Bedah Buku Flying
Traveler
Persembahan Goodreads Indonesia Regional Surabaya
Persembahan Goodreads Indonesia Regional Surabaya
Pembicara : Junanto Herdiawan
Pembedah : Lalu Abdul Fatah
Moderator : Nabila Budayana
Tempat : Oost Koffie & Thee
Surabaya
Hari, Tanggal : Minggu, 11 Mei
2014
Waktu : 15.30 WIB
Break the boundaries. Ternyata Levitasi punya filosofi.
Awalnya, mata saya termasuk yang tak menangkap bagaimana foto yang membutuhkan
lompatan itu memiliki makna di baliknya. Segalanya adalah masalah sudut
pandang kita melihat. Saya diingatkan kembali tentang pemaknaan itu oleh
seorang ekonom yang jauh dari kesan kaku. Ekonom gaul itu bernama Junanto
Herdiawan. Saya yakin banyak orang yang tak menyangka usianya sudah kepala
empat. Gayanya asik dan begitu membaur, bahkan dengan muda-mudi yang berusia
jauh di bawahnya.
Semuanya diawali dari curhatan santai atasan saya tentang
beliau. Intinya, buku terbaru beliau akan segera terbit. Genre traveling,
bertema Levitasi. Menarik. Saya langsung terpikir untuk menyusun acara untuk
GRI Sby. Mumpung buku itu masih segar, baru terbit di pasaran. Beruntunglah
pula, saya punya teman baik yang hobi jalan-jalan sembari menulis, Lalu Abdul
Fatah. Ia pun cukup banyak berkutat di dunia travel writing. Hanya hitungan
hari, pembicara dan pembedah langsung mengiyakan, bersedia untuk dipertemukan
di satu forum. Berkat pertemuan sebelumnya, Mbak Ifana, tim dari Oost Koffie
& Thee pun langsung menyambut baik niatan kami untuk meminjam tempat
sembari ngopi sore di sana. Publikasi, saya pasrahkan pada Ghozi yang bekerja
baik. Sementara dokumentasi selama acara kami dibantu oleh Mbak Lina Handriyani
yang berbaik hati bersedia menangkap momen-momen.
Tanggal 11 Mei datang. Berdasar permintaan khusus dari
pembedah, bahwa bicara traveling cocok dilakukan di sore hari, kami tentukan
pukul 15.30 WIB. Sebelum itu, saya dibantu Ghozi me-layout ruang. Kami ingin
semua audiens mendapat posisi yang nyaman untuk menyimak jalannya acara. Banner
sudah dibentang, perlengkapan pun sudah, pengisi acara siap, acara dimulai.
Dibanding dengan acara pembicara sebelumnya, acara ini memang tak begitu ramai.
Tapi tentu punya atmosfer berbeda. Lebih dekat dan hangat. Mayoritas bangku
diisi anak-anak muda. Sebelum acara dimulai, saya sempat berkelakar dengan Pak
Iwan, nama panggilan Bapak Junanto Herdiawan. “Wah, yang datang muda-muda, Pak.
Berarti Pak Iwan masih muda juga, nih!” Kemudian ia membalas dengan tak kalah lucu, “Iya. Saya kan cuma beda (usia) sedikit sama Bila!” Saya
langsung yakin bahwa acara nanti akan berjalan seru.
Setelah memberi penjelasan singkat tentang Goodreads
Indonesia, saya mulai membacakan sesi perkenalan. Membacakan sederet panjang
riwayat ekonom seorang Junanto Herdiawan hingga menjadi Deputi Direktur Bank
Indonesia Jatim, posisi yang dimilikinya saat ini, saya serasa masih berpikir
betapa panjangnya jalan karir yang telah ia tempuh. Meski di awal karirnya ia
justru pernah menjadi seorang jurnalis suatu media. Alasan memilih menjadi
ekonom di Bank Indonesia nyatanya sederhana. Ia berujar bahwa dengan bekerja di
sana, ia memiliki banyak kesempatan untuk berkeliling ke banyak tempat. Sesuai
dengan hobinya : traveling. Tapi bukan berarti ia ‘mengorbankan diri’ dengan
menjadi ekonom. Passion-nya tak hanya satu. Menjadi ekonom pun adalah impian
dan merupakan hal yang ia lakukan dengan suka cita. Menulis pun sama. Baginya
menulis memiliki arti yang besar pula. Keistimewaan untuk berbagi, bahkan
hingga diterbitkan dalam bentuk buku menjadi sebentuk kepuasan tersendiri.
Menurutnya, seseorang dengan pekerjaan apapun akan mempunyai nilai tambah dengan
menulis. Empat bukunya terbit di kurun waktu yang cukup singkat, dua tahun
saja. Japan Afterschock : buku yang
berkisah tentang pengalamannya saat terjadi gempa dan tsunami besar di
Jepang, Shocking Korea dan Shocking Japan : keinginannya mengungkap
fragmen-fragmen ‘culture shock’ yang pernah ia alami di kedua negara tersebut,
hingga akhirnya ia memilih melayang bersama Flying Traveler : buku yang
menggabungkan dua tema, traveling dan Levitasi.
Kisah panjang prestasi pun datang dari sang pembedah, Lalu
Abdul Fatah. Sederet pengalaman jurnalistik sebagai kontributor di media
online, menulis sebuah buku solo dan 15 antologi, menjadi koordinator dan
editor beberapa buku traveling, menjuarai berbagai kompetisi, hingga pengalaman
‘jalan, menulis dan dibayar’ yang pernah ia lakukan. Masih muda, tajam, kritis
dan punya visi yang jauh ke depan. Belakangan, Junanto Herdiawan berpendapat
tentang sang pembedah demikian.
Levitasi nyatanya memiliki keistimewaan bagi Junanto
Herdiawan. Diawali dengan keluhan sederhana : bosan dengan foto yang
mainstream. Berangkat dari itu, ia mencoba Levitasi sebagai sekadar keisengan.
Belakangan, justru ia menyadari bahwa Levitasi tak hanya memperluas dunianya
dengan berbagai liputan dan penghargaan, namun ia juga menemukan bahwa ada
makna spiritual darinya. Melayang dan melawan gravitasi bermakna bahwa kita
sesungguhnya bisa keluar, kita mampu melakukan lebih dari apa yang kita bisa.
Semua anggapan adalah paradigma. Kita mampu melakukan sesuatu ketika kita
percaya. Hal yang sama terjadi pada
seorang Natsumi Hayashi, gadis Jepang penemu Levitasi. Asisten fotografer yang
tak percaya diri itu kini begitu bebas dan ‘terbang’ dengan Levitasinya.
Setelah pembicara melakukan presentasi singkat tentang
Flying Traveler dan Levitasi, saya cukup banyak melempar pertanyaan pada
pembedah dan pembicara. Mulai pertanyaan santai, hingga pertanyaan yang
berangkat dari rasa penasaran saya secara pribadi. Jawaban menarik datang dari
Pak Iwan. Misalnya tentang saya yang bertanya tentang bagaimana pendapat
orang-orang sekitar ketika dirinya melakukan Levitasi di suatu tempat. Pak Iwan
mendapat sudut pandang yang berbeda dari itu. Ia menemukan ciri khas dari masyarakat
di daerah tertentu berdasar tanggapan mereka ketika ia melakukan Levitasi.
Entah orang-orang Jepang yang berlagak tak peduli meski penasaran, orang Korea
yang suka bertanya-tanya dan mengagumi apa yang ia lakukan, bahkan orang
Indonesia yang mampu bertepuk tangan untuk sebuah lompatan Levitasi. Saya juga
mengajukan beberapa pertanyaan tentang proses editing, tentang penentuan
komposisi penulisan dan bagaimana pengalamannya menulis opini di media massa
mempengaruhi cara menulisnya di Flying Traveler. Semuanya dijawab dengan lugas
dan bijaksana. Namun yang menarik rasa penasaran saya adalah mengapa penulis
tak menambahkan sisi filosofi dalam bukunya, sementara ia pernah mengambil
major filsafat di salah satu perguruan tinggi. Ia menjawab dengan diplomatis.
Baginya, ia sudah menyelipkan berbagai filosofi di buku Flying Traveler. Dari
hal-hal kecil yang ia temukan saat melakukan traveling dan Levitasi, ia menemukan
filosofi. Misalnya dalam perbedaan kultur, agama dan budaya dari masing-masing
tempat dimana ia melakukan Levitasi. Semakin banyak berjalan, ia semakin
menyadari bahwa kebenaran yang mutlak untuk diri sendiri, belum tentu menjadi
kebenaran mutlak bagi orang lain. Begitu banyak dan beragam kebenaran di muka
bumi. Maka baginya, kesempatan usia yang ada baiknya digunakan untuk
berjalan-jalan, melihat dunia, memaknai kehidupan. Kami tak melulu bicara Levitasi dan travel writing. Pak Iwan bahkan mampu mengkorelasikan antara teori
ekonomi dan traveling. Dengan kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang
meningkat saat ini, mereka sudah memiliki kebutuhan yang berbeda. Traveling
adalah salah satunya.
Pada akhirnya perspektif saya bukan cenderung melihat beliau
sebagai Deputi Direktur Bank Indonesia Jatim. Saya melihat beliau sebagai seseorang
yang tak pernah kehilangan semangat untuk melakukan segalanya dengan passion,
kecintaan penuh terhadap apa yang ia kerjakan. Yang menjalani kehidupan seperti
ringan saja, namun tak pernah meninggalkan kedalaman makna yang selalu ia
tancapkan dalam-dalam pada dirinya. Yang tak pernah membatasi diri, bebas
terbang, dan selalu siap menembus batas-batas. Sama seperti makna yang ia temukan
dalam Levitasi :
“Ketenangan jiwa dan kedamaian hati biasanya disimbolkan
oleh keringanan diri. Bila hati terasa ringan, kebahagiaan biasanya menjelang.
Levitasi di tengah suasana spiritual, bagi saya, adalah sebuah simbol
ketenangan jiwa.”
Surabaya, 15 Mei 2014
Untuk Goodreads Indonesia,
Nabila Budayana