Pages

Sunday, September 20, 2020

Suara Ibu dalam Karya Seni Kontemporer Gema Swaratyagita

Apa rasanya menonton pertunjukan seni kontemporer secara virtual? Beberapa seniman yang menjadi bagian dari rangkaian acara Musim Seni Salihara tahun 2020 menantang halangan ruang waktu untuk melakukannya. Gema Swaratyagita salah satunya. Komposer ini mencoba memberi pengalaman baru pada penonton karyanya. Ia bersama Laring kembali dengan karya terbarunya yang bertajuk “Jeng Sri” yang merupakan bagian dari seri Ngangon Kaedan, seni pertunjukan berdasar dongeng. Dikuratori oleh Tony Prabowo, pertunjukan ini dapat ditonton melalui kanal youtube Salihara Arts Center hingga 27 September 2020 mendatang.

Pertunjukan ini mengajak penonton menangkap pesan melalui seni musik dan peran. Ditemani tiga orang vokalis yaitu Mian Tiara, Tessa Prianka, Yanthi Rumian serta seorang performer Fiametta Gabriella, Gema hadir di panggung sebagai komposer dan pengaba. Kali ini, Gema menghadirkan karya dengan inspirasi dari tradisi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat. Tiap tahun, mereka menyelenggarakan Nutu Nganyaran yang merupakan bagian dari prosesi pesta panen musim tanam.

Sesuai dengan temanya, kostum yang dipakai oleh semua penampil pun serupa dengan pakaian yang dikenakan oleh perempuan yang turut dalam prosesi adat Nutu Nganyaran. Panggung dengan dekorasi serba hitam dibuka oleh seorang vokalis yang berlari-lari kecil di tempat sembari memeluk dirinya dan memanggil-manggil nama Jeng Sri atau Dewi Sri yang merupakan dewi padi dan dewi ibu. Sesekali ia merasa kelelahan dan bernada putus asa. Sementara di sisi lain, vokalis lain dan performer sedang memarut kelapa, memanen padi sembari mengumandangkan dengung vokal yang apik. Nuansa tradisional langsung terasa.

Masing-masing gerak-gerik penampil terlihat memiliki makna. Misalnya ditunjukkannya kegiatan memanen padi, menumbuk, menggiling, hingga menjadi bubur sumsum yang mirip dengan rangkaian kegiatan upacara adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.


Tangkap layar youtube Salihara Art Center

Tensi pertunjukan dibawa naik dengan teriakan dan permainan gabungan kalimat-kalimat keluhan para ibu pada Jeng Sri, seperti ungkapan capai tapi bahagia atau keluhan tentang menjadi seorang ibu yang kerjanya tak habis-habis. Kalimat-kalimat langsung ini langsung mengajak penonton untuk mengerti posisi seorang ibu yang keluhannya kerap tak tersampaikan. Menariknya, menurut Gema, kalimat-kalimat ini merupakan jawaban dari sejumlah pertanyaan yang diajukan pada beberapa perempuan tentang apa yang ingin mereka katakan pada Dewi Sri terkait peran mereka sebagai ibu.

Di bagian berikutnya, permainan harmoni ketiga vokalis ditampilkan. Dengan ritme yang tetap, berbagai bentuk olah vokal diungkapkan. Ketiga vokalis pun kemudian kembali dengan kegiatan mereka seperti berlari-lari kecil di tempat, maupun memasak. Pertunjukan diakhiri dengan performer yang menyuapi dan memberikan semangkuk bubur sumsum pada ketiga vokalis, seakan melambangkan proses akhir dari upacara adat yaitu menyicipi hasil panen. Kata-kata seperti “Depan belakang, kanan kiri, lahir batin, jiwa raga, hitam putih” diucapkan terus menerus oleh Gema seakan untuk menunjukkan bentuk keseimbangan dan penerimaan.

Pertunjukan ini memiliki logo pertunjukan yang menarik dengan guratan punggung perempuan dengan batang-batang padi. Detail kecil yang menarik itu mendukung secara visual. Dongeng ini akan tersampaikan dengan lebih baik seandainya kalimat-kalimat jawaban dari para ibu bisa terdengar lebih jelas di samping vokal. Sajian selama kurang lebih lima belas menit ini prima meski kehilangan detail seperti bunyi-bunyi yang dari benda seperti parutan yang kurang terdengar sehingga mengurangi perannya di dalam komposisi. Seandainya sudut pengambilan gambar dapat dimanfaatkan dengan berganti-ganti lebih sering dan tanpa berguncang, visual penonton tentu akan lebih termanjakan.

Menyatukan banyak hal di karyanya kali ini, baik tentang budaya, legenda, isu perempuan, keselarasan alam, serta eksplorasi bunyi dan gerak membuat karya Gema Swaratyagita berlapis dan eksploratif. Menghadirkan perempuan sebagai sorotan dengan berbagai pergulatan dalam dirinya sebagai ibu, karya ini patut diapresasi karena keberpihakan, kejujuran, dan bentuknya. Tak lupa karena juga mampu mengajak penonton terbuka pada berbagai bentuk seni serta menyelidiki makna sebagai refleksi dari kehidupan.