Pages

Sunday, January 20, 2013

Jessica Sudarta's Harp Concert

Saya jarang menulis curhat setelah menonton recital atau konser. Entah mengapa, saya ingin menulis kali ini. Ini murni ke-subjektif-an saya. :)

18 Januari 2013 kemarin, bertempat di Grand City Ballroom Surabaya, saya dengan excited menghadiri harp concert Jessica Sudarta. Ini pertama kalinya saya menyaksikan permainan harpa. Seringnya sih hadir untuk recital-recital piano atau konser orchestra. Saya selalu merasa melihat mimpi saya yang terwakilkan di mata mereka, para musisi. Jadi, saya selalu senang untuk datang. Di samping, memang saya sudah lama ingin menyaksikan permainan Rama Widi, salah satu harpist membanggakan Indonesia.

Awalnya sih, ekspektasi saya untuk konser tersebut tidak sebesar itu. Begitu tiba, wah.. Grande! itu kesan saya. Semuanya nampak direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Karena saya hadir sendiri, saya bisa duduk di tempat yang cukup strategis. Beberapa baris dari depan meski di sayap kiri. Beruntunglah disediakan layar LCD yang membantu melihat lebih dekat para performer di panggung. 

Sembari menunggu pertunjukan dimulai, perhatian saya tersedot pada booklet yang dibagikan sebelum acara berlangsung. Biasanya dalam recital atau konser yang pernah saya hadiri, hanya berupa pamflet dengan profil musisi, sambutan penyelenggara, daftar komposisi yang akan dimainkan, juga beberapa selipan iklan. Tapi kali itu berbeda. Masing-masing hadirin diberikan booklet ukuran besar. Saya buka-buka halaman-halaman yang ada. Bukan hanya diisi profil masing-masing pengisi acara, namun juga foto-foto juga testimoni-testimoni dari orang-orang terdekat Jessica Sudarta. Menarik. Saya rasa strategi itu tepat sebagai pengenalan kepada publik akan Jessica Sudarta, seorang gadis usia belasan multi talenta, yang memiliki bakat luar biasa. Hadirin menjadi tahu bahwa Surabaya juga memiliki seorang musisi muda hebat berbakat. Desain keseluruhan booklet nya pun sesuai dengan tema konser yang elegan.

Setelah sesaat asyik menyimak booklet, satu per satu musisi dari Java Philharmonic Orchestra berurutan masuk dan menempati posisi mereka. Tak lama, setelah seluruh anggota lengkap, sang conductor, Dian Alicia Suat, hadir menempati posisi. Persiapan dimulai, dengan masing-masing musisi yang melakukan tuning. Mendengar tuning mereka saja sudah sanggup membuat excited.

Komposisi pertama yang dimainkan oleh Java Philharmonic Orchestra adalah Finlandia Hymns. Menambah suasana Grande, di belakang orchestra ditampilkan animasi mendukung. Berupa salju yang berguguran jatuh dari pohon, pemandangan-pemandangan berbagai musim, dsb. Saya pikir animasi ini hanya akan sepotong dan menunjukkan satu adegan saja, yang kemudian akan digabungkan dengan potongan adegan lain. Namun, prasangka saya salah. Keseluruhan animasi membentuk satu plot kisah yang sesuai (baik tema maupun timing) didampingkan dengan komposisi yang sedang mengalun. Semenjak itu saya ‘ngeh’ bahwa animasi-animasi ini memang didesain dan dibuat secara khusus untuk masing-masing lagu.

Setelah puas menikmati ‘prolog’ dari orchestra, barulah seorang Jessica Sudarta, sang harpist muda hadir di atas panggung. Saya belum percaya jika ia masih berumur empat belas, jika MC tidak menyebutkannya. Bukan karena ia penampilannya yang anggun dan dewasa, namun karena di panggung, saat berkali-kali kamera menampilkan wajah Jessica, kedewasaan terpancar jelas. Bagaimana ia dengan sangat baik menggambarkan ekspresi kecintaannya pada musik yang besar, betapa ia menikmati lagu yang ia bawakan, bahkan juga bagaimana dengan sangat tenang ia menghadapi sedikit masalah dengan string harpanya di awal pertunjukan. Saat itu, saya langsung berkata dalam hati. “Anak ini telah matang dan siap untuk apa yang ia inginkan. Hebat.”

Diikuti kemudian beberapa repertoar harpa, “Autumn Leaves”, “Esquisse” dan “Sicilliana”. Sudah tak menjadi kejutan, Rama Widi akan berduet dengan Jessica Sudarta, karena memang telah disebutkan sebelumnya, juga dengan adanya dua harpa yang terpajang di panggung. Namun, yang cukup mengejutkan saya, pada saat Jessica Sudarta menampilkan komposisi (mungkin sejenis sonatina/sonata) “Concerto” dengan tiga movement : Allegro, Andante, Vivace, Rama Widi tak mendampinginya berduet harpa, justru memegang Baton dan bertindak sebagai conductor! Wow, kejutan yang menarik. Cara Rama meng-conduct sangat ekspresif dan eksplisit. Ternyata hal itu didasari oleh Rama yang juga sempat mengambil minor Conducting Orchestra saat berkuliah Music Education.

Setelah rehat selama lima belas menit, konser dilanjutkan kembali. Kali ini dengan komposisi-komposisi yang lebih ringan dan menyenangkan. Lagu-lagu Disney seperti "Hakuna Matata" dan "A Whole New World" dibawakan. Saya paling terkesan dengan “A Whole New World”, selain karena salah satu lagu favorit saya, lagu itu dibawakan dengan megah plus adegan saat Aladdin dan Jasmine melaju dengan karpet terbangnya. Sangat pas dan impresif. “New York New York” pun turut dihadirkan, membuat beberapa hadirin terhanyut dengan irama khas broadway. Nah, saya selalu senang jika ada komposisi nusantara di list sebuah konser/recital. Konser Jessica Sudarta menghadirkan “Bengawan Solo” dan “Yamko Rambe Yamko”. Lagu terakhir sangat mengesankan dengan duet harpa yang menarik.
   
Jessica Sudarta sangat beruntung didampingi oleh gurunya, Rama Widi di konser ini. Keberadaan Rama Widi bukan menjadi pembanding, namun justru sebagai pendukung Jessica. Dan penonton yang hadir akan terpatri bahwa Jessica adalah harpist yang patut diperhitungkan, bahkan dengan harpist sekelas Rama Widi. Melalui "The Premiere, An Enchanting Harp Sound" Jessica Sudarta menunjukkan ia adalah hasil penjumlahan passion, doa, kerja keras, kesempatan serta kualitas yang tepat.

- Nabila Budayana -

Thursday, January 17, 2013

Untukmu, Juga Aku


Untukmu dan aku yang sedang khawatir, cemas, tak pasti.

Kehidupan bukan layaknya perjalanan kereta yang melaju pelan namun pasti ketahuan kapan kita akan berhenti dan tiba. Saat mengambil keputusan, kita berani mencoba dan bertaruh untuk itu. Karena kita merasa memiliki harapan. Di situlah Tuhan bekerja. Jika terus merasa aman dalam satu kepastian, kemungkinan besar kita tak akan pernah datang padaNya. Memohon dan meminta.

Everything happened for a reason. Semua yang terjadi selalu ada hikmah di dalamnya. Harusnya kita perlakukan layaknya jeruk. Peras sarinya dan buang bijinya. Biji memang tidak buruk. Namun saat tahu jika menelannya, kita akan terluka, untuk apa disimpan? Air dan biji mewakili hal positif dan negatif. Kita harus pintar-pintar menyarikannya. Dengan menyarikannya, setidaknya hal positif itu meski tak mampu memberi harapan, namun sanggup memberi setitik keyakinan untuk bertahan.

Teman, masalahmu dan aku sama saja. Jadi, jangan percaya jika aku pun dapat melakukannya dengan sempurna, meski aku mampu berkata-kata. Karena ini juga menjadi pengingatku.

Semua orang terus bertanya. Semua orang terus meragukan. Semua orang memojokkan. Namun, setidaknya dengan ini aku, kamu, kita, tahu. Hanya satu hal yang harus dilakukan.

PERCAYA.





“Patience is power.
Patience is not an absence of action;
rather it is "timing"
it waits on the right time to act,
for the right principles
and in the right way.” 
― Fulton J. Sheen


Jika lelah, kita selalu punya rumah yang pintunya tak pernah tertutup. Jika marah, kita selalu punya pendengar paling pengertian. Jika kita mulai meragukan, ada Sang penyedia segala kemungkinan. Tuhan.


pic from searchquotes.com



Semoga nanti, kau dan aku akan sama-sama berbicara :

"Aku beruntung telah melalui itu semua. Saat-saat itu memang mempersiapkan segala sesuatunya untuk hari ini. Semuanya tiba sesuai waktunya. This is the right time, and I deserve to have it." :)


Tuesday, January 15, 2013

Sneak Peek Buku Kedua : "Renjana dalam Bejana"

Setelah kumpulan flashfiction "Itu Bukan Biru", project seru bareng lima penulis lain dalam "91011" dan "50 Ribu", dalam waktu dekat akan ada kumpulan cerita pendek milik saya yang terbit melalui nulisbuku.com.

Kisah-kisahnya tak melulu menjual cinta. Ada kasih sayang antara nenek dan cucu melalui buku harian, ada rasa nasionalisme untuk tanah air melalui budaya, ada persahabatan seorang gadis kecil yang tak biasa, ada pula tiga wanita berbeda usia yang bertemu dan akhirnya mengubah hidup mereka dan beberapa kisah lainnya.





Saya harap pembaca mampu menemukan hal baru melalui kisah-kisah yang saya persembahkan. Yang sesungguhnya ada, namun tak terlihat. Yang sesungguhnya ada, namun terlupakan. 
Nantikan segera di nulisbuku.com! :)


 

Orang Ketiga Pertama

Di lapangan luas ini, mengendap, aku mengintip di balik rimbun semak. Kusembunyikan tubuhku pintar-pintar dari penglihatan keramaian di sana. Puluhan bahkan ratusan orang berjajar dalam barisan yang rapi. Termasuk ia. Kawanku, lelaki kumal bodoh berada di barisan awal. Di depannnya, belasan orang menenteng senapan berteriak-teriak kejam. Aku tak pernah mengerti ini apa dan untuk apa. Ternyata aku pun sebodoh ia.

Lalu kudengar suara senapan diletuskan dua kali. Kututup mataku cepat rapat-rapat. Ternyata aku bukan hanya bodoh, tapi juga penakut. Saat bunyi letusan usai, mataku mengerjap terbuka. Dua pria di sebelah lelaki kumal dan bodoh itu tak lagi berdiri. Mereka terbaring mati. Terlihat punggung kawanku berguncang ketakutan. Mungkin karena peluru yang melaju begitu dekat dengannya. Mungkin juga ia berpikir setelah ini gilirannya. 

Seorang dari grup pembawa senapan tertawa seraya menepuk pundak sang lelaki kumal.
"Kau beruntung. Undian kami berhenti di angka tiga. Kau orang ketiga pertama yang selamat."
Kawanku itu kemudian jatuh terduduk dengan kaki yang terus menerus gemetar. Mungkin ia menangis, atau juga bersyukur. Aku tak tahu.
  
Semenjak itu ia, si bodoh, menghabiskan sisa hidupnya dengan terus menerus mengatakan. 
"Ajari aku berhitung, ajari aku berhitung." 




*kisah ini fiksi, tak berkaitan dengan kejadian apapun

Monday, January 14, 2013

Pukul 2 Dini Hari

"Jangan takut bermimpi!" kata-kata siapa itu? aku tak setuju.
Aku takut tidur dan bermimpi. Siapa bilang mimpi itu semenyenangkan berbaring di padang rumput, setenang mengagumi lama-lama langit biru, juga seseru berkejaran dengan rusa-rusa yang asik bermandi sinar?

Yang ada dalam mimpiku hanya monster seram yang melulu membawa senapan. Kadang pula raksasa yang tak segan memberikan pukulan hingga berakibat rasa sakit luar biasa. Bahkan makhluk merah buruk rupa dengan tanduk di kepalanya yang kerap melontarkan cacian tak pantas. Aku ingin lari semampu kaki pergi. Tak ingin kembali aku melihat mimpi ini. Aku ingin bangun kembali, karena kuyakin ini hanya mimpi.

Satu, dua, tiga. Kuperintahkan mataku untuk membuka. Belum bekerja. Sekali lagi.
Satu, dua, tiga. Kuajak otakku kembali ke alam nyata. Ah, masih enggan juga.
Satu, dua, tiga. "Tuhan, tolong bangunkan aku secepatnya!"

Bukan Tuhan yang tak mendengar doa. Bukan pula otak dan mataku yang tak menuruti fungsinya.

Aku salah alamat. Aku bermain ke mimpi ibu. Pukul dua dini hari, aku akhirnya tersadar dan mengetahui ibu di sampingku tak bangun lagi. Kepala dan tubuhnya berdarah-darah. Dalam kegelapan, aku samar menyaksikan. Makhluk seram itu mewujud satu nyata. Lengkap dengan tanduk dan senapannya. Cahaya bulan merayap pelan di balik jendela, sedikit lagi aku mampu melihatnya jelas. Aku tak percaya. Itu ayah.