Pages

Thursday, November 9, 2017

Jalan Panjang dalam Ragam : Jejak Langkah 60 Tahun Pertemuan Musik

Perjalanan panjang komunitas yang menjadi salah satu jejak sejarah musik di Indonesia, Pertemuan Musik (PM), mencapai enam puluh tahun. Melalui pasang-surut dan berbagai tantangan, organisasi ini bertahan dengan spirit yang masih serupa sejak didirikan 1957 lalu.


 "Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik"

dokumentasi : butawarna design


Gedung Balai Pemuda Surabaya menjadi saksi perjalanan usia Pertemuan Musik Surabaya (yang kemudian bertransformasi menjadi Pertemuan Musik). Di perayaan 60 tahunnya, Senin, 30 Oktober 2017 lalu, PM memutuskan untuk mengadakan perayaan di lokasi sama dengan acara pertama yang diselenggarakan 60 tahun lalu oleh para pendirinya. Mencapai usia panjang, Pertemuan Musik yang didirikan oleh Slamet Abdul Sjukur, T. Lan Ing, dan Roeba'i Katjasungkana telah mencapai banyak hal, dan telah melewati berbagai badai ujian. Sayangnya, semua pendiri tak sempat turut dalam perayaan 60 tahun ini karena telah berpulang. Generasi muda yang membawa tongkat estafet dari PM melanjutkan kibar bendera cinta musik tersebut.


Press Conference 60 Tahun Pertemuan Musik

Enam puluh tahun menebar virus cinta musik, Pertemuan Musik juga berniat mengabadikan jejak perjalanan tersebut, sejak awal berdirinya di September 1957 hingga 2016. Di kesempatan perayaan 60 tahun lalu, dummy dari buku "Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik" disosialisasikan pada awak media. Buku tersebut disusun oleh Nabila Budayana, Pramita Dikariani Rosalina, dan Gema Swaratyagita. Pengerjaannya akan terus dipungkaskan dan disempurnakan di tahun 2018. Dipandu Ulin Rostiti, selain buku, Fransiska Ratri mengungkap sekilas sejarah PM, Joko Gombloh berbagi tentang penampilannya malam itu bersama Sono Seni Ensemble, dan Diecky K. Indrapraja yang memaparkan program rangkaian acara Jejak Langkah 60 Tahun Pertemuan Musik. 



Bincang Musik
Rangkaian acara yang bertajuk "Jejak Langkah 60 tahun Pertemuan Musik" ini mencoba membawa ciri khas dari PM yang kerap menjadikan musik bukan hanya sebagai sebuah pertunjukan yang dinikmati, namun juga sebagai bahan diskusi mendalam. Diawali dengan Bincang Musik "Menyambung Mata Rantai Musik Melalui Komunitas", PM menghadirkan ruang diskusi yang diisi oleh Setiawati Winarto (Anggota Pertemuan Musik, pimpinan Sekolah Musik Melodia), Joko S. Gombloh (penulis, pengajar, pemusik), Joko Porong (pemusik), Gema Swaratyagita yang digantikan oleh Nabila Budayana (penulis buku 60 tahun Pertemuan Musik), dan dimoderatori oleh Diecky K. Indrapraja (komponis, pendidik, peneliti musik).

Dalam pembahasannya, Diecky sempat menyinggung tentang bagaimana jejak langkah PM di awal berdirinya pada Setiawati sebagai putri dari Sorento, pendiri Sekolah Musik Melodia yang sejarah lahirnya terinspirasi oleh Pertemuan Musik Surabaya di masa 1980-an. Beralih pada Nabila, Dicky juga melempar pertanyaan tentang kesan eksklusif sebuah komunitas musik yang sempat melekat pada PM. Menurut Nabila, banyak pihak yang mengakui label tersebut, bahkan Slamet Abdul Sjukur sendiri. Di masa awal berdirinya di tahun 1957, Pertemuan Musik banyak mengangkat musik klasik barat sebagai tema acara. Di masa ketika rakyat lebih akrab dengan musik Karawitan, sangat wajar jika PM terkesan sebagai sebuah kelompok yang eksklusif. Namun dalam perkembangannya ketika PM mulai dikelola oleh Gema Swaratyagita dan kawan-kawan mudanya, PM mulai membuka diri pada segala jenis musik, misalnya dengan mendatangkan pemusik-pemusik muda beraliran folk song atau musik klasik India.

Dokumentasi : Adrea Kristatiani


Joko Gombloh dan Joko Porong sempat memberikan pendapat yang menarik tentang eksistensi sebuah komunitas musik. Bagi Joko Porong, komunitas musik dewasa ini banyak yang tak tampak, bahkan cepat muncul dan cepat hilang. Porong menggarisbawahi tentang pentingnya sinergi antar komunitas musik dan sistem publikasi yang perlu diperbaiki. Sedangkan Joko Gombloh memberikan komentar terkait ciri sebuah komunitas musik yang sehat. Menurutnya, komunitas harus berbasis sosial dan ideologis. Basis sosial berarti berkembang secara cair, tidak formal, serta anggota yang dapat saling beriringan (hirarki keanggotaan hanya sebagai sarana formalitas untuk membagi tugas). Sedangkan basis ideologis harus tertancap kuat karena berfungsi untuk menjaga kontinuitas, konsistensi, dan spirit dari sebuah komunitas. Joko Gombloh mencontohkan komunitas tempatnya bergiat, Bukan Musik Biasa (BMB). Basis sosial BMB ditempa dengan sangat kuat selama bertahun-tahun dengan merangkul segala kalangan, dan menghargai kebhinekaan musik apa pun. Ia juga tak segan memberi pandangannya tentang Pertemuan Musik. Konsep PM yang dilegalkan secara hukum sejak awal berdirinya cukup membuat Gombloh terkejut. Baginya, legalisasi dikhawatirkan akan memudarkan basis ideologis dan basis sosial, karena legalisasi akan menciptakan sebuah kepentingan baru yang mampu mengikis dua unsur basis komunitas itu. Namun pada akhirnya, sebuah komunitas dilegalkan atau tidak bukan menjadi masalah asalkan tetap disokong oleh dua basis tersebut. Ia pun mengingat bagaimana karakter Slamet Abdul Sjukur (SAS) sebagai pendiri PM. SAS dikenal sangat idealis dan kritis menyikapi sesuatu, bahkan untuk sebuah ideologi organisasi. Termasuk sikap kritis SAS ketika berada dalam sebuah komunitas dengan basis ideologis yang terkikis, SAS akan bertindak dengan meninggalkannya. Sehingga, Joko Gombloh meyakini bahwa SAS memiliki pertimbangan dan arah tersendiri dengan basis ideologis kuat pada Pertemuan Musik.

Menariknya, sesi ini dihadiri oleh beberapa komunitas musik lain yang bergerak di Surabaya dan sekitarnya. Rentang diskusi pun semakin meluas. Salah satu komunitas misalnya, menanyakan apa hubungan antara radio dengan musik, mengingat saat ini banyak musisi yang kehilangan koneksi dengan radio sebagai penyiar musik-musik mereka. Bagi Joko Gombloh, radio dan musik tentu punya ikatan yang sangat kuat, karena yang paling esensial dari musik adalah bunyi. Menjawab pertanyaan tersebut, Gombloh menilai bahwa radio sangat rentan pada karakter mediumnya. Segmen pasar sangat menentukan, yang kemudian akan berdampak pada kapital. Ini merujuk pada kemonotonan jenis musik yang disiarkan radio. Siaran radio tidak akan didengar, jika tidak ditujukan pada segmen pasar yang sesuai. Namun lepas dari hal tersebut, perlu juga menabrak pakem-pakem yang pernah ada. Sebuah stasiun radio bahkan pernah berhasil mendapatkan segmen pendengar tersendiri karena menyiarkan lagu-lagu yang tak diputar di radio lain. 

Menutup akhir perbincangan, sebagai salah satu tokoh dalam Pertemuan Musik saat ini, Setiawati mengutarakan tentang bagaimana dirinya mendapatkan wawasan-wawasan baru tentang berbagai jenis musik, dan harapannya tentang keberlanjutan perjalanan PM dalam memasyarakatkan musik. Hal itu sejalan dengan yang diutarakan Joko Gombloh, bahwa yang terpenting dari bermusik adalah kejujuran, tanpa batasan, sehingga menghasilkan khasanah musik yang lebih luas. Dalam sebuah komunitas juga diperlukan sebuah iklim yang sinergis dengan komunitas lain. Di kesempatan itu, Nabila mengajak pada komunitas-komunitas musik yang hadir untuk saling mendukung satu sama lain. Di atas penilaian baik-buruknya sebuah komunitas, yang terpenting di zaman ini adalah kerjasama. Komunitas musik diharapkan bisa terus membuka diri dan cair, ungkap Joko Porong. 

Melewati usia yang tak sebentar, membuat PM ingin merefleksikan jejaknya pada spirit dan gerakan cinta musik yang masih terus diusung. Dalam perjalanannya, begitu banyak rekan-rekan yang mengiringi dan mendukung semangat Pertemuan Musik tersebut. Setiawati Winarto memimpin kegiatan potong tumpeng dan diberikan pada sahabat-sahabat PM seperti sonologis asal Belanda, Piet Hein, Joko Porong, Joko Gombloh, Diecky K Indrapraja, Andrew (Butawarna Design), juga Pramita Rosa dan Nabila Budaya sebagai penyusun buku 60 tahun PM. 


Konser Musik 
"Pertemuan Musik bagai sebuah pohon besar yang terus menaungi dan memberi manfaat.", Ulin Rostiti memberikan kalimat pembuka dan memandu acara malam itu. Mewakili Gema Swaratyagita, Samuel Respati memberikan sambutan selamat datang pada audiens. Sebagai wakil direktur Pertemuan Musik, Samuel mengenang tentang bagaimana perkenalannya dengan Slamet Abdul Sjukur dan Gema Swaratyagita yang kemudian berujung pada bergabungnya Samuel di Pertemuan Musik. SAS dengan karakternya yang unik menjadi kenangan tersendiri bagi Samuel. Sosok SAS yang begitu lekat dengan PM juga disinggung oleh Piet Hein, yang turut memberikan sambutan sebagai sahabat dekat SAS. Ia menilai betapa spirit SAS masih hidup dalam tubuh PM hingga saat ini. Perhelatan musik malam itu menghadirkan I Wayan Dhamma (Surabaya), SOOS Violin Quartet (Surabaya), dan Sono Seni Ensemble (Solo). Pilihan tampilan ini menarik, karena masing-masing menyajikan jenis musik yang berbeda. PM ingin menunjukkan keterbukaannya pada berbagai ragam genre musik. Pertunjukan musik dibuka dengan menyuguhkan penampilan dari String Orchestra of Surabaya Violin Quartet di bawah pimpinan Shienny Kurniawati. Audiens disambut dengan nuansa barok yang kental dari movement pertama Grave, di Concero for 4 Violins no.3 in A Major milik Telemann. Dinamika gesekan violin Shienny bersama Michael Adi Tjandra, Angelia Soegito, dan Celine Liviani Tandiono terus diajak naik hingga movement akhir, Spirituoso. Komposisi itu kemudian mengantar audiens pada nuansa yang berbeda di komposisi kedua, The Return for 4 Violin Quartet.



SOOS Violin Quartet
Dokumentasi : Adrea Kristatiani


I Wayan Dhamma, seorang pemain flute asal Surabaya ini tak sendiri. Ia membawa enam orang lainnya, Tri Retno, Ayoga Indhon, Adhyla Mahardika, Dirgo Roslukita, Radhitya Mukti, dan Achmad Nabila untuk menyajikan komposisi kontemporer ciptaannya. Polah, yang membawa nuansa bermain dengan musik. Perkusi, trombone, tenor saxophone, flute, demung, dan vocal menjadi ajang ekspresi Dhamma dalam menyajikan musik yang lincah dan penuh kejutan. Dhamma bermain banyak dengan dinamika yang ekstrim. Bukan hanya memadukan nuansa tradisional dengan rythm yang rapi, Dhamma juga memadukan nuansa RnB, Rap, bahkan tambahan elemen Beat Box. Terkesan jenaka dan teatrikal, Dhamma menyajikan sebuah sajian pertunjukan yang dinamis dan eksploratif. 

Dokumentasi : Adrea Kristatiani


Delapan personel Sono Seni Ensemble (SSE) mendapat giliran untuk meramaikan puncak acara. Telah mengisi berbagai ajang musik internasional, momen kehadiran SSE bertepatan dengan album baru mereka yang baru saja rilis, Kroncong Wrong. Gondrong Gunarto, Joko S. Gombloh, Zoel Mistortoyfi, Adham Lanu Buana, Dwi Harjanto, John Jacobs, Ginevra House, dan Yeni Arama membawakan lima komposisi yang menghadirkan suasana berbeda pada audiens. Violin, ukulele, gitar akustik, bass, trompet, dan vocal sinden mewujudkan keroncong fusion, dengan gabungan Jazz bahkan Bossanova. Ragam padu yang sebagian besar bagi audiens hal baru sangat menghibur. Terdengar rumit namun harmonis. Masing-masing pemain mengerti benar porsinya, merasa nyaman dengan komposisi mereka bawakan, dan dewasa bermain, sehingga membentuk sebuah keutuhan yang menyenangkan. SSE memberikan ruang baru pada audiens dalam menikmati musik. Komposisi-komposisi yang dibawakan pun hasil karya dari masing-masing personel dengan unsur dominan yang berbeda dari masing-masing komposisi. Komposisi terakhir karya John Jacobs, misalnya. Menarik dengan menggabungkan keroncong bahkan dengan Ave Maria.


Dokumentasi : Samuel Respati


Bincang Konser 
Jalinan persahabatan yang kuat antara Slamet Abdul Sjukur dan I Wayan Sadra semasa hidup, menjadikan Sono Seni Ensemble, sebuah grup musik bentukan I Wayan Sadra, gembira dapat menjadi salah satu penampil di peryaan 60 tahun Pertemuan Musik. Setelah tampil sebagai puncak acara di perayaan 60 tahun PM, Joko S. Gombloh, Gondrong Gunarto, John Jacobs, dan Zoel Mistortoyfi hadir kembali ke hadapan audiens dipandu oleh Diecky K. Indrapraja.

John Jacobs, pria asal Inggris, penggagas SSE, dan pemain trompet ini memberikan kilas balik perjalanan grup tersebut. SSE sebagai sebuah grup juga mengalami pasang-surut. Pasca berpulangnya I Wayan Sadra, SSE sempat berhenti aktif selama lima tahun, hingga kedatangan John dari York, Inggris dengan mengayuh sepeda selama 22 bulan membawa energi SSE kembali hingga saat ini. Di tahun 1998, John berdialog dengan Wayan Sadra. Perbincngannya kali itu membahas tentang Jazz dan Bossanova. Ketika muncul ide untuk memadukan keroncong dengan dua genre tersebut, John bahkan sempat khawatir dengan hasilnya. Namun, justru hal tersebut dibuktikan hingga saat ini dengan terus berkembangnya musik Sono Seni Ensemble dibarengi berbagai eksplorasi. Bahkan bagi John, SSE banyak memainkan detail-detail dari keroncong yang tak dapat ia temukan pada kelompok musik keroncong sendiri.

dokumentasi : Adrea Kristatiani


Gondrong Gunarto berpendapat bahwa musik SSE merupakan pensenyawaan berbagai emosi. Contohnya, SSE bahkan mengemas lagu yang sedih dengan tampilan harmoni yang jenaka. SSE pun mengaku banyak terinspirasi dari gending Jawa. Bukan hanya Jawa, Zoel Mistortoyfi juga menciptakan salah satu komposisi yang terinspirasi oleh gending Madura. Bagi Joko Gombloh, SSE ingin membumikan musik mereka. Menampilkan Keroncong yang berbeda, namun tetap bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Menanggapi tentang apakah musik SSE mendapat anggapan sebagai musik yang susah dinikmati, Joko Gombloh angkat bicara. Baginya, salah satu kendala ada pada media konvensional yang belum berpihak pada musik keroncong yang mereka bawakan. Padahal, media efektif untuk membangun apresiasi pada masyarakat.

Perbicangan semakin menarik, dengan ditutup oleh tanggapan dari Musafir Isfanhari, pegiat Keroncong dan musisi senior di Surabaya yang hadir malam itu sebagai audiens. Terbiasa mendengar keroncong "konvensional', Isfanhari menilai bahwa dirinya menikmati musik yang dibawakan SSE, dengan memberi perumpamaan "Seperti makan gudeg dan pizza secara bersamaan (sebagai perumpamaan musik lokal dan barat yang dipadukan)." bagi Isfanhari, setiap kali akan menikmati musik, konsep-konsep musik di dada harus ditepikan, agar dirinya lebih terbuka dan menikmati  ragam bunyi baru.



Pengisi acara dan personel PM.
Dokumentasi : Adrea Kristatiani



Enam puluh tahun masih terlalu singkat untuk mampu mewujudkan sebuah cita-cita besar menjadikan masyarakat mencintai musik secara mendalam. Namun enam puluh tahun juga menjelma waktu yang panjang sebagai jejak perjuangan ideologi tentang bagaimana penyikapan manusia terhadap bunyi, terhadap budaya, dan terhadap kemanusiaan. Selamat ulang tahun, Pertemuan Musik!


Wednesday, September 20, 2017

Pour L'amour de La Musique : Sajian Piano, Cello, dan Flute

Empat pemuda-pemudi menggemakan musik di aula Wisma Musik Melodia Surabaya 29 Agustus 2017 lalu. Melalui konser bertajuk Pour L'amour de La Musique, Felix Justin (piano), Jonathan Inkiriwang (piano), Jessica Jordanius (cello), dan Satryo Budi Gunawan (flute) hadir menyajikan musik mereka.

Konser dibuka dengan melodi yang menyenangkan dari Haydn Trio in D Major dibawakan oleh Jonathan, Satryo, dan Jessica. Terdiri dari tiga movement, Allegro, Andantino Piuttosto Allegretto, dan Vivace Assai, ketiga musisi cukup kompak melewati tantangan lagu. Running yang repetitif tak membuat kedodoran pada piano. Namun flute terdengar agak longgar di awal. Audiens dibawa ke tempo yang lebih lambat dan tenang kemudian. Di bagian akhir, stamina dan konsistensi pemain diuji dengan not yang semakin rapat dan cepat. Satryo terlihat memimpin dengan tetap sabar mengurai frase. Secara keseluruhan, Jonathan terasa agak tegang dalam menyampaikan pesan lagu, namun Jessica dan Satryo mampu mengimbangi dengan dewasa. 

Audiens dibawa ke Ballade milik Ch. Lefebvre. Alunan yang tenang ini dibuka dengan banyak bagian solo dari flute. Komposisi yang tak terlalu panjang ini menarik pada bagian solo cello. Jessica mengisi ruangnya dengan sangat baik. Meski pada bagian akhir flute terdengar agak longgar, namun trio ini cukup berhasil menghadirkan nuansa ballad pada audiens.

Sebelum Felix Justin hadir, Satryo beramah-tamah dengan audiens dengan bagaimana lokasi di mana mereka bermain memiliki kenangan tersendiri, bagaimana sekolah musik itu banyak berarti bagi karier bermusik mereka saat ini. Beberapa dari penampil malam itu memulai perjalanan dunia musiknya dengan belajar pada pengajar senior di Melodia. 

Foto : Dokumentasi Satryo Budi Gunawan

Felix Justin tampil dengan Prelude op.23 no.4 milik Rachmaninoff. Dengan berbagai pujian pada Felix tentang prestasi bermusiknya, tentu ekspektasi audiens dijunjung tinggi. Felix bermain dengan rapi dan tenang sejak not pertama. Dinamika yang terasa dan transisi yang halus menunjukkan kontrol yang prima. Felix berhasil menggambarkan cantiknya struktur komposisi ini dengan harmoni dan melodi yang disampaikan baik. Penjiwaan yang mumpuni juga berhasil membuat komposisi ini terasa menyentuh dengan emosi yang tepat. 

Berlanjut Scherzo op.39 no.3 milik Chopin, Felix menghadirkan mood yang berbeda jauh dengan komposisi sebelumnya. Ketenangan Rachmaninoff langsung digantikan dengan melodi yang gelap namun grande dari Chopin. Komposisi ini menggambarkan kondisi emosi gelap ketika Chopin menyusunnya di dalam penjara. Terdengar rumit dan dinamika yang kerap cepat berubah, transisi terasa sangat mulus di tangan Felix. Tekstur yang rapi, forte yang menggetarkan, dan nuansa grande yang tersampaikan membuat rumitnya Chopin terasa menjadi pesan yang mudah dicerna dan dirasakan. Amarah dan kepedihan juga sampai pada audiens. Felix tampil dengan luar biasa baik. 

Ditutup dengan Adagio Variation et Rondo milik Johann Nepomuk Hummel, Felix, Satryo, dan Jessica mengantarkan audiens pada sebuah ketenangan. Setelah disuguhkan tampilan solo yang cantik dari Felix, di komposisi ini Felix tampak "mundur" dengan memposisikan dirinya sama rata pada trio. Kekompakan antar penampil tampak cukup baik, dan perpindahan mood tersajikan dengan mulus. Hanya saja flute terasa longgar di beberapa bagian.   

Secara keseluruhan, tampilan ini menghibur dengan pemilihan daftar komposisi yang dimainkan, beserta penyajian yang menarik dari para penampil.   

Thursday, September 14, 2017

Lantun dan Denting : Resital Klarinet dan Piano

Kembali mengenali dan tampil di tanah sendiri menjadi tantangan bagi pianis muda, Danang Dirhamsyah. Mahasiswa musik di Jerman yang sedang menyelesaikan pendidikan master-nya ini kembali tampil di negeri sendiri setelah lima tahun. Membawa rekannya asal Lithuania, Ugne Varanauskaite (Klarinet), bersama Pertemuan Musik mereka menyapa publik Surabaya melalui Resital Klarinet dan Piano di 28 Agustus 2017 lalu. Selain mengadakan pertunjukan, mereka juga memberikan masterclass untuk piano dan klarinet di kampus UNESA tanggal 29 Agustus 2017.

Tampil dengan kostum senada, Dagna dan Ugne membuka pertunjukan dengan Camille Saint-Saens -Sonata Clarinet op. 167. Menghadirkan empat movement, Danang dan Ugne berkolaborasi. Pada Allegretto, movement pertama, dihadirkan nuansa legato yang tenang. Masih ada keseruan dinamika yang bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh Danang dan Ugne. Di movement kedua, Allegro animato komposisi mulai menuntut dengan kerapatan not yang rancak. Kemampuan Ugne diuji dalam hal kerapian frase. Lento di movement ketiga membawa audiens dalam nuansa kelam dan minor. Di Molto Allegro, dinamika pun dinaikkan di bagian menjelang akhir dengan banyak running notes yang menuntut kekompakan antar pemain. Repertoar ini ditutup dengan kembali ke ketenangan serupa di awal. Danang dan Ugne bisa memberikan chemistry dan pesan yang lebih baik di awal pertunjukan, agar komposisi ini tersampaikan secara dramatis.

Audiens diajak mundur seratus tahun dari komposisi sebelumnya di kesempatan kedua. Danang menghadirkan Piano Sonata A flat major op. 110 milik Beethoven. Komposisi ini merupakan rangkaian tiga sonata piano karya Beethoven yang terinspirasi kisah tragedi Yunani kuno. Menurut Danang yang memberikan pengantar sebelum komposisi ini dimainkan, karya ini memiliki keunikan dengan penitikberatan komposisi di bagian akhir. Dibuka dengan ketenangan dengan kerapatan not, thrill yang dihasilkan Danang rapi. Dinamika yang dibawakannya pun cukup tersampaikan. Komposisi panjang ini memberikan beban pada pemain untuk melawan kemonotonan. Danang melewatinya dengan cukup baik.

Foto : Dokumentasi Pertemuan Musik


Setelah jeda, Ugne mengambil alih panggung dengan memainkan Three Pieces untuk Klarinet tunggal milik Stravinsky. Karya ini menunjukkan posibilitas bunyi yang dapat dihasilkan dari klarinet, dengan menunjukkan nuansa hangat maupun dingin dari lantunan sebuah klarinet. Movement pertama dibuka dengan kelembutan yang bercerita. Tak panjang, movement kedua sangat berbeda. Not yang rapat sering hadir dengan lincah, menceritakan tentang kucing dan burung yang bermain bersama. Di bagian akhir, Ugne mengganti klarinetnya untuk mencapai not-not tinggi. Bagian akhir yang bertempo cepat dan terkesan rumit ini menjadi klimaks dari komposisi. Ugne ditantang untuk menjaga konsistensi staminanya agar karya ini terdengar lebih rapi.  

Tetap membawa semangat Indonesia di antara karyanya, Danang dan Ugne juga menyajikan Derau Hening karya Gema Swaratyagita. Karya kontemporer ini diciptakan Gema karena terinspirasi oleh sebuah kota kecil di Jerman, Lubeck. Karya yang diciptakan khusus untuk duet piano dan klarinet, Danang dan Ugne ini mencoba menggambarkan keheningan dengan riuh perkotaan yang menyelip. Pada komposisi ini, Danang dan Ugne seakan membawa mood penonton kembali. Banyak yang berbeda dari karya ini. Dinamika yang naik turun dengan nuansa kelam yang ganjil, klarinet yang dimainkan tanpa melodi, sehingga seakan menggambarkan desau angin yang berembus. Ugne juga kerap memukul pelan tubuh klarinet sebagai bentuk suara baru. Komposisi ini menghadirkan kisah melalui bunyi yang ditampilkan. Meski terinspirasi dari kota di Eropa, namun terasa ada nuansa Indonesia dari pemilihan melodi serupa pelog yang dibawakan Danang. Sepi yang melelahkan bukan hanya tergambar dari bunyi yang dihasilkan alat musik, namun juga hela napas dari para pemain yang menutup komposisi ini.

Pada Ballade op.10 milik Brahms, Danang tampil dengan lebih lepas pada komposisi ini. Karya ini terinspirasi oleh sebuah puisi Jerman yang membawa kisah sebuah perbincangan antara ibu dan anaknya. Sang ibu menanyakan mengapa pisau milik sang anak berlumuran cairan merah. Konflik memuncak ketika sang ibu tahu bahwa itu bukanlah darah hasil buruan, namun darah dari sang ayah sendiri. Karakter masing-masing fase adegan dipindahkan Brahms pada tiga buah tema di No.1 D Minor. Tentang sang ibu, anak, dan nuansa dramatis dari dialog mereka. Sedangkan pada No.2 D Mayor ditampilkan dengan lebih tenang. Hentakan pertama seakan sudah berkisah tentang ketegasan. Perlahan dinamika dibawa naik, dengan nuansa gelap yang menegangkan. Danang membawa audiens pada sebuah bisikan dan rahasia. Frase-frase Danang terdengar rapi, sehingga nuansa dan pesan tersampaikan.

Dance prelude untuk klarinet dan piano Lutoslawski. Komposisi yang menjadi karya berbau musik tradisional Polandia terakhir dari sang komposer ini menarik. Begitu dimulai, audiens langsung disambut dengan pilihan-pilihan melodi khas Polandia yang bertempo cepat. Tak lama, movement kedua menyajikan nuansa kontemporer yang kelam dan misterius. Beralih ke movement ketiga Allegro giocoso, audiens dibawa pada tempo yang cepat. Kekompakan dan kemampuan teknis personal dari masing-masing instrumen sangat dibutuhkan. Andante menjadi movement berikutnya. Seakan mengendap dengan not yang jarang dan tenang, sang penari memperlambat geraknya. Allegro Molto menjadi penutup yang rapat dan cepat. Komposisi ini mengharapkan artikulasi yang jelas untuk menyampaikan kalimat-kalimatnya dengan jernih.

Duet muda ini membawa kesegaran pada publik Surabaya karena tak banyak hadir duet piano dan klarinet dalam panggung-panggung pertunjukan. Danang dan Ugne memberi sebuah tampilan yang jujur dan menunjukkan semangat berkembang yang tinggi.


  

Sunday, September 3, 2017

Lantunan Cinta dari Belanda : Uit Utrecht met Liefde

Mendalami musik dari tiga konservatori yang berbeda, Felix Justin (piano), Satriya Krisna (Tenor), dan Marlina Deasy Hartanto (Soprano) bertemu dan menemukan keinginan yang sama untuk menggelar pertunjukan bersama ketika berada di Utrecht. Membawa musik dan cinta dari negeri Belanda, ketiganya mengunjungi Surabaya di 15 Agustus 2017 lalu untuk pertunjukan bertajuk "Uit Utrecht met Liefde" (From Utrecht with Love).

Malam itu Gedung pertunjukan Cak Durasim cukup penuh. Melihat bagaimana di saat bersamaan, publik Surabaya juga disuguhkan konser kolaborasi Worldship Orchestra, Amadeus Orchestra, dan Airlangga Orchestra di tempat berbeda, animo penonton dalam menanggapi cinta trio anak bangsa Felix, Deasy, dan Satriya terhitung sangat bagus.

Meski dimulai cukup larut daripada biasanya, namun konser tak begitu saja dimulai. Di bagian awal, para penampil dipandu Patrisna May Widuri menyapa hangat audiens dan memberikan sedikit pengantar terkait karier yang sedang mereka jalani, juga tentang beberapa karya yang akan mereka tampilkan.

Foto : Dokumentasi Amadeus


Tiga anak muda ini membawa banyak prestasi dari kemampuan bermusik mereka. Satriya, misalnya. Ia baru saja lolos sebagai peserta pertama yang mewakili Indonesia di sebuah kompetisi vokal bergengsi di Swiss. Ia sibuk mengunjungi berbagai negara untuk mengikuti bermacam ajang. Felix yang baru saja lulus dengan nilai sempurna untuk pendidikan master-nya membentuk trio musik kamar, dan aktif di Samsakta Duo dengan Satriya Krisna. Felix pun tak lelah mengikuti berbagai kompetisi. Sedangkan Deasy sedang mengupayakan pendidikan musik untuk balita yang ia kembangkan di Jakarta.

Di Uit Utrecht met Liefde, mereka bertiga sepakat untuk membawakan komposisi-komposisi yang jarang diperdengarkan di ruang-ruang konser di Indonesia. Jika membaca sekilas daftarnya, komposisi yang mereka mainkan sangat banyak dan padat. Termasuk salah satunya "Pictures at an Exhibition" milik Modest Mussorgsky yang sangat jarang dimainkan secara utuh karena panjang komposisinya.

Konser ini terasa ramah pada audiens karena hampir setiap kali komposisi akan dimainkan, penampil memberikan panduan tentang isi karya. Dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama diisi dengan komposisi-komposisi pendek. Bermula dari Als Luise die Briefe milik Mozart, Deasy yang manis ketika berbicara langsung berubah menjadi penuh amarah dengan suara soprannya. Sesaat, Deasy menjadi seorang kekasih yang dikhianati kekasihnya. Sementara Felix rapi dan tenang dalam menyajikan komposisi mengiringi Deasy. Disusul dengan Du Meines Herzens Kronelein dan Das Rosenband baik Felix maupun Deasy menunjukkan stamina yang bagus. Akhir babak pertama ditutup dengan Romance milik Debussy.

Foto : Dokumentasi Amadeus


Babak kedua menjadi ruang bagi Felix untuk mengajak audiens menjelajah galeri lukisan. Karya ini didekasikan Mussorgsky untuk sahabatnya, Viktor Hartmann yang merupakan seorang seniman, arsitek, dan desainer. Melalui sepuluh sub-karya pendek ditambah dengan pengulangan dan variasi pola Promenade, pengalaman indera penglihatan ketika memandang berbagai jenis lukisan dipindahkan pada gema di ruang konser oleh Felix. Bermacam tema diperdengarkan. Derap-derap zaman romantik Rusia milik Mussorgky pun terasa melalui tema awal Promenade. Kesenangan berjalan mengitari galeri, hingga kesedihan seseorang dalam mengingat sahabatnya. Dalam Gnomus, digambarkan gnome yang mengendap hingga berlari cepat dengan kaki bengkoknya. Audiens dikembalikan sesaat ke variasi promenade sebelum ke kemisteriusan panjang dari kastil tua melalui Il Vecchio Castello. Dinamika dinaikkan kemudian dengan hentakan dari versi forte Promenade. Audiens kemudian disuguhkan langkah kecil dari kaki anak-anak melalui staccato dari Tuileries.

Bydlo langsung hadir mengejutkan dengan fortissimo hingga berujung pianissimo sebagai penggambaran deru kereta kuda. Suguhan kembali pada promenade yang kali ini bernuansa gelap. Sesaat kemudian audiens langsung dibawa ke Balet Nevylupivshikhsya Ptentsov yang lincah, dan menggambarkan kekacauan khas anak-anak. Secara tiba-tiba, audiens diboyong ke persahabatan dua orang yahudi miskin dan kaya, Samuel Goldenberg and Schmuyle, nuansa ketegangan yang dihadirkan bagai berkisah tentang jurang sosial yang memisahkan dua sahabat ini.

Dikembalikan ke variasi Promenade yang ceria dan grande, keributan di pasar Limoges le Marche menyusul. Melodi yang padat sesuai dengan riuhnya warna pada lukisan yang menggambarkannya. Catacombs menghadirkan suasana bawah tanah Paris yang kelam dan kadang menyimpan kepedihan. Nuansa perkabungan diperdengarkan melalui Promenade : Con Mortuis in Lingua Morta. Dinamika ditarik naik dengan not-not rapat dari Izahbuska Na Kur'ikh Nozhkakh yang berkisah tentang kejam dan gelapnya penyihir Baba Yaga yang menelan anak-anak. Ketegangan ketika memburu korban tergambarkan.

Komposisi panjang ini ditutup dengan Bogatyrskie Vorota yang mengingatkan pada dering lonceng, dan ketegapan prajurit. Ditutup dengan hentakan, Felix mendapat apresiasi positif untuk stamina dan keberaniannya menawarkan komposisi panjang ini pada audiens. Felix terdengar sangat rapi dan detail, namun audiens bisa mendapatkan kesan yang lebih dramatis dari tampilan ini.

Foto : Dokumentasi Amadeus



Babak ketiga menjadi milik Samsakta Duo, tenor dan piano oleh Satriya dan Felix. Membawakan Der Kuss karya Beethoven, nuansa lincah dihadirkan. Komposisi pendek ini berkisah tentang kisah seorang lelaki yang ingin mencium kekasihnya. Satriya tampil dengan lepas dan gerak tubuh yang ekspresif. Dinamika dari cerita pun tersampaikan. Tampilan ini berhasil menghadirkan senyum di antara audiens. 

Bertolak belakang dengan komposisi sebelumnya, membawakan karya Nachtstuck D.672 milik Schubert tentang kematian yang indah, dikisahkan, sang tokoh, seorang kakek tua memainkan harpa dan menyanyi hingga kemudian kematian menjemputnya. Dibuka dengan perlahan, sederhana dan tenang, nuansa minor pun seketika menyergap. Harmoni yang disajikan Satriya dan Felix pun terasa kelam, bijaksana, dan sangat menyentuh.

Ketegasan dan amarah hadir kemudian melalui Le Manoir de Rosemonde milik Henri Duparc. Yang kemudian dilanjutkan dengan ketenangan dan kelembutan dari Sanglots from Banalites karya Poulenc yang terasa indah sekaligus muram. Felix dan Satriya kemudian menyajikan I Heard You Singing karya Eric Coates dengan sangat cantik. Mereka berhasil menyampaikan nuansa romantis dan elegan yang menyentuh. Spring Waters Rachmaninov yang menggambarkan tentang antusiasme menyambut datangnya musim semi menjadi penutup untuk babak ketiga. Felix dan Satriya terasa matang dan padu dalam berduet.

Foto : Dokumentasi Amadeus


Seakan mengantarkan audiens sebelum usai, di bagian terakhir, Felix, Satriya, dan Deasy bergantian menyajikan trio dan duo. Pada In der Nacht milik Schumann, ketiga penampil hadir. Enggan membiarkan berlalu dengan biasa, Deasy dan Satriya bermain-main dengan ekspresi dan gerak tubuh serupa opera sebagai pemanja visual.

Deasy dan Felix kemudian membawakan Che Fieromomento dari opera OrfeoedEuridice karya Christoph W. Gluck menghadirkan emosi yang berbeda. Deh Vieni dari opera Le nozze di Figaro menjadi suguhan berikutnya. Deasy tampak mulai bermain dengan gerak tubuhnya. Menggantikan Deasy, Satriya dan Felix hadir dengan komposisi Kuda, kuda vi udalilis dari opera Eugene Onegin karya Tchaikovsky. Satriya seakan hadir dengan menantang audiens dengan pertanyaan. Deasy dan Felix kembali dengan Ah non credea dari opera La Sonambula milik Bellini. Komposisi ini menjadi ajang Deasy untuk menunjukkan teknik vokalnya melalui dinamisnya alur lagu. Ditutup dengan Amor ti vieta dari opera Fedora milik Giordano, Satriya dan Felix memberikan sebuah akhir yang mengesankan. Meski bersahutan, keduanya kompak dari segi timing dan harmoni sehingga komposisi tersampaikan dengan sangat mengalir dan melahirkan tepuk tangan meriah.


Foto : Dokumentasi Amadeus


Ikatan musikal yang lebih kuat antara Satriya dan Felix membuat bagian duo menjadi lebih solid daripada trio. Penampilan yang nyaman dan lepas selalu bekerja untuk menyampaikan pesan, membangun suasana, dan estetika musikal. 

Satriya, Felix, dan Deasy sepakat membawa musik kali ini bukan hanya sebagai pertunjukan yang melahirkan tepuk tangan, namun juga untuk memberi inspirasi baru pada audiens untuk membawa kecintaan dan kemampuan bermusiknya pada dunia, serta memperdengarkan wawasan musik baru pada publik pencinta musik Indonesia.  

Foto : Dokumentasi Amadeus

Sunday, April 2, 2017

Terus Hidup : Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu

Slamet Abdul Sjukur, komponis musik kontemporer Indonesia, masih pekat dalam kenangan. Mengenang dua tahun kepergiannya, delapan kota di Indonesia mengadakan pertemuan di waktu yang berdekatan. Jogjakarta, Surabaya, Papua, Jakarta, Bogor, Pontianak, Padang Panjang, dan Bandung. 


"Slamet dalam Karya, Laku, dan Ilmu" terwujud 27 Maret 2017 lalu. Di sekitar panggung kecil di Warung Mbah Cokro Surabaya, berkumpul murid-murid, sahabat, bahkan yang belum sempat mengenal beliau. Acara dibuka dengan dibacakannya catatan Gema Swaratyagita, murid Slamet, tentang perayaan Sluman Slumun Slamet,79 tahun usia Slamet Abdul Sjukur 2014 lalu yang sempat digelar di tiga kota. Gema bercerita tentang beberapa hal kecil yang menarik. Salah satunya pengalaman menelusuri teka-teki berapa usia Slamet sesungguhnya demi perhelatan tersebut. Juga cerita tentang beliau yang mencuri usia demi untuk mendaftar beasiswa ke Prancis, hingga bagaimana inspirasi yang datang dari seorang Slamet bisa membekas di benak banyak orang hingga kini. Gema juga mengungkap kesannya tentang hari-hari menjelang Slamet berpulang. Beliau selalu berkata "Besok (saya) mati." setiap kali murid dan rekannya merencanakan suatu hal untuk beliau.

Pemilik warung Mbah Cokro, Zurqoni mengajak hadirin mengenang sejenak dan mengucap doa untuk Slamet. Dalam hening, baru terasa betapa banyak orang yang masih membutuhkan Slamet hingga saat ini. Menggugah ingatan kembali, diputarkan juga video tentang ucapan selamat ulang tahun dari sahabat-sahabat Slamet di peringatan Sluman Slumun Slamet. Tentang betapa Slamet meninggalkan beragam kesan pada orang-orang terdekatnya.

Foto oleh : Adrea Kristatiani

Yang menarik, tampaknya seorang Slamet Abdul Sjukur juga mempunyai kedalaman dan sisi yang tak banyak diketahui orang lain. Banyak pengakuan yang terlontar dari murid dan rekannya, bahwa mereka merasa tak begitu mengenal Slamet, dan menduga orang lain mengenal beliau lebih baik. Menandakan bahwa Slamet begitu rendah hati dan tak ingin memamerkan dirinya pada orang lain. 

Beranjak pada ilmu SAS, sebuah video membawa ingatan kembali pada ilmu-ilmu yang dibagikan Slamet, salah satunya program Kukiko, sebuah workshop mencipta komposisi musik yang dibimbing langsung oleh Slamet. Dalam video, sosok Slamet tampak menciptakan suasana cair dan santai, namun tetap berkualitas. Pada puluhan anak muda, beliau menyampaikan tentang pentingnya memaksimalkan ingatan, kepekaan, dan kebebasan berekspresi dalam mencipta komposisi. Slamet juga seorang yang eksperimental. Dalam membuat komposisi, beliau menekankan jika komponis mesti menyisihkaan sesuatu yang sifatnya rutin. Terlihat SAS bukan hanya mengajarkan hal-hal teknis, namun juga mengajarkan karakter dan kepekaan sebagai manusia melalui musik.

Foto oleh : Adrea Kristatiani

Memvisualkan ingatan kembali tentang karya Slamet, malam itu juga diputarkan video dua karya yang dimainkan langsung oleh SAS di panggung Sluman Slumun Slamet di Surabaya. Gelandangan yang diciptakan di tahun 1998, dan Kabut yang dicipitakan menjelang keberangkatan SAS ke Prancis di tahun 1960. Kedunya dibawakan oleh sang empunya komposisi sendiri bersama Ika Sri Wahyuningsih dan Gema Swaratyagita. 

Dalam sesi berbincang, Joko Porong sebagai murid SAS merasakan berbagai pengalaman yang tak terlupakan tentang beliau. Salah satunya ucapan "Kalau bernafas jangan membuat berisik orang lain." yang disampaikan oleh SAS di pertemuan pertama perkuliahan. Kesan nyentrik Slamet begitu membekas pada ingatan Joko. Meski begitu, dengan karakter beliau yang sederhana, Joko Porong juga menduga seorang SAS mungkin tak suka dirayakan kematiannya. Namun spirit SAS untuk mengubah teks kehidupan menjadi elemen musikal tetap tak tergantikan dan meninggalkan kekaguman tersendiri. Lini Natalini, Oke Kawooan, dan Pak Wie turut memberikan cerita tentang bagaimana mereka bersinggungan dengan sang komponis.

Foto oleh : Adrea Kristatiani

Mengantar audiens beranjak, Gema Swaratyagita, Joko Porong, Evie Destiana, dan Kidung Kelana menampilkan Kabut ciptaan SAS, ditemani deklamasi dari Totenk Masduki dan Syarif Wajabae. Di balik betapa heningnya musik yang diciptakan Slamet, deklamasi itu menggelegar, seakan bersama menghadirkan kembali SAS yang memilih menempuh jalan sunyi, namun besar dalam karya.  

30 Juni 1935 hingga 24 Maret 2015 masih terasa terlalu singkat untuk rentang hidup seorang dengan jiwa besar berdedikasi. Namun beliau tak pernah mati. Slamet Abdul Sjukur sejatinya terus hidup. Hidup dalam hati, kepala, dan jiwa setiap yang tergerak, terinspirasi diri dan karyanya.

Foto : dokumentasi Adrea Kristatiani

Thursday, March 30, 2017

Kemegahan Indonesia : Bunga Rampai Art Festival 2017

Berjalan sendiri tentu sangat melelahkan. Sebaliknya, bersama-sama akan terasa menyenangkan. Tampaknya itu juga menjadi salah satu semangat dari Amadeus Enterprise sebagai penyelenggara berbagai kegiatan seni di Surabaya untuk mempertemukan pencinta musik dari berbagai latar belakang peran, usia, hingga genre, yang terwujud dalam Bunga Rampai Art Festival 2017 Gala Concert. Dihelat di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya 26 Maret 2017 lalu, puluhan musisi hadir merayakan musik yang beragam dalam satu panggung.



Di awal acara, menarik untuk menyimak refleksi yang disampaikan Bapak Musaifr Isfanhari, Ketua Asosiasi Pengajar Musik Jawa Timur mengungkapkan optimismenya tentang geliat musik di Surabaya dengan antusiasme audiens yang hadir di festival Bunga Rampai. Beliau begitu mengapresiasi gelaran seni Bunga Rampai yang menurutnya menunjukkan semangat berkesenian, meski hal itu belum berarti bisa sejalan dengan pendapatan finansial penyelenggara, mengingat kegiatan seni di sisi lain masih belum begitu menjanjikan untuk menyokong pendapatan acara. Bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan di Amerika dengan tingkat apreasiasi musik tinggi pun, hal yang sama masih terjadi. Sebagai gambaran, 60 orkes simfoni yang ada di Amerika, hanya 5 orkes yang mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara sisanya disokong bantuan dana dari pemerintah dan masyarakat. Beliau bahkan berandai tentang crowd funding, jika seribu orang saja pencinta musik di Surabaya menyisihkan Rp.25.000 setiap bulan, acara-acara seni sejenis tentu akan bisa lebih sering diselenggarakan.

Nuansa teduh dan sangat Indonesia mengantar audiens pada pertunjukan malam itu. Tim Musik Angklung Nafiri Sion dari GKI Manyar menyuguhkan beberapa komposisi yang menyenangkan. Sekitar 45 personel dari berbagai rentang usia, dari anak-anak hingga lansia membahu menghadirkan bunyi yang menarik. "Surabaya" dibawakan sebagai lagu perdana. Jangan bayangkan ansamble Angklung yang monoton dan membosankan. Aransemen yang mereka tampilkan tampak diperhitungkan untuk memaksimalkan bunyi angklung.

Meletakkan permainan angklung dari Nafiri Sion di awal acara bisa dibilang sangat tepat, seakan mengingatkan bahwa musik asli Indonesia akan bertabur di sepanjang jalannya acara. Audiens langsung disambut dengan nuansa yang sangat Indonesia dan bunyi angklung yang tenang. Harmoni angklung sangat padu, meski hanya sebagian kecil masih samar dalam tempo. Setelah "Surabaya", "Tanah Airku" dan "Indonesia Pusaka" dibawakan syahdu dan menggetarkan. Sebelum mengantar audiens ke penampil berikutnya, Nafirision menyisakan "I Will Follow Him" dengan beat rancak yang menaikkan kembali mood audiens. Sekali lagi, Nafiri Sion membuktikan kekuatan aransemen dan dinamika mereka. 

Gala Concert Bunga Rampai juga memberi kesempatan di setengah babak pertama pada penampil-penampil junior yang terpilih dari seleksi sebelumnya. Dimulai dari tingkat beginner, rata-rata penampil masih di usia yang sangat muda. Memainkan duo piano, trio cello-piano-violin, mereka hadir dengan komposis-komposisi pendek yang sederhana dari barat maupun lagu tradisional dan lagu anak Indonesia. Mereka tampil cukup baik dan percaya diri. Beberapa kesalahan kecil terjadi, namun tak mengurangi optimisme akan bakat mereka yang masih akan terus berkembang. Menariknya, beberapa dari mereka bahkan menghibur dengan keluguan dan atraksi lucu dengan gesture tubuh yang sesuai beat, atau bahkan mengenakan kostum lucu sesuai lagu yang mereka bawakan. Gregorius dan Teresa, misalnya. Berbagi piano berdua, mereka kompak mamainkan soundtrack animasi The Flinstones, lengkap dengan pakaian ala Fred dan Wilma, tokoh utama dalam kisah tersebut. 

Di tingkat intermediate, genre musik yang disajikan lebih beragam. Mulai duo piano-cello, duo harpa, hingga trio cello. Namun dinamika acara ditarik ke atas dengan kejutan dari trio keyboard-bass-drum dari Adi Nugroho, Fanny Surya, dan Prananda. Mereka terlihat begitu berbeda dari penampil-penampil sebelumnya dengan menyajikan hentakan-hentakan khas band semi rock. Meski berbeda, namun mereka terlihat salah satu yang paling siap dengan menampilkan kekompakkan yang sangat baik, bahkan ketika dinamika lagu terus berubah drastis. Berbagai jenis rhythm mampu dilalui dengan tepat. Yang terpenting, mereka terlihat nyaman untuk menjadi berbeda dari yang lain. 

Beranjak ke tingkat advance, penampil tak berjumlah terlalu banyak di kategori ini. Audiens dimanjakan dengan duo vokal dari Yarret Didish dan Matata Vidya di awal. Menyuarakan "Gambang Suling", mereka tampil jauh dari kesan monoton. Meski hanya berdua, mereka tak canggung menguasai panggung, namun tetap menyajikan harmoni dan aransemen yang dinamis. Mengakhiri sesi pertama, Aris Pujo tampil menggaungkan seriosa dengan "Aku Ingin Menjadi Malam". Diiringi piano FX Kartika Ratri yang mengambil porsi pengiring dengan tepat. 

Setelah jeda, Shine Harmony Voice, grup vokal yang telah membawa karya mereka di tingkat internasional tampil dan memikat audiens dengan aransemen baru dari lagu anak lawas "Impianku" milik Natasha Chairani. Nuansa grande pun hadir dengan sentuhan Amadeus Orchestra yang tampil full team. Seakan menghilangkan dahaga di audiens, Shine Harmony Voice secara berturut-turut membawakan dua komposisi kembali, dengan jenis rhythm yang berbeda dengan lagu awal. Total menghibur, Shine Harmony Voice bahkan juga menyuguhkan "Serba Salah" dari Raisa yang sangat santai dan popular. Kematangan mereka terlihat dari harmoni, stage act dengan koreografi menarik, hingga kepercayaan diri dan interaksi dengan audiens yang baik. Meski kadang paduan vokal tertutup iringan orchestra, namun hal itu tak mengurangi apreasiasi positif dari audiens. 

Jubing Kristianto yang telah ditunggu-tunggu hadir di atas panggung kemudian. Dengan penuh senyum, Jubing menyapa ramah audiens di awal. Bungong Jeumpa dibawakan sebagai lagu pertama. Sebagai solois kenamaan Indonesia, Jubing menampilkan kualitasnya dengan memainkan komposisi dengan seimbang. Melodi dan rhythm tak saling berebutan, namun tetap berhasil menyergap perhatian audiens hingga akhir. Meski seorang diri, Jubing juga tetap berhasil memunculkan ruh dari musik yang dimainkannya dan menyampaikannya pada audiens. Rek Ayo Rek dibawakan kemudian. Aransemen Jubing tetap mempesona tanpa menghilangkan karakter dari lagu. Bahkan Jubing seperti seorang pencerita. Ia selalu memberikan dinamika yang tak terduga, juga sesekali atraksi dari kemampuan tekniknya yang mumpuni. Becak Fantasi andalannya menutup penampilan solonya tanpa audiens merasa jenuh atau monoton. 

Foto oleh : Gandhi Wasono

Amadeus Orchestra hadir kembali dan bermain bersama Jubing Kristianto. Audiens diterbangkan ke nuansa pop klasik Indonesia melalui "Kala Sang Surya Tenggelam" milik Chrisye. Dengan conductor Nico Alan, orchestra bermain dengan proporsional. Belum cukup dimanjakan secara audio, di tengah tampilan, Chendra Yunita Koestomo dan Paulus Dwi Raharja hadir dan mewarnai visual panggung dengan tarian kontemporer.  

Foto oleh : Gandhi Wasono

Ochestra Amadeus kembali dengan "Pink Panther" yang familiar kemudian. Dibawakan sebagai sebuah keutuhan, komposisi tersebut juga terdengar bulat dan memiliki greget. Sebagai puncak dan suguhan terakhir, audiens yang sudah mulai merasa lelah dengan pertunjukan yang panjang dinaikkan mood-nya kembali dengan komposisi yang diaransemen dan ditampilkan secara khusus oleh Nico Alan, Amadeus Orchestra, Shine Harmony Voice, dan Jubing Kristianto. Patrisna May Widuri pun tampil apik sebagai pianis. Berbagai lagu tradisional dari berbagai daerah dipadukan dalam satu komposisi antara lain Kampuang Nan Jauh di Mato, Manuk Dadali, hingga Yamko Rambe Yamko. Tim Angklung Nafiri Sion kembali hadir dan melengkapi nuansa Indonesia dalam tampilan lengkap itu. 

Foto oleh : Shine Harmony Voice


Tampilan penampil tampak cocok dengan konsep dengan semangat keberagaman dengan pakaian-pakaian khas Indonesia, juga melodi-melodi Indonesia yang memanjakan audiens hingga akhir. Rasa Indonesia yang dibingkai megah mengingatkan kembali tentang kekayaan tanah air yang luar biasa. Hasil kerja keras Amadeus dan seluruh penampil patut diapresiasi tinggi. Pada akhirnya Bunga Rampai Art Festival 2017 membawa banyak hal positif pada setiap yang terlibat di dalamnya. Mulai penampil hingga audiens bersama-sama dalam satu lingkaran kebersamaan dan kebahagiaan : seni.    


Saturday, March 25, 2017

Edukasi Musik Ala Worldship Orchestra : A Musical Journey 3

"Music has to be a right for every citizen." - Gustavo Dudamel.

El Sistema, sebuah program edukasi tentang bagaimana anak-anak Venezuela meraih optimisme hidup melalui musik, telah menginspirasi hingga ke setengah lingkaran bumi, negeri Jepang. 

Worldship Orchestra, sebuah orkestra yang terdiri dari anak-anak muda Jepang, berlayar berkeliling dunia untuk membawa spirit dan keyakinan yang serupa : mengenalkan musik secara lebih luas. Akihide Noguchi, kapten dari WSO lah yang memiliki inisiatif untuk program mereka. Puluhan anak muda tersebut berkeliling ke banyak negara, seperti Kamboja dan Filipina dengan membawa misi edukasi musik pada anak-anak di daerah yang dikunjungi. 

Beberapa kali berkeliling Asia sejak 2015, Worldship Orchestra datang membawa semangat yang sama di Surabaya baru-baru ini. Selain atrium mall yang menjadi lokasi mereka bermain, gedung kesenian Cak Durasim pun mendapat giliran di hari Kamis, 23 Maret 2017 lalu. Sejalan dengan tujuan edukasi yang mereka angkat, tiket acara pun dapat ditebus dengan donasi berupa buku bacaan atau mainan anak.



WSO tampil tak biasa. Begitu masuk dan mengedarkan pandangan pada panggung, sudah terlihat perbedaan yang mencolok dibanding konser-konser biasanya. Berbagai karton warna-warni bertuliskan jenis-jenis instrumen pada orkestra tertempel di bagian depan masing-masing music stand.

Jangan harapkan nuansa formal pada A Musical Journey 3 WSO kali ini. Mereka tampil sangat santai dan kasual. Mulai dari kostum yang hanya kaus dan jeans, pilihan komposisi yang disajikan, hingga bagaimana acara dibawakan. Tampaknya cara itu sengaja dipilih sebagai upaya pendekatan antara audiens dan musik yang dibawakan.

Sebagai prolog, WSO menyuguhkan melodi-melodi khas dari soundtrack film-film kenamaan, seperti Harry Potter, E.T, dan Superman. Tak serta merta dilanjutkan dengan komposisi berikutnya, kapten dari WSO pun muncul menyapa audiens. Rupanya itu menjadi pola sepanjang acara. Sebelum setiap komposisi dimulai, kapten selalu memberikan gambaran tentang lagu yang akan dibawakan. Sesuai dengan misinya untuk memberikan edukasi musik, WSO memperkenalkan secara bertahap jenis instrumen apa saja yang ada dalam orkestra. Dimulai dari woodwind, masing-masing personel menjelaskan dan mendemokan bagaimana bunyi dari instrumen yang mereka mainkan. Secara santai dan interaktif pula, audiens diajak untuk memahami. Komposisi yang dipilih juga menunjukkan bunyi woodwind yang menonjol, ialah Clarinet Concerto Immer Kleiner (Always Smaller). Dengan solois Klarinet Sae Yamashita, sepanjang komposisi didemokan secara menyenangkan bagaimana bunyi masing-masing bagian Klarinet ketika dilepaskan. Edukasi yang humoris dan menghibur, pelepasan masing-masing bagian Klarinet pun dilakukan dengan semi teatrikal. Yamashita terlihat agak kurang rapi dalam memfrasekan kalimat terutama di bagian running, namun masih bisa dinikmati audiens  

Beralih ke bagian berikutnya, string section yang mendapat giliran lampu sorot. Dance Macabre (Tarian Kematian) dihadirkan. Ini cukup menjadi tantangan bagi WSO untuk menyelipkan kemuraman di antara konsep fun. Concert Master pun berpindah posisi menjadi solois, tampil dengan jubah bertudung dan gerakan-gerakan atraktif. Kemudian giliran konduktor yang mendapat perhatian. Setelah sebelumya audiens diajak untuk mencoba gerakan mengayun baton bersama, dipilih tiga audiens untuk naik ke panggung dan menjajal langsung rasanya menjadi konduktor dan mengendalikan dinamika lagu. 

Sebelum jeda, dibawakan komposisi yang sangat familiar, Carmen. Untuk komposisi yang bisa dibilang sederhana, kekompakan orkestra cukup baik. Namun ada hubungan secara emosional yang terputus antara audiens dengan harmoni yang tersampaikan. Sekadar menduga, bisa jadi karena komposisi yang terlalu sering dimainkan, sehingga para pemain pun kurang maksimal dalam menyampaikan pesan lagu. 

Di bagian kedua, WSO tak sendiri. Mereka berkolaborasi dengan Pusat Oleh Seni Surabaya Orchestra (POSS) dan Tumapel Youth Orchestra Malang. Komposisi yang dipilih soundtrack dari animasi Frozen yang sangat familiar. Total ingin menghibur audiens junior di bangku penonton, salah seorang personel WSO berkostum Elsa dan berkeliling di antara audiens, mengajak audiens bernyanyi bersama. 

Foto : instagram @annara24

Seakan mencoba menampilkan nuansa yang berbeda, soundtrack Godzilla menjadi sajian berikutnya. Sebagai penutup, Rek Ayo Rek sebagai lagu tradisional Surabaya dibawakan dengan gaya yang lebih tenang. Namun sayang, justru pilihan aransemennya menghilangkan karakter kuat beat dari Rek Ayo Rek yang kental dengan staccato-staccato yang tegas. Untuk kolaborasi dengan puluhan, bahkan ratusan pemain dalam waktu singkat, penampil bisa dibilang cukup berhasil. 

WSO menunjukkan kualitas yang cukup baik secara keseluruhan. Memilih menampilkan komposisi-komposisi yang sederhana juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi untuk pertimbangan kepentingan edukasi dan pendekatan selera audiens, namun di sisi lain orkestra tetap harus bermain maksimal karena audiens mengenal betul apa yang mereka dengar. Sepanjang acara WSO terdengar longgar di beberapa bagian komposisi, serta greget yang kurang tersampaikan. Meski begitu, konsep pendidikan yang digarap WSO sangat kreatif. Berani keluar kotak, dan menampilkan berbagai atraksi yang bersifat menghibur tampaknya menjadi andalan WSO untuk memercik apresiasi audiens terhadap musik, terutama orkestra. Untuk konsep pertunjukan, WSO telah selangkah di depan. Namun di atas itu semua, WSO berani memilih "turun gunung" dan mengambil substansi musik yang sering terlupakan : ada untuk dinikmati semua orang. 



Tuesday, February 7, 2017

Kotak Penuh Terisi : Buah Tangan Kunjungan Pegiat Budaya 2016

Lima puluh pegiat budaya menyorot kembali dan memberi refleksi tentang geliat seni di Indonesia sekembalinya dari Selandia Baru akhir tahun lalu. Benarkah Selandia Baru jauh lebih di depan?


***

Akhir tahun 2016 lalu, lima puluh pegiat budaya dari berbagai bidang dan daerah asal di Indonesia melakukan residensi selama tiga minggu (15 November 2016 - 3 Desember 2016) di Selandia Baru. Mereka terpilih dari ribuan aplikasi yang telah diajukan pada Dinas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Rabu, 1 Februari 2017 lalu, berlokasi di auditorium IFI Surabaya, beberapa dari para pegiat budaya terpilih asal Surabaya; Gema Swaratyagita, Parriska Indra, Dwiki Nugroho, dan Fauzan Abdillah, berinisiatif membagikan kisahnya pada publik tentang kegiatan dan analisa mereka terhadap geliat kebudayaan di Selandia Baru dengan tajuk acara "Marmoyo" Mari Ngomong Budoyo. 




Ialah Gema Swaratyagita, seorang musisi dan komposer asal Surabaya yang mengawali panelnya, dan berbagi inspirasi dengan audiens. Secara umum para pegiat budaya melaksanakan tahap pembekalan sebelum keberangkatan, pengenalan tentang negara tujuan, melakukan berbagai kunjungan dan pembelajaran ke beragam titik kebudayaan di Selandia Baru, hingga memperkenalkan ragam budaya Indonesia dengan berbagai tampilan kolaborasi. Gema membawa kesan tersendiri tentang giat budaya di Negeri Kiwi. Sebagai seorang musisi, Gema mendapatkan Auckland University of Technology sebagai salah satu destinasi kunjungan. Tidak hanya belajar tentang musik, namun lebih jauh dari itu, ia juga mencari informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Selandia Baru terkait kegiatan budaya. Di Selandia Baru, pemerintah mewadahi diskusi antar seniman, serta mendukung geliat seni melalui Art Council dan beberapa Foundation. Meski begitu, dari sisi keragaman budaya, Indonesia berada jauh di depan Selandia Baru. Maori, sebagai satu-satunya suku dengan kebudayaan yang masih dipertahankan hingga saat ini menjadi andalan Selandia Baru dalam menampilkan wajah kebudayaannya. Gema bahkan berkesempatan untuk mendapat arahan langsung dari musisi Maori. Menjadi suatu keistimewaan tersendiri, mengingat tradisi dan budaya Maori baru beberapa tahun belakangan boleh dimainkan oleh masyarakat umum selain suku Maori. Musik Maori turut berkembang bersama zaman, hingga lahir kolaborasi antara musik Maori dengan musik modern, seperti Rap dan DJ. Yang berbeda, musik Maori berkisar di antara alat musik tiup dan pukul sejatinya tidak dimainkan untuk sesuatu yang "hingar-bingar", justru penuh kedalaman yang syahdu; kepentingan ritual atau doa. 

Gema juga melawat ke sebuah pusat budaya di mana anak-anak muda diberikan ruang untuk mempelajari song writing dan audio recording. Dari kunjungannya, Gema mencari informasi tentang pembiayaan operasional tempat yang didukung oleh program amal masyarakat dan pemerintah. Hal itu membuka kesempatan besar pada seniman maupun pemula yang ingin berkarya secara sungguh-sungguh. Gema juga menemukan rasa Indonesia di New Zealand School of Music dalam kelompok Gamelan Padhang Mochar yang dimainkan penuh oleh warga negara Selandia Baru. Kesungguhan mereka mempelajari Gamelan terbukti dengan kebanyakan personil yang telah menyambangi Indonesia untuk mempelajari Gamelan. Bicara tentang pengarsipan, Auckland National Museum bisa menjadi contoh bagi Indonesia dalam mendokumentasikan dan merawat aset budaya. Dari perjalanannya, Gema berharap negara kita bisa belajar dari pengarsipan dokumen budaya, serta lebih sinerginya berbagai pihak di Indonesia demi mendukung budaya bangsa.    

Sejalan denga Gema, bersama sembilan orang penari lain, Parriska yang bergerak di bidang seni tari juga membawa "oleh-oleh" berharga. Jauh mendalami makna, Parriska mengungkapkan bahwa setiap kali memulai tarian, penari Selandia Baru selalu menselaraskan dirinya dengan alam. Dari kunjungannya ke berbagai lokasi, Parriska mempelajari beberapa jenis tarian suku Maori. Di antaranya Haka, tarian perang yang banyak bermain di kekuatan kaki dan ekspresi. Parriska juga mampir ke New Zealend Dance Company yang berfokus pada Ballet dan tarian kontemporer. menurut pengamatannya, penari-penari di sana gemar bereksplorasi dengan berbagai jenis objek sebagai variasi pada tarian. Meski begitu, keragaman jenis tarian Indonesia yang sempat ditampilkan pada publik Selandia Baru membuat kekaguman tersendiri. Parriska ingin seniman Indonesia bisa lebih dihargai oleh negeri sendiri, dengan lebih dimilikinya ruang-ruang untuk tampil di hadapan publik.

Fauzan dan Dwiki yang berangkat dari bidang film dan seni rupa juga memiliki buah tangan yang patut disimak. Sedikit berbeda, Fauzan menganggap dunia film Selandia Baru nyaris serupa dengan Indonesia. Hanya saja, apresiasi penonton di sana lebih baik, akses untuk mendapatkan dana produksi lebih mudah, dan disokong oleh piranti yang lebih canggih. Sedangkan Dwiki yang merupakan seorang kurator seni angkat bicara bahwa pola kerja seni di Selandia Baru berbeda dengan di Indonesia. Masalah tersebut cukup mendasar, karena di Indonesia karya seni diciptakan berdasarkan masalah yang terjadi di masyarakat, sedangkan sebaliknya, di Selandia Baru seni digunakan sebagai solusi dari masalah sosial yang ada. Apresiasi yang didapatkan untuk karya seni yang diletakkan di ruang terbuka pun bukan sebagai objek yang dekoratif, namun benar-benar dianggap sebagai karya seni yang diperlakukan sebagai perhatian utama. Meski begitu, Dwiki justru mengungkap ironi yang baginya menyenangkan. Ia merasa lebih nyaman berkesenian di Indonesia. Karena baginya, dengan minimnya dana dari pemerintah, justru seniman mampu lebih bebas berkarya tanpa terikat dengan pemberi dana. 

credit picture : instagram gemaswaratyagita

Dipandu moderator Vika Wisnu, para pegiat budaya terpilih juga mengadakan sesi obrolan ringan bersama terkait sudut pandang mereka tentang geliat budaya Negeri Kiwi demi kepentingan perkembangan seni budaya di Indonesia. Menanggapi tentang hubungan antara seniman dan pemerintah di Indonesia, Gema menilai dari sudut pandang yang berbeda bahwa kebanyakan seniman juga resisten ketika bekerjasama dengan pemerintah, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam perkembangan budaya. Fauzan sebagai seniman muda mengungkap bahwa seniman bisa mulai pro aktif mendekatkan diri dengan pemerintah dengan mengajukan berbagai aplikasi untuk program kebudayaan. Baginya, sinergi itu krusial terjalin karena industri dibentuk dari manajerial seni dan pelaku. Menyambung hal tersebut, Dwiki berpendapat, bahwa kendala lain dalam industri seni adalah kehomogenan pelakunya. Semua berebut ingin tampil, sehingga Indonesia kekurangan pelaku manajerial yang berperan penting. Tak heran, seniman mendapat tugas yang terlalu banyak untuk dipikul sendiri. Hal tersebut jadi salah satu hal yang menghambat berkembangnya industri seni di Indonesia. Pada akhirnya, langkah kaki para pegiat budaya menjejak negeri seberang bertujuan sama. Kembali dengan kotak yang penuh terisi : keinginan besar agar kekayaan budaya Indonesia dapat ditampilkan oleh anak bangsa menuju kekaguman dunia.     



Why you go away? So that you can come back. So that you can see the place you came from with new eyes and extra colors. - Terry Pratchett.