Pages

Thursday, May 15, 2014

LPM Bedah Buku Flying Traveler - Junanto Herdiawan, Lalu Abdul Fatah



Bedah Buku Flying Traveler 
Persembahan Goodreads Indonesia Regional Surabaya


Pembicara : Junanto Herdiawan
Pembedah : Lalu Abdul Fatah
Moderator : Nabila Budayana
Tempat : Oost Koffie & Thee Surabaya
Hari, Tanggal : Minggu, 11 Mei 2014
Waktu : 15.30 WIB


Break the boundaries. Ternyata Levitasi punya filosofi. Awalnya, mata saya termasuk yang tak menangkap bagaimana foto yang membutuhkan lompatan itu memiliki makna di baliknya. Segalanya adalah masalah sudut pandang kita melihat. Saya diingatkan kembali tentang pemaknaan itu oleh seorang ekonom yang jauh dari kesan kaku. Ekonom gaul itu bernama Junanto Herdiawan. Saya yakin banyak orang yang tak menyangka usianya sudah kepala empat. Gayanya asik dan begitu membaur, bahkan dengan muda-mudi yang berusia jauh di bawahnya. 

Semuanya diawali dari curhatan santai atasan saya tentang beliau. Intinya, buku terbaru beliau akan segera terbit. Genre traveling, bertema Levitasi. Menarik. Saya langsung terpikir untuk menyusun acara untuk GRI Sby. Mumpung buku itu masih segar, baru terbit di pasaran. Beruntunglah pula, saya punya teman baik yang hobi jalan-jalan sembari menulis, Lalu Abdul Fatah. Ia pun cukup banyak berkutat di dunia travel writing. Hanya hitungan hari, pembicara dan pembedah langsung mengiyakan, bersedia untuk dipertemukan di satu forum. Berkat pertemuan sebelumnya, Mbak Ifana, tim dari Oost Koffie & Thee pun langsung menyambut baik niatan kami untuk meminjam tempat sembari ngopi sore di sana. Publikasi, saya pasrahkan pada Ghozi yang bekerja baik. Sementara dokumentasi selama acara kami dibantu oleh Mbak Lina Handriyani yang berbaik hati bersedia menangkap momen-momen.  

Tanggal 11 Mei datang. Berdasar permintaan khusus dari pembedah, bahwa bicara traveling cocok dilakukan di sore hari, kami tentukan pukul 15.30 WIB. Sebelum itu, saya dibantu Ghozi me-layout ruang. Kami ingin semua audiens mendapat posisi yang nyaman untuk menyimak jalannya acara. Banner sudah dibentang, perlengkapan pun sudah, pengisi acara siap, acara dimulai. Dibanding dengan acara pembicara sebelumnya, acara ini memang tak begitu ramai. Tapi tentu punya atmosfer berbeda. Lebih dekat dan hangat. Mayoritas bangku diisi anak-anak muda. Sebelum acara dimulai, saya sempat berkelakar dengan Pak Iwan, nama panggilan Bapak Junanto Herdiawan. “Wah, yang datang muda-muda, Pak. Berarti Pak Iwan masih muda juga, nih!” Kemudian ia membalas dengan tak kalah lucu, “Iya. Saya kan cuma beda (usia) sedikit sama Bila!” Saya langsung yakin bahwa acara nanti akan berjalan seru. 

Setelah memberi penjelasan singkat tentang Goodreads Indonesia, saya mulai membacakan sesi perkenalan. Membacakan sederet panjang riwayat ekonom seorang Junanto Herdiawan hingga menjadi Deputi Direktur Bank Indonesia Jatim, posisi yang dimilikinya saat ini, saya serasa masih berpikir betapa panjangnya jalan karir yang telah ia tempuh. Meski di awal karirnya ia justru pernah menjadi seorang jurnalis suatu media. Alasan memilih menjadi ekonom di Bank Indonesia nyatanya sederhana. Ia berujar bahwa dengan bekerja di sana, ia memiliki banyak kesempatan untuk berkeliling ke banyak tempat. Sesuai dengan hobinya : traveling. Tapi bukan berarti ia ‘mengorbankan diri’ dengan menjadi ekonom. Passion-nya tak hanya satu. Menjadi ekonom pun adalah impian dan merupakan hal yang ia lakukan dengan suka cita. Menulis pun sama. Baginya menulis memiliki arti yang besar pula. Keistimewaan untuk berbagi, bahkan hingga diterbitkan dalam bentuk buku menjadi sebentuk kepuasan tersendiri. Menurutnya, seseorang dengan pekerjaan apapun akan mempunyai nilai tambah dengan menulis. Empat bukunya terbit di kurun waktu yang cukup singkat, dua tahun saja. Japan Afterschock : buku yang  berkisah tentang pengalamannya saat terjadi gempa dan tsunami besar di Jepang, Shocking Korea dan Shocking Japan : keinginannya mengungkap fragmen-fragmen ‘culture shock’ yang pernah ia alami di kedua negara tersebut, hingga akhirnya ia memilih melayang bersama Flying Traveler : buku yang menggabungkan dua tema, traveling dan Levitasi. 

Kisah panjang prestasi pun datang dari sang pembedah, Lalu Abdul Fatah. Sederet pengalaman jurnalistik sebagai kontributor di media online, menulis sebuah buku solo dan 15 antologi, menjadi koordinator dan editor beberapa buku traveling, menjuarai berbagai kompetisi, hingga pengalaman ‘jalan, menulis dan dibayar’ yang pernah ia lakukan. Masih muda, tajam, kritis dan punya visi yang jauh ke depan. Belakangan, Junanto Herdiawan berpendapat tentang sang pembedah demikian.

Levitasi nyatanya memiliki keistimewaan bagi Junanto Herdiawan. Diawali dengan keluhan sederhana : bosan dengan foto yang mainstream. Berangkat dari itu, ia mencoba Levitasi sebagai sekadar keisengan. Belakangan, justru ia menyadari bahwa Levitasi tak hanya memperluas dunianya dengan berbagai liputan dan penghargaan, namun ia juga menemukan bahwa ada makna spiritual darinya. Melayang dan melawan gravitasi bermakna bahwa kita sesungguhnya bisa keluar, kita mampu melakukan lebih dari apa yang kita bisa. Semua anggapan adalah paradigma. Kita mampu melakukan sesuatu ketika kita percaya. Hal yang sama terjadi pada seorang Natsumi Hayashi, gadis Jepang penemu Levitasi. Asisten fotografer yang tak percaya diri itu kini begitu bebas dan ‘terbang’ dengan Levitasinya. 

Setelah pembicara melakukan presentasi singkat tentang Flying Traveler dan Levitasi, saya cukup banyak melempar pertanyaan pada pembedah dan pembicara. Mulai pertanyaan santai, hingga pertanyaan yang berangkat dari rasa penasaran saya secara pribadi. Jawaban menarik datang dari Pak Iwan. Misalnya tentang saya yang bertanya tentang bagaimana pendapat orang-orang sekitar ketika dirinya melakukan Levitasi di suatu tempat. Pak Iwan mendapat sudut pandang yang berbeda dari itu. Ia menemukan ciri khas dari masyarakat di daerah tertentu berdasar tanggapan mereka ketika ia melakukan Levitasi. Entah orang-orang Jepang yang berlagak tak peduli meski penasaran, orang Korea yang suka bertanya-tanya dan mengagumi apa yang ia lakukan, bahkan orang Indonesia yang mampu bertepuk tangan untuk sebuah lompatan Levitasi. Saya juga mengajukan beberapa pertanyaan tentang proses editing, tentang penentuan komposisi penulisan dan bagaimana pengalamannya menulis opini di media massa mempengaruhi cara menulisnya di Flying Traveler. Semuanya dijawab dengan lugas dan bijaksana. Namun yang menarik rasa penasaran saya adalah mengapa penulis tak menambahkan sisi filosofi dalam bukunya, sementara ia pernah mengambil major filsafat di salah satu perguruan tinggi. Ia menjawab dengan diplomatis. Baginya, ia sudah menyelipkan berbagai filosofi di buku Flying Traveler. Dari hal-hal kecil yang ia temukan saat melakukan traveling dan Levitasi, ia menemukan filosofi. Misalnya dalam perbedaan kultur, agama dan budaya dari masing-masing tempat dimana ia melakukan Levitasi. Semakin banyak berjalan, ia semakin menyadari bahwa kebenaran yang mutlak untuk diri sendiri, belum tentu menjadi kebenaran mutlak bagi orang lain. Begitu banyak dan beragam kebenaran di muka bumi. Maka baginya, kesempatan usia yang ada baiknya digunakan untuk berjalan-jalan, melihat dunia, memaknai kehidupan. Kami tak melulu bicara Levitasi dan travel writing. Pak Iwan bahkan mampu mengkorelasikan antara teori ekonomi dan traveling. Dengan kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang meningkat saat ini, mereka sudah memiliki kebutuhan yang berbeda. Traveling adalah salah satunya.

Pada akhirnya perspektif saya bukan cenderung melihat beliau sebagai Deputi Direktur Bank Indonesia Jatim. Saya melihat beliau sebagai seseorang yang tak pernah kehilangan semangat untuk melakukan segalanya dengan passion, kecintaan penuh terhadap apa yang ia kerjakan. Yang menjalani kehidupan seperti ringan saja, namun tak pernah meninggalkan kedalaman makna yang selalu ia tancapkan dalam-dalam pada dirinya. Yang tak pernah membatasi diri, bebas terbang, dan selalu siap menembus batas-batas. Sama seperti makna yang ia temukan dalam Levitasi : 

“Ketenangan jiwa dan kedamaian hati biasanya disimbolkan oleh keringanan diri. Bila hati terasa ringan, kebahagiaan biasanya menjelang. Levitasi di tengah suasana spiritual, bagi saya, adalah sebuah simbol ketenangan jiwa.”



Surabaya,  15 Mei 2014
Untuk Goodreads Indonesia,


Nabila Budayana