Pages

Tuesday, August 18, 2020

[Cerita Anak] Tarian Hujan Icon

Lala menggeleng pada Icon. Ia ingat kata Mama. Jangan main hujan. Nanti sakit.

"Ayolah, Laa. Masa kamu enggak pernah sekali aja main hujan sih?" Icon agak kesal. Mana mungkin di dunia ini ada anak yang belum pernah main hujan?

Icon menjulurkan tangan ke tetesan hujan. Ia agak bergidik. Airnya ternyata dingin. Lala menatap curiga pada Icon.

"Kenapa, Con? Airnya dingin, kan? Kubilang juga apa. Ayo pulang pakai payung aja!"

"Ee.. enggak! Ini enggak dingin, kok!" Icon melesat ke arah jalan, bertemu hujan.

"Icoon! Nanti kamu sakit, lho!" Lala berteriak sambil melambai pada Icon. Ia mengajak Icon kembali berteduh.

Bukan Icon namanya kalau tak bandel. Ia malah menari-nari di tengah hujan. Tariannya aneh. Goyang pinggul kanan-kiri, angkat tangan, lambai-lambai, putar-putar delapan kali. Seperti senam yang biasa nenek Lala lakukan di rumah. Lala geleng-geleng kepala melihatnya.

Icon melihat Lala. Bukannya kembali, Icon malah menghentak-hentakkan kakinya di kubangan air warna cokelat. "Horee, horee! Ini kayak susu cokelat!"

"Susu cokelat enggak pakai lumpur dong, Icoon! Sudah, ayo pulang!" Lala jadi heran pada dirinya sendiri. Biasanya dia yang dimarahi Mama. Sekarang, dia yang mengomel pada Icon.

Lala membuka payung kuning yang dibawakan Mama dari rumah. Lala curiga Mama peramal. Mama selalu tahu apa yang Lala akan butuhkan. Padahal tadi pagi Lala menolak habis-habisan ada payung di dalam tasnya. Siapa yang tahu jika hari ini akan hujan, kan?

Lala mulai melangkah. Ia berjalan pelan-pelan. Pokoknya ia tak boleh kena basah. Lala tak mau membuat Mama repot kalau ia jatuh sakit. Sepatunya juga jangan sampai kena lumpur. Nanti Mama akan kesusahan mencucinya.

Lala berjingkat-jingkat menjauhi genangan air. Satu, dua. Yeah! Ia selamat dari genangan. Tinggal satu genangan lagi untuk selamat sampai ke jalan. Hup! Lala melompat. Suara kecipak keras mengagetkan Lala. Icon mendorongnya. Kaki Lala masuk ke dalam genangan yang akan ia hindari.

"Icooon!" Lala belum pernah berteriak sekeras ini. Icon menyebalkan.

Bagaimana ini? Sepatunya sudah berubah jadi perahu. Sayangnya, perahu yang bocor. Air cokelat itu masuk ke sepatunya.

Icon mulai joget lagi dengan tariannya. Goyang pinggul, lambai-lambai, putar-putar. Lala putus asa melihat sahabatnya. Seragam, rambut, sepatu Icon sudah kuyup. Tapi wajahnya gembira sekali. Senyumnya lebar, suara tawanya meriah. Lala jadi iri. 

"Ayo!" Icon mengambil payung Lala. Lala melotot dan mulai mengomel. Ia jadi basah! Ialah si Icon yang tak peduli. Ia malah mengajak Lala menari bersama-sama! Goyang pinggul, lambai-lambai, putar-putar.

"Icon! Malu tuh!" kata Lala sambil menunjuk pada bapak tukang parkir yang melihat mereka berdua.

Lala menutup muka dengan kedua telapak tangannya karena malu. Ia memejamkan mata. Lala merasakan air hujan yang mengenai kepalanya. Kalau Lala memejamkan mata seperti ini, hujan terasa berbeda. Rasanya sejuk!

"Lala, sini!" Icon berteriak dari kejauhan.

Lala membuka telapak tangannya. Ia terkejut sekali! Butir-butir air hujan menjadi permen bulat warna-warni. Hijau, merah, pink, ungu, kuning, cokelat, putih, dan... pokoknya banyak! Permen-permen itu hinggap di pohon, atap, jalan, bahkan saku seragam Lala dan Icon.

"Waaa!" mereka berteriak bersamaan. Icon dan Lala membuka mulut lebar-lebar. Mereka berlomba untuk menelan permen sebanyak mungkin. Puas makan permen, Icon bergulingan di lautan permen di jalan. Lala bermain tangkap permen dengan tangannya.

Lala merasa dadanya akan meledak karena gembira. Ia berteriak-teriak sepuasnya. Berlari-lari. Tertawa-tawa. Menari-nari. Tak ada Mama yang berkata tidak boleh. Tidak ada tukang parkir yang melihat mereka dengan heran. Saat ini cuma ada Icon dan Lala yang bermain di dunia permen! 

***

Ketika Icon menari-nari entah keberapa kalinya, hujan permen berhenti. Lala dan Icon mengedipkan mata. Mereka kembali. Jalan yang becek, rambut yang basah, sepatu yang kotor. Icon melihat wajah Lala yang kecewa. Dunia permen mereka lenyap. Icon tersenyum. Ia merogoh saku dan memberikan sebutir permen ungu untuk Lala.

“Tadi aku simpan di dalam saku! Hehe!” kata Icon nyengir.

Lala mengunyah permen itu. Senyumnya lebar sekali. Senyum paling lebar yang pernah Lala miliki.

 

 


Surabaya, 18 Agustus 2020

 

Friday, August 7, 2020

[Cerpen] Riak Sungai Allegheny


Riak sungai Allegheny berhenti menari sejenak ketika menampilkan pantulan diriku di wajah air. Kubuat ia kembali marah dengan melempar sebongkah batu hitam dari tepi. Aku suka melihat bagaimana permukaan air itu koyak, melompat ke udara sesaat, sebelum menampilkan lingkaran yang terus membesar, kemudian hilang. Ada kalanya aku gagal melakukannya diam-diam, tidak seperti hari ini. Ibu pasti akan mencengkeram tanganku sebelum aku sempat melempar. Ia akan seketika membawaku ke balik semak yang melindungi kami dari banyak tatapan, dan memukulkan payungnya ke pantatku. Sakitnya aku hafal benar. Menembus sampai ke pakaian dalam, dan bisa membuatku berjalan timpang di sisa perjalanan menuju rumah. Anehnya, ia selalu membiarkan Gustav si pengecut cilik itu untuk melakukannya. Kutebak karena Gustav lahir dengan penis di antara kakinya.

Perjalanan ke sungai Allegheny hari itu berbeda dan jadi kuingat selamanya. Ibu membawa koper kulit besar yang biasa dibawa Ayah untuk bepergian ketika harus mengecek tanah-tanah di luar kota. Ayahku spekulan tanah. Sayangnya tak banyak yang bisa kuingat dari Ayah saat ini selain hanya punggungnya yang menjauh dari bingkai pintu rumah setiap kali ia akan pergi. Hari itu Ayah tak ada di rumah, dan koper besar itu tergeletak di atas lemari kamar. Ibu menjejalkan sebuah benda besar ke dalamnya kemudian buru-buru memintaku berganti pakaian pantas. Sepanjang jalan aku mendapat cengkeraman ibu di pergelangan tangan hingga terasa sakit.  



Ini aneh. Ibu membiarkanku bermain lempar batu sampai aku puas. Kemudian ia membuka koper dengan buru-buru sampai-sampai lengan loncengnya tersangkut resleting. Tapi ia tak peduli dan menarik keluar sebuah kanvas besar. Di muka kanvas itu terlihat seorang perempuan dengan gaun garis longgar. Lengannya tergulung agar tak mengenai air baskom. Ia mencelupkan kaki seorang anak perempuan di pangkuannya. Anak kecil itu diriku, kata Ibu sembari memamerkan lebar mata terbesarnya. Ia menderap-derapkan kakinya di tepi sungai Allegheny dan mengutukku dengan banyak kata tak pantas. Kanvas itu terlempar dan membuat riak sungai menelannya sesaat sebelum membuatnya tenggelam.

***

Aku tak mengerti mengapa Ibu melakukannya hari itu. Ia bilang ia membenci dengan seluruh amarah tujuh generasi padaku, Ayah, dan perempuan berbaju longgar dalam kanvas. Sampai saat ini aku di sini. Dengan batu dan tali yang terikat di pergelangan kaki. Aku memeluk kanvas itu erat. Ibu dan aku berada di tempat yang berbeda sekarang. Ibu tak suka sungai Allegheny. Jadi ia bermain timbun tanah seperti tikus di jalan Butler dengan marmer bertuliskan nama di atas timbunan tanahnya. Aku tetap di sini. Aku suka riak air sungai Allegheny.


Surabaya, 30 Juli 2020

*Terinspirasi lukisan Mary Cassat