Pages

Saturday, October 27, 2018

Bahasa, Bangsa, Berita : Diskusi Bahasa Indonesia & Bahasa Koran Jawa Pos

Banyak yang menarik dari diskusi "Bahasa Indonesia dan Bahasa Koran" yang diadakan Jawa Pos Senin 22 Oktober 2018 lalu. Graha Pena Surabaya disinggahi Remy Silado (Munsyi), Ivan Lanin (wikipediawan), Edi Mulyono (Pemilik Penerbit Divapress), dan Andri Teguh Priyantoro (Kepala penyelaras bahasa Jawa Pos). Masing-masing memberikan paparan yang perlu disimak.





Lebih dari sekadar penyampai berita, Andri mengungkap tentang pentingnya peran media yang dikonsumsi publik sebagai penjaga bahasa. Tak sekadar fokus meninjau penggunaan bahasa yang baik dan benar, namun profesinya dituntut untuk jeli menangkap kata-kata baru yang komunikatif dan populer di masyarakat. Jawa Pos menjaga keseimbangan antara idealisme dan pola konsumsi publik. Bahasa yang JP gunakan tidak bisa terlalu formal, namun juga tak mungkin terlalu santai. Redaksi mengerjakan serius hal tersebut dengan terus mengupayakan peningkatan kualitas untuk menjaga kaidah bahasa, serta menciptakan ruang diskusi dengan ahli agar bahasa yang digunakan bisa diterima masyarakat. Strateginya, wartawan JP mencatat apa saja kata yang kerap digunakan masyarakat.

Mikrofon berpindah pada Edi Mulyono. Ia mengungkap jika bahasa selalu berkembang sejalan dengan imajinasi. Oleh karenanya, bahasa tak dapat dibelenggu dengan cara apapun. Namun, publik tetap membutuhkan regulasi dalam berbahasa, dalam hal ini KBBI. Meski begitu makna bahasa harus dikaitkan dengan konteks kalimat maupun kondisi sosial saat itu. Mengingat betapa seringnya salah pemaknaan bahasa menimbulkan kesalahpahaman sosial saat ini. Mengenai polemik bahasa sastra serius atau sastra populer, Edi mengambil garis diplomatis bahwa setiap orang penting mengidentifikasi kebahasaannya sendiri, itulah yang akan menjadi dirinya. Ia mengenang pertemuannya dengan Boy Candra, penulis yang sedang digandrungi remaja. Di sela obrolan mereka, Boy mengatakan bahwa ia sengaja menulis buku dengan bahasa populer untuk memberi bacaan pada anak-anak muda yang belum bisa membaca karya sastra "serius". Setiap bahasa punya konsensus, punya kehidupannya sendiri. 

Ivan Lanin urun rembuk tentang perbedaan pendapat tentang kaidah dengan mencontohkan perdebatan pengunaan "subjek" atau "subyek". Pada akhirnya masing-masing bergantung pada penutur. Melampaui perbedaan, sedikit mengulik sejarah, Bahasa Indonesia muncul karena aspek politik. Rasa nasionalisme lah yang memunculkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.  Saat ini Papua memiliki keberagaman bahasa daerah paling banyak, sehingga Bahasa Indonesia justru lebih banyak digunakan di sana karena menjadi bahasa pemersatu. Menurut Ivan, kita sedang berada di kondisi diglosia di mana banyak perbedaan kaidah Bahasa Indonesa dengan bahasa untuk bercakap-cakap dalam keseharian. Bahasa juga lahir dari budaya. Misalnya saja, mengapa Bahasa Indonesia tak menggunakan perbedaan berdasarkan waktu. Candaan Ivan, waktu tak begitu penting bagi orang Indonesia.

Remy Silado, sang munsyi hadir sebagai pemapar terakhir yang membuat kejutan pada diskusi. Di awal ia membuka dengan gamblang tentang ketidaksetujuannya pada pemateri-pemateri sebelumnya. Remy menganggap bahasa mestinya dijadikan hidup. Ia tak setuju jika bahasa yang sedang populer di kalangan anak muda saat ini dianggap tidak sesuai kaidah. Baginya itu menunjukkan nuansa bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa mode. Dalam arti, bahasa itu sekadar dianggap menjadi bahasa yang sedang tren, kemudian tak berarti. Lebih jauh, Remy kemudian banyak mengungkap contoh-contoh kata yang penyerapannya ia nilai tidak tepat. Semua bermula dari tahun 1733 di mana Melchior Leijdecker mentranslasi huruf Arab gundul menjadi melayu. Menurut Remy, sebuah hal yang aneh jika kita mengaku sebagai bangsa yang orisinal, karena sesungguhnya nyaris semua kata dalam keseharian kita adalah produk akulturasi, serapan dari bahasa asing. Bahkan dalam teks proklamasi pun, nyaris tak ada kata yang berasal dari bahasa melayu. Bagaimana dengan masa modern ini? Ekstrimnya, tak ada satu pun dari barang yang kita kenakan di badan mulai kepala hingga kaki, berasal dari bahasa melayu. 

Mendapati pertanyaan tentang bagaimana bahasa menyesuaikan dengan perubahan yang begitu cepat di segala lini, Ivan Lanin menyatakan bahwa bahasa terus bergerak dinamis mengikuti kecepatan perubahan. Perbaruan KBBI yang dulu 5 tahun sekali, saat ini telah diperbarui 2 kali dalam setahun melalui KBBI daring. Begitu pun dengan tesaurus. Ia menegaskan bahwa makna kata harus dipertajam dan terdokumentasi. Jika pembaruan kosa kata berhenti, maka budaya manusia juga berhenti.  




Remy setuju dengan menanggapi bahwa badan bahasa harus terus mencatat dengan tekun untuk memperbarui KBBI. Mengingat begitu tertinggalnya kita dalam memperlakukan bahasa, salah satunya upaya dokumentasi. Ironisnya, Brunei yang secara luas wilayah dan jumlah penduduk jauh lebih kecil memiliki kamus yang jauh lebih tebal dibanding KBBI. Salah satu solusinya, KBBI harus terbuka dengan tawaran-tawaran bahasa yang masih belum dianggap baku, namun banyak digunakan. Bahasa itu hidup, kata Remy. Yang menarik, Remy juga mengungkap banyak sekali contoh kata Bahasa Indonesia yang tercipta karena kebetulan. Ia menekankan untuk memperhatikan bukan hanya segi kebahasaannya saja, namun juga sosiologi bahasa. 

Menanggapi pertanyaan salah satu hadirin terkait pendidikan bahasa untuk anak, Ivan menyebutkan bahasa erat hubungannya dengan budaya. Meski begitu, bahasa dan pengajaran perilaku adalah dua hal yang berbeda. Poliglot yang dimiliki banyak orang Indonesia, misalnya, akan berdampak pada perilaku anak. Maka dengan menguasai berbagai macam bahasa, anak akan belajar berbagai macam budaya. Sebagai seseorang yang bergelut di bidang bahasa, Ivan Lanin memaparkan bahwa suatu kata bisa masuk ke dalam KBBI dengan syarat antara lain frekuensi penggunaan yang sering, namun bukan musiman. Kata tersebut juga harus melambangkan suatu konsep yang unik. Jika dalam kamus sudah ada kata yang bisa menggambarkan secara persis makna yang sama, kata tersebut perlu dirundingkan kembali untuk masuk dalam KBBI. Pertimbangan berikutnya, apakah kata tersebut seturut dengan kaidah Bahasa Indonesia. Lazim atau tidak, sesuai atau tidak dengan kaidah. 

***

Diskusi itu menjadi ruang menarik yang masih membuka lebar diskusi-diskusi panjang lainnya. Lepas dari mendebatkan perbedaan yang menuntut benar-salah, sepatutnya manusia menyadari, memperlakukan, dan memaknai bahasa lebih dalam sebagai bagian penting dari kehidupan.   


"Language is magical ability that humans have." - Lara Boroditsky. 

Monday, October 1, 2018

Kekayaan Bunyi Negeri : Temu Musik Skena Nusantara 6.1

"Satu pesan saya, PMS (Pertemuan Musik Surabaya) jangan mati."

Gema Swaratyagita mengenang pesan dan jiwa besar Slamet Abdul Sjukur, salah satu pendiri Pertemuan Musik 61 tahun lalu. Sebuah perjalanan yang patut disyukuri karena tetap dapat melalui waktu, dan berkembang melampaui jarak.

***

Sebuah perjalanan panjang dimaknai dengan mendalam oleh PM (Pertemuan Musik). Komunitas musik yang telah terbangun sejak 61 tahun lalu ini melahirkan kembali nilai-nilai kebersamaan, pemaknaan, serta dedikasi terhadap musik. Memilih mengambil tema nusantara, PM ingin  mengingat kembali kekayaan bunyi dari negeri ini, sesuai dengan akar PM yang mengusung semangat nasionalis di awal berdirinya. Di samping, musik nusantara masih belum begitu mendapat ruang dan tepukan apresiasi di negeri sendiri.



PM mewujudkannya bukan hanya melalui pagelaran, namun juga lokakarya serta seleksi komposisi. Diselenggarakan di waktu yang berdekatan, tiga kota menjadi tuan rumah bagi perayaan PM. Publik Jakarta, Surabaya, dan Pekanbaru mendapat kesempatan mengikuti rangkaian acara. Lembar ke-23 dan 24 dari bulan September 2018 menjadi giliran Surabaya untuk melakukan lokakarya vokal dengan Ubiet Raseuki serta pementasan. Di sisi lain, seleksi karya disambut antusias oleh 49 karya dari berbagai komponis muda seluruh tanah air yang berujung 6 karya terpilih ditampilkan di Pekanbaru, 3 karya di Jakarta, dan 3 karya di Surabaya. Penampil panggung Surabaya berasal dari Solo, Pontianak serta Jombang. Karya-karya tersebut telah melewati tahapan seleksi dari Diecky K. Indrapradja, Ubiet Raseuki, Marisa Sharon Hartanto, Aristofani Fahmi, dan Lawe Samagaha. Dewan kurator menyorot berbagai aspek teknis kompositoris antara lain konsistensi dalam mengembangkan ide karya dengan konstruksi yang mumpuni.

Panggung Gedung Kesenian Cak Durasim Surabaya di hari pertunjukan dibuka oleh tampilan "Dua' Pasang" dari kelompok musik Lawang asal Pontianak. Terdiri dari enam personel Arsiko Gunawan, Ardy Prastiawan, Rama Anggara, Angga Khasbullah, Zacky Ricky Vitaqqie serta Octaviandri, mereka tampil kompak mengenakan pakaian koko. Musik Lawang begitu kental dengan nuansa musik religi hadrah, pun sarat muatan keagamaan Islam dan pesan moral dalam hidup. Menggunakan alat musik Tar khas Pontianak ditemani cello, violin, contrabass, selodang, gong ageng, selang, rebana, enam kompang, dan suara manusia. Dibuka dengan desisan bersama dari suara pemain, nuansa hadrah langsung terasa ketika senar dipetik dan seketika menggaungkan nuansa timur tengah beserta tabuhan dari kompang. Sebagai penegasan, Lawang juga menyanyikan lirik yang berisi pesan keagamaan dan kemanusiaan. Bukan hanya memainkan dengan gaya yang "biasa", Lawang tampak ingin mengeksplorasi bunyi instrumen seluas mungkin baik dengan tepukan tangan hingga bunyi gesekan permukaan rebana. Meski memadukan banyak elemen bunyi, Lawang tak lupa bermain dengan dinamika. 

Lawang
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik


String Quartet asal Universitas Negeri Surabaya : Harpang Subuh, Tommy Agung, Rendra dan Wildany membawakan karya komponis Jombang, Candra Bangun Setiawan berjudul "Gaman". Keempat pemain menampilkan gesekan-gesekan yang berbeda dari biasanya. Mereka menghadirkan gesekan yang fals, melengking, membuat kuduk berdiri dan gatal di telinga audiens. Namun komponis tampaknya tak membiarkan pertunjukan monoton. Pemain mengeksplorasi penuh instrumen mereka dengan memukul, menggesek, memetik. Komponis seakan tak membiarkan audiens memenuhi ekspektasinya akan penampilan string quartet yang biasa. 


String Quartet
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik

Panggung kemudian diisi dengan penampilan dari peserta hasil lokakarya bersama Ubiet Raseuki. Sebelas vokalis menampilkan suara khas dari berbagai daerah di Indonesia. Karya yang mereka tampilkan, Tamasya Suara Nusantara merupakan hasil dari enam jam lokakarya di hari sebelumnya. Dalam lokakarya, peserta terlebih dulu diperdengarkan nyanyian dari berbagai daerah di Nusantara. Dari proses itu, peserta mencoba menyanyikan dan merangkainya. Beberapa hal yang ditekankan Ubiet sebagai mentor antara lain adalah warna suara, dan ornamen nada. Hasilnya, malam itu Ubiet bersama peserta tampil menarik bukan hanya dalam harmoni kelompok, namun juga berhasil menyampaikan interpretasi nyanyian Nusantara sesuai dengan ciri dasar vokal mereka masing-masing. Audiens diberikan berbagai tawaran produksi suara yang kental dengan nuansa lokal, seperti Bali dan suara dari timur negeri. 

Ubiet Raseuki dan Sebelas Peserta Lokakarya
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik
Aruhara ciptaan Wahyu Thoyyib, komponis asal Solo tampil sebagai penutup. Dibawakan oleh Nawang Bayuaji, Wahyu Thoyyib, Rohmadin, Didin Tjakra Wibawa, Harun Ismail, serta Hudyan Marshali. Komposisi ini menggambarkan secara musikal kerusuhan dunia. Komponis melakukan eksplorasi laras slendro dan pelog, serta mengembangkan teknik dan pola Genderan dan gaya Sumiati. Terasa kaya dengan warna bunyi, komponis juga menghadirkan lengkingan frekuensi tinggi dari instrumen slompret Ponorogo. Di pembukaan, audiens dikejutkan dengan bunyi tersebut bersama gong yang menciptakan bunyi berat menyusul kemudian. Selama dimainkan, komponis tampak menjadikan hening sebagai bagian penting dari komposisinya. Aruhara terasa tidak menggebu, namun bermakna. Meski instrumen yang digunakan tradisional, Wahyu Thoyyib juga mengeksplorasi rhytm modern. Dinamika terasa dimainkan dengan baik hingga terwujud kematangan yang terlihat dari bagaimana komposisi ini direncanakan dan dibangun sedemikian rupa. 


Wahyu Thoyyib dkk
Credit : Dokumentasi Pertemuan Musik


Layaknya ciri khas Pertemuan Musik biasanya, selalu ada sesi diskusi pasca tampilan. Dipandu Diecky K Indrapradja, muncul kisah-kisah menarik dari penciptaan karya. Seperti Wahyu Thoyyib yang memaparkan bahwa Aruhara menggambarkan substansi dari Serat Kolotido, sebuah karya sastra yang disusun Ronggowarsito. Kedalaman makna hidup yang ada dalam karya sastra ini mengilhami Aruhara, seperti nilai huru-hara, kesedihan, angkara, juga tawaran solusi hidup seperti mawas diri, berserah, dan waspada. Nuansa musik yang begitu kental dengan ciri khas Jawa didasari oleh kehidupan Wahyu yang memang begitu lekat dengan adat suku ini. Detail dan kerapian komposisi juga didasari dengan berbagai riset dan pertimbangan pemilihan instrumen hingga pola pukulan, hingga gendhing yang dilakukan selama satu tahun. Sementara tentang Dua' Pasang, Rama Anggara berkisah jika nama itu diambil dari format jumlah pemain, dan Lawang terbentuk dari satu komunitas seni tari dan musik yang ada di daerahnya. Lain lagi tentang Gaman, Candra terinspirasi dari nama benda sejenis pisau yang digunakan untuk memotong bambu. Ide karya ini timbul dari sifat benda tajam. Candra mendapat pencerahan ketika berada di pandai besi. Ia menangkap banyak bunyi-bunyi yang tak enak didengar, namun hal itu justru membuatnya merasa tertarik untuk menerapkan pada musik yang ia garap. Beberapa tanggapan pun datang dari audiens.


Berjalan 61 tahun, Pertemuan Musik terbukti masih memegang semangat kolaborasi, penyediaan ruang belajar dan tampil pada musisi muda, sekaligus mengedukasi masyarakat agar lebih dalam mengenal dan memaknai musik. Barangkali pendiri PM pun tentu tak menyangka, dedikasi dan semangat mereka masih hidup dan terus bergema di jiwa-jiwa muda, melampaui enam dasawarsa. 

"Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik."