Pages

Sunday, October 25, 2015

Music is a New Hope : Charity Concert

Finna Kurniawati (violin), Shienny Kurniawati (harp), Ade Sinata (cello), Michael Adi Tjandra (viola), Glenn Bagus (piano), SOOS (String Orchestra of Surabaya) Children Ensemble menampilkan musik mereka untuk sebuah konser amal yang digagas oleh Sheraton Surabaya, SOOS, dan UNICEF, bertajuk Check Out For Children 2015. Sesuai temanya, dana yang terkumpul dari konser ini dikelola dan donasikan UNICEF untuk anak-anak yang membutuhkan di berbagai negara, seperti Indonesia, Bangladesh, India dan China.



Karena kebaikan hati Mbak Gema Swaratyagita, saya bisa nonton bersama teman-teman dari Pertemuan Musik Surabaya di hari itu, 19 Oktober 2015. Antusiasme penonton sangat bagus. Terbukti, begitu pintu ballroom Sheraton dibuka, kursi di baris-baris terdepan dengan cepat terisi. Kami mendapat tempat di bagian tengah ruang. Beberapa kali menonton pertunjukan musik di lokasi yang sama, saya jarang memilih bagian tengah dan cenderung agak ke belakang. Jadi, sedikit banyak saya penasaran dengan sensasi baru ini. Sembari menunggu audiens berdatangan, hadirin disajikan video-video tentang anak-anak dari berbagai negara.

Jeda tak terlalu lama, pertunjukan kemudian dimulai. Sesuai dengan tema amal untuk anak-anak, rombongan SOOS Children Ensemble tampil terlebih dahulu dengan menghadirkan melodi menyenangkan, Turkish March milik Beethoven menjadi sebuah irama string masal oleh belasan anak dan seorang pianis ini. Mereka menampilkan melodi dengan cukup baik dengan vivace yang cukup terasa. Komposisi ini akan lebih menarik dengan ketegasan ala March juga dinamika yang lebih tereskplorasi. Namun rasanya hal itu hanya masalah minor yang akan dengan mudah diperbaiki oleh anak-anak berbakat ini. Di atas itu semua, saya sesungguhnya mengharapkan ekspresi dari semua performer anak ini. Jam terbang akan membuat mereka lebih menikmati waktu ketika berada di atas panggung.   

Meski ada sedikit gangguan dari suara speaker ballroom yang masih memutarkan musik-musik hotel, namun hal itu teratasi di komposisi berikutnya. Setelah diberikan staccato-staccato dari Turkish March, Children's Prayer from Hansel and Gretel yang mendayu menjadi komposisi kedua. Disambung dengan Come Back to Sorrento milik Ernesto De Curtis yang menjadi akhir penampilan mereka. Phrasing dan dinamika yang lebih jelas tentu akan membuat audiens lebih merasakan ambiance dari komposisi ini. 

Penampil anak-anak digantikan oleh kakak beradik Shienny Kurniawati (Harpa) dan Finna Kurniawati (Violin) yang membawakan Romanza Andaluza milik Pablo de Sarasate. Finna memainkan melodi dengan ekspresif. Kolaborasi Harpa dari Shienny membuat ini cukup menjadi tantangan, karena rancak komposisi ini membutuhkan tempo dan ritmis yang lincah.


Baroque Flamenco ditampilkan oleh Shienny dengan cukup mengesankan. Ini agak membuat saya deja vu. Saya pernah menyaksikan Maya Hasan memainkan komposisi yang sama dan di lokasi yang sama tahun lalu. Irama cepat bernuansa Flamenco tentu menuntut teknik permainan yang tidak mudah. Komposisi ini juga meminta banyak ketukan pada soundboard dan arpeggio lincah agar nuansa Flamenco dapat dipertahankan. Saya membayangkan, jika saya berada di posisi yang lebih depan, saya tentu akan lebih merasakan nuansa flamenco ini. 

Baru sebulan lalu saya menikmati permainan Cello Ade Sinata dengan Cascade Trio, kali ini ia hadir bersama dengan Glenn Bagus dan Finna Kurniawati. Ini pertama kalinya, dan sejujurnya saya cukup tertarik bagaimana hasil kolaborasi mereka. Finna dan Ade saya ketahui sebagai performer yang sama-sama ekspresif. Membentuk kolaborasi dalam waktu singkat memang tidak mudah. Namun profesionalitas mereka mampu mengatasi komposisi. Meski saya akan cenderung untuk memilih Ade di dalam Cascade, juga Finna dan Glenn yang bermain solo.


Intermession memberi kesempatan pada sebagian besar audiens yang merasa suhu ruang terlalu dingin untuk keluar dari ballroom. Setelah break usai, Piano Quintet Op. 44 milik Robert Schumann menjadi sajian berikutnya. Glenn Bagus, Finna dan Shienny Kurniawati, Ade Sinata dan Michael Adi Tjandra membahu menampilkan komposisi ini bersama. Karya jagoan Schumann untuk musik kamar ini menampilkan nuansa romantik ala Schumann yang selalu menuntut berbagai teknik dan dinamika. Performer ditantang untuk membuat bunyi piano menonjol dengan keempat instrumen string mengingat Schumann sedang ingin menciptakan bunyi piano dengan ekspresif ketika mencipta komposisi ini. Seringkali pula terdengar berbagai eksplorasi tema yang menarik. Movement ke-dua menjadi favorit saya. Silence di antara phrase yang lebih luas memberi ruang berpikir yang menarik sebelum kembali digeber dengan running-running notes. Tema yang diberikan Schumman pun menarik dan berbeda.  



Komposisi ciptaan sang pianis, The Passion, menjadi penutup dari keseluruhan pertunjukan. Selain mengantar audiens beranjak dengan karya yang easy-listening, penutupan itu sesuai dengan tema yang diberikan. Menyumbangkan sesuatu untuk kemanusiaan dengan berbagai cara, lebih-lebih dengan passion, adalah sebentuk kesempatan yang luar biasa. Para performer membagikan semangat itu pada audiens melalui musik yang mereka sajikan.           

Wednesday, October 21, 2015

Permohonan Maaf Pembatalan Acara Goodreads Surabaya tanggal 24 Oktober 2015.

Sebagai seorang biasa, teman-teman tim Goodreads Indonesia regional Surabaya yang merelakan waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi di balik terselenggaranya acara-acara literasi selama ini selalu berharap setiap acara akan berjalan seperti harapan. Lancar, tak terkendala apa pun hingga akhir. Tentunya, dengan tujuan besar untuk dapat memberi manfaat pada audiens dan turut meramaikan semangat literasi yang kami yakini akan mampu membawa setiap orang untuk menjadi lebih baik.
Tapi, bukan hal besar jika dalam perjalanannya selalu mudah dan sesuai harapan. Kami sering mengalami kendala. Mencari lokasi, kas yang terbatas, bahkan melobi nara sumber/pembicara. Beberapa tahun belakangan, ketika acara-acara yang disusun menjadi kenyataan adalah karena izin Pencipta yang mempertemukan kami dengan pihak-pihak yang bersedia mendukung acara kami. Tentu saja sifat komunitas kami yang non profit, tidak semua pihak bisa memberi support. Ternyata materi bukan satu-satunya kendala. Kami sempat tegang luar biasa karena salah seorang pembicara kami nekat hadir dengan kondisi jiwa yang terancam terkait dengan suatu isu yang sedang hangat saat itu. Beliau menyamar, hadir tanpa pengawalan, dan berkata “Saya sih sudah siap mati. Yang saya khawatirkan cuma acara (kalian).” Kami mengapresiasi dan sangat tersentuh dengan ucapan beliau saat itu. Beruntung, acara berlangsung lancar hingga akhir. Nara sumber yang lain pun seringkali rela hadir dari jauh, menyelipkan mengisi acara kami di tengah jadwal aktivitas sehingga mesti berlari-lari mengejar waktu, dan banyak pengorbanan lainnya. Itu sejujurnya yang membuat semangat kami terus terungkit. Karena kami tahu, begitu banyak orang lain yang bersedia bergandengan tangan dengan kami untuk membuat literasi menjadi suatu hal yang penting dan menyenangkan. Baik dukungan lokasi acara, media, dan teman-teman komunitas lain yang juga memiliki semangat yang sama.
Failure is the condiment that gives success its flavor.
Seperti ucapan Truman Capote, penulis Amerika yang tersohor karena novelnya, Breakfast at Tiffany’s dan In Cold Blood, tidak semua acara yang kami susun sepenuhnya berhasil. Tentu masih banyak kekurangan, maupun dengan sangat terpaksa kami batalkan. Seperti kali ini. Acara bulan ini, Sabtu, 24 Oktober 2015 yang dijadwalkan akan kami adakan di Perpustakaan Medayu Agung, dengan begitu banyak pertimbangan akhirnya kami memutuskan untuk membatalkannya. Tentu ini menjadi hal yang begitu berat kami putuskan, karena publikasi telah menyebar luas melalui media sosial, dan kami telah berusaha maksimal untuk mempertahankannya. Banyak yang kecewa, banyak yang menyayangkan. Namun kami menghargai sepenuhnya keputusan bijaksana dari nara sumber. Mengingat adanya berbagai faktor eksternal yang secara detail tak dapat kami jelaskan, membuat kami dan nara sumber tak punya pilihan selain membatalkannya. Semangat kami boleh masih menggebu untuk mempertahankan berlangsungnya acara ini, namun pertimbangan kebaikan untuk semua pihak memang semestinya lebih utama.
Dengan kekecewaan yang sama besarnya dengan calon audiens, kami, tim Goodreads Surabaya memohon maaf sebesar-besarnya untuk pembatalan acara kali ini. Juga kami kirimkan ucapan terima kasih banyak dan apresiasi tinggi untuk teman-teman yang telah berniat hadir, media partner, dan Perpustakaan Medayu Agung. Terima kasih untuk semua pemakluman yang diberikan. Kami berharap besar pembatalan ini tak menghalangi keinginan teman-teman untuk hadir kembali di acara-acara kami berikutnya. Mari sama-sama menumbuhkan semangat membaca, karena Baca Itu Seru! Sampai bertemu di acara-acara berikutnya!

Salam hangat,
Nabila Budayana
Koordinator Goodreads Indonesia regional Surabaya

Tuesday, October 6, 2015

Pertemuan Musik Surabaya : Cascade Trio

"The trio is a bit frightening at first glance, but it is not really that difficult to perform: seek and you shall find!” - Felix Mendelssohn

"Bulan depan Cascade Trio."

Di tengah obrolan akhir Agustus lalu, Mbak Gema Swaratyagita memberikan bocoran acara berikutnya dari Pertemuan Musik Surabaya.

Pertemuan kedua saya dengan Cascade Trio terjadi Senin lalu, 28 September 2015. Sebelumnya, setahun lalu, saya sempat menonton pertunjukan mereka, juga di Surabaya. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya di mana saya datang terlambat dan mendapatkan seat terbelakang, kali ini saya lebih tepat waktu. Partner nonton saya kali ini pun istimewa. Hanya bisa didatangkan setahun sekali dari Denver, Colorado. Kebetulan guru musik saya sedang berlibur tahunan ke Indonesia, jadi saya tak panjang pikir untuk mengajaknya bergabung menonton.

Di Senin terakhir di September, setelah kelas, kami meluncur ke Melodia untuk mengikuti workshop pasif. Di luar perkiraan, kami hadir terlalu awal dan workshop menarik ini minim peserta. Mengingat jumlah peserta yang sedikit, kami bisa mendapat seat paling depan untuk leluasa menyimak workshop peserta aktif. Peserta workshop aktif akan tampil juga di malam hari di sela program yang ditampilkan Cascade Trio. Tim quartet dari Sendratasik Unesa String Quartet mendapatkan kesempatan pertama untuk workshop. Para pemain string muda ini telah mendapat workshop intensif sehari sebelumnya di tempat yang berbeda. Mereka membawakan Quartetto 46 op. 33 No. 1, 1st movement dari 'sang empunya' quartet gesek, Joseph Haydn. Harapan timbul dengan adanya bibit string quartet baru yang masih segar. Namun bibit-bibit baru potensial ini mesti dipoles dan diberi kesempatan kembali untuk menjadi sebuah 'hasil jadi'. Kesiapan secara teknis, kematangan dalam membawakan komposisi, komunikasi antar performer dan rasa percaya diri menjadi hal yang secara umum perlu diperhatikan. Dibimbing oleh Danny Ceri dan Ade Sinata, mereka banyak ditekankan pada menciptakan padu antar instrumen, phrasing, bowing, dinamika, rhytm, juga pembiasaan pada sebuah ruang konser yang besar. Kedua mentor memberikan berbagai saran, terutama tentang keyakinan dalam menampilkan komposisi. Keempat personil pun berusaha maksimal dalam menyerap dan memperbaiki kualitas penampilan.


Airin Efferin kebagian untuk membimbing dua pianis muda yang memainkan sebuah komposisi 4 tangan. Kedua peserta, Lisa Angelia dan Aubrey Ruby tampak telah siap dengan komposisi yang mereka bawakan. Tak heran, Airin memuji perkembangan mereka karena telah memperbaiki begitu banyak hal yang ia sarankan untuk menyempurnakan penampilan. Airin terlihat begitu ekspresif dalam memberikan workshop. Kedua pianis diberikan berbagai saran upaya perbaikan dari sisi mood, ekspresi, komunikasi dan kerja sama satu sama lain, beberapa teknis yang berkaitan dengan phrasing, bahkan posisi tumpuan duduk. Tak lama kemudian workshop diakhiri.



Membawa partner workshop yang tepat, saya pun diberikan begitu banyak masukan dari guru di sebelah saya. Meski hanya peserta pasif, saya belajar banyak hari itu. Begitu akan beranjak pulang, kami sempat menyapa dan berbincang singkat dengan Airin Efferin. Karena waktu hanya tersisa beberapa jam dari waktu konser di malam hari, begitu workshop selesai, Cascade Trio berlanjut untuk melakukan latihan.

Kami kembali di malam harinya untuk menikmati puncak acara. Konser chamber music dari Cascade Trio dan peserta workshop cukup ramai oleh penikmat musik. Puluhan audiens memenuhi ruang konser Wisma Musik Melodia Surabaya. Kali ini audiens cukup tertib dalam menikmati pertunjukan, sehingga fokus dapat sepenuhnya diberikan pada penampil.

Pertunjukan kali ini menjadi lebih menarik bagi saya, karena adanya kesempatan untuk menonton peserta workshop terlebih dahulu sebelumnya. Tentu ambiance ketika workshop dan konser akan sangat berbeda. Penampil dan sebagian penonton memiliki kesempatan untuk menikmati keduanya. Panggung menjadi milik duo pianis, Lisan Angelia dan Aubrey Ruby dengan Sonata for Four Hand milik Francis Poulenc terlebih dahulu. Terlihat bahwa mereka sudah terbiasa untuk tampil di depan umum, sehingga kualitas penampilan mereka cukup terjaga. Berbagi tuts piano dengan pianis lain untuk membahu menampilkan satu komposisi yang sama memang tak mudah. Tentu komunikasi satu sama lain akan sangat berperan. Saya rasa komposisi ini akan jauh lebih menarik ketika duo pianis ini lebih menikmati melodi yang dihasilkan dan memberikan fokus lebih pada interpretasi serta penyampaian musik pada audiens. Not-not yang repetitif yang khas dan dinamika yang menarik sesungguhnya mampu menampilkan rasa ceria dan pengalaman mendengarkan yang menyenangkan bagi penonton.    

String Quartet dari UNESA yang diisi oleh Ridwan Alwy, Rendi Fakhrudin, Dwi Rendra Sugiatma dan Mardha Putra memutuskan untuk memberi kejutan dengan menampilkan bukan hanya Haydn, namun juga Mozart. Meski komposisi utamanya adalah Haydn, namun Mozart juga sempat dimainkan ketika sesi workshop. Meski masih terkesan kurang yakin, namun String Quartet ini mencoba sebaik mungkin. Keberanian mereka untuk mencoba berkolaborasi menjadi satu tim quartet patut diberikan apresiasi. Mereka hanya butuh waktu, kesempatan, ketekunan dan jam terbang lebih untuk menjadi Quartet yang menjanjikan.

Cascade Trio masih memikat. Berbeda dengan kali pertama menonton penampilan mereka, saya jauh lebih menikmati pertunjukan kali ini. Airin, Dany dan Ade tampil begitu profesional. Di kesempatan pertama mereka membawakan Piano Trio no.6 op. 22 kepunyaan Felix Mendellsohn (1809-1847) yang terdiri dari empat movements. Cascade Trio juga menghadirkan Shostakovich Piano Trio No 1 in C minor op 8 yang banyak bermain di tempo dan karakter. Di antara persiapan mereka di atas panggung sebelum tampil, Ade memecah kecanggungan dengan memberi penjelasan pada penonton tentang partitur yang panjang. Meski ini hal minor, namun menjadi trik yang bagus untuk membangun chemistry dengan penonton bahkan sebelum komposisi dimainkan. Profesionalitas mereka terwujud dengan komunikasi yang terjalin sangat baik. Bahkan saya rasa penonton akan tak begitu menyadari bagaimana mereka bertukar isyarat ketika mesti memulai nada di timing yang sama. Dinamika-dinamika dan bagian-bagian komposisi dihadirkan jelas dan menghibur. Forte-forte dihadirkan dengan yakin dan ekspresif selalu menjadi bagian favorit saya karena berhasil menampilkan nuansa grande. Saya jadi membayangkan, apabila saya memilih seat paling terbelakang sekali pun, nuansa akan sama didapatkan. Meski cenderung menjadi hal kecil, tapi bagi saya, membaca ekspresi wajah performer ketika memainkan komposisi juga menjadi sebentuk 'kelengkapan' paket hiburan untuk audiens yang juga ingin dimanjakan secara visual. Ekspresi itu dapat ditemukan dari Ade Sinata. Memberikan nada-nada pentatonik, Cascade memutuskan untuk menyajikan Variasi Pelog milik Budi Ngurah yang mereka bawakan ketika menjalani workshop di Spanyol. Sembilan variasi pendek dihadirkan. 


Keseriusan, ketekunan, konsistensi dan dedikasi Cascade Trio seakan membuktikan bahwa mereka harus diperhitungkan. Tidak heran ketika mereka menjadi satu-satunya trio dari Indonesia yang berhak menimba ilmu langsung dari Trio Arbos di Spanyol baru-baru ini. Membagikan ilmu pada performer-performer baru adalah sebentuk usaha yang sangat positif. Ini seakan menjadi gambaran investasi Cascade Trio pada perkembangan musik kamar di masa mendatang.