih di antara Patjar Boekoe


Cerita adalah bahasa yang universal dan kuat. Semua dapat menggunakannya sebagai medium menyenangkan penyampai pesan. Termasuk membahasakan dan menghidupkan pesan orang dewasa untuk anak-anak.