Pages

Thursday, April 23, 2015

Kamisan 7 Season 3 : Cerminan

Menatap riak air di gelas minuman selalu membuatnya bahagia. Diam-diam, ia sengaja berlama-lama menatapi isi gelas. Karenanya, ia begitu menggemari minuman panas. Selalu ada alasan baginya untuk berlama-lama menandaskan isinya dengan alasan menunggu dingin. Kali ini ia terkikik kecil. Gadis kecil samar-samar itu sangat menawan. Tak banyak bicara, namun juga tak menyimpan durja. Senyumnya cukup, semanis teh dengan sedikit gula.

***

Kali ini yang muncul seorang bocah nakal. Matanya nyalang, seringkali tak bersahabat. Beberapa waktu kemudian bocah itu sudah komat-kamit, bibirnya bergerak semakin cepat. Tanpa perlu menduga-duga, ia tahu bahwa itu bentuk amarah. Rasanya ia begitu mengenali bocah itu. Tak asing dan akrab saja.

***

Ia berpikir bahwa selamanya tak mungkin untuk selalu menatap ke dalam cangkir, berharap akan selalu ada sosok dan cerita. Ia ingin sesuatu yang lebih besar, lebih leluasa. Langkahnya pertama kali menjejak setapak yang baru, yang belum ia jajaki sebelumnya. Ia menguak keraguan dan ketakutan. Demi untuk satu hal : permukaan air yang besar.

***

Gadis itu tak pernah benar-benar mengerti tentang bagian dirinya yang selalu ia saksikan sendiri. Melalui permukaan-permukaan air minum di dalam gelas, bahkan danau yang besar. Ketika gambaran dirinya seutuhnya terbuka, ia tak pernah merasa gembira dan percaya.
Justru bertanya, "Bolehkah aku mengulang usia?"

Tuesday, April 21, 2015

Pertanyaan

Sahabat karibku adalah biru. Biru yang terkadang seukuran tubuhku, terkadang terlalu besar untuk kurangkul. Biru tak pernah pergi. Ia setia. Sesetia aku yang selalu mencintainya tanpa lelah. Namun, mengapa aku begitu mencintai biru? Alasan nomor satunya sederhana. Ia tidak pernah pergi.

***

Biru tak pernah menunjukkan ia merasa lapar. Ia hanya memandangiku ketika aku lahap menyantap bubur ayam hambar yang biasa di pagi hari, atau nasi campur dengan hanya seiris dua iris potongan daging dan sayuran tanpa bumbu.

"Kau tak ingin makan bersamaku?"
Ia bergeming.
Mungkin karena makananku tak pernah membuatnya berselera. Entah. Ia justru bertanya.
"Apa kau takut lapar?"


***

Tidak ada yang sanggup menghentikan amarahku kali ini. Gaung teriakanku mampu membuat siapapun menutup telinga. Aku hanya mampu membuat suara, menghentak-hentak, berguling, layaknya penari yang sedang kehilangan akal. Setiap kali memang melelahkan. Tapi ini satu-satunya jalan. Sayang, rasanya ini tak lengkap. Tak ada benda-benda yang mampu kuhancurkan. Yang berdenting merdu ketika menghantam lantai, dan berkeping indah menjadi serpih terkecil. Bukankah selalu ada kepuasan di diri manusia ketika mampu menghancurkan sesuatu? Menihilkan hasil ciptaan, entah karena kecemburuan atau ketidakmampuan. Bagaimana dengan menghancurkan diriku sendiri? Bukan ide yang buruk. Bisa kucoba lain kali.

Siapa yang mampu menghalangiku? Biru? Dia selalu mengafirmasi apapun yang kulakukan. Bukankah menyenangkan? Tapi bukan berarti ia alpa menanyakan. 

"Mengapa kau selalu marah begitu?" tanyanya suatu kali.
"Hei, apa kau pernah merasakan rasanya tak memiliki apapun, paling miskin dan paling bodoh?"
"Kau merasa miskin dan bodoh?"
"Kau sebut apa orang yang bahkan tak memiliki memori sepertiku?"
Biru hanya diam.

***

Perbincangan kami berlanjut tentang hal berbeda, suatu kali yang lain.  
"Hei, Biru. Apa yang kau takutkan di dunia ini?"
"Kau."
"Aku?"
"Kau yang suatu saat bisa pergi begitu saja,"
Biru sangat absurd. Jawaban macam apa itu. Permainan kuputarbalik. 
"Jika kau, apa yang membuatmu takut?"
"Tidak ada. Karena kurasa aku tak punya apa-apa. Ah, aku cuma punya kau," jawabku tanpa ragu. 
Biru terdiam kembali. Kuajak ia bernyanyi, ia bungkam. Kuajak ia bergulingan, ia tak menghiraukan. Tiba-tiba Biru kembali berucap, "Kau pembohong. Jangan-jangan kau hanya pengecut yang selalu khawatir tak memiliki rasa takut?"

Aku tak ambil peduli. Aku berlari, menatap, berteriak, membentur, menendang, menyakiti, menghantam. Biru memang selalu seperti itu. Seisi rumah sakit ini pun begitu. 

Kenalkan. Ia Biru, dinding di kepalaku. 


***

*Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #3

Thursday, April 9, 2015

Kamisan 6 Season 3 : Writer's Block

"Sepuluh menit. Cukup?"

Itu syaratnya ketika aku meminta untuk mengintip apa isi USB yang selalu ia kalungkan di dadanya. Aku mengangguk setuju. Antara antusias dan berdebar cemas. Mungkin ini adalah kesempatan pertama dan terakhir. Setelah itu, yang tersisa hanya sesal atau kegembiraan.

***

Kata takjub apa yang bisa kukeluarkan. USB-nya bukan berisi tumpukan folder atau file yang tercecer. Lebih dari itu, bunyi ombak dan embus angin di pantai terdengar. Ada seorang laki-laki di dalamnya. Aku merasakan percikan asin air laut. Pria itu sedang bekerja keras memotong senja dan menyesakkannya pada sepucuk kartu pos. File ini menyimpan senja. Lengkap dengan balada dan pemain serupa Sukab dan Alina.

***

Kemudian aku berpindah ke file berikutnya. Kalender yang menempel di suatu dinding nyatanya selalu basah. Apa yang menyebabkannya? Kuperhatikan dengan lekat. Kalender itu terbuka di lembar Juni. Seorang pria dengan topi pet di kepalanya menatap kalender itu, kemudian menulis puisi diiringi rintik hujan. Romansa dan suasana hujan menyentuhku begitu saja. Entah semerbak petrichor atau bunyi tetes hujan yang jatuh ke tanah. Rasanya aku ingin memandangi puas-puas punggung pria penyair itu. Pria yang membuat tabah, bijak dan arif Sang Hujan.

***

Kali ini aku tak bisa menahan rasa penasaran. Dua kali terpercik air dan menatap bayang senja, rasanya begitu ingin merasakan sensasi lainnya. Kali ini kupilih file yang nyaris keseluruhan iconnya dipenuhi tinta hitam yang menetes-netes kepenuhan. Tunggu. Aku salah lihat. Alih-alih hitam, itu merah kehitaman. Darah. Kubuka file itu dengan penuh debar. Pisau, seorang perempuan, dan anak laki-laki. Apa yang di....

"Namanya Radian" ia menarik pundakku, mengagetkan. 

Aku mendongak dan selama beberapa saat baru menyadari bahwa aku tak pernah benar-benar berada di pantai dengan senja, duduk di dekat pria penyair, ataupun menatap dari jauh ibu dan anak itu. Rasanya benar-benar dekat dan nyata. Sesaat, dadaku berdebar marah. Jika ia tak menarik pundakku, aku tentu masih berada di sana. Bertualang lebih jauh.  

"Izinkan aku kembali!" aku memohon.
"Kau yakin? Penyesalan tak diperbolehkan kali ini."

Decak tak sabarku sudah jelas mengindikasikan jawaban apa. Segera, ia izinkan aku kembali menyelam dalam USB-nya. Aku bersiap menyambut petualangan baru. Kupilih icon file yang tampak tak utuh, seperti bekas terbakar di ujungnya. Yang kulihat hanya lorong gelap dan pintu-pintu yang tertutup. Ia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum, yang herannya, terasa menakutkan.

"Ini setengah perjalanan dari kisah yang kutulis. Tak ada senja, hujan atau Radian."
"Mengapa hanya ada gelap?" aku bertanya sungguh-sungguh.
"Kisah ini terlalu lama menunggu pemeran utama untuk tinggal di dalamnya. Sayang aku sudah memutuskan berbeda."
"Apa keputusanmu?"
"Pemeran itu kita. Dan aku tak akan pernah mengakhiri kisah ini. Anggap saja writer's block."

Seringainya kali ini benar-benar menyeramkan.

***


Tuesday, April 7, 2015

Tukang Kayu dan Genting Kaca

"Sudah sejauh apa?"


Hari ini ulang tahunnya yang ke delapan puluh. Kursi goyang itu perlahan terus bergerak. Laki-laki dengan sweater abu itu menatap langit dari balik genting transparan lebar. Tak peduli siang atau malam, ia terus menatap genting kaca itu. Entah untuk menatap burung-burung pulang, atau langit yang sebegitu saja tak pernah memberinya jawaban.

*** 

Tiga Belas

Bagaimana jika ayunan di bawah pohon? Kau bisa menghabiskan siangmu dengan membaca buku, mengobrol denganku, dan bermain ayunan bersama. Aku akan mendorongmu, kau akan berayun di atasnya dengan gembira. Menikmati embus angin menerpa wajah, dan ayunan kencang yang membuat isi perutmu serasa terbang.

***

Dua Puluh Dua

Desain rumah untuk anjingmu sudah jadi. Bayangkan, di musim panas dan angin semilir, ketika kita bersama nanti, akan ada rumah besar dengan taman yang leluasa untuk anak-anak berlarian dengan anjing-anjing kesayangan.

***

Empat Puluh Delapan

Ini memang sedikit terlambat. Tapi akan ada saatnya kita akan mempunyai pondokan di hari tua nanti. Sebuah pondokan dari kayu mahoni di tepi pantai, dimana kita habiskan masa liburan bersama. Oh, coba bayangkan, kau bahkan bisa menyaksikan matahari terbenam di pantulan oranye air laut.

*** 


"Sudah sejauh apa aku mewujudkan keinginannya?" tanyanya sekali lagi.

Pemuda itu hanya diam. Ia tak tahu mesti berkata apa pada kawan tuanya. Mendengar kisah yang sama setiap hari cukup membuatnya bosan, namun kawan tuanya bukan hanya seorang tukang kayu. Ia juga seorang pencerita jagoan. Selalu ada yang baru dari kisah awal, layaknya bawang yang dikelupas kulitnya secara perlahan. Ini kisah tentang perjalanan seorang pria yang ingin membahagiakan wanitanya sepanjang hidupnya, dari tahun ke tahun. 

Sang pemuda tak sebegitu teganya untuk memberikan jawaban. Bukannya ingin diam. Ia bahkan tak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa kawan tuanya hanya mampu membangun pondokan kecil dengan genting kaca lebar. Sementara sang wanita memiliki hidupnya sendiri, tak pernah benar-benar bersamanya selama delapan puluh tahun ini.

Meski selalu dalam penantian, sesungguhnya pria tua itu bahkan tak pernah memulainya.




*Ditulis untuk sesi menulis dwi mingguan, Sisa Selasa #2

Sunday, April 5, 2015

Antara Bach Flower dan Cuma Satu Nama


“Aku dong, dapet prioritas.”

Bukan. Itu bukan kalimat saya. Kalimat itu milik seorang teman beberapa waktu lalu ketika kami bertemu di acara meet and greet Trinity di Surabaya. Kali itu, setelah acara usai, tim Bentang Pustaka mengingatkan audiens untuk mengikuti kompetisi review Gelombang, karena reviewer terbaik akan mendapat kesempatan mengikuti Dee’s Coaching Clinic di bulan Maret. Dimentori Dee? Rasanya tidak ada yang tidak ingin. Namun saya punya satu alasan lain : Ingin membuktikan pada si empunya kalimat bahwa saya akan terpilih dengan kemampuan saya sendiri. Dari lubuk hati terdalam, thanks to you, hei, si empunya kalimat, saya jadi ‘panas’ dan berhasil mengirim review di detik-detik akhir dengan gemilang. Ada kontribusimu di balik kesempatan saya ini. Meski hanya sekadar kalimat sesumbar dan wajah menyebalkan. Oh, percayalah pembaca, saya sungguh berterimakasih padanya. Kelak jika bertemu kembali, saya janji akan mentraktirnya seporsi - dua porsi diskusi obrolan dari Coaching Clinic ini, juga mungkin secangkir bully-an yang sudah biasa kami saling lontarkan.  

Seorang sahabat yang berbeda mengabarkan bahwa nama saya ada di salah satu daftar reviewer terpilih Dee’s Coaching Clinic. Saya sama sekali tidak menyangka. Tapi rasanya luar biasa. Terutama ketika melihat ada beberapa teman penulis lain yang juga terpilih. Ini menjadi menyenangkan bukan karena ucapan selamat kawan-kawan di media sosial, tapi karena bayangan ‘oleh-oleh ilmu’ yang akan bisa saya bawa pulang. “Cuma Satu Nama dan Bach Flower Remedies” tiba-tiba juga terbayang di kepala. Oh, maaf, ini tentang sisi Dee yang lain.

***

Short boots dan tentengan tote bag penuh buku karya Dee di antara khalayak yang sedang ber-car free day di depan lokasi Coaching Clinic mungkin membuat saya terlihat absurd. Ketika peserta sudah mengambil tempat, sesaat suasana di aula perpustakaan Bank Indonesia dibayangi rasa antusias menyambut Sang Penulis. Benar, begitu Dee melangkah masuk, seluruh peserta tersergap aura penulis hingga terdiam. Dee tampil dengan chic. Skinny jeans hitam, gray stripes cardigan membuatnya ringkas namun smart. Ah, namun saya naksir berat dengan black platform pump shoes yang dikenakannya. Dee tampil memikat dengan pembawaan diri dan isi kepalanya. Nyaris setiap kata yang diucapkan Dee berarti. Tak membuang waktu dan ruang sia-sia, sama seperti tulisannya.





Dee mengungkap alasan mengapa ia bekerjasama dengan Bentang untuk mengadakan Coaching Clinic ini. Karena di dunia perbukuan Indonesia saat ini, buku tentang teknik menulis sangat sedikit. Penulis buku teknik menulis semestinya adalah orang yang sudah pernah merasakan asam-garam di dunia menulis. Namun, itu saja belum cukup. Yang terpenting, ia harus tahu apa yang dibutuhkan oleh pembaca yang memerlukan teknik menulisnya.

Berangkat dari hal itu, peserta Coaching Clinic diharapkan dapat mengetahui dan belajar langsung dari orang yang mengetahui tentang dunia menulis. Tak heran, materi Coaching Clinic ini berdasarkan pengalaman yang dimilikinya selama ini. Agar kesempatan besar dengan waktu yang sempit ini dapat benar-benar bermanfaat secara maksimal, Dee dan Bentang Pustaka menjaring peserta dengan kompetisi review “Gelombang”, serial terbaru Supernova. Dengan begitu, audiens dapat tepat sasaran, dipenuhi oleh orang yang memang memiliki keseriusan dengan dunia menulis. Sebelum workshop dimulai, Dee menyarankan pada peserta untuk bersikap egois. Dalam hal ini, egois berarti memanfaatkan dan menghargai kesempatan Coaching Clinic dengan sebaik-baiknya. Terbukti, hingga akhir, Coaching Clinic ini ibarat makanan bergizi dengan porsi besar. Padat, bermanfaat, dan terlalu sayang untuk disia-siakan, bahkan hingga ke remahnya.

Bicara tentang teknik menulis, Dee tidak pernah memulai karir menulisnya dengan pendidikan sastra formal. Ia mulai sebagai pembelajar otodidak, berkembang berdasarkan pengalaman. Terkadang ada kesulitan baginya untuk menerjemahkan apa yang ia alami dalam proses menulis ke dalam bentuk teori. Meski begitu, Dee berprinsip “Di atas langit masih ada langit” dimana ia masih merasa harus terus belajar dan mengembangkan kemampuan. Tak heran, seorang Dee bahkan masih kursus menulis online hingga saat ini.

Saya merasakan keseriusan dan ketulusan Dee dalam mengisi Coaching Clinic ini. Agar efektif, ia ingin mengetahui sejauh mana kemampuan menulis peserta. Oleh karenanya, Coaching Clinic ini langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kami ajukan sebelumnya melalui e-mail. Ia memilah dan mengelompokkan pertanyaan. Di antara kesibukannya, rasanya ia ingin benar-benar membagikan apa yang ia bisa. Kesungguhan itu juga tergambar ketika telepon selular seorang peserta berbunyi, dengan tegas dan kata ‘please’, Dee menegur peserta tersebut untuk mematikan dering teleponnya.

Dee memilih untuk selalu berpijak pada pengalaman menulisnya, karena pendekatan tersebut adalah cara paling praktis. Layaknya novel dengan bab-bab, Dee merangkum pertanyaan-pertanyaan seperti cara mempertahankan konsistensi plot cerita, cara menulis tanpa terjebak keinginan untuk mengedit, apakah penulis harus memiliki alter ego dan cara menghindari rasa malas dalam satu chapter :


Ego, Fokus, Deadline.

Dalam perjalanan karirnya, Dee seringkali ditanya tentang bagaimana cara menulis cerita yang berbeda, lain daripada yang lain. Jawabannya : Tidak Bisa! Alasannya, semua manusia memiliki rasa yang universal dan tidak ada yang istimewa darinya. Keinginan untuk menjadi berbeda justru berpotensi menjadi beban.

Dee mengatakan bahwa kami harus kembali ke pertanyaan mendasar milik salah satu peserta, Dheril :

Bagaimana cara berpikir kreatif?

Orang yang kurang kreatif biasanya hanya fokus pada dirinya. Oleh karena itu, kita mesti meluaskan pandangan. Contoh stimulus berpikir kreatif, misalnya saja ketika diminta untuk membuat cerita namun dengan tantangan, “Bagaimana seandainya kita menjadi seekor cicak?” Hal itu memaksa kita untuk berpikir kreatif dengan melihat sesuatu di luar diri kita.

"Berpikir kreatif adalah tentang bagaimana memperluas medan kesadaran kita. Expanding our awareness."

Dee mencontohkan bagaimana membuat cerita dari spidol di genggamannya : Spidol, hidupnya hanya sebatas tinta. Begitu tinta habis, hidupnya usai. Bahkan sebuah benda mati pun mampu menjadi tokoh dalam cerita. Ia kembali mengambil contoh tentang pengalamannya sebelum memasuki ruang Coaching Clinic Surabaya. Sekembalinya dari toilet, ia melihat pajangan ulir-ulir dari besi. Yang terpikirkan dalam kepalanya : bagaimana perajin ulir tersebut mampu membuatnya sedemikian detail, bahkan ketika peralatan canggih belum dibuat. Dee selalu mencoba melihat segala sesuatu dengan perspektif yang berbeda. Penulis memiliki dua ‘mode’ penglihatan. Penglihatan sehari-hari yang kita gunakan untuk bekerja, memasak, ke pasar, dsb. Mode lainnya untuk mengamati dan menganalisa sebagai bekal untuk menulis. Penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Observasi menjadi modal utama. Ide-ide yang didapatkan dari hasil observasi kemudian dapat dimasukkan dalam celengan ide yang dapat dibentuk menjadi cerita kapan saja. Lebih baik tidak menghapus ide saat belum dibutuhkan. Suatu saat, ide tersebut akan berguna.

Berpikir kreatif erat dengan memperluas pengamatan dan kesadaran. Segalanya menjadi unik di mata penulis. Memaksakan menjadi berbeda merupakan hal yang nyaris mustahil, yang justru akan menjadi beban penulis. Setiap manusia unik, setiap penulis memiliki unique voice. Unique Voice tersebut tersimpan begitu dalam di diri penulis. Seperti permata, ia harus digali dengan begitu dalam. Berlatih menulis adalah tentang bagaimana menggali, mengeluarkan permata tersebut, mencari suara unik kita masing-masing. Ketika kita telah meyakini konsep tersebut, kita tak perlu lagi pusing tentang naskah kita. Apakah orang lain akan menyukainya, apakah penerbit akan meloloskannya, dan sebagainya.
Dee menegaskan :

TULIS SAJA!

Meski begitu, menulis memerlukan bekal. Menulis adalah masalah mengkonkretkan yang abstrak. Oleh karena itu, penulis mesti memiliki cita-cita yang konkret. Penulis apa, dengan target apa. Buku macam apa yang disukai dan tema apa yang menciptakan greget. Penulis pun perlu memiliki peta tujuan agar tidak takut dan bimbang. Mengubah sesuatu yang abstrak dan diawang-awang menjadi sesuatu yang bisa diukur.

“Please, punya cita-cita yang konkret!”

Karena yang konkret akan membumikan yang abstrak.



Awalnya, seorang Dee tidak ingin menjadi penulis. Namun ia selalu berkhayal buku yang ditulisnya dapat ada di toko buku. Di waktu awal menulis hingga remaja, ia menulis cerita anak karena banyak dipengaruhi oleh penulis kenamaan Enid Blyton. Kemudian karirnya berlanjut dengan menulis cerpen untuk majalah-majalah. Sayangnya, Dee mengalami penolakan. Saat itu, ia mempunya dua pilihan :  putus asa dan merasa tidak berbakat, atau beranggapan bahwa tulisannya belum berjodoh dengan majalah tersebut. Seperti yang kita tahu, jika saat itu Dee memilih opsi pertama, tak akan ada seri Supernova di hadapan kita saat ini. Di Bulan September tahun 2000, Dee menyelesaikan Supernova : Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Demi menghadiahi diri sendiri di ulang tahun ke-25, Dee meminta sebuah percetakan untuk mencetaknya sebanyak 5000 copy. Belum habis buku-buku tersebut, Dee kembali mencetak 2000 copy. Di luar dugaan, ke 7000 copy buku tersebut terjual dalam waktu 14 hari, meski Dee tetap harus menunggu pundi-pundi hasil penjualan karena toko buku baru membayarkannya setelah 3 bulan. Saat itu, penulis masih dianggap profesi ‘miskin’. Ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang penulis mesti bergabung di IKJ, atau kurus kering tanpa daya tarik. Profesi penulis belum diterima sebaik saat ini di masyarakat. Dee murni hanya ingin memiliki bukunya sendiri, bukan menjadi seorang penulis. Ketika datang pertanyaan “Mengapa menulis Supernova?” Dee merasa bahwa tema Supernova adalah tema favoritnya. Diantaranya membahas spiritualitas dan science. Karena memiliki renjana terhadap hal tersebut, Dee menyusun ceritanya. Oleh karena itu, penting untuk mencari tema yang paling greget, yang paling bisa menimbulkan emosi. Kemudian, tuliskan buku yang paling ingin kita baca. Hal itu merupakan sikap jujur terhadap diri sendiri. Karena pasar akan selalu berganti. Dee mencontohkan tentang mengapa Perahu Kertas (yang banyak dianggap terlalu ringan) ditulis? Karena Dee ingin membaca kisah cinta berliku ala cerber di majalah seperti favoritnya dahulu.

“Yang jadi patokan adalah diri sendiri!”

Hal tersebut berarti hal primer yang patut kita perhatikan adalah diri sendiri. Bukan faktor di luar itu.

Lantas apa saja modal yang dibutuhkan seorang penulis?
Dee menjawabnya dalam 4 poin :

       1.       Berpikir Kreatif
       2.       Tekun Berlatih
                   Menulis adalah masalah otot (kebiasaan)
       3.       Tahu buku apa yang ingin dituliskan
                   Buku yang pengin kita baca banget
       4.       Punya Deadline
            Deadline penting untuk diri kita sendiri. Bagaikan ketika kita mulai perjalanan dengan menaiki kereta, ketika kita sudah duduk tenang di dalam kereta dan siap berangkat, peluit tanda berangkat adalah deadline kita.

“Jadikan deadline sebagai alat, bukan tujuan.”

Bagaimana cara membuat deadline?
       1.       Tahu apa yang ditulis
       2.       Tentukan jumlah kata dan estimasi waktu

Seorang Dee pun sering merasakan malas dalam menulis. Namun, selalu ada target dan niat awal. Target tersebut mesti konkret agar bisa dihitung. Jangan terlalu memitoskan proses kreatif, seperti menunggu waktu ideal, dsb. Masing-masing kita harus mempunyai disiplin terhadap diri sendiri. Dalam berkarya, Dee memiliki waktu yang tetap antar karya. Produktifitasnya terjaga dengan rata-rata mengeluarkan karya setiap 1,5 tahun, dengan estimasi menulis 2 halaman sehari.

“Ade Rai tidak kekar dalam semalam.”

Dee terkenang ketika dirinya melihat foto Ade Rai saat belum sekekar saat ini. Belajar dari Ade Rai, menulis adalah hal yang sama. Menulis adalah sebuah proses yang panjang dan bertahap. Carilah tempat ‘gym’ yang paling nyaman untuk menulis. Entah diary, blog atau lainnya.

Belajar secara otodidak, Dee menemukan teori dari teknik yang ia lakukan/alami ketika salah satu bukunya dibedah oleh sastrawan Budi Darma di Surabaya. Benang merah antara karya-karya Dee menurut beliau adalah tentang proses pencarian jati diri. Manusia yang mencari ‘rumah’, ‘asal’ mereka. Itu adalah ‘gatal’ milik Dee yang selalu ia ajukan dalam setiap karya-karyanya. Lantas, bagaimana bisa ‘gatal’? Setiap penulis harus mencarinya sendiri dengan mengetahui apa yang akan ‘digali’ dan tujuan kita. Ide bisa datang dari mana saja. Berkembang dan lahirnya ide menjadi sebuah cerita memerlukan deadline. Begitu mempunyai deadline, kita bukan lagi penunggu pasif yang tersesat. Kita adalah penulis yang punya tujuan dan perhitungan.

“Pikiran manusia serupa parabola yang kehujanan sinyal.”

Berbagai hal masuk ke dalam kepala kita setiap saat. Kita mesti menyaring dan mencari noise-nya. Begitulah ide bisa muncul.

Dee juga membagikan beberapa tips lain dalam mendapat, memilih dan mengembangkan ide :
       1.       Personifikasi ide
       2.       Berteman dengan ide
       3.       Celengan ide

Anggaplah ide seperti teman. Dapatkan, dan catat ide tersebut. Namun, jangan buru-buru dituliskan. Berilah ia perhatian, kenali dan gali ia kembali. Ketika memang belum saatnya ia dituliskan, katakan padanya bahwa ia harus menunggu. Bicara ide, Dee nyaris tak pernah membuang apapun dari celengan idenya. Jangan pernah menutup potensi ide cerita. Simpan ide tersebut.


RISET

Dee mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan ini ke dalam bagian riset :
Tentang bagaimana mempercayai sumber riset dan bagaimana menggambarkan riset tentang tempat yang belum dikenal. Caranya :

       1.       Riset pustaka dan film
       2.       Riset internet
       3.       Wawancara
       4.       Datang ke lokasi langsung

Sebagai gambaran, untuk keperluan riset tulisannya, Dee memiliki Lonely Planet semua negara ASEAN. Ketika ia tak bisa datang langsung ke negara yang dimaksud, ia rajin nongkrong di kantor sekertariat ASEAN di Jakarta untuk riset mengenai Laos dan Vietnam, misalnya. Ia pun rajin bertanya pada pegawai yang merupakan warga negara tersebut demi kroscek tentang hasil riset.

Verisimilitude adalah suatu hal yang membuat cerita fiksi terasa nyata. Selain riset, yang juga perlu diperhatikan adalah tentang penggunaan pancaindra untuk membangun adegan di dalam cerita. Kerap kali indra penglihatan lah yang digunakan oleh mayoritas penulis. Padahal, justru indra penciuman lah yang paling kuat di otak manusia. Setiap mendapat aroma dari suatu hal dan berpotensi untuk kita gunakan dalam tulisan, masukkan ke dalam celengan ide.

Dalam membangun adegan, bagaimana cara menggabungkan fakta dan fiksi? Dalam kasus ini, Dee mencontohkan Kopi Tiwus dan Bukit Jambul yang terasa begitu nyata dan ada dalam serial Supernova. Banyak pembaca yang mengira bahwa keduanya benar-benar ada, padahal sesungguhnya keduanya adalah rekaan dari Dee. Ia mengaku bahwa tips untuk melakukannya adalah dengan menggabungkan fiksi dan fakta. Fiksi dengan sedikit fakta akan membuat verisimilitude meningkat. Kita bisa mempermainkan kadar kepercayaan pembaca dengan porsi fakta.

“Fungsi riset adalah menguatkan fiksi.”

Namun, tidak semua hal yang kita dapatkan dari riset harus seutuhnya masuk ke dalam kisah yang kita tulis. Perhatikan apakah ada tujuan dari detail yang dimasukkan? Apakah itu membangun cerita? Jangan paksa pembaca untuk menelan kisah dengan terlalu detail, agar pembaca punya ruang untuk imajinasinya. Dee mencontohkan detail sederhana : dengan ‘suara berat dan wajah persegi’, pembaca sudah mempunyai cukup ruang untuk menduga bagaimana tokoh yang ditampilkan. So, you don’t have to describe the other, kata Dee. Pembaca yang memiliki ruang untuk berimajinasi, memiliki ikatan dengan cerita. Bicara tentang tempo cerita, terlalu panjang narasi, cerita akan melambat. Dengan dialog, tempo akan lebih cepat. Penggunaan keduanya, memang semestinya harus seimbang dalam cerita.


PEMETAAN

Tidak semua karya butuh pemetaan. Misalnya saja puisi. Puisi adalah karya dengan teritori penulis secara penuh. Sehingga bersifat ‘bebas’. Sementara cerpen, bisa menggunakan pemetaan, bisa tidak. Novel dengan kuantitas kata yang besar, misalnya 20.000 kata ke atas, sebaiknya menggunakan pemetaan agar tak kehabisan napas. Dalam pemetaannya, novel dibagi menjadi ‘pulau awal’ dan ‘pulau tujuan’. Di antara jarak awal dan tujuan terdapat ‘pulau-pulau transisi’ yang menjadi tahap-tahap cerita. Sehingga dalam menulis tidak terjadi ‘hilang arah’, karena tahap cerita tercatat.

Karena sangat umum digunakan, Dee menghimbau penulis fiksi untuk memahami struktur ‘3 babak’ dengan komposisi berikut :



Drama 3 Babak


Dalam menulis Intelegensi Embun Pagi, Dee bahkan membuat 4 karton besar (babak 1, 2A, 2B dan 3) dimana masing-masing berisi post it berbagai warna dengan masing-masing bertuliskan satuan terkecil dari cerita : adegan. Adegan tersebut dapat dengan leluasa Dee acak dan pindahkan. Babak kedua dibagi menjadi dua bagian agar terpetakan dengan lebih jelas, karena akan terlalu panjang. Dengan begitu, Dee dapat melihat garis besar penggambaran ceritanya dengan jelas.
·         Babak I berisi perkenalan tokoh dan setting
·         Babak II A menceritakan ketika tokoh terlempar dari zona nyamannya. Tokoh mulai mengalami kehidupan ‘yang tidak seharusnya’. Di sinilah terjadi konflik yang mulai memuncak
·         Babak II B, tokoh mulai ragu akan keputusannya. Konflik mencapai puncak, memanas dan segala macam hal yang bersifat sangat emosional terjadi di sini
·         Babak III merupakan penyelesaian. Jangan memunculkan pertanyaan baru di babak ini, kecuali ingin membentuk cerita ke dalam serial. Seluruh pertanyaan di babak sebelumnya mesti terjawab di sini

Untuk membuat cerita yang menarik, karakter harus menjerit-jerit minta ampun akan apa yang dihadapinya. Tugas kita adalah meyakinkan karakter menemukan yang dia inginkan. Cerita mengalir karena sequence-nya tepat : sebab – akibat. Bukan akibat- sebab. Mudahnya, dicontohkan Dee dalam kalimat :
“Bodhi berteriak karena kesandung” à kalimat ini kurang tepat karena menggunakan konsep akibat – sebab.
“Karena kakinya tersandung, Bodhi berteriak” à kalimat ini tepat karena menggunakan konsep sebab – akibat.

Teknik ‘ciprat-ciprat’ adalah teknik yang kerap digunakan Dee untuk menulis. Dimana ketika awal adalah A, tujuan adalah C, pertengahan adalah B. Ketika ia mengalami hambatan untuk menulis B, Dee akan mengerjakan C terlebih dahulu. Ketika C sudah selesai, B otomatis akan terlihat. Untuk menulis cerita yang mengalir, selalu dikontrol oleh tempo. Untuk menjadikan tulisan bertempo cepat, gunakan adegan dan dialog. Ketika ingin memperlambat, gunakan narasi. Namun ada baiknya penggunaan keduanya seimbang. Jika terus menerus memberikan narasi, pembaca ibarat masuk ke dalam ruang besar tanpa jendela, ia merasa sesak. Jadi berikan dialog untuk ‘memperlonggar’.

Lalu, bagaimana cara menciptakan karakter yang unik? Dan bagimana pula menciptakan karakter pendukung yang kuat? Dee menjawab bahwa tidak perlu ada character driven (karakter menyetir cerita). Kita memiliki kontrol penuh terhadap cerita. Karakter adalah kuli dari cerita. Untuk menciptakan karakter yang unik, buatlah tokoh yang mirip dengan keseharian manusia, namun mempunyai kemampuan spesial. Karakter yang hidup memiliki :

·         Habit/kebiasaan
Tujuannya agar memiliki kedekatan dengan pembaca
·         Keistimewaan
Membuat pembaca merasa suka / mengidolakan 
·         Kelemahan
Agar tidak terlalu sempurna, layaknya manusia biasa
·         Beraksi
Karakter bukan korban keadaan. Seperti Keenan yang memutuskan jalan hidupnya sendiri dalam Perahu Kertas.

“Kenali karaktermu dengan baik!”

Ada tip andalan dari Dee agar karakter kita memikat pembaca. Buatlah ia menjadi karakter yang berkorban. Karakter yang punya pengorbanan selalu berhasil menumbuhkan simpati dari pembaca.



Seusai materi, Dee membuka sesi pertanyaan bebas terhadap peserta :

Mengapa ia tidak menjawab hal-hal yang bersifat pribadi dari peserta? Dee menjawab bahwa hal itu agak kurang sesuai dengan tujuan Coaching Clinic. Ia telah merangkum semua pertanyaan pribadi dirinya di www.dee-interview.blogspot.com

Dee beralih untuk bicara tentang editor. Bagi Dee, editor berfungsi sebagai penyelaras bahasa. Masing-masing penerbit memilliki aturan tersendiri. Misalnya seluruh buku yang diterbitkan penerbit X memiliki aturan bahwa setiap penulisan judul harus ditulis miring. Selain sebagai penyelaras bahasa, editor juga turut mengecek dan menyelaraskan fakta. Editor tidak akan mengubah hal penting seperti gaya bahasa dan cerita sebelum berdiskusi dengan penulis.

Seseorang menanyakan, apakah ada makna tertentu di balik pemilihan cover dengan background hitam dan simbol tertentu dalam serial Supernova? Dee mengatakan bahwa ada kesinambungan satu sama lain antara simbol-simbol tersebut. Dan, Dee pun sekaligus menjelaskan tentang cetak ulang Supernova yang menjadi bentuk kecil. Ungkapnya, ide mencetak dengan ukuran lebih kecil tersebut datang dari Mas Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, untuk mengembalikan tren buku tahun 80-an. Selain itu merupakan trik marketing, dimana buku yang dicetak dengan kemasan baru akan diletakkan kembali di rak-rak terdepan toko buku.

Bagaimana Dee mampu membuat karya yang dapat diangkat menjadi film? Dee mengatakan bahwa jangan jadikan karyamu sebagai beban. Poin utama dari penulis adalah membuat cerita yang bagus dan menarik. Penulis tidak lagi bisa menjadi Tuhan untuk filmnya. Ada hak adaptasi yang dimiliki oleh pekerja film. Hal itu tentu sangat berbeda dengan ‘hak untuk mengangkat mentah-mentah isi film’. Apakah penulis memiliki hak untuk ‘mengontrol cerita dalam film’? Hal itu sangat bergantung pada perjanjian/kontrak yang telah disepakati. Film sangat berbeda dengan buku. Film adalah hasil kerja kolektif, karena melibatkan banyak orang. Jadi, tak heran film adaptasi kebanyakan terdapat perbedaan dengan bukunya.

Lantas, bagaimana Dee membangun sisi humor dalam tulisan-tulisannya? Humor sangat dipengaruhi selera. Dee selalu mencoba humor yang ditulisnya sendiri. Minimal, dirinya sendiri mampu tertawa karena humor tersebut. Setidaknya emosi dan energi dapat sampai ke diri kita sendiri. Ia mengatakan bahwa komedian banyak menggunakan absurditas sebagai pematik humor. Ia mencontohkan Raditya Dika dengan berbagai hal absurd yang ia ceritakan.

Bagaimana saran Dee untuk penulis yang ingin ‘menembus’ penerbit? Dee mengakui bahwa ini salah satu kelemahannya untuk menjawab. Karena ia memulai karir menulisnya bukan dari menawarkan pada penerbit, namun melalui jalur self publishing. Ketika respon dari buku yang diterbitkannya bagus, barulah berbagai penerbit datang untuk menawarkan diri.

Dee beranggapan bahwa tulisan itu bukan masalah jelek atau bagus. Tulisan adalah masalah suka atau tidak suka. Dee mengatakan bahwa karya-karya yang ditulisnya pun kerap mengalami kritik. Misalnya saja, beberapa orang yang menyebut karya-karya Dee sebagai ‘sastra ambang’. Menurut Dee, ‘gap’ antara ‘sastra’ dan ‘bukan sastra’ dijembatani Ayu Utami di tahun 1998 ketika ia mengeluarkan karyanya. Saat ini, penulis muda yang memutuskan untuk ‘menyeberang’ ke ranah ‘sastra’ jauh lebih sedikit. Dee pun mengenang tentang ungkapan Arswendo Atmowiloto ini, “Hati-hati dengan sesuatu yang trendy, biasanya umurnya pendek.”

Dalam suka-dukanya menjadi seorang juri kompetisi menulis, Dee selalu memperhatikan hal-hal berikut :

·         Kerapihan
Entah spasi atau ejaan
·         Halaman atau paragraf pertama
Mulailah cerita dari beberapa kalimat sebelum konflik. Sehingga pembaca merasa memiliki urgensi untuk terus membaca kelanjutan kisahnya

·         “Fiksi adalah membuat realitas yang tidak biasa. Fiksi membuang yang sifatnya ordinary.” 

Penulis bertugas mengubah wujud yang tidak terlihat menjadi detail.

Pertanyaan lain, apa syarat dari Dee untuk memberikan endorsement?
              *    Buku yang dikomentari sudah pasti akan diterbitkan
       *    Ada ketertarikan Dee pada genre-nya


Hambatan terbesar Dee dalam menulis adalah rasa malas. Terutama transisi ketika memiliki anak. Setelah memiliki anak, ia harus menyesuaikan banyak hal,sehingga menjadi tantangan tersendiri baginya. Misalnya Dee yang telah terbiasa untuk menulis di malam hingga pagi hari. Ketika memiliki anak, ia tak lagi menemukan waktu yang sama. Pada akhirnya ia pun meyakini bahwa siang dan malam memiliki ‘hantu’nya sendiri. Dengan mengakrabi hantu tersebut, tak ada alasan baginya untuk menunggu waktu yang selalu sama. Menulis adalah masalah disiplin.

“Hambatan terbesar menulis : jerat personal tentang mitos menulis.”

Mengapa Dee berani mengangkat tema spiritualitas dalam karya-karyanya? Ketertarikan Dee pada bidang spiritualitas berawal dari ibunya yang begitu lurus dalam memeluk agama. Ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri Dee tentang hal tersebut sepeninggal sang ibu. Di keseharian kita, juga banyak terjadi konflik agama. Dee selalu bertanya-tanya, mengapa orang bertikai karena masalah agama yang notabene adalah tentang Tuhan. Supernova adalah ledakan Dee atas semua pertanyaan tersebut.

Tips dalam menemukan judul cerita? Dalam memilih judul, Dee menyarankan kita untuk menggunakan intuisi. Akan ada kata-kata yang berulang-ulang di kepala tentang cerita yang kita tulis. Sebelum mem-publish cerita, perhatikan judul baik-baik. Usahakan konsisten dan sejiwa dengan cerita.

Apakah seorang penulis harus selalu bergabung dengan komunitas? Dee menjawab bahwa komunitas bagai pisau bermata dua. Kadang kita merasa sempit karena merasa bahwa karya kita merasa cukup dengan memuaskan komunitas. Meski, komunitas juga sering mendukung dengan lingkungan satu visi. Sesungguhnya kita menulis untuk diri sendiri. Penghargaan seperti best seller dan lainnya jangan jadikan tujuan utama. Menulislah untuk diri kita sendiri. Karya yang jadi adalah hadiah terbesar.

“Tujuan menulis adalah untuk menggali ke dalam diri kita sendiri.” 

Ditanya tentang mengapa seorang Dee masih begitu membumi? Ia menjawab dengan diplomatis, bahwa ia merasa masih harus terus belajar, di atas langit masih ada langit. Kedua, Dee selalu menulis untuk dirinya sendiri, bukan karena orang lain. Pujian dan kritik bernilai sama untuknya. Setelah bertahun-tahun menghasilkan karya, Dee menyimpulkan bahwa kritik dan pujian berjumlah sama. 50-50. Terlalu mendengarkan keduanya dapat berdampak kurang baik untuk penulis. Untuk apa sesuatu yang tidak memberi manfaat untuk kepenulisan? Wajar saja memasukkan respon pembaca ke dalam hati, mengingat karya tersebut kita lahirkan dengan susah payah. Namun, kita tidak bisa membuat semua orang senang. Faktor eksternal hanya bonus baginya. Menulis menjadi karir yang penting bagi Dee karena menulis secara profesional adalah suatu hal yang benar-benar ia perjuangkan sendiri.

“Dunia ini adalah dualitas. Hitam-putih. Yin-yang.”

***

Seusai materi, kami tentunya diberi kesempatan untuk book signing dan foto bersama. Pada saat Dee membuka cover Gelombang milik saya untuk ditandatangan, disitulah saya merasa bahwa kesempatan ini adalah satuan terkecil cerita Tuhan untuk saya. Bagaimana tidak? Gelombang milik saya adalah hadiah dari Mbak Ade Kumalasari : editor dan translator Bentang Pustaka, juga mommy kece dari remaja luar biasa yang seminggu sekali saya ajak untuk bermain musik. Jika ia tak memberikannya untuk saya, mungkin saya tak akan mampu menyusun review tepat waktu, dan tak akan mendapat kesempatan untuk mengikuti Coaching Clinic ini. Di Coaching Clinic ini pula saya dan Mbak Ade sama-sama duduk di satu ruang untuk belajar langsung dengan Dee. Serendipity.

Cuma Satu Nama akan rilis tahun ini, kata Dee! :)


Bersama sang mommy kece, Ade Kumalasari




Selama Coaching Clinic ini, peserta serasa diajak introspeksi tentang proses menulisnya, juga ‘diobati’ permasalahannya seperti menenggak campuran Bach Flower agar tak moody. Menemukan proses agar mampu melihat ke dalam, memaklumi cela diri dan mencintai proses menulis seperti di Cuma Satu Nama.

Saya jadi menganggap bahwa Dee persis seperti tulisannya. Tenang, chic, penuh analogi dan imajinasi, rapi dan intelek. Ia adalah pengamat yang gila. Sudut pandangnya tidak terduga. Terencana dan terorganisir. Meski begitu, sangat manusiawi ketika beberapa kali saya menangkap Dee berkaca-kaca berkisah tentang adegan Partikel yang paling menyentuhnya, juga tentang dukungan ibunya terhadap karyanya. Tulisan yang bagus bagi saya adalah ketika saya mampu mendapat gambaran wujud gaya tulisan tersebut menjadi sesosok manusia. Dengan ini terbukti, tulisan Dee adalah wujud cerminan dirinya sendiri.  





Sumber : dokumentasi Dheril


5 April 2015,

Nabila Budayana