Tuesday, September 25, 2012
Balik Jeruji
Kedua kaki ini kupacu dengan terburu di lantai putih. Kulewati lorong-lorong yang seperti tak berakhir ini. Aku harus cepat jika tak ingin terlambat. Kusesali dalam-dalam segala perlakuanku. Lagi-lagi ini salahku. Tak sanggup lagi kubayangkan berapa orang yang akan menghujatku habis-habisan.
Ia lagi-lagi mencoba memotong urat nadinya sendiri. Kali ini dengan pisau dapur, kudengar. Lampu merah Ruang Tindakan menyala seakan memberi tanda. Memilihkan sang penghuni untuk kembali atau pergi.
Kelegaan luar biasa tak sanggup kutahan, saat ia dipindahkan ke kamar perawatan. Ia mendapat kesempatan hidup kesekian kali. Mengapa ia lakukan ini aku tak tahu pasti. Namun aku mendengar mereka berbicara. Katanya, ini karena aku menyiksanya. Mustahil. Aku pasti melakukannya lagi tanpa sadar. Ayah macam apa aku ini. Kukatakan padanya. "Maukah kau sekali lagi hidup bersamaku? Aku akan mengobati lukamu. Aku berjanji menjadi ayah yang sempurna bagimu." Ia tak ingin menatapku lagi. Sekadar jawaban penolakan pun tak kudengar. Baik. Jika kau tak ingin kuobati, terpaksa aku akan mengobati lukaku sendiri. Sayang, sebelum segalanya terwujud, pria-pria kekar berseragam hitam menggandengku pergi. Katanya, ke balik jeruji.
Kisah Stasiun Kereta
Meski langit begitu lesu, aku sedang tak ingin begitu. Seluruhnya tampak bahagia hari ini. Wajah-wajah yang tersenyum menyapa, bahkan hingga tak sanggup kutanya mengapa. Mungkin ini hari gajian atau hari libur? aku tak mau tahu. Orientasi waktu pun tak masuk dalam daftar perhitunganku dua puluh empat jam ini. Kulirik jam besar segaris lurus di atas kepala. Lima lima puluh seperti biasa. Sesaat lagi dalam hitungan menit, akan kusaksikan ia berlari-lari membelah kerumunan menuju tempatku. Kotanya tak pernah menjadi terlalu jauh setiap kami bertemu. Hanya satu hal yang dibawanya pulang. Janji tiba yang tak pernah ingkar. Jam mendentang lurus di angka dua belas dan enam. Kereta biru ini telah berhenti sejak sepuluh menit lalu. Tak mampu pula kutemukan raganya. Mungkin sebentar lagi. Tak apa kau terlambat sekali saja. Asal kau datang seperti biasa. Jam berdentang kesekian kali di angka sembilan dan dua belas. Sudah hampir larut, hingga ayah menjemput. Ia tak sendiri. Ia bersama seseorang berpakaian putih bersih. Ia menggeleng-geleng heran padaku sembari menyuntikkan cairan pada nadiku. Katanya, ini sudah kesekian kalinya. Dasar gila! mana mungkin aku gila. Kekasihku akan datang layaknya biasa, janji hatinya selalu terjaga.
Lalu, jika begitu, sedang apa dan dimana ia jika tak kembali menemuiku? Aku belum mengerti, meski ayah berulang kali dengan lembutnya berkata "Ia tak akan datang. Ia seperti halnya dirimu. Dirawat di rumah sakit jiwa di kotanya." Seandainya saat itu ayah setuju akan pernikahanku... seandainya.
Thursday, September 20, 2012
Khayalan
Cinderella yang meninggalkan
sepatu kacanya, mungkin hanya angan. Tujuh kurcaci mendampingi sang putri lelap
pun membekas sebagai impian. Willy Wonka sang raja cokelat tak mungkin meninggalkan
ingatan. Kisah-kisah itu tak lekang digerus jaman. Kupikir hidup juga begitu.
Akan abadi dalam bahagia. Hari-hari tak terganggu usia. Namun kemana sang pencerita? Nyatanya, ia tak ada, termakan
masa. Pergi entah kemana. Saat kuajukan tanya, kakek memberi petunjuk jika ia di surga. Ayah
menjelaskan ia di alam berbeda. Ibu dan segala kisahnya pergi. Aku tak mengerti. Benar ia tak dapat kembali? Meski rindu kami tak dapat ditanggung kembali. Ibu hanya menjanjikan kisah. Sempat memiliki menjadi arti. Inikah khayalan?
Kaca
September
ini kau seperti nampak dimana saja. Ditemani embun pada refleksi kaca
jendela. Di cerminan etalase toko. Bahkan kau ada saat kutatap cermin kamar di
pagi hari. Siapa dirimu?
Kau
hanya diam, meski kuajak sesekali bicara. Kau hanya diam, saat aku bergerak.
Kau hanya diam, bahkan saat kupecahkan kaca saat amarah tak terkendali. Yang
kau tahu hanya diam. Wajahmu tampak tak setitik pun berbeda denganku.
Kutawarkan nomor telepon dengan menempelkan notes bertuliskan nomorku pada
cermin. Berharap sepenuh hati agar kau melihatnya.
Sungguh, aku ingin sekali bertanya. Siapa dirimu sebenarnya. Kurapatkan telepon
genggam pada telinga, dan akhirnya kau bergerak! Tampak di cermin, kau pun
melakukan hal yang sama. Kutanyakan, sesungguhnya kau siapa. Kau menjawab
datar. “Dirimu. Yang sejujurnya. Tanpa berpura-pura.”
Monday, September 17, 2012
Dinding Abu
Benci
seperti memiliki jadwal kunjungan tetap saat itu. Teriakanku entah telah
menggema kemana saja. Segala pukulan tanganku pun seperti tak berarti. Ketidakberdayaanku
menghalaunya, seperti sia-sia. Ingin kujauhkan ia saja dariku jika bisa. Mereka
menertawaiku. Gelaknya terus menerus menyusuri tiap sudut kepala, enggan
berpindah. Aku gerah dan lelah. Merasa
kuasa, ia terus mengejekku penuh kemenangan. Tak adil. Mereka memihaknya.
Sedang aku hanya seorang tanpa daya. Mereka semestinya merasa beruntung. Jika
saja teralis besi ini tak menghalangiku, mungkin mereka telah hancur
ditanganku. Berkeping, hingga akhir. Tertawalah, tertawalah! Sakit jiwa dan
manusia gila hanya keputusan sepihak mereka padaku. Ia, si dinding abu masih
saja menghalangi jalan keluarku. Memang saat
ini semua upayaku seperti percuma. Tapi bisa saja berganti nanti. Ini mungkin
akhir baginya. Namun tidak bagiku. Suatu saat aku akan menerobos pergi darimu,
dinding abu! Meski seisi rumah sakit ini menertawaiku.
Pertaruhan Matahari
Meski terik mencubit, aku tak
gentar bersamanya. Aku hanya tak mampu saat ia tak hadir. Aku seperti
kehilangan kemampuan bernapas. Aku kehilangan akal sehat. Bahkan, aku seperti
tak ada. Boleh mengajukan satu permintaan, Tuhan? Jangan biarkan ia pergi. Itu
saja. Namun ternyata takdir tak bisa kupilih. Ia memilih. Memilihku untuk
melalui ini. Dayaku hanya sebatas harapan. Tanpanya, ternyata aku tak ada
apa-apanya. Penghujan memutuskan datang hingga penghujung tahun. Matahari positif kalah dalam pertaruhan dan
memutuskan cuti hingga kalendar baru dipasangkan. Lantas, hanya karena aku
sebuah bayangan, apa aku tak diperbolehkan meminta kehidupan dari sang tuan? Benar kiranya, aku akan hidup kembali di tahun depan.
Ditulis untuk #FF2in1 @nulisbuku
Tuesday, September 11, 2012
Mengejar Maple #FF2in1
Musim gugur. Melihat daun
memerah, mengering dan jatuh ternyata sungguh luar biasa. Aku tak salah
mengangankan impian, rupanya. Mengejar daun maple.
Kulihat, ia beranjak lepas dari batangnya. Sejenak dimainkan angin sepoi, tiba
di permukaan air dengan anggun hingga mengadakan riak yang menyebar ke penjuru
sungai segera. Air tak tinggal diam. Ia dibawanya pergi.
Daun itu butuh ditemani. Aku berlari sembari mengawasi tubuhnya yang dimainkan arus air. Kuikuti kemana ia pergi. Mungkin hingga aku
tak sanggup lagi, atau hingga sungai ini menemukan muaranya. Tidak. Aku tidak
hanya menemani daun merah itu. Aku mengejar memori dibalik itu. Kekasihku
berjanji datang di tempat ini lima belas tahun lalu. Meski begitu, ia tak
datang. Semalam, ia mengatakan padaku impiannya telah dikabulkan Tuhan.
Reinkarnasi berjalan lancar. Ia menjadi selembar daun maple. Hidup kembali untuk melakukan perjalanan. Perjalanan tumbuh
hingga berakhir di musim dingin. Selamat, sayang.Dan selamat jalan.
Ditulis untuk #FF2in1 @nulisbuku
Lukisan #FF2in1
Langit biru enggan kulukiskan.
Padang luas penuh rumput hijau enggan menghendaki dirinya tertampilkan. Ini
bukan hal biasa. Mereka selama ini dengan senang hati menawarkan dirinya untuk
kulukis. Kadang kutambah domba di padang rumput, maupun awan putih pada langit.
Setelah mencoba, mengalah
sepertinya harus menerima afirmasi dariku.
Aku hanya sanggup hingga ini. Palet
dan kuas berdentang menabrak lantai. Jatuh dari genggaman. Kanvas kubiarkan
kosong. Harapanku agar ia mampu mengisi dirinya sendiri. Entah dengan objek dan
warna apa. Ternyata aku hanya sanggup berhenti di kamu, kosong. Tak sanggup
lagi kulukis karena Tuhan memutuskan mengambil kembali apa yang ia pinjamkan.
Penglihatan. Itu sebabnya mereka tak ingin kulukiskan. Hilang kepercayaan.
Ditulis untuk #FF2in1 @nulisbuku
Thursday, September 6, 2012
Nenek dan Surat
Senja hampir hilang. Kususuri bangku taman, teduhan pohon
rindang, sepanjang jalan, dimana saja . Kemanapun yang kukira benar, ia kuharap
disana. Namun tak jua kutemukan. Jingga langit seakan enggan berkawan, meronta
ingin pulang. Ibu menelepon menanyakan. Aku menjawab dengan letih. Tak ada.
Bahkan payung putih gadingnya tak terlihat.
Anganku berputar cepat. Mungkin ini karenaku. Penyesalan menyelimutiku penuh.
Tak kusadari selembar kertas itu begitu berarti. Ia benar-benar pergi dengan selembar
surat tua itu. Yang kemarin tak sengaja kutemukan di laci kamar. Lembar kusam
kekuningan bertuliskan asal. Seorang lelaki tampan pengirimnya. Nenek ingin
membuktikan lelaki itu masih setampan empat puluh tahun lalu. Mantan kekasih,
yang pergi begitu saja. Aku kagum sungguh akan keberanian dan ketulusannya.
Sayang, nenek lupa. Lelaki itu pergi ke surga.
Subscribe to:
Posts (Atom)