Pages

Saturday, June 28, 2014

Lost in Translation with Ade Kumalasari



Seluruh ruang terdiam ketika wanita itu membacakan contoh narasi suatu perjalanan bersama dengan anak-anaknya. Kalau saya tidak salah ingat, narasinya berkisah tentang matahari, tentang pantai dan anak-anak yang berlarian. Meski hanya beberapa kalimat, saya kemudian menutup mata dan membayangkan deskripsi suasana yang ia tampilkan pada tulisannya. Lebih dari setahun lalu di sebuah acara perbukuan, saya mengetahui wanita itu adalah Ade Kumalasari.

Lama tak berjumpa kembali, nama beliau terselip di antara obrolan tim Goodreads Sby baru-baru ini. Kemudian terpikir, selain buku-buku lokal, kami juga menggemari buku-buku terjemahan. Kami belum pernah mendengar secara langsung bagaimana cerita di balik profesi seorang penerjemah. Saya kemudian teringat mbak Ade dan mencoba menghubunginya. Mbak Ade sangat ramah menyambut keinginan kami yang memintanya berbagi.

Mendekati waktu yang telah ditentukan, mbak Ade datang dengan suami, dan kedua putrinya, #BigA dan #MediumA (sebutan untuk mereka yang kerap kali digunakan sang ibu di media sosial). Sementara #BigA sangat tekun dengan bacaannya, #MediumA sibuk dengan tabletnya. Kami mengobrol ringan sejenak sebelum akhirnya acara dimulai. Dari sesi perkenalan, kami mengetahui bahwa selain sebagai seorang ibu, Ade Kumala juga berprofesi sebagai seorang editor dan penerjemah lepas, penulis, serta travel worker dengan kisah-kisah perjalanan yang ia bagi di travelingprecils.com. Sempat tinggal di Sydney Australia selama 5,5 tahun untuk menemani sang suami menempuh pendidikan di sana, seorang Ade Kumala pernah bekerja di sebuah supermarket hingga menjadi dosen tamu di University of Sydney. Disamping itu, ia mulai merambah dunia penerjemahan antara tahun 2006-2012. Sebelumnya, di tahun 2005 ia terjun ke dunia teenlit dengan menerbitkan “I’m Somebody Else”. Baginya, teenlit merupakan jalan masuknya ke industri dunia perbukuan. Bicara tentang latar belakang pendidikan, Ade Kumala tak memiliki background bidang sastra, justru ia lulus dari jurusan Kimia MIPA UGM. Meski begitu, keaktifannya di penerbitan kampus membuat kemampuan menulisnya menjadi berkembang. Berangkat dari hal tersebut, ia mengatakan bahwa tak ada kualifikasi background tertentu untuk menjadi seorang penerjemah. Tentu saja hal itu mesti diimbangi dengan kesukaan dan ketekunan untuk membaca dan menulis.

Masuk ke bidang penerjemahan, Ade Kumala menjelaskan bahwa editor dan penerjemah memiliki hubungan yang erat. Salah satu kesamaan keduanya adalah kemampuan untuk membaca dengan cepat. Membaca dengan cepat berguna untuk memutuskan nasib naskah yang dikerjakan. Jika ditanya, dalam penerjemahan buku-buku Bahasa Inggris, apakah diperlukan kemampuan berbahasa Inggris yang sangat baik? Ia menjawab tidak juga. Dengan kemampuan Bahasa Inggris sedang dan mampu memahami bacaan, itu cukup. Terselip di antara obrolan, bagaimana kisah seorang Ade Kumala setelah kembali ke Indonesia cukup menarik. Di tahun 2012 ia sempat menganggur. Saat itu, seorang temannya yang bekerja di sebuah penerbitan di Jogjakarta menawarkannya untuk melakukan editing pada suatu naskah. Di awal karirnya menjadi editor, honor yang ia terima tentu tak bisa banyak. Namun kemampuannya mengedit naskah berkembang seiring berjalannya waktu, sampai akhirnya ia tak hanya mengedit, namun juga menerjemahkan. Naskah terjemahan pertama yang ia terima adalah naskah teenlit “Accidentally Fabulous” milik . Prosesnya pun tak mudah. Ade mesti menerima ujian percobaan di sepuluh halaman pertama. Meski menghasilkan begitu banyak catatan dari penerbit, namun akhirnya ia dipercaya sebagai seorang penerjemah. 

Sesuai dengan statusnya sebagai penerjemah lepas, disamping kesibukannya sebagai seorang ibu, ia menerjemahkan saat anak-anaknya berada di sekolah selama 4 hingga 6 jam kerja per hari. Dengan durasi kerja tersebut, sebuah buku rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan. Ade pun terang-terangan menyebut jumlah honor yang ia terima, 5 – 15 Rupiah per karakter. Masing-masing penerbit memiliki standar dan tarif penerjemahan yang berbeda. Menurut Ade, tarif editing adalah setengah dari tarif penerjemah, mengingat beban kerja yang juga menyesuaikan. Jika naskah yang dikerjakan lebih rumit, penerjemah atau editor lepas dapat melakukan nego dengan pihak penerbit. Tak begitu saja mulus, bagi Ade kesusahan di dalam menerjemahkan adalah jika suatu naskah asli menggunakan bahasa Slang, bukan bahasa baku. Ade mesti mencari padanan kata dengan berbagai cara. Mulai bertanya pada suami yang pernah tinggal di Inggris, mengecek kamus, hingga berselancar di internet. Selain itu, seorang penerjemah pun tak luput dari proses editing. Yang kerap kali diedit dalam naskah terjemahan bukan plot maupun kejanggalan cerita, namun permasalahan pada idiom, kalimat efektif, dan lain sebagainya. Editor bekerja dengan cepat. Ia tak perlu mengecek setiap paragraf, cukup ketika merasa ada yang aneh dalam sebuah naskah, ia baru mengeditnya.

Ade Kumala memaparkan tujuh hal penting dalam penerjemahan buku. Pertama, menerjemahkan adalah masalah menulis ulang. Kedua, sesuaikan gaya bahasa dengan target pembaca. Di poin ketiga ia mengatakan bahwa terjemahan harus luwes, jangan selalu letterlijk (harfiah). Kemudian, tidak perlu mengubah jalan cerita. Kelima, hati-hati terjebak pada idiom/frasa. Hal tersebut dapat diatasi dengan memperluas wawasan, menonton film ataupun membaca terjemahan. Poin nomor enam, seorang penerjemah mesti teliti. Keterburu-buruan seringkali menjadikan naskah berantakan. Kemampuan Ade yang juga seorang editor, menjadikannya seringkali mengedit naskah terjemahannya sendiri sebelum diserahkan pada editor naskah. Yang terakhir, kerahkan alat bantu. Baik komputer, internet, KBBI daring, Google Translate (bagi Ade, Google Translate membantunya untuk mematik ingatan dan menghaluskan bahasa karena adanya sinonim dari kata), Thesaurus, kamus idiom (thefreedictionary.com), kamus urban (urbandictionary.com), Google dan Wikipedia.

Mengakhiri sesinya, ia meminta audiens untuk menerjemahkan barang satu dua baris dari contoh buku yang ia terjemahkan. Hasilnya cukup baik. Namun, Ade memberikan saran dengan menggunakan kalimat efektif dan gaya bahasa yang tak terlalu baku. Ia pun menyarankan kepada audiens yang ingin menekuni profesi penerjemah untuk memperbanyak membaca buku berbahasa Inggris dan terjemahan, jika perlu membandingkan keduanya. Pun dengan rajin mencari ilmu dengan mengikuti kursus, seminar ataupun workshop, berlatih menerjemahkan, bergaul dengan orang-orang yang mendukung profesi, menawarkan diri ke penerbit dengan menulis surat dan memberi contoh terjemahan. 

Saya secara pribadi terkesan. Mbak Ade nampak mempersiapkan benar apa yang akan ia sampaikan melalui tampilan presentasi yang ia tunjukkan. Gaya bicaranya santai dan perlahan. Sesekali terselip humor diantara obrolannya. Menjadi seorang ibu, travel worker, sekaligus pekerja di industri perbukuan nampaknya tak menghalangi kegemarannya untuk berbagi ilmu. Ade Kumala mengajak kita tersesat di dunia penerjemahan. Siapapun boleh tersesat, asalkan memiliki kemampuan. Don’t you dare to lost in translation

“Translators have to prove to themselves as to others that they are in control of what they do; that they do not just translate well because they have a “flair” for translation, but rather because, like other professionals, they have made a conscious effort to understand various aspects of their work.” – Mona Baker.


Surabaya, 28 Juni 2014
Untuk Goodreads Indonesia,


Nabila Budayana




Goodreads Indonesia regional Surabaya

Lost in Translation : Menerjemahkan itu Menyenangkan

Pembicara : Ade Kumalasari
Moderator : Lalu Abdul Fatah
Tempat : Oost Koffie & Thee Surabaya
Hari, Tanggal : Sabtu, 21 Juni 2014
Waktu : 13.00 WIB