Saya kebetulan hadir dalam
kuliah umum Agustinus Wibowo di UK Petra 23 November 2013 yang lalu. Karena temanya tentang bagaimana menulis cerita
perjalanan, kali ini materinya cukup berbeda dengan talkshow/seminar beliau
sebelumnya. Lebih spesifik tentang how to dan tips-tips menarik. Jadi, mari
disimak. Karena disampaikan dengan cukup cepat dan kemampuan saya sebagai notulis
gadungan patut dipertanyakan, jadi akan saya sampaikan dalam bentuk poin-poin
saja, di samping memudahkan anda membacanya pula. Silakan, dan semoga bermanfaat.
*Cerita perjalanan bukan
merupakan panduan perjalanan, meskipun bisa jadi merupakan panduan perjalanan.
Jika suatu buku mengulas tentang bagaimana menuju ke suatu tempat tujuan, itu
bukan cerita perjalanan.
*Dalam dunia travel writing,
sesungguhnya tidak perlu ada genre baru berupa fiksi perjalanan. Karena semua
cerita perjalanan adalah bentuk tulisan non fiksi.
*Buku panduan perjalanan
merupakan travel guide, bukan travel writing.
*Roh nomor satu dari tulisan
perjalanan adalah tempat. Meski begitu, tempat bukan hanya menjadi sekadar
setting. Roh nomor dua adalah harus adanya unsur pengalaman dari penulis. Harus
ada informasi siapa yang melakukan perjalanan. Roh nomor tiga adalah harus
adanya unsur rasa maupun opini, juga sudut pandang personal. Rasa yang
dimaksudkan adalah adanya opini pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan. Dicontohkan,
pada zaman dahulu tulisan perjalanan memang jamak tidak ada pelaku di dalamnya.
Misalnya saja, Marcopolo. Namun kondisi itu sudah kurang mampu diterima lagi
pada zaman ini. Saat ini harus ada pelaku pada tulisan perjalanan tersebut.
Semua cerita perjalanan adalah cerita tentang kemanusiaan.
*Cerita adalah cara kita
berkomunikasi untuk menyampaikan pesan. Esensinya adalah pesan. Bukan bisa
dikatakan cerita ketika tak ada pesan di dalamnya. Dan esensi dari cerita atau
tulisan adalah narasi. Sedangkan cerita perjalanan bertujuan mengomunikasikan
pesan yang ingin disampaikan melalui perjalanan.
*Lalu, apa esensi dari
perjalanan? Perjalanan adalah kodrat hidup manusia. Orang-orang melakukan
perjalanan untuk kemudian kembali dan menceritakan tentang perjalanannya pada
orang lain (fantasi universal). Perjalanan bukan tentang tempat yang jauh,
maupun tempat eksotis yang belum pernah terjamah. Melainkan tentang bagaimana
kita mengenali diri kita sendiri. Kita bisa melakukan perjalanan di mana saja.
Bahkan di rumah sendiri sekalipun.
*Di luar negeri, travel writing
digunakan untuk menengok sejarah. Tulisan perjalanan penting untuk belajar
sejarah. Banyak tokoh-tokoh yang melakukan perjalanan dan menuliskannya, antara
lain : Marco Polo, Ibnu Batutah, Biksu Tong, dll. Perjalanan merupakan mimpi
semua orang. Tulisan perjalanan adalah perkara bagaimana mengemas fakta dalam
bentuk berita, agar mampu diterima semua orang. Hal itu menjadikan tulisan
perjalanan berkesan pada pembaca di waktu apapun. Tulisan perjalanan membantu
kita mengenal dunia dan diri sendiri. “Tempat
yang paling jauh bukan di ujung dunia, tapi ke dalam diri kita sendiri.”
“The misconception is that the travel book is about a country. It’s
really about the person who’s travelling.” – Paul Theroux
*Dari tulisan perjalanan, pembaca
harus bisa meraba karakter penulisnya. Hal itu bertolak dari tujuannya agar pembaca
harus merasa ikut melakukan perjalanan. Jika tidak, maka akan ada jarak. Tulisan
perjalanan yang baik hanya dapat dihasilkan oleh pejalan yang baik. Jika tidak,
teknik sebaik apapun akan percuma.
*Dalam menulis perjalanan, sudut pandang
yang segar/baru sangat berperan penting. Namun, kita seringkali dijebak oleh
rutinitas. Hal-hal yang terus berulang itu menjadi hal yang biasa. Mata kita tidak
akan melihat hal yang baru, juga sensitifitas yang sudah tereduksi. Oleh karena
itu, ada baiknya kita berpikir dari berbagai sudut pandang. Perlu ditekankan
bahwa tidak pernah ada sudut pandang yang salah. Maka, seorang
pejalan mesti bersifat terbuka.
*Perjalanan adalah travelling
with purpose. Tetapkan apa yang ingin disampaikan (pesan), komunikasi
(interview orang lain), observasi (rasa ingin tahu yang besar), juga riset.
*Bagi seorang Agustinus,
melakukan komunikasi dengan warga lokal sangat penting. Ia benar-benar merasa
sudah benar-benar berada di sebuah tempat ketika ia bisa tertawa dan menangis
dengan mereka.
*Observasi mesti dilakukan secara
detail.
*Jurnalis wajib melakukan riset.
Baik sebelum melakukan perjalanan, saat di perjalanan, sesudah perjalanan,
maupun saat menuliskannya. Singkatnya, riset harus tetap ada di setiap tahapan.
*Banyak orang yang melakukan
perjalanan untuk membuktikan informasi-informasi yang telah mereka dapatkan
sebelumnya. Namun, sesungguhnya perjalanan bukan untuk membuktikan hasil riset.
Karena selain informasi yang didapat belum tentu merupakan kebenaran, juga
menimbulkan prasangka yang membuat kita menutup mata pada hal lain. Oleh karena
itu, saat melakukan perjalanan, tinggalkanlah semua prasangka.
*Satu hal krusial lain dari
tulisan perjalanan adalah kejujuran. Yang dimaksud kejujuran dalam hal ini
adalah tidak boleh ada unsur fiksi sedikitpun. Hal itu mempertaruhkan hal besar
pada penulis : kredibilitas. Agustinus mencontohkan kasus yang terjadi pada
“Three Cups of Tea”, buku perjalanan mega bestseller yang bercerita tentang
seorang Amerika yang pergi ke Pakistan. Beberapa waktu setelah terbit, buku itu
terbukti bahwa terdapat banyak kebohongan di dalamnya melalui investigasi
seorang jurnalis. Hal itu memberikan pelajaran, bahwa jika ingin memasukkan
unsur fiksi, katakanlah itu sebagai fiksi. Namun jika tidak, harus 100% berupa tulisan
non fiksi.
*Tulisan perjalanan yang baik
juga harus melibatkan emosi. Hal itu menjadi penting karena sebuah tulisan
harus melibatkan pembaca. Emosi menjadi benang merahnya. “Eat, Pray, Love”
merupakan salah satu contoh tulisan yang berhasil menampilkan emosi yang
universal pada banyak orang. Buah dari hal itu adalah jumlah penjualan buku
yang bagus. Di sisi lain, kita harus berhati-hati dengan emosi. Karena hakikat
dari tulisan perjalanan adalah menyeimbangkan emosi dan fakta. Keduanya harus
diusahakan agar seimbang, dengan perpindahan yang halus.
“Menulis perjalanan adalah juga sebuah perjalanan.” – Agustinus
Wibowo
*Agustinus berkisah bahwa awalnya
ia berpikir bahwa perjalanannya akan cukup diceritakan melalui media foto,
karena adanya kedekatan antara fotografer dan objek. Kelamaan ternyata ia
merasa bahwa penyampaian lewat foto tidak sepenuhnya cukup. Maka ia memilih menyampaikan
juga melalui kata-kata, dan menjadi penulis.
Langkah Menulis :
1) Tentukan Tema. Tema adalah ide
besar yang mendasari cerita. Tidak berupa kalimat yang panjang. Maksimal satu
buah kalimat, bahkan satu kata. Tema besar tidak boleh bertele-tele, tentukan
tokoh (bukan selalu manusia, bisa berupa alam, kejadian, ketakutan, dsb).
2) Daftar Ide Pertanyaan
3) Strategi Penulisan. Contoh :
Alur, plot, dsb. Meskipun menulis cerita perjalanan yang bersifat non fiksi,
namun seorang jurnalis disarankan agar banyak membaca novel untuk mempelajari
bagaimana menulis kreatif. Demikian pula dengan penulis yang harus belajar
jurnalistik agar mampu menyampaikan fakta secara logis. Tersebut juga genre
‘Jurnalisme Sastrawi’ yang merupakan cara bagaimana memberikan jurnalisme
melalui cerita.
4) Menyusun kerangka. Salah satu
penyebab orang yang menulis di awal sangat semangat, kemudian di tengah proses
merasa bosan, kebanyakan karena mereka menulis tanpa kerangka.
5) Prinsip 5W+1H
*Tulisan perjalanan mengandalkan
detail, namun jangan sampai berlebih, hingga mengaburkan cerita anda. Juga
harus ada informasi dan konflik. Konflik adalah perbedaan pandangan yang
menyebabkan perselisihan tokoh. Selama ini sering terjadi kesalahan persepsi.
Konflik bukan pertengkaran, namun apa yang menjadi penyebab pertengkaran
tersebut.
*Resolusi dapat berupa penutup,
kesimpulan, pertanyaan, dsb.
*Struktur tulisan : Pembukaan,
Isi, Penutup. Pada pembukaan, jangan pernah bertele-tele. Paragraf pertama
harus menarik dan sudah langsung bisa dideteksi oleh pembaca apa yang ingin
diceritakan. Jangan pernah memulai tulisan dengan penggambaran cuaca, suasana,
bahkan informasi yang tidak penting.
Contoh tulisan dengan paragraf
pembuka yang bagus : “The New Mecca” – George Saunders.
*Cara paling baik untuk membuka
tulisan adalah dengan anekdot untuk memancing masalah yang lebih besar
selanjutnya. Jika anda membicarakan hal yang berat pada tulisan, jangan
letakkan itu di depan. Karena akan menyurutkan niat pembaca untuk membaca lebih
jauh.
*Dalam tulisan perjalanan, detail
adalah nyawa. Pada deskripsi, lakukan sistem “Show, Don’t Tell.” Ceritakan,
untuk membuat deskripsi lebih hidup.
*Dalam jurnalistik, haram
menyebutkan kata sifat. Contoh sebagai pembanding :
1. Kereta api ini sangat sesak.
2. Kereta api ini sangat sesak
sampai tidak ada tempat untuk lewat.
3. Kereta api ini sangat sesak
sampai saya terpaksa harus berdiri dengan satu kaki.
Contoh di atas menunjukkan
bagaimana mendeskripsikan kata ‘sesak’. Dalam deskripsi, gunakan panca inderamu, bawa pembaca ke dalam
suasana yang tergambar. Jangan memberi tahu pembaca, tapi deskripsikan.
*Dalam tulisan perjalanan
menggunakan kata sifat tidak haram, namun harus hati-hati. Karena tidak semua
hal harus dideskripsikan dengan detail. Jika cukup dijelaskan dengan kata
sifat, tidak apa-apa. Namun, pilihlah kata yang spesifik/detail, bukan generik.
Misal : Jangan hanya sebutkan “tinggi” namun jelaskan tinggi yang seperti apa.
Hal itu juga berlaku pada kata, seperti : cantik. Cantiknya seperti apa? Apa
dia elegan, artistik atau anggun. Juga berhati-hatilah pada kata ‘unik’ karena
unik berarti sama sekali tidak ada duanya. Apa kita yakin bahwa hal yang kita
beri label unik tersebut memang benar-benar tidak ada duanya? “Paling indah”
“Paling ramah” “Paling seru”, berhati-hatilah juga dengan kata “paling” harus
ada dasar yang kuat untuk itu. Apa kita sudah menyelidiki semua data, sehingga
berani memberi kata “paling”? Berhati-hatilah dengan generalisasi, stereotype,
dsb. Untuk memperkaya diri dengan itu, banyak gunakan kamus dan tesaurus untuk
mencari diksi yang cocok.
*Hal lain yang harus dihindari
adalah klise. Adanya hal yang klise membuat kualitas tulisan anda menurun.
Misalkan : “Matahari bersinar cerah” atau “Surga di bumi”, juga contoh lain
berupa deskripsi tempat dengan permata, zamrud dan harta karun.
*Creative writing bukan berarti
menulis tanpa aturan. Bukan pula ajang pamer diksi. Creative writing yang bagus
berarti tulisan yang mampu menyampaikan pesan.
*Kita tidak bisa menggunakan
pengalaman pribadi kita untuk menilai sebuah tempat.
*Narasi harus dibuat hidup.
Jangan hanya memberi data dan fakta. Caranya adalah dengan membuat dialog.
Perlu dicatat, dialog tidak sama dengan percakapan. Percakapan merupakan ucapan
sehari-hari yang dituliskan. Misal, masih ada kata-kata seperti “Dar!” “Klik”
“Wek” “Ngiik” dalam percakapan. Jangan gunakan kata-kata itu pada dialog
kecuali perlu sekali. Juga, jangan beri dialog yang tidak ada artinya. Saring
dialog anda, sampai menyisakan hanya yang benar-benar informatif. Contoh ada
pada Paul Theroux yang memiliki tulisan dengan dialog yang baik. Ia bisa
memberi gambaran, namun membiarkan pembaca yang menilai/berinterpretasi.
*Tulisan yang baik adalah tulisan
yang ketika dibaca berulang mampu menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda
setiap kali.
*Cara menghidupkan tulisan adalah
dengan menghidupkan adegan. Misalnya menceritakan kejadian perampokan tanpa
menyebutkan “perampokan”, namun menggunakan deskripsi keadaan perampokan
tersebut.
*Setelah menulis, biasakan
membaca ulang hasil tulisan. Tulisan yang bagus adalah tulisan yang enak dibaca
ulang, bukan tulisan yang monoton (jumlah kata sama, repetitif, bentuk kalimat
sama). Oleh karena itu, gunakan semua bentuk kalimat.
*Prinsip jurnalistik : “Less is
More”. Semakin ekonomis, semakin kuat tulisan anda. Mengutip pernyataan “Keep it simple, stupid (and short)”
*Berhati-hatilah dengan tulisan
yang panjang. Tantangannya adalah harus dinamis. Cerita harus bergerak dan ada
perpindahan.
*Sebuah tulisan mestinya harus
‘disedot lemak’ (membuang bagian-bagian yang kurang efektif dan tidak penting)
hingga hanya menyisakan sebuah tulisan yang sederhana dan indah.
*Jangan menjabarkan perasaan.
Biarkan pembaca yang merasakannya sendiri. Juga jangan berikan semua hal pada
pembaca. Karena mereka membutuhkan ruang untuk berimajinasi, berpikir dan
memberikan interpretasi. Karya sastra yang bagus adalah yang seperti itu. Yang
memberi ruang pada pembaca.
*Penulis perjalanan yang tidak
mendalami perjalanannya, akan hanya menulis tentang data. Namun yang mendalami
perjalanannya akan memberikan opini dan deksripsi yang menunjukkan bahwa sang
pejalan benar-benar berada di tempat yang diceritakan. Seorang penulis perjalanan tidak bisa tidak
melakukan perjalanan.
*Bagian penutup yang paling biasa
dipakai pada tulisan perjalanan adalah akhir dari perjalanan (secara kronologis).
Namun akan lebih menarik apabila dibuat sebuah penutup yang terbuka. Tidak ada
kesimpulan di sana, namun justru diberikan pada pembaca. Juga dapat dilakukan
teknik ‘penutup melingkar’ dengan memberi kata kunci yang sama pada pembuka dan
penutup, juga ada benang merah di antara keduanya.
Tips untuk memulai menulis
perjalanan :
*“Nothing is New” berlaku di dalam dunia penulisan. Yang membuat
tulisan berbeda adalah cara anda menyampaikan, juga sudut pandang yang berbeda.
*Seorang pejalan mesti
memanusiakan manusia. Perlakukan mereka sebagaimana anda ingin diperlakukan.
*Jangan pernah remehkan pembaca.
Sembilan puluh persen pembaca lebih pintar dari penulisnya. Cobalah untuk intropeksi
diri.
*Berbohong adalah sebuah dosa
besar. Hal itu tentu juga berlaku pada tulisan perjalanan yang memijak teguh
non fiksi. Kredibilitas anda dipertaruhkan.
*Jangan berhenti sebelum memulai.
*Tidak ada penulis yang langsung
menulis bagus. Semua ada proses tulis ulang. “The first draft of anything is
shit.” –
Hemingway.
*Banyaklah lakukan perjalanan,
banyak membaca, banyak menulis.
*Kedalaman adalah sesuatu yang
penting. Agustinus mencontohkan, pada Lonely Planet. Ia sudah tak mampu
bertahan karena tidak adanya kedalaman/opini. Misalkan sebuah buku terbit di
tahun ini, tahun depan sudah akan basi, karena semua orang mampu mencarinya di
internet.
*Travel writing adalah tentang
sudut pandang. Ada opini, namun berikan opini yang berdasar. Jika tidak dapat
menjadi stigma. Setiap pandangan kita harus ada dasarnya.
*Pembaca yang baik, bukan yang
kejar setoran. Tapi yang mempelajari apa yang dibacanya.
*Karena tulisan perjalanan adalah
tentang detail, seringkali banyak alat yang mampu membantu untuk menyimpan detail.
Misalkan kamera atau recorder. Namun, alat bantu yang paling penting jutsru
adalah kertas dan pulpen. Agustinus mencontohkan bahwa ia selalu mencatat
kejadian dalam buku harian. Ia memberi permisalan bahwa ia bisa menulis dengan
detail bagaimana aroma pada penggorengan di India. Sebegitu pentingnya buku
harian, maka ia lebih memilih kehilangan dompet daripada kehilangan buku
harian.
*Memulai tulisan perjalanannya
dengan menulis di blog memberi kesan yang berbeda dengan saat Agustinus menulis
buku. Buku harus punya tema besar yang kuat, berbeda dengan blog yang bersifat
‘lepas’.
*Perbedaan antara tulisan
perjalanan dan feature travel adalah pada tulisan perjalanan, terdapat cerita
dengan unsur personal penulis yang kuat. Sedangkan feature travel belum tentu
merupakan cerita perjalanan. Namun feature travel waktu ini sudah bergeser.
Tidak melulu membahas destinasi, namun juga memberi ikatan pada pembaca melalui
narasi. Karena unsur tulisan perjalan yang bagus adalah yang mengandung unsur
komunikasi.
*Bagaimana cara menyikapi
menempatkan sejarah pada tulisan, jika sejarah itu masih ‘buram’? Orang bercerita
adalah fakta. Kita melihat sudut pandang orang yang bercerita. Sudut pandang
orang-orang yang berbeda.
*Tulisan perjalanan memiliki
cakupan yang luas. Antropologi, budaya, science, memoar, linguistik, dsb. Oleh
karena itu penulis perjalanan harus kuat di observasi dan dialog. Karena dialog
sesungguhnya menunjukkan opini.