Seberapa jauh sebuah mimpi?
Apa selebar jarak bumi dan bulan?
Atau mungkin hanya sebentangan benang antar kaleng bekas untuk bermain telepon-teleponan?
Tak ada yang pasti tahu. Bahkan sang pemilik mimpi pun tak juga tahu.
Mereka hanya bersiap, melangkah pelan, berjalan, bahkan berlari menuju impiannya. Kadang juga terseok dan terbentur jatuh. Ada yang terluka, kemudian menangis dan berhenti. Ada yang terus mencoba bangkit, meski masih sesenggukan sesekali. Ada yang dengan gagah menerobos halang rintang, merasa tujuan telah sedekat telunjuk dan ibu jarinya sendiri.
Saat merasa terlalu jauh, mungkin sebaiknya tak menganggap mimpi itu masih jauh di depan sana.
Saat merasa sudah dekat, mungkin sebaiknya tak jemawa dan tetap menjejak kerendahhatian.
Tetapi di atas segalanya, ada Sang Penentu yang bahkan mampu mengubah segala logika jauh-dekat, persepsi paling liar, juga apapun yang mungkin terjadi. Kadang Ia terlihat menyebalkan dan keras kepala. Menguji dengan beban yang terasa tak sanggup terpikul, hingga pemimpi menyerah dan terluka. Namun, Ia juga mampu menjadi menyenangkan dan penuh kejutan. Kadang memberi hadiah kontan untuk sesuatu yang bahkan selama ini tak pernah terbayang pada kepala pemimpi karena dirasa terlalu besar dan muluk saja.
Lalu, masih seberapa jauh mimpimu?
Jangan-jangan saat ini kau telah hidup dalam mimpi itu, tanpa pernah menyadarinya?
Tuesday, April 16, 2013
Monday, April 8, 2013
LPM Bedah Buku "Titik Nol" - Agustinus Wibowo, 7 April 2013
Laporan Pandangan Mata
Acara : Bedah Buku
Titik Nol - Agustinus Wibowo
Oleh : GRI
Surabaya bekerjasama dengan Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya
serta Gramedia Pustaka Utama
Tempat : Perpustakaan Kota Balai Pemuda Jalan Gubernur Suryo
15 Surabaya
Tanggal : 7 April 2013
Pukul : 13.00 – Selesai
Pembedah : Heti Palestina (Radar Surabaya)
Moderator : Ficky Hidajat (Broadcast Indonesia)
Audiens : Umum
Siang
itu Korwil baru GRI Surabaya, Mbak Novri Chitra sedang harap-harap cemas.
Mengapa? Mungkin bukan hanya tanggung jawab atas jabatan barunya, namun juga
debut acara yang disusunnya akan berlangsung beberapa jam lagi. Meski telah
lebih dari sebulan sebelumnya telah
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, mulai dari melobi berbagai pihak
untuk tempat, waktu, pengisi acara hingga kepentingan publikasi, namun hingga
hari H, sang korwil masih repot ‘berlarian’ ke sana ke mari hingga usainya
acara. Oleh karena itu, segenap anggota GRI Surabaya dan pengisi acara
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mbak Novri Chitra yang
telah bekerja jauh lebih keras dari anggota-anggotanya demi berlangsungnya
acara ini. J
Setengah
jam sebelum acara berlangsung, tim GRI Surabaya dibantu oleh Staf Humas Perpustakaan Kota Surabaya, Ibu Evie Suryani, melakukan berbagai persiapan. Mulai
konsumsi, hingga perubahan tata letak perabotan pada ruang yang akan digunakan
untuk acara bedah buku. Beberapa hal terpaksa diubah demi memberi kenyamanan
pada audiens untuk mengikuti acara. Jam berdetak terus, hingga jarumnya nyaris
menyentuh angka satu. Sang nara sumber, Agustinus Wibowo tiba di tempat
ditemani oleh pihak Gramedia Pustaka Utama. Mengenakan kaus lengan panjang
berwarna hitam yang berkesan santai, Mas Agus dengan ramah menyapa semua orang.
Sembari mempersiapkan bahan video di komputer jinjingnya, Mas Agus ngobrol santai
dengan Ibu Evie Suryani dan moderator acara, Mas Ficky. Di sisi lain, tim
Gramedia sedang sibuk memasang X Banner dan segala perlengkapan untuk
memeriahkan acara. Satu per satu, audiens dengan buku-buku di tangan, hadir dan
mengisi tempat. Usia dan profesi mereka pun beragam, muda hingga tua, mulai anak kuliahan hingga seniman.
Begitupun dengan asal kota mereka, bukan hanya datang dari kota Surabaya, namun
dengan antusias, beberapa bahkan datang dari Sidoarjo, Pandaan, Lumajang dan
Madura. Kami, tim GRI sempat cemas karena di awal acara, audiens hanya
sekitar dua puluh orang. Namun, sembari acara berjalan, audiens terus
berdatangan hingga sekitar empat puluh hingga lima puluh orang. Perpustakaan
baru kota Surabaya yang didesain modern itu seketika menjadi penuh, ramai
dengan berbagai kalangan yang ingin menyimak bedah buku ini.
Pukul
13.15 moderator membuka acara dan menghangatkan suasana. Penulis LPM ini dikejutkan
dengan moderator yang tiba-tiba memanggilnya untuk menjelaskan tentang review
Titik Nol yang ia buat di Goodreads. Hanya mewakili Korwil untuk
menyambut audiens sekaligus memberi sedikit gambaran akan Buku Titik Nol pada
audiens. Di saat yang sama, Mas Agus sedang melakukan wawancara dengan media
yang datang meliput. Penulis LPM menangkap jurnalis JTV (TV lokal Jawa Timur) dan Harian
Radar Surabaya turut hadir untuk melakukan peliputan. Pukul 13.35, acara
dimulai. Dibuka oleh moderator yang sangat berpengalaman dalam membawakan
acara, juga dilanjutkan dengan pembukaan singkat dari Mas Agus dengan
perkenalan diri. Saat itu, Mas Agus mengatakan asal nama yang dimilikinya. Nama
Agustinus diberikan oleh orang tuanya sebagai perlambang seorang anak yang
lahir di Bulan Agustus, dan agar semua orang dapat dengan mudah mengingat bulan
ulang tahunnya.
Mas
Agus menuturkan tentang kisah awal perjalanannya. Berangkat dari impiannya
untuk melihat dunia yang berbeda saat kecil. Saat masih duduk di Sekolah Dasar,
seorang Agustinus Wibowo kecil dan beberapa teman bermainnya di Lumajang,
selalu merasa antusias saat melihat pesawat terbang yang melintas. Baginya,
pesawat terbang akan mengantarkan seseorang ke tempat yang jauh. Hingga
akhirnya, seorang Agustinus Wibowo terobsesi dengan kata ‘jauh’. Namun
pandangannya akan kata ‘jauh’ telah berubah saat dewasa. Baginya jauh adalah
relatif. Dengan pesawat terbang, jauh bukan lagi menjadi hal mutlak. Berbeda
dengan dua buku yang ia tulis sebelumnya, “Selimut Debu” dan “Garis Batas” yang
bercerita tentang tempat-tempat jauh, kali ini ia ingin perjalanan yang
dilakukannya bukan tentang jauh, hingga akhirnya mengantarkan keinginannya
untuk menulis sebuah buku berjudul ‘Titik Nol’. Baginya kata ‘jauh’ memiliki
banyak definisi. Ia pun mengungkapkan berbagi fakta menarik lainnya tentang
Titik Nol yang ia tulis. Dibuka dengan adegan di rumah (Titik Nol) dengan
seorang ibu yang sedang mengalami sakit. Seorang anak itu, Agustinus Wibowo
sudah tak memiliki banyak waktu lagi untuk menemani ibunya. Di waktu yang sudah
sempit itu, ia membacakan kisah perjalanannya. Adegan itu dan kelanjutannya
bertindak sebagai plot pertama. Plot kedua, ia berkisah tentang isi perjalanannya.
Agustinus Wibowo pun mengatakan bahwa perjalanan sesungguhnya bertujuan untuk
mengenal diri kita sendiri.
Seusai Mas
Agus melakukan pembukaan, Mbak Heti Palestina sebagai pembedah melakukan
sesinya. Ia berkata bahwa dari buku-buku non fiksi, ia begitu jarang menemukan
penulis yang memiliki frame bertutur.
Sedangkan dalam Titik Nol, frame bertutur yang dimiliki Agustinus Wibowo adalah
kekuatan dari bukunya. Hal itu yang menjadikan Titik Nol berbeda dengan buku
traveling yang lain. Baginya, penulis memiliki kekuatan sastra. Ditunjukkan
dengan bagaimana penulis memilih adegan pulang sebagai adegan pembuka. Apalagi
ditambah dengan adegan sang ibu, membuatnya disebut sebagai pengalaman paling
religius. Agustinus Wibowo memiliki cara penuturan dua hal yang berbeda. Pada
tulisan cetak miring, sudah merupakan cerita utuh sendiri, apalagi jika
ditambahkan dengan tulisan yang tak bercetak miring dalam buku Titik Nol. Mbak
Heti menyatakan, penulis Titik Nol memiliki cara jenius dalam bertutur. Ia
menambahkan, setiap buku memang harus dituliskan dengan cara yang berbeda oleh
masing-masing penulisnya. Namun, jangan sampai frame bercerita itu nampak pada
pembaca. Bagaimana menyampaikan cerita itulah yang tidak semua orang dapat
melakukannya. Namun, jika cara bertutur tidak kuat, maka sebuah tulisan tidak
akan memiliki kekuatan filosofis. Hal itu berangkat dari pengalaman religi
setiap orang yang berbeda-beda, hingga akhirnya akan menghasilkan filosofi yang
berbeda. Ia melanjutkan, Agustinus Wibowo memang tidak terlalu ‘sastra’. Namun,
dramatisir cerita harus ada untuk membuat tulisan menjadi menarik. Tidak semua
traveler bisa menulis seperti yang Agustinus Wibowo lakukan. Bagaimana cara
penulis untuk men’sinetron’kan adegan, meski tidak berlebihan sangat menarik.
Tips untuk para penulis pun Mbak Heti berikan. Jika ingin menulis seperti Mas
Agus, buatlah frame tersebut sesuai
dengan pengalaman religi masing-masing.
Acara pun
dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Audiens nampak berebutan ingin bertanya,
tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Seseorang memberikan pertanyaan pertama :
“Keberanian apa yang membuat Agustinus Wibowo berani untuk menjelajah negara-negara
jauh?”. Agustinus Wibowo menjawab dengan memberi gambaran akan dirinya yang
seorang kutu buku dari Lumajang dengan minim pengalaman memberanikan diri untuk
menjelajah negara lain. Pada awal perjalanannya, ia seringkali dirampok. Sempat
terpikir olehnya untuk menyerah. Namun, ia selalu percaya bahwa akan selalu ada
hal baik di depan, hingga ia meneruskan perjalanan satu tahun pertamanya dengan
memberanikan diri untuk mengunjungi Afghanistan. Meski begitu, ketakutan baginya
adalah hal yang sangat manusiawi. Ia pun menyampaikan “Orang yang tidak punya
rasa takut itu bukan manusia.” Seorang hadirin yang lain mengajukan pertanyaan
kedua tentang waktu penulisan buku Titik Nol yang terasa membutuhkan waktu lama.
Agustinus menjawab dengan gamblang. Baginya, buku adalah curahan hati penulis.
Buku yang enak dibaca adalah buku yang ditulis berulang karena seringkali
penulis membutuhkan kemampuan untuk adaptasi di awal. Ia mencontohkan, buku
keduanya ditulis selama lebih dari satu tahun, buku ketiganya ditulis selama
lebih dari dua tahun. Dari hal itu, ia mengambil kesimpulan bahwa penulis tidak
akan pernah sempurna di draft
pertama. Menulis itu bagai memahat ukiran kayu. Membutuhkan proses membentuk,
menghaluskan, hingga akhirnya menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati.
Agustinus Wibowo pun memberi pandangannya akan definisi ‘sastra’. Baginya,
sastra adalah saat ketika pembaca merasa menikmati proses pembacaan. Tidak
perlu bermain dengan diksi berbunga atau kalimat yang rumit, baginya, menulis
secara apa adanya dapat menimbulkan efek yang lebih besar pada pembaca.
Setelah
itu, moderator mengajukan pertanyaan tentang makna di balik tagline Titik Nol di sampul depan :
“Perjalananku bukan perjalananmu, perjalananku adalah perjalananmu.” Agustinus
memberikan jawaban yang begitu memukau. Baginya, setiap orang memiliki perjalananya
masing-masing. Perjalanan bersifat personal. Oleh karena itu ia menyebutkan
“Perjalananku bukan perjalananmu.” Namun di samping itu, biarpun perjalanan
kita berbeda, semuanya berinti sama : kita berjuang untuk menjadi pahlawan,
kemudian akhirnya akan kembali ke titik nol. Jawaban Agustinus itu mampu
menciptakan aplaus yang meriah dari hadirin. Seseorang lain mengajukan
pertanyaan ke-empat. “Apa yang membuat seorang Agustinus Wibowo menolak
beasiswa yang ia peroleh?”. Penulis berkacamata itu menjelaskan bahwa hal
tersebut adalah pilihan hidup yang ia ingin tempuh. Baginya, kebahagiaan
hidupnya adalah berada di perjalanan. Berbeda dari jurusan yang diambilnya
semasa kuliah, ia justru mengambil pilihan untuk berprofesi sebagai jurnalis.
Meski begitu, sangat susah untuk meyakinkan orang tua akan hal tersebut.
Apalagi, ia menambahkan, bahwa orang Tionghoa cenderung memiliki pola pikir
turun temurun untuk harus memiliki hidup yang stabil. Sedangkan profesi sebagai
pejalan dinilai bukan hidup ideal bagi orang tua Agustinus. Namun, ia meyakini,
jalan ini yang harus ia ambil. Jika sudah begitu, tentu juga harus siap dengan
segala risiko yang harus dihadapi. Ia pun berkisah sedikit tentang orang
tuanya. Saat menulis, ibu yang ia cintai baru saja meninggal. Ia menyesal
karena begitu jarang berada di sisinya semasa hidup. Dari hal itu, ia merasa
ada pelepasan yang besar. Lebih dari itu, ia percaya bahwa manusia diciptakan
untuk tujuan masing-masing. Meski tak setuju dengan profesinya, sang Ayahanda
tercinta begitu gembira setiap kali tulisannya ditampilkan di kompas.com, mencetaknya
dan menunjukkannya pada semua orang. Pada akhirnya, saat menjadi jurnalis di
Afghanistan, ia mampu membiayai pengobatan sang ibu. Ia menyimpulkan, bahwa
begitulah hidup. Selalu ada kelokan, namun kita semua ditakdirkan untuk
menghadapinya.
Sesi
pertanyaan dihentikan sementara untuk mengajak audiens menikmati video Titik
Nol yang telah disiapkan oleh Agustinus Wibowo. Pada video itu, ditampilkan
berbagai gambar tentang berbagai keragaman dan kemanusiaan yang disertai dengan
kalimat-kalimat filosofis tentang makna-makna perjalanan. Khas dengan kata-kata
seperti yang tercantum di halaman-halaman Titik Nol. Foto-foto yang ditampilkan
penulis mampu membuat hening seluruh audiens yang nampaknya menikmati musik
yang diputar bersama dengan video. Setelah pemutaran video, sesi pertanyaan
kembali dilanjutkan. Kali ini pertanyaan yang hadir cukup unik. “Jika Mas Agus
memiliki anak kelak, apa juga akan mengijinkan anaknya untuk melakukan
perjalanan?” Tanpa ragu, Agustinus menjawab bahwa ia akan sangat menyarankan
anaknya untuk melakukan perjalanan. Karena baginya perjalanan adalah proses
untuk membuka mata. Seseorang perlu pergi jauh untuk mengenali diri sendiri. Ia
menganalogikan, “Mata kita tak akan bisa melihat hidung sendiri, oleh karena
itu kita perlu berkaca untuk melihat hidung.” Hal itu berarti, kita memerlukan
refleksi orang lain untuk menemukan diri sendiri. Perjalanan yang baginya
adalah kehidupan nyata juga dapat melatih kemandirian. Berbicara hal itu,
Agustinus mengenang tentang kejadian pada salah satu awal perjalanannya. Di
mana ia dicuri habis-habisan dan tak memiliki apapun untuk melanjutkan
perjalanan. Awalnya ia menyangka hal itu sangat buruk. Namun kini, ia justru
ingin berterimakasih pada pencuri yang mencuri dompetnya saat itu. Jika
dompetnya tak tercuri, ia tak akan pernah menjejakkan kaki ke Afghanistan dan
memutuskan untuk menjadi jurnalis.
Pertanyaan
lain pun datang. “Bagaimana mungkin Agustinus menulis ulang sebanyak dua puluh
kali lebih dan bagaimana caranya agar tidak bosan?” Agustinus menjawab dengan
menuturkan bahwa sebelum menjadi seorang penulis, baginya menulis merupakan hal
yang susah. Kemudian setelah lebih banyak menulis, ia merasakan ada kenikmatan
dalam prosesnya. Karena menulis juga adalah sebuah perjalanan. Dengan menulis,
ia menemukan detail perjalanan. Ada saat di mana kita berjalan, juga ada saat
di mana kita berhenti. Menurutnya, bagian yang sulit dalam proses penulisan
bukan di awal dan di akhir, namun di tengah. Mencontohkan Titik Nol, saat
proses penulisan ia memiliki ide yang jelas, namun ia kehilangan arah saat menulis
secara kronologis. Hingga akhirnya saat penulisan ulang ke-limabelas kalinya,
tercetus ide untuk mengemas tulisan dalam plot paralel yang memakan satu tahun
untuk menyelesaikannya. Meski yang dikisahkan adalah kisah non fiksi, ia
bercerita dengan teknik fiksi. Agustinus pun memberikan tips untuk penulis
pemula : Jangan pernah mengkhawatirkan suatu karya yang ditulis akan menjadi
apa, tumpahkan saja. Jangan takut gagal. Tidak ada yang sempurna di tulisan
pertama. Renungkan kegagalan yang merupakan hal biasa. Teruslah menulis.
Pertanyaan
pun belum berhenti mengalir. Kali ini spesial, karena datang dari seorang
pelukis senior yang menyempatkan diri hadir. Meski beliau belum sempat membaca
Titik Nol, namun ia berkisah tentang sebuah buku traveling yang ia baca. Di buku yang ia baca, disebutkan bahwa
untuk mencapai dunia, manusia dapat menggunakan empat hal : “Agama, filsafat,
science dan sastra.” Menurutnya, ada korelasi Titik Nol dengan buku tersebut.
Agustinus memberikan tanggapannya dengan memberikan contoh. Ia berkata bahwa
Lumajang dan Tibet memiliki korelasi. Yaitu sama-sama memiliki Gunung Semeru
dan Meru. Ia melakukan perjalanan di Gunung Meru di Tibet yang suci bagi agama
Budha dan Hindu tersebut. Pengalaman dari mengelilinginya, terasa kegembiraan
di awal, setelah susah payah mendaki puncak, ia sempat merasa telah melampaui semua
hal tersulit. Namun ternyata, justru hal tersulit ada pada saat menuruni gunung
tersebut. Pengalaman itu ia tarik ke dalam filosofi. Dalam hidup, kita harus
belajar melepaskan. Sepanjang hidup kita akan selalu ketakutan pada mati yang
merupakan ketakutan paling besar. Ziarah ke tempat suci seperti gunung ,
bertujuan untuk itu. Ziarah bukan tentang label, namun justru untuk menyelami
lubuk hati.
Kali
ini tak lagi datang pertanyaan, namun apresiasi dari seorang hadirin. Ia
mengungkapkan kekagumannya akan Buku Titik Nol dan bahkan berniat akan membagi
ilmu dari Titik Nol pada anak-cucunya. Hal tersebut memancing pernyataan lain
dari sang pembedah, Mbak Heti Palestina. Ia menyatakan bahwa Titik Nol adalah
buku yang religius. Ia pun berkomentar untuk berterima kasih pada sakit hati.
Karena kebanyakan orang sukses berangkat dari rasa sakit hati. Menurut
koreksinya, Agustinus perlu sakit hati lebih dalam untuk membuat karya yang
lebih baik dan sukses. Agustinus menimpali dengan sebaris pernyataan. Ia
membenarkan perlu sakit hati atau luka dalam hidupnya. Galau itu perlu. Karena
dengan galau, dapat menyelami lebih dalam kehidupan. Luka itu yang membuat
seorang penulis lebih baik dalam berkarya. Ia juga berkisah bahwa kita
dibesarkan dengan cerita. Ia mencontohkan Legenda Malin Kundang dan perjalanan
mencari kitab suci yang seringkali diceritakan pada masa kecilnya. Berangkat
dari hal itu, ia ingin melakukan perjalanan dengan dongeng masa kecil yang ia
dengar. Perjalanan mencari kitab suci justru berujung pada ditemukannya kitab
tanpa aksara yang sesungguhnya adalah kitab kehidupan. Pertanyaan lain pun
terlontar “Dari ketiga buku yang telah ditulis, sisi apa yang sesungguhnya
ingin disampaikan Agustinus?” Agustinus menjelaskan satu per satu. Pada Selimut
Debu, ia ingin menuturkan bahwa kita seringkali dijebak impresi. Padahal,
impresi belum tentu merupakan realita, namun justru seringkali menyesatkan. Di
balik perang Afghan yang begitu gencar, justru ada warna-warni kehidupan yang
lebih indah. Pada Garis Batas ia ingin menyampaikan bahwa garis batas
sesungguhnya ada di mana-mana dalam proses perjalanan hidup. Menilik pada
dirinya, sejak kecil Agustinus telah merasa kekurangan identitas. Ia pun
bertutur bahwa identitas bukan hal yang mewakili diri kita. Mbak Heti
Palestina pun menambahkan pujiannya pada buku Titik Nol. Ia menyatakan bahwa
tulisan Agustinus dilengkapi foto yang luar biasa bagus. Dalam jurnalistik,
memilih foto bukan hanya dari sisi berita, namun juga dari sisi seni. Namun, ia
menyayangkan mengapa justru foto yang menunjukkan seorang anak melompat dari
pohon itu yang dipilih sebagai cover,
karena baginya itu kurang menarik dibandingkan dengan foto lain yang tersaji.
Agustinus menjawab dengan diplomatis. Bahwa proses pemilihan cover sangat lama. Dengan berbagai
pertimbangan, dipilih cover tersebut karena mengandung banyak filosofi :
Keberanian (ditunjukkan dengan seorang anak yang melompat dari pohon),
ketakutan (ditunjukkan dengan anak lain yang tidak melompat), pilihan (seorang
anak memilih melompat, sedang yang lain tidak), eksotisme (ditunjukkan langit
biru), misteri (akan ke mana anak itu meloncat). Keseluruhannya menunjukkan
bahwa dua perjalanan yang berbeda, namun akhirnya akan sama. Pembedah juga
menyatakan kekagumannya dengan mengatakan bahwa tulisan Agustinus seperti
tulisan Che Guevara. Ditanya apa yang akan Agustinus lakukan selanjutnya, ia
menyatakan ingin fokus pada profesi travel
writer, namun ia tak ingin berjalan, justru ingin tinggal lama di dalam dan menyelami suatu negara.
Pernyataan
seorang Agustinus Wibowo itu mengakhiri sesi bedah buku. Berkali-kali mendapat
sambutan, pujian dan apresiasi yang luar biasa baik dari seluruh pihak yang
hadir, buku Titik Nol dan penulisnya menjadi objek berfoto semua orang
setelahnya. Pihak Gramedia memberikan beberapa buku Titik Nol bertanda tangan
untuk diserahkan pada berbagai pihak yang membantu terlaksananya acara ini.
Setelah itu, sebagian besar hadirin berkerumun di meja penyaji demi mendapat
tanda tangan pada buku masing-masing dan kesempatan foto bersama. Meski
mendapat pernyataan bahwa lampu perpustakaan yang memanfaatkan genset harus
dipadamkan pukul setengah empat sore, hadirin pantang pulang dan rela
mengantri. Beberapa tumpukan buku yang menjulang menanti untuk ditandatangani.
Ditanya apa Mas Agus merasa lelah menandatangani buku sebanyak itu, dengan
ramah ia menjawab, “Pernah mendapat kesempatan untuk menandatangani buku yang
jauh lebih banyak dari pada saat ini.” Di tengah-tengah sesi signing, ia seringkali mendapat
pertanyaan atau sapaan tambahan. Dengan sabar, ia layani satu persatu hingga
akhirnya satu per satu hadirin pulang dan hanya menyisakan panitia. Tim GRI
Surabaya yang tersisa (sebagian sudah harus pulang lebih dulu) menyempatkan
untuk foto bersama penulis. Namun, apa keseruan hanya sampai di situ? Ternyata
tidak. Acara bedah buku Titik Nol akan kembali dilaksanakan pada hari Sabtu,
tanggal 13 April 2013 di tempat yang berbeda. Akan lebih banyak cerita, lebih
banyak inspirasi yang akan dibagikan oleh Agustinus Wibowo, seorang pejalan
dengan berjuta pengalaman menarik yang mencerahkan. Meski menyatakan akan
menetap di suatu negara, ia, Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nolnya akan
terus berjalan…
Surabaya, 8 April
2013
Untuk Goodreads Indonesia,
Nabila Budayana
Subscribe to:
Posts (Atom)