Pages

Saturday, April 29, 2023

Belajar dari Riweuh-nya Liburan Keluarga Besar : Catatan Lebaran 2023

Makassar dan Toraja sudah cukup jauh dari ingatan kami, keluarga besar Handoko (yang seringkali kami sebut sendiri dengan Handora, singkatan dari Handoko Bersaudara). Tujuh tahun lalu kami menyambut dua member baru yang akan dan baru saja menikah dengan dua dari cucu perempuan almarhum kakek Handoko. Keluarga yang semakin membesar seakan selalu perlu dirayakan oleh kami. Tujuannya, tentu saja mengospek kekuatan mental member baru menghadapi "keriweuhan" keluarga besar ini. Haha. Itu alasan bercandanya. Alasan seriusnya : tentu saja karena semua suka kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, makan-makan, dan jalan-jalan secara berkala. Kebiasaan bepergian bersama-sama ini sudah dibiasakan dan diwariskan oleh almarhum Kakek dan almarhumah Uti kami sejak lama.
Bukan berarti selama tujuh tahun kami tak bertemu sama sekali. Kami masih merawat jumpa di acara makan-makan perayaan ulang tahun, kumpul-kumpul kecil di kota sekitaran Surabaya, atau sekadar nyanyi-nyanyi di rumah salah satu keluarga. Namun trip jauh adalah hal yang berbeda. Banyak perbedaan trip tahun 2023 ini dengan trip di 2016. Ketika kami bedol desa ke Makassar dan Toraja di 2016, hampir seluruh acara dan akomodasi diatur oleh Om kami yang kebetulan sudah beberapa tahun dinas di Makassar. Generasi cucu bisa "tinggal berangkat" dan santai mengikuti agenda. Namun, tidak dengan tahun ini. Kami dengan rentang usia 25-35 tahun ini ditantang para orang tua untuk mengatur keseluruhan trip. Ini cukup mengejutkan karena keinginan berangkat trip tercetus dari para orang tua (yang kemudian kami sebut para sesepuh) hanya sebulan sebelum lebaran (persis setelah salah satu dari cucu perempuan termuda beres menyelenggarakan pernikahan). Tantangannya jadi jelas : waktu yang singkat, jumlah kami yang ber-23, harus bisa mengakomodir keinginan sesepuh, juga tentu saja peak season.
Tak pakai pembentukan panitia dan sejenisnya, kami langsung bergerak. Group chat para cucu yang biasanya adem ayem jadi selalu ramai. Kami diberondong ratusan chat setiap harinya. Alhasil, ada yang ngantor sambil searching penginapan, memesan dan mendesain kaus keluarga, mengatur itinerary, dan sebagainya. Semua ramai-ramai bergerak, meski tak punya pengalaman menjadi travel consultant dan sejenisnya. Meski rata-rata sudah pernah berkunjung ke Jogjakarta sebelumnya, namun kami belum terpikirkan akan menginap bukan di pusat kota. Pertimbangannya jelas, karena dengan stay di kota akan memudahkan untuk berkunjung ke lokasi-lokasi wisata. Keinginan tinggal keinginan ketika kami ingat kami ber-23 dan sangat sulit menemukan villa yang masih tersedia di tanggal kami booking. Kembali ke poin suka kumpul-kumpul, kami juga kurang suka dengan ruangan hotel karena akan lebih sulit bagi kami untuk berada di sebuah ruang besar bersama. Hotel jadi opsi terakhir. Segala rupa perburuan dimulai tanpa komando. Tiba-tiba grup chat terisi dengan berbagai tautan instagram, aplikasi traveling, websites. Semua dibuka, disaring, dipertimbangkan. Tentang lokasi, ketersediaan kamar, desain vila, harga, dan sebagainya. Sungguh menemukan yang sesuai sangat sulit, terutama di tengah kota yang sudah full booked. Masih ada yang tersedia dan menarik, namun tak bisa menampung 23 orang. Semua pusing berhari-hari. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah villa besar di kawasan Banguntapan, Bantul untuk hari kedua (kami berencana menginap 3 hari 2 malam). Ndalem Sardan Guest House ini menarik juga. Ia punya interior yang jadi gabungan tradisional-modern. Punya ruang bersama yang luas, parkir basement, dan ada ruang terbuka di lantai atas yang jadi tempat curhat sambil melihat langit dan hujan. Sayang, ia hanya bisa menampung kami satu malam saja. Terpaksa harus ada pencarian penginapan lain untuk hari lainnya.
Sementara untuk hari pertama kami menemukan sebuah villa baru di kawasan Kalasan, belasan kilo dari pusat kota. Umur villa ini belum setahun, bahkan. Landscape-nya menarik dan estetik, namun belum tersedia di aplikasi booking pihak ketiga manapun. Belum banyak juga yang memberikan review untuk villa ini. Belakangan setelah mem-booking, kami baru sadar jika villa Joglo Diego ini bersejarah karena bekas tempat tinggal seorang laskar pangeran Diponegoro (ditandai dengan pohon sawo di halaman depan). Menyewa keseluruhan komplek villa ini lebih terasa menyenangkan karena tak perlu ada tamu lain selain rombongan sendiri. Selain fasilitas kamar, ada public pantry, kolam renang, juga ruang duduk di lantai atas menghadap persawahan. Kursi santai tepi kolam renang jadi tempat curhat sampai malam datang.
Setelah permasalahan lokasi inap selesai, masih ada tantangan level berikutnya. Para sesepuh request agar bisa berfoto studio bersama dengan pakaian tradisional Jogja. Di hari-hari biasa ini mudah dilakukan. Namun beda dengan peak season. Antrean studio foto bahkan sudah mencapai 10 antrean ketika kami mencoba menanyakan. Ini bukan pilihan yang bagus, karena waktu kami akan habis untuk sekadar mengantre. Diskusi-diskusi berjalan. Akhirnya muncullah ide untuk berfoto di villa Joglo Diego saja, yang menurut kami sudah cukup estetik untuk dijadikan background foto, dan hasilnya akan berbeda dari foto studio kebanyakan. Berikutnya, kami mencari fotografer Jogja sambil berharap ada yang tidak liburan. Ternyata kami berjodoh dengan Bahtera Photo Family. Hasil foto-fotonya menarik dengan background yang bermacam-macam. Keriweuhan 23 orang ini sampai membuat fotografer jadi geleng-geleng kepala.
Lalu, bagaimana dengan kostum luriknya? Pagi setelah tiba di Jogja kami langsung menelepon sebuah galeri dan rumah jahit lurik di kawasan Kalasan untuk membukakan pintunya bagi 23 orang ini di pagi itu juga. Hasilnya keluarga pemilik Omah Jahit Jawi kaget dan gelagapan juga diserbu tiba-tiba. Keriuhan kami "mengobrak-abrik" galerinya bahkan sampai mereka videokan.
Kami sengaja memilih destinasi wisata yang mudah diakses. Perjalanan beberapa mobil pribadi yang beriringan kerap membuat kami kehilangan jejak. Ketua rombongan memutuskan untuk memasang pita biru di wiper belakang dari setiap mobil. Ini hal kecil, tapi ternyata sangat berguna. Perjalanan bagian penting dari trip ini. Semua generasi cucu bertanggungjawab untuk menyupir mobil pribadi keluarga masing-masing. Mengingat saya juga kerap lelah menyetir jarak panjang, saya suka minta gantikan sepupu lain untuk menyupir. Selama perjalanan pun chat grup tak berhenti aktif. Mulai petunjuk map ke lokasi berikutnya, notifikasi hati-hati jalanan becek, rute yang berubah, dan sebagainya. Banyak kepala, banyak suara, wajar jika perbedaan pendapat dan perdebatan seringkali terjadi. Namun semua bisa diatasi dengan berkepala dingin, mengalah, dan mementingkan kepentingan bersama. Mencoba memfasilitasi sebisa mungkin semua keinginan secara adil, juga memberikan acara bebas di sela jadwal wajib bersama jadi penting.
Tak semua sesuai rencana, memang. Namun dari trip ini kami belajar bahwa persiapan tak kalah pentingnya. Tak sampai dua belas jam sebelum berangkat, H+1 lebaran, kami berkumpul dulu di rumah salah satu keluarga. Tujuannya : anak-anak muda akan presentasi. Ya, presentasi pada para sesepuh tentang itinerary yang kami sudah susun. Kami tampilkan spreadsheet di layar, sampai google maps untuk menunjukkan jarak satu lokasi ke lokasi lain, hingga foto-foto setiap tempat yang kami kunjungi, plus biaya yang diperlukan. Hasil presentasi ditanya, diuji, dicatat oleh sesepuh.
Setelah melewati banyak tantangan perbedaan jarak (entah tinggal, kerja, atau sekolah di luar kota dan luar negeri), melewati berbagai tantangan kesehatan (mayoritas kami juga terjangkit covid dan menghadapi badai besar ketika covid berada di puncak kegilaan), melewati kesabaran menunggu di waktu yang panjang, trip ini selalu jadi bagian dari rasa syukur kami yang luar biasa. Setelah sebulan merencanakan, trip bisa diakhiri dengan baik. Rasa syukur bukan hanya untuk apa-apa yang kami rasakan ketika bepergian, namun juga kekompakan dan kerja sama yang semakin kuat setelah trip ini direncanakan hingga selesai. Keriweuhan memang kerap menyebalkan, tapi di sisi lain ia membuat kami belajar banyak hal.
Credit photo : dokumen pribadi, traveloka, Bahtera Photo Family, Villa Joglo Diego