Pages

Friday, September 27, 2013

Billi dan Kalimat Semangka



“Semangka itu bulat, berkulit hijau dan sebesar kepalamu. Jika kau ingin memakannya, belah saja menjadi dua.”

Itu kutipan karangan yang saya ingat dari seorang anak laki-laki kelas 1 SD di salah satu kelas penulis cilik. Saya dan rekan tandem mengajar saya terkagum-kagum dengan tugas yang dikerjakan Billi. Pada saat itu kami meminta kelas untuk membuat deskripsi tokoh dari buku yang baru saja mereka baca dan disampaikan secara naratif. Kebetulan pada saat itu Billi mengambil buku cerita dengan tokoh semangka yang hidup (memiliki tangan dan kaki). Kami memang sempat tak percaya bahwa narasi itu benar-benar ditulis oleh Billi. Kecurigaan itu beralasan, karena memang beberapa temannya yang lain bertindak ‘tak mau repot’ dengan sekadar menyalin kalimat-kalimat deskripsi tokoh dari buku cerita. 

Setelah kami buktikan dengan 'menyelidiki' buku cerita yang diambil Billi, nyatanya tak ada satupun kalimat itu di dalam buku cerita. Sehingga, bisa dipastikan saat itu Billi murni membaca kisahnya hingga habis, memahami dan mendalami karakter tokoh dalam kepalanya, kemudian menyampaikannya dengan komunikatif dan imajinatif. Saya kemudian tertegun, sekaligus merasa bangga. Saya bahkan merasa, saat seusia Billi, belum tentu saya mampu melakukannya. Siapa Billi yang sedang saya ceritakan ini?

Seringkali menjadi satu-satunya lelaki di kelas, ia sama sekali tak merasa canggung. Beberapa kali ia sering menyandarkan dagunya ke atas meja dengan mata sayu yang mengantuk. Saya (terus terang) tak tega menegurnya, selalu ada pemaafan dalam kepala saya bahwa anak itu telah menempuh perjalanan jauh dari pulau Madura hanya demi sekadar mengikuti kelas ini. Jadi, sesungguhnya saya selalu ‘nakal’ dengan membiarkan rekan pengajar tandem saya yang menegur tingkah lucu Billi. Bagaimanapun, ia masih anak-anak. Kadang kala mampu sangat pendiam karena sekadar masih mengantuk atau lapar, di lain hari ia mampu begitu semangat bercerita tentang apa saja hingga susah dihentikan.

Melihat kiprah Billi di kelas selama ini, saya kemudian melihat gambaran seorang Billi versi masa depan di kepala saya. Kesempatan-kesempatan yang akan ia dapatkan, jalan-jalan yang terbuka padanya dan banyak hal baik lain yang akan menyambutnya. Mungkin kelak ia mampu menulis sebaik Umar Kayam, menjadi penulis unik dan gaul seperti Vabyo, atau justru menjadi penuh filosofi seperti Goenawan Mohamad? Terlalu cepat untuk membahas itu? Tidak juga, saya rasa. Siapapun dan di usia berapa pun, mimpi tak pernah terlalu cepat datang atau terlambat untuk dikejar. Anak-anak bagi saya selalu menyenangkan. Masa kecil adalah fase di mana sebagai manusia mereka memiliki kebebasan penuh untuk melakukan segalanya dengan imajinasi yang tak dibatasi, mencoba semua hal tanpa ragu, juga mimpi-mimpi yang dibentuk tanpa rasa takut.   

Kalimat semangka Billi mungkin tak begitu berarti besar baginya, namun imajinasinya yang terus tumbuh akan membawanya ke mana saja kelak. Imajinasi itu akan membawanya lebih dekat ke impian dan harapannya. Lebih dari itu, saya belajar dari Billi. Imajinasi semestinya tak menemukan batas dan tak sekadar terbatas pada proses kreatif berkarya, namun juga dalam setiap proses menapaki kehidupan. Billi seakan 'mengajak' saya untuk memulai kembali semuanya seperti anak-anak. Di mana jatuh hanya berarti menangis kecil sesaat untuk kemudian berlari lagi dengan gembira, seakan belum pernah terjatuh sebelumnya.

Thursday, September 19, 2013

Dunia Sastra di Mata Indrian Koto



Dunia sastra yang sepi kritik membuat sastra tumbuh seperti jalan raya di sebuah kota: kacau, semerawut, dan main terobos. Indrian Koto berbicara apa adanya tentang dunia sastra kita.



MENGELOLA sebuah toko buku sastra dan sebuah komunitas, juga menulis puisi dan cerpen, membuat seorang Indrian Koto memiliki pandangan tersendiri terhadap dunia perbukuan dan industri sastra saat ini. Dari berbagai obrolan dan diskusi santai, seorang Indrian tak melulu berperan sebagai penjual, namun kerap kali juga murah hati memberikan rekomendasi dan membagi sudut pandangnya terhadap suatu karya. Berbagai pertanyaan tentang industri buku sastra saat ini membuatnya bersuara dan angkat bicara.     




Menengok tentang definisi sastra dan non sastra pada dunia perbukuan, menurut Indrian Koto, apa definisi sastra?


Dalam dunia penerbitan biasanya, tidak selalu, ada kategori “fiksi” dan “sastra” serta “novel” atau “roman” untuk menyebut genre buku tertentu. Artinya, dalam industri perbukuan ada semacam pembatas yang tentu bukan ukuran, dalam posisi apa buku-buku tersebut mesti diperlakukan.


Saya bingung untuk mendefenisikan ulang karena kita punya standar yang cukup kaku dalam pendefenisian yang mesti diakui bersama lewat pusat bahasa. Namun demikian jika ditarik dari jenis karya, sastra merupakan karya yang berbentuk puisi, cerpen, novel/roman. Itu yang paling umum. Karena kita sedang tidak bicara bentuk-bentuk karya sastra, jadi tidak perlu ada argumen yang berlebihan mengenai perkara ini, kan?




Seberapa penting sastra dalam kehidupan kita? Dalam bentuk apa saja sastra dapat dieksplorasi kemanfaatannya? Menurut Anda, mana yang paling efektif?


Susah juga untuk mengukur seberapa penting sastra serta dalam bentuk apa manfaat kesusasteraan dalam konteks dunia perbukuan. Karena ini pembicaraan di luar sosiologi sastra. Posisi sastra dalam aplikasi sama seperti bidang semacam filsafat.


Pada dasarnya sastra merupakan potret zamannya. Refleksi kesasteraan bisa dilihat dalam unsur kesejarahan. Legenda, mitos, dongeng, adalah karya sastra. Bahkan legenda, kepercayaan, hingga unsur-unsur keagamaan sejak zaman Yunani Klasik, Romawi, bahkan sejarah agama-agama, baik agama langit, maupun agama bumi, juga sarat dengan sastra.


Contoh kecil, Siti Nurbaya, siapa yang tidak kenal dengan tokoh fiksi ini?




Bagaimana tanggapan Indrian Koto terhadap beberapa anggapan bahwa sastra berkesan sulit dan eksklusif?


Bisa jadi begitu. Analoginya itu ya seperti filsafat tadi. Tidak semua orang mau mendekati sastra, dan belakangan karya sastra yang muncul juga lebih banyak mengeksplorasi kata ketimbang peristiwa.

Sastra menjadi eksklusif karena banyak orang yang tidak berani dan tidak mau melongok ke dalamnya, pun orang-orang yang bergiat di sastra juga sebagian mengekslusifkan diri.


Pada dasarnya, jika diurut lebih jauh, sastra memang pekerjaan berat. Membutuhkan riset yang serius, serta siap tidak popular.


Tetapi belakangan ini kehidupan sastra kita cair, para sastrawan banyak yang turun ke masyarakatnya langsung, membaca karya di panggung-panggung kecil serta terlibat di diskusi-diskusi publik. Justru yang hari ini sangat ekslusif adalah para pengarang sastra popular. Gaya hidup ala masyarakat kelas menengah, dan memiliki manajer serta tim dalam bekerja.




Lalu, sudah berapa besar buku sastra mengambil tempat di dunia literasi Indonesia? Sudah cukup ideal kah?


Kalau yang dimaksud adalah popularitas pengarang, sastra kita kan didominasi sastra kanon. Di sekolah kita hanya mengenal penyair sebatas Chairil hingga Taufiq Ismail. Artinya, dalam kanon sastra dalam dunia pendidikan, sastra tidak pernah tumbuh dengan normal.


Kaitannya dengan bacaan, perpustakaan pemerintah di seluruh Indonesia kan dikontrol oleh depertemen dengan proyek-proyek besar mereka. Sastra yang masuk ke sana rata-rata sesuai dengan kebutuhan literasi kanon tadi. Buku-buku yang paling sering kita temui adalah karya-karya para sastrawan Balai Pustaka. Ini kecenderungan umum di tiap daerah. Artinya, dunia literasi secara umum terkendali secara sistemik. Belum lagi persentase sastra dalam mata pelajaran di sekolah. Bahkan, fakultas sastra pun lebih banyak memberi teori. Dan ini cukup berbahaya, di mana kampus-kampus pun memiliki keterbatasan akses dan pengetahuan mengenai pertumbuhan kesasteraan di nusantara. Kampus bahkan mengikut isu yang berkembang di pasar. Bahwa, misalnya, “Saman” yang ditulis Ayu Utami dianggap sebagai fenomena kesasteraan, kampus pun terlibat dan dalam merumus-rumuskan teori agar terhubung dengan ini.


Misal yang lain, dari skripsi dan tesis mahasiswa, ada berapa banyak pengarang kotemporer yang mendapat sorotan? Tetapi ada pengarang yang jika dihitung kajian tentang karyanya bisa ratusan.

Ketidakadilan ini tentu berpengaruh ke perkembangan buku saat ini. Pihak-pihak yang terkait dengan sastra tidak update mengenai perbukuan, sesama sastrawan tidak terlalu tertarik membaca karya seniman lainnya. Begitu juga dengan penerbit, sastra bukanlah buku yang menjanjikan. Pilihan yang paling mungkin adalah menerbitkan buku sendiri. Inilah yang sedang terjadi belakangan ini. Namun, jika sastrawan mesti dituntut juga untuk mempromosikan dan menjadi pedagang, ini tentu amat merepotkan mereka. Belum lagi, dunia sastra yang sepi kritik membuat sastra tumbuh seperti jalan raya di sebuah kota: kacau, semerawut, dan main terobos.




Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimana perkembangan buku sastra di Indonesia?


Perkembangan secara umum bagus. Dunia penerbitan bukan lagi dunia yang ekslusif. Bahwa hari ini orang tidak perlu menunggu tahunan untuk menerbitkan buku-buku karyanya. Setiap orang bebas kapan dan dimana bukunya bisa diterbitkan. Secara kuantitas, dunia kesasteraan sangat ramai dengan buku-bukunya.


Namun, keran yang terbuka ini justru membuatnya cukup riuh. Para penikmat sastra bingung menenutukan mana karya yang baik, mana karya yang biasa-biasa saja. Tidak ada standar apa pun, kritik tidak hidup, buku terus diproduksi, tiap orang hanya butuh rasa percaya diri yang besar untuk bisa menjadi penulis. Dan, jumlah followers akan ikut menentukan seberapa buku yang akan laku. Dalam kondisi ini, para sastrawan yang sungguh-sungguh hidup dalam dunianya akan sangat sulit dikenali dan hidup dengan semestinya, Maka tak heran, meski secara kuantitas banyak karya yang lahir, secara kualitas jumlah itu sangat sedikit yang merupakan karya-karya terbaik. Sebagai pedagang buku dan penikmat sastra, saya punya alasan kuat untuk mengatakan ini




Selama berdagang buku sastra, bergiat dan membentuk komunitas, ada kesan menarik tentang sastra dari penikmatnya?


Banyak juga, peristiwa yang saya anggap lucu sekaligus menyenangkan. Dalam komunitas tentu kondisi mengenai bacaan, peta kesusasteraan tidak terlalu menjengkelkan. Saya tinggal memprovokasi orang saja. Tetapi sebagai pedagang buku online, dan pada umumnya saya melakukan interaksi dengan sebagian pembeli buku saya. Tujuan jelas, selain menjadikan mereka langganan saya, saya juga ingin tahu bacaan dan mengarahkan selera mereka. Tentu tidak secara verbal.


Pelanggan terbanyak saya berasal dari Twitter, orang-orang yang tak selalu berminat dengan buku sastra tetapi kadang tanpa alasan belanja buku. Banyak pembeli buku hanya tahu nama satu dua orang sastrawan atau judul karya saja karena pembicaraan yang mereka ikuti. Atau mereka memang pembaca sastra awam yang tertarik ingin mengenal sastta. Biasanya mereka meminta rekomendasi saya kira-kira buku apa yang mesti mereka baca.





Dari kacamata Anda, apa kendala dalam upaya memasyarakatkan buku sastra oleh kita bersama saat ini?


Generasi hari ini adalah generasi internet. Mereka tumbuh dan berkomunitas di dunia maya ini. Ada banyak komunitas penikmat buku dan saling berbagi buku bacaan. Namun, sastra bukanlah poin penting di sini, karena buku-buku yang mereka nikmati merupakan kategori “fiksi” atau setingkat lebih besar adalah “novel”. Ada banyak generasi sekarang yang mengenal nama-nama besar, namun sedikit yang membacanya. Ada banyak generasi hari ini yang senang menulis namun sedikit membaca atau bahkan dengan percaya diri yang tinggi mereka seperti mengabaikan teori, konvensi bahasa, logika dan unsur-unsur kesusasteraan. Mereka tetap menyebut ini sebagai sastra.


Mau bicara apa kita di tengah tradisi “endorsement” ini?


Namun selalu ada cara untuk memasarkan buku meskipun terseok. Sebagai misal, Jual Buku Sastra, toko buku online saya memiliki visi untuk memperkenalkan buku-buku sastra yang diterbitkan secara indie oleh penerbit yang bahkan hanya lahir untuk satu buku tersebut saja. Namun mereka harus dicatat, harus mendapat tempat. Ada berapa banyak apresiasi terhadap karya sastra indie, penulis tidak terkenal? Sastra hari ini bukanlah semata-mata “hasil”, tetapi juga merupakan “jalan”.


Ada yang tidak sadar dan tidak mau tahu dengan kondisi ini. Termasuk juga mereka yang mengaku pengarang. Penjelasan mengenai ini rasanya amat sangat panjang. Anda bisa mencari contoh untuk beberapa kasus bagaimana sastra popular mendapat tempat yang cukup luas di masyarakat dan dianggap itulah sastra yang merupakan cermin masyarakatnya.


Ini seperti menjawab pertanyaan pertama tadi, logika sederhana untuk melihat mana yang sastra, mana yang bukan, tanpa harus mengutip teori adalah: seberapa lama karya dan penulis ini akan bertahan dalam dunia literasi kita. Berapa panjang usianya.




Dari data hasil penjualan toko buku sastra, apa optimisme ke depan untuk dunia sastra dan industrinya?


Kita membutuhkan ruang baru dalam pengembangan toko buku. Toko online menjadi salah satu media yang akan meningkat di tahun-tahun ke depan. Toko buku alternatif di dunia maya jelas lebih efektif dan hemat dan menjangau semua tempat. Buku untuk sampai ke tangan pembaca mengalami proses yang rumit. Di tengah-tengah keruwetan dunia perbukuan kita dihadang oleh “politik toko buku”. Toko buku konvensional jelas dimonopoli oleh satu jaringan toko buku terbesar. Yang di daerah dan yang kecil bisa apa?


Maka kita lihat belakangan, di Facebook terutama, ada banyak bermunculan toko buku pribadi, yang pedagangnya tidak harus memiliki buku langsung. Artinya toko buku yang berbasis jasa. Tetapi orang senang karena buku yang tidak ada dikotanya bisa dipesan secara online.


Hanya saja pedagang buku seperti saya tidak terlalu bisa diharapkan bisa berkembang. Pertama terkait dengan modal, yang akhirnya berhubungan dengan akses buku. Sebagai umpama, ketika orang butuh buku dan memesan di JBS, bisa dicarikan tetapi adanya di toko buku. Kendalanya jelas harga. Tidak ada diskon di sana. Basis saya dengan JBS selain urusan-urusan sok ideologis, jelas memberikan jasa. Tetapi ketika saya mesti membeli buku di toko buku yang tanpa diskon, itu akan membuat saya serba salah. Menaikkan harga buku, jelas bukanlah pilihan ideal saya untuk jenis buku yang masih ada ditoko buku lain, Secara perbandingan tahun terbit buku tersebut seharusnya berharga normal. Ini membuat saya kehilangan idealisme konyol.


Dengan tidak memiliki modal akan membuat saya juga sulit bekerjasama dengan distributor yang memegang pembagian buku di tiap daerah. Saya bisa apa dengan kondisi yang pas-pasan ini. Akhirnya jika punya sisa uang saya belanja buku secara mandiri, menunggu diskonan buku yang “dibuang” oleh penerbit dan menjualnya lagi dengan harga normal.

Sebenarnya ini sangat tidak saya sukai. Tapi apa boleh buat.




Dari sisi industri, bagaimana sastra menempatkan dirinya saat ini?

Industri buku saat ini sedang dan sangat bergairah. Bahkan munculnya akses internet tidak mengganggu penerbitan buku-buku. Buku-buku terus diproduksi, selalu ada buku yang dicetak ulang, ada buku yang best-seller, dan seterusnya.
Fiksi-fiksi popular dengan sasaran utama para remaja menempati urutan pertama buku-buku laris belakangan ini. Ada banyak penerbit yang muncul dan besar dengan sasaran memproduksi sebanyak-banyaknya buku-buku fiksi untuk remaja. Bahkan penerbit-penerbit mapan pun ikut bikin lini penerbitan buku-buku fiksi remaja. Belum lagi jika kita melihat fenomena penerbitan buku di beberapa situs internet.


Buku tetap diproduksi, masal maupun terbatas.


Lalu di mana sastra menempatkan dirinya? Buku sastra tetap bergerak dengan lamban dan malu-malu. Tidak banyak, jika tak bisa dibilang tidak ada, buku-buku sastra yang diterbitkan penerbit besar. Ada satu-dua buku sastra yang digadang-gadang dan cukup berhasil di pasar, tapi tidak selalu.





Buku Sastra yang banyak diminati yang seperti apa saat ini?


Sastra serius jelas bukan. Buku yang banyak dibaca dan diproduksi saat ini adalah novel fiksi-biografi.


Di JBS ada beberapa buku pengarang tertentu yang cukup laris, karena nama itu yang cukup popular di dunia sastra. Selama itu sastra saya senang saja, meskipun harus mencarikannya di tempat lain. Tetapi kalau buku-buku sastra popular, saya mesti berpikir dua kali untuk mencarikannya. Saya tinggal bilang, “kami tak menjual buku yang dimaksud” Terhadap sastra terjemahan minatnya juga cukup tinggi.






Dari hasil penjualan, bagaimana minat masyarakat terhadap buku sastra Indonesia dibanding buku-buku sastra luar negeri/terjemahan?


Cukup seimbang. Ada banyak penikmat sastra terjemahan, bahkan tak sedikit yang mencari versi asli. Tapi kami jelas tidak punya.


Sastra-sastra Eropa dan Amerika Klasik cukup banyak peminatnya, hanya saja buku-buku kami kan sangat terbatas. Saya juga mengingatkan ke beberapa pembeli yang masih asing dengan karya pengarang tertentu untuk mempertimbangkan buku dengan terjemahan yang buruk misalnya.


Sastra lokal juga sama. Peminat karya penulis tertentu cukup banyak. Hanya saja, sekali lagi, keterbatasan stok kamilah yang membuat buku-buku sastra lokal juga belum terakomodasi dengan baik. Mereka memilih jenis buku pengarang tertentu karena memang suka sastra, ada juga karena kenal nama penulisnya dan penasaran pada pengarang tertentu.




Ada pesan dan harapan untuk dunia Sastra Indonesia?


Saya orang yang pesimis dan cukup sinis, sehingga sulit berhadapan dengan kata harapan. Hahaha…


Bagaimana pun sastra sebagai bagian dari kebudayaan akan tetap ada dan terus tumbuh dengan berbagai variasi dan medianya. Artinya tak ada yang perlu dikhawatirkan.Ya, memang rasanya tak perlu ada yang dikhawatirkan. 
Jika Indrian Koto mengatakan sastra adalah bagian dari kebudayaan, hal itu sejalan dengan yang S. Takdir Alisjahbana katakan, “Saya yakin bahwa dalam zaman kita kesusateraan mempunyai tugas yang tak terhingga banyaknya oleh perkembangan budi dan kebudayaan manusia. Hanya apabila kesusasteraan dengan sadar menghadapi soal-soal itu dan tidak takut dan lari daripadanya, ia akan dapat sesungguhnya menjadi relevan dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan.” Optimisme pada industri sastra pun akan terus ada untuk kembali menjalankan tugasnya, mengambil peran dalam perkembangan kehidupan.





NABILA BUDAYANA

Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya untuk AlineaTV tanggal 21 Agustus 2013

Kabar Terbaru Penulis Gatotkoco Suroso


Setelah mencuat kasus alihwahana tanpa izin novel Jokowi Si Tukang Kayu ke layar, ke mana dan apa yang dilakukan Gatotkoco Suroso? Penulis yang juga aktivis dan pemred sebuah majalah budaya ini pun berbicara panjang lebar tentang apa saja, mulai novel, pemuda, hingga penulis Indonesia.




Tampilannya bak ‘seniman’ dengan rambut gondrong, mengenakan rompi dan badge bendera Indonesia di lengan kanannya, tak mampu menyembunyikan keramahannya begitu ia berbicara. Kesan tak banyak bicara  pada pria kelahiran Boyolali 21 Juni ini langsung luruh begitu berbagai uraian jawaban mengalir dari dirinya. Mulai menulis secara profesional sejak tahun 2008, menulis lepas di berbagai media, membawa dirinya menghasilkan novel pertama berjudul “Sarjana Muda”. Hingga waktu membawanya melahirkan kembali novel kedua berjudul “Jokowi Si Tukang Kayu” yang menceritakan tentang awal kisah hidup Jokowi hingga menjadi walikota Solo. 

Tanggal 30 Mei tahun 2013, seorang mantan direktur penerbit yang menerbitkan novel “Jokowi Si Tukang Kayu” berkata bahwa sudah ada persetujuan bahwa sampul lama novel diganti dengan sampul poster film. Hal itu tentu saja membuat ia terkejut. Tak ada kesepakatan apapun sebelumnya dengan pihak penerbit maupun produser untuk pengadaptasian novelnya menjadi sebuah film. Awalnya Gatotkoco cuek saja, enggan menanggapi. Namun kemudian pikirannya bergemuruh. Ia merasa tak terima karena penerbit yang lepas tangan dari dirinya : terlambat membayarkan royalti sesuai dengan waktu yang dijanjikan, juga membuat kesepakatan dengan produser film tentang novelnya. Ia mengajukan protes yang sempat dimuat dalam beberapa media televisi maupun portal berita online. Aksi tersebut dilatarbelakangi oleh pemikirannya bahwa ada sebentuk penjajahan kapitalisme yang harus dilawan. “Orang yang punya modal, menjajah orang yang tidak punya modal.” Begitu ia mengumpamakan peristiwa yang terjadi pada dirinya. ‘Teriakan’ Gatotkoco itu menggaung hingga ia menuai berbagai reaksi dukungan dari sahabat terdekatnya Iwan Piliang juga rekan-rekan sesama penulis, bahkan hingga ‘pinangan’ dari penerbit lain yang ingin menerbitkan karyanya. Meski begitu, kasus itu juga menjadikan novelnya banyak dibajak dan dijual bebas di beberapa kota. Memberikan tanggapan mengenai hal itu, ia berbicara secara terbuka, “Saya tidak bisa menutut, kalau menuntut pun mau menuntut ke mana?” meski secara hukum pembajakan adalah sebentuk pengkhianatan intelektual. Apabila nanti semua hak-haknya dipenuhi secara layak oleh penerbit, dengan bijak, Gatotkoco berujar ingin menutup buku kasus ini dan menjadikannya sebagai suatu bentuk pembelajaran di masa depan. Menurutnya perlu pemikiran yang matang untuk menghasilkan suatu buku, sehingga penulis tak semestinya dipandang sebelah mata. 

Tak melulu membahas kasus yang menimpa novelnya, Gatotkoco juga bersuara akan pemikiran-pemikiran yang menarik. Ia seringkali menegaskan, motivasinya untuk menulis dikarenakan latar belakang yang dimilikinya sebagai seorang aktivis. Baginya, dunia aktivis seharusnya memiliki cara-cara kreatif untuk menyampaikan ajakan positif pada generasi muda. Salah satu cara yang ia tempuh adalah dengan menulis. Tak heran, karyanya tak pernah jauh dari isu sosial, mengungkap motivasi dan inspirasi dengan memberi gambaran kehidupan sosok-sosok yang menjadi zero to hero. Melalui bedah buku di kampus-kampus dan bertemu dengan banyak pemuda, membuatnya mudah untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang membangun mereka. Itu juga yang menjadi alasannya tak ingin menulis di luar jalur yang ia tekuni saat ini. Pemuda selalu memiliki tempat besar dalam kepalanya. Baginya, perubahan di belahan manapun di dunia dimulai dari generasi muda. Ia teringat ucapan Pramoedya Ananta Toer tentang pemuda : “Pemuda tanpa keberanian, tak lebih hanya ternak semata.” Ia berharap bahwa kalimat itu ditangkap dari generasi ke generasi agar kelak pemuda mampu menjadi generasi yang mandiri. Kepada penulis muda ia berpesan, “Jangan putus asa oleh apapun, coba terus dan dibutuhkan nekad untuk menulis.” Baginya, modal terpenting bagi penulis adalah kemauan untuk menyelesaikan karya. Jika lelah, istirahatlah untuk kemudian memulai kembali. 

Ditanya apa rencananya ke depan, ia mengutarakan tengah menggagas suatu ikatan profesi yang mampu menjadi payon bagi para penulis yang dinamakan Ikatan Penulis Indonesia. Ia berharap ke depannya IPI akan memiliki perwakilannya di tiap daerah. Pengalaman tak menyenangkannya dengan penerbit, membuat dirinya dan beberapa penulis yang mengalami hal yang sama berkumpul dan membentuk ikatan profesi ini. Ikatan Penulis Indonesia bertujuan menaungi penulis-penulis yang bergabung dengan payung hukum dan perlindungan agar penulis sebagai pencipta karya diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Selama ini royalti penulis sebesar 10 hingga 15 persen adalah sebuah ketidaklayakan yang perlu untuk dikritisi. Kongres perdana IPI diselenggarakan tanggal 7 September 2013 mendatang di Pendopo Situ Gintung Jakarta. Berbagai kalangan penulis akan diterima dengan terbuka tanpa membedakan penulis pemula dan senior. Dari penulis senior ia berharap dapat memetik berbagai pembelajaran untuk para penulis pemula agar mampu mapan di bidang kepenulisan. 

Bicara tentang karya selanjutnya, ia masih menyimpan lima naskah buku yang belum diterbitkan, di antaranya berupa novel dan buku filsafat. Namun kejadian tak menyenangkan yang pernah dialami, tentu membuatnya lebih selektif dan berhati-hati memilih jalan dalam menerbitkan naskah.

Baginya, penulis semestinya mulai berani bersuara akan ketidakadilan yang terjadi, penerbit lebih memperhatikan penulis dan jangan sampai yang terjadi padanya terulang kembali. Ketika penerbit mengingkari perjanjian, sesungguhnya mereka melakukan pengkhianatan ilmu. Ketika ilmu dikhianati, tatanan sosial akan rusak. Oleh karena itu, ia berharap penerbit selalu bersikap baik, tidak arogan dan menghargai penulis. Jika penulis tidak diperlakukan dengan baik, tak akan ada karya-karya yang lahir dan diterbitkan. Ia sepakat benar dengan ucapan Iwan Piliang, sahabatnya : Penulis adalah orang yang bisa mengubah peradaban.


NABILA BUDAYANA

Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya untuk AlineaTV tanggal 5 September 2013