Pages

Tuesday, September 24, 2019

Belajar demi Cerita Bergambar : Workshop Perjalanan Membuat Buku Anak oleh Clavis Publishing

Banyak yang menganggap menulis buku cerita anak jauh lebih mudah daripada menulis cerita dewasa. Pasalnya, kuantitas kata dari sebuah cerita anak jauh lebih sedikit. Benarkah demikian? 

***

Clavis Publishing, sebuah penerbit buku anak asal Belgia mematahkan anggapan itu. Berlokasi di Localist Coffee and Bistro di 19 September 2019, Surabaya kedatangan Philippe Werck dan Winda Susilo dari Clavis, serta Ratna Kusuma Halim yang merupakan penulis buku anak dan ilustrator. Clavis mengajak peserta workshop untuk mengenal dan praktik langsung menulis buku cerita anak. 

Werck yang kerap menyeleksi naskah mengungkap banyak hal terkait gambaran besar buku anak yang dianggap ideal. Dalam menulis cerita anak, hal mendasar yang perlu penulis pikirkan adalah target usia yang dituju. Apakah bayi, balita, atau early reader. Hal ini lah yang akan menjadi panduan penulis untuk melakukan seluruh tahapan dari proses penulisan. Bagaimana pun, pembaca lah yang "menjadi tuannya", dan perlakuan pada tiap tahapan usia anak berbeda-beda. Anak-anak membutuhkan banyak perlakuan khusus. Misalnya, anak yang belum bisa fokus pada banyak hal, perlu difokuskan pada satu tokoh utama saja. Cari tokoh yang disukai anak-anak. Misalnya seorang anak kecil, atau hewan-hewan lucu. Meski terdengar sepele, namun hal itu akan menentukan hubungan anak dengan cerita. Ketika anak memiliki rasa keterikatan karena dirinya atau kesukaannya terwakili, ia akan lebih mudah menikmati jalannya cerita. Penulis juga memikirkan tokoh tambahan jika perlu. Jumlahnya tak banyak, paling banyak hanya tiga tokoh. Hal ini juga terkait dengan pertimbangan apakah cerita yang ditulis akan menjadi buku tunggal atau seri. Untuk buku berseri, lebih baik jadikan tokoh cerita netral agar bisa banyak isu yang dikerjakan. 

Selain tokoh, penulis juga harus memikirkan masalah ceritanya. Kenali ketakutan pada anak seusia target pembaca agar terasa relevan. Hal-hal itu bisa didapat dengan mengamati anak dan memahami perkembangan psikologis dari masing-masing usia anak. Setelah mengetahui masalahnya, berikan penyelesaian masalahnya. Ada dua cara penyelesaian : tokoh menyelesaikan masalahnya sendiri, atau tokoh menerima masalahnya (acceptance).

Clavis memiliki kualifikasi tertentu untuk buku-buku terbitannya. Buku anak bergambar disyaratkan 24 halaman saja dengan kertas ukuran 170 gram. Dengan rincian halaman spread pertama untuk perkenalan unsur cerita, halaman spread kedua untuk pemecahan masalah, dan sisa halamannya digunakan untuk menyelesaikan masalah cerita. Dalam menyelesaikan masalah, jangan lupakan dinamika cerita. Grafik tension yang turun, bisa kembali menurun, hingga naik di bagian penyelesaian masalah. Anak-anak juga suka humor. Penulis bisa menambahkan detail tersebut dengan kejutan di akhir yang menghibur. Terkait sudut pandang, dalam menulis cerita anak penulis harus mengambil sudut pandang anak-anak, bukan dewasa. Misalnya, ketika seorang anak diminta orang tuanya untuk segera tidur, itu adalah sudut pandang orang dewasa. Sudut pandang masalah dari sisi anak-anak adalah dia diminta orang tuanya untuk tidur. Penulis baiknya berpihak pada anak dengan mengambil sudut pandangnya.


Ketika cerita ditulis, Werck menyarankan penulis membuat semacam story board yang berisi informasi apa saja yang ingin ditampilkan sebagai jembatan dengan ilustrator. Pertimbangan penting bagi ilustrator, porsi tulisan dan gambar harus seimbang. Perkirakan waktu membaca tulisan dan waktu anak untuk mengamati gambar agar berdurasi sama. Jika perlu, coba bacakan naskah pada anak-anak terlebih dahulu. Ilustrator tak semerta-merta menggambar. Ia pun harus mengerti untuk usia berapa buku tersebut dituju, dan pertimbangan psikologis anak apa yang perlu diambil. Misalnya untuk anak usia 1 tahun, gambarkan tubuh gajah secara keseluruhan. Mengingat anak usia tersebut kemungkinan belum pernah melihat gajah secara langsung. Ilustrator juga baiknya tak menambahkan terlalu banyak detail pada latar belakang karena berpotensi menjadi distraksi. Lebih baik fokus dengan apa yang disampaikan, gunakan warna-warna lembut, dan mainkan warna terang dan gelap. 

Menariknya, Werck juga selektif dalam menerima naskah. Mereka akan menolak naskah yang merupakan "fast media". Fast media artinya cerita yang disajikan dalam gambar-gambar yang berubah-ubah dengan cepat, seperti adegan film atau komik manga. Semakin cepat gambar berganti, ekspresi tokoh juga akan semakin banyak. Hal itu berseberangan dengan konsep sebuah picture book. Anak-anak membutuhkan emosi yang natural, bukan ekspresi yang ekstrim dari tokoh. Ilustrator disarankan untuk tidak menggunakan fast media jika menggambar untuk picture book. Anak-anak lah yang memiliki kebebasan menentukan kapan halaman harus dibalik. Anak sebagai pembaca adalah yang utama. Mereka ingin melihat gambar sejelas mungkin, sehingga bentuk gambar pun jangan terlalu jauh dari kenyataan yang dilihat sehari-hari. Gerakan tokoh pun sebaiknya searah dengan proses baca anak, dari kiri ke kanan. Pentingnya perencanaan yang menyeluruh bagi ilustrator, karena ketika membuat ilustrasi, ilustrator harus bisa membayangkan bagaimana hasil akhir dari bukunya. 

Dengan banyaknya keberagaman di dunia, isu yang diangkat dalam buku anak pun harus menyesuaikan dan general agar tetap terasa relevan bagi banyak anak. Pada akhirnya, anak lah yang menentukan apakah buku tersebut berhasil atau tidak, bukan penerbit atau penulis. Upaya maksimal sebagai penulis buku anak adalah dengan menarik perhatian anak-anak melalui cerita terbaik.

Menanggapi apakah Clavis juga menerima cerita anak dengan selipan budaya lokal, Werck mengatakan tidak masalah, karena bisa diselipkan sebagai detail, namun bukan general issue bagi anak-anak. Apakah sebuah cerita anak harus selalu gembira? Cerita anak tidak harus selalu demikian. Kesedihan boleh ditampilkan untuk mengajarkan penerimaan dalam diri anak-anak. Syaratnya, cerita itu harus tetap berakhir penuh harapan (hopeful).

***


Ratna Kusuma Halim juga memberikan banyak masukan menarik. Sebagai seorang yang merangkap menjadi penulis dan ilustrator, Ratna mengungkap picture book dengan atau tanpa teks bersifat sama penting. Ratna memberi kritik pada buku anak-anak tersohor, seri Peter Rabbit milik Beatrix Potter. Baginya, buku tersebut tak bisa disebut sebagai picutre book karena teksnya sekadar mengulangi apa yang disampaikan pada gambar.

Picture book dibagi dalam tiga jenis : 
Board book
Picture book untuk anak usia 3-7 tahun 
Picture book untuk pembaca awal. 

Elemen cerita anak yang Ratna ungkap adalah : 
1. Tema
Tema terbaik adalah tema yang dekat dengan dunia anak-anak
2. Karakter
Karakter harus mengalami perubahan setelah melewati dinamika cerita. Pemilihan karakter pun harus yang memiliki keterikatan dan dekat dengan anak-anak. Selain itu, karakter juga harus memiliki tujuan yang jelas. Karena karakter yang kuat dengan tujuan yang jelas akan menciptakan aksi di sepanjang cerita
3. Konflik
Berhasil atau gagalnya tokoh dalam menghadapi konflik bukan masalah, asal seluruhnya memiliki alasan
4. Plot "Awal-Tengah-Akhir" 
Pola umum dalam cerita juga perlu diterapkan pada buku cerita anak. Seluruh prosesnya bertujuan menyajikan perjalanan karakter. Bagian akhir jangan menggantung karena anak sebagai pembaca harus dipuaskan. Karena anak sudah memiliki keterikatan dengan karakter yang dimaksud, penulis perlu memastikan jika karakter baik-baik saja. Hindari cerita yang datar dengan solusi masalah yang datang dari langit (masalah selesai begitu saja tanpa logika yang jelas dan upaya dari tokoh untuk menyelesaikannya)
5. Pesan Tersembunyi
Hindari tokoh orang dewasa membantu karakter untuk menyelesaikan masalah, dan jangan sampai ada petuah secara verbal dalam buku.

Buku yang memuaskan pembacanya adalah buku yang bisa memberikan efek emosional. 

Unsur sebuah buku anak yang baik : 
1. Mendidik
Anak-anak harus mendapatkan sesuatu setelah membaca
2. Menghibur
Pesan yang dimaksud harus disampaikan dengan menyenangkan agar tidak membosankan
3. Memukau
Tipnya, bisa ditambahkan ekstra cerita kecil untuk menghibur pembaca

Dalam merevisi, yang perlu diperhatikan kembali adalah apa naskah penulis sudah sesuai dengan target usia pembaca? Apakah kisah sudah cukup menarik dan anak-anak bisa menikmatinya? Apa kalimat yang digunakan sudah sesuai?

Bagi ilustrator, Ratna mengungkap tip membuat ilustrasi yang memukau : 
1. Karakter jelas dan konsisten
2. Show don't tell
Jangan gambar apa yang sudah diwakili oleh teks
3. Gambarkan ide bukan benda, gambarkan aksi bukan pose, gambarkan gestur bukan struktur anatomi tokoh. Jika teks di bagian atas ilustrasi, ilustrasikan kata kerja terakhir yang disebutkan dalam kalimat teks. Sebaliknya, jika kalimat teks di bawah, gambarkan kata kerja pertama yang disebutkan.
4. Perhatikan angle
5. Arahkan gambar untuk halaman selanjutnya
6. Sediakan tempat untuk teks agar tidak berdesakan
7. Jangan meletakkan ilustrasi di tengah lipatan halaman
8. Ekspresi karakter berubah disesuaikan dengan emosi dalam cerita

Untuk sampul, yang perlu diperhatikan adalah :
1. Menarik
Buku hanya memiliki waktu sekian detik untuk memukau anak-anak lewat sampul
2. Hanya satu fokus utama di sampul
3. Warna dan style sesuai dengan ilustrasi di dalam buku 
4. Judul harus terbaca jelas dan mengundang
5. Wajah karakter menghadap pembaca

Ratna mengungkap jika tahapan dalam membuat ilustrasi adalah dimulai dengan story board, diikuti sketsa, sketsa detail, dan pewarnaan sebagai tahap akhir.

Dengan segala detail itu, proses membuat sebuah picture book yang sesungguhnya sangatlah rumit dan tak mudah. Penulis dan ilustrator sebagai orang dewasa harus melakukan banyak penyesuaian dan perlakuan khusus pada naskah dan ilustrasi. Namun tak benar ketika harus menyerah. Buku yang baik akan memberi dampak dan menjadi teman bagi anak sepanjang masa hidupnya.


Thursday, August 1, 2019

Sore bersama Na Willa : Obrolan Patjar di Patjar Merah

Ini kisah Na Willa. Gadis kecil yang merasa bisa begitu saja menjadi laki-laki dengan memakai celana, gadis kecil yang sempat marah karena dikatai "Asu Cino", gadis kecil yang terkejut melihat kaki temannya putus karena terlindas kereta api.

Na Willa menyuguhkan cerita, Na Willa menyimpan makna.

***


Minggu sore 28 Juli 2019, angin semilir sejuk menenangkan keramaian festival literasi dan pasar buku keliling Patjar Merah. Setelah beberapa bulan sebelumnya di Jogja, untuk pertama kalinya Patjar Merah hidup di Kota Malang. Puluhan penulis dan pegiat literasi bergantian mengisi panggung dan ruang lokakarya, berinteraksi langsung dengan pembaca. Temanya pun beragam. Mulai bincang buku sastra, horor, kiat kepenulisan, pertunjukan musik, hingga menonton layar tancap. Salah satu yang menarik dan perlu ditengok lebih dalam adalah obrolan tentang seorang gadis kecil bernama Na Willa. 



Kita tahu, kisah-kisah Na Willa kembali muncul sekian tahun lalu melalui tangan-tangan penerbitan POST Press, sebuah penerbitan indie yang terafiliasi dengan toko buku alternatif POST di Pasar Santa, Jakarta. Semenjak itu Na Willa bermain lebih luas di kepala orang-orang dewasa. Mengusik kembali kenangan masa kanak-kanak, maupun menyentil sisi superioritas sebagai orang dewasa. Dengan ilustrasi dari Cecilia Hidayat, Na Willa sebegitu mudahnya dicintai karena menunjukkan kesederhanaan dan apa adanya.

Cinta dari pembaca itu membawa Sang Penulis, Reda Gaudiamo berhasil menerbangkan Na Willa ke London Book Fair di Inggris Maret tahun ini. Lebih-lebih, Na Willa telah meluaskan petualangannya dengan diterjemahkan oleh Emma Press ke dalam Bahasa Inggris. Kesuksesan itu tak semerta-merta datang. Di baliknya, ada upaya penulis untuk bertarung dengan kompleksnya membuat cerita anak. Terbiasa menulis karya untuk dewasa, bagi Reda, Na Willa adalah tantangan yang rumit dan berbeda. Reda mengambil bahan dasar pengalaman masa kecilnya dengan beberapa penambahan agar lebih menarik sebagai cerita fiksi. Terbukti, adegan-adegan pada Na Willa bekerja dengan baik.



Awalnya, Reda tak menyasar pembaca cilik ketika menulis naskahnya. Ia justru berangkat karena kegelisahannya akan banyaknya orang tua yang tak menganggap anak sebagai individu yang bebas memilih, justru memaksakan kehendak pada anak. Tak disangka, naskahnya menarik perhatian beberapa penerbit, sampai akhirnya diterbitkan POST Press yang dikelola Maesy Ang dan Teddy Kusuma. Penerbit merasa naskah Na Willa masih bisa dikembangkan kembali, sehingga muncullah seri Na Willa berikutnya : Na Willa dan Rumah Dalam Gang. Dalam perjalanannya, Reda dan penerbit berencana untuk menerbitkan kembali seri berikutnya untuk Na Willa. Berbagai apresiasi baik tentang Na Willa pun berdatangan. Sebuah sekolah bahkan mewajibkan baca dan membedah naskah Na Willa. Tawaran untuk alih wahana pun berdatangan. Menyikapinya, Reda terbuka dan membiarkan Na Willa menemukan jalannya. 

Na Willa adalah kenangan yang lekat bagi Reda. Tak beranjak banyak dari kenangan masa kecilnya, Na Willa mendapat pengaruh dari situasi apa yang terjadi saat itu. Termasuk lagu-lagu Lilis Suryani yang memang kerap diputar di masanya, di lingkungan di mana Reda tinggal. Penyampaian kenangan masa kecil berlanjut pada sang putri, Soca Sobhita yang juga membukukan catatannya bersama sang Ibu melalui Aku, Meps, dan Beps.


Dokumentasi : Tim Patjar Merah


Na Willa begitu banyak menyimpan pesan bagi orang dewasa. Bagaimana membangun kepercayaan pada anak-anak bahwa mereka juga kelak akan memiliki jalan hidupnya sendiri. Reda sedikit membagi tentang bagaimana ia membangun kondisi yang demokratis dalam menjadi orang tua. Ia merelakan Soca yang memilih menempuh pendidikan dan memutuskan tinggal di Jepang. Reda begitu menghindari untuk memaksakan keinginannya pada Soca. Ia menghargai Soca sebagai individu yang bebas menentukan pilihannya sendiri. Termasuk prinsip untuk tak membiarkan anak berkompetisi karena tuntutan ambisi orang tua. Ditanya tentang bagaimana ketika harus menghadapi tekanan lingkungan pada anak yang mungkin tak sejalan dengan gaya mendidik Reda, ia menjawab bahwa sangat penting menguatkan prinsip dalam keluarga sendiri terlebih dahulu. Baginya, Tuhan tak akan membiarkan seseorang tergagap begitu saja dalam mendidik anak, namun akan selalu disertakan kemampuan untuk menyesuaikan diri.

Beralih pada bahasan buku cerita anak, Reda memulai naskah Na Willa karena terlalu banyak buku cerita anak yang menyajikan pesan moral begitu saja. Hal itu sesungguhnya tidak mengajak anak dan orang tua untuk membaca bersama dan mengadakan pembahasan lebih dalam tentang sesuatu. Padahal buku cerita anak di luar negeri lebih cair, tidak melulu hitam-putih. Yang menarik, Reda sempat menolak naskah Na Willa untuk dikonsultasikan pada psikolog anak terlebih dahulu. Ia merasa penulis bisa menyampaikan apa saja melalui cerita anak asal dengan cara yang benar dan tetap berhati-hati. Bagi Reda, tak harus sudah memiliki atau pernah bersinggungan langsung dengan anak untuk bisa menulis cerita anak. Semua orang dapat berkontribusi. Bekalnya, dengan banyak membaca berbagai referensi cerita anak dan buku-buku yang membahas tentang anak. 


Terselip Kalis Mardiasih di antara Patjar Boekoe


Cerita adalah bahasa yang universal dan kuat. Semua dapat menggunakannya sebagai medium menyenangkan penyampai pesan. Termasuk membahasakan dan menghidupkan pesan orang dewasa untuk anak-anak.




Monday, May 13, 2019

Membangun Kebiasaan Membaca Senang dengan Extensive Reading

Membaca untuk kesenangan? Kemungkinan nyaris semua pembaca buku sudah melakukannya. Namun bagaimana dengan Extensive Reading? Mungkin belum banyak yang mengenalnya.

3 Mei 2019, Extensive Reading Foundation (eroundation.org) dan Indonesian Extensive Reading Association (iera-extensivereading.id), organisasi non profit yang bergiat untuk mempromosikan literasi ini menghelat sebuah workshop di perpustakaan UNAIR Surabaya. Acara ini merupakan salah satu rangkaian perjalanan roadshow mereka di Indonesia. Sesi American Corner UNAIR diisi oleh Thomas Robb dan Marc Helgesen yang merupakan petinggi dari Extensive Reading Foundation, serta Christina Lhaksmita dan Francisca Maria Ivone yang mewakili Indonesian Extensive Reading Association.




Serba kebetulan, seorang teman baik yang telah hadir di roadshow ER Foundation di Jakarta menyarankan saya untuk bergabung di workshop Surabaya. Dan, terbukti, banyak yang bisa dipelajari dari workshop ini. Seluruh yang saya sampaikan di bawah adalah rangkuman yang saya tangkap dari materi-materi milik seluruh pembicara pada saat itu, plus dengan penambahan dan pengurangan yang saya sesuaikan dengan konteks bahasan. Saya menggunakan subjek pendidik dan siswa karena workshop ini idealnya ditujukan pada pendidik Bahasa Inggris. Meski, pada dasarnya semua orang dapat menerapkan untuk dirinya maupun orang di sekitarnya. 

***

Secara sederhana, Extensive Reading (ER) adalah kegiatan membaca buku untuk kesenangan untuk bacaan bahasa asing. Meski sesungguhnya, bagi saya, ER masih bisa relevan dalam membangun kebiasaan membaca kita dalam bahasa ibu sekalipun. Membaca tanpa paksaan, di lingkungan yang menyenangkan, tanpa tugas serta tuntutan begitu mencerminkan ER. Menariknya, karena bersifat sangat fun, pembaca atau siswa diharuskan memilih bahan bacaannya sendiri. Berbeda dengan Intensive Reading (IR) yang erat dengan membaca buku pelajaran atau jurnal ilmiah, ER justru disarankan untuk dilakukan di luar ruang kelas. Meski bertolak belakang, Extensive Reading dan Intensive Reading idealnya harus dilakukan seimbang.

Sampai di mana implementasi kebiasaan membaca siswa di Indonesia saat in? Banyak dari kita yang masih berada dalam anggapan bahwa IR lebih utama ketimbang ER. Masih sering kita temui pengajar yang meminta siswanya untuk membaca buku pelajaran di 15 menit sebelum dimulai pelajaran. Padahal, idealnya waktu tersebut dialokasikan untuk membaca buku selain pelajaran. Tugas kita semua menjadi lebih besar : memberi kesadaran dan mengajak para pendidik untuk memahami betapa pentingnya ER bagi siswa.


Thomas Robb yang memberikan perbandingan efek ER dan IR pada siswa


Agar lebih jelas, mari membandingkan IR dan ER. IR sifatnya lebih perlahan, menambah skill, dan menguji fokus. Sedangkan ER bersifat lebih cepat, melancarkan, dan fokus pada kegembiraan membaca. ER identik dengan membaca mudah dan menikmati buku.

Menurut penelitian, ER meningkatkan kemampuan membaca, meningkatkan motivasi, menambah kosa kata, meningkatkan kemampuan mendengar, berbicara, dan mengeja (dalam konteks bacaan bahasa asing) dan sebagainya. Dalam arti, meski terkesan "lebih sederhana", membaca untuk kesenangan ternyata justru meningkatkan kemampuan pembaca dalam banyak hal, bukan hanya menumbuhkan rasa santai dan gembira. Oleh karenanya, sangat disarankan untuk membaca buku yang mudah untuk dinikmati. 

ER is about reading between the lines.

Sifat-sifat bacaan ER antara lain : membaca buku yang mudah, dapat dibaca cepat, tidak terlalu membutuhkan banyak menengok kamus, harus bisa dinikmati, siswa memilih bahan bacaannya sendiri, dan bahan bacaan yang beragam.




Reading is not make pain. Reading is not equal test. Easy is good.



ER cenderung serupa dengan program lain seperti Sustained Silent Reading (SSR), Drop Everthing and Read (DEAR), Free Uninterrupted Reading (FUR) atau Uninterrupted Sustained Silent Reading (USSR) yang sudah diterapkan di berbagai sekolah di berbagai negara.



Mengapa Indonesia masih memiliki budaya membaca yang rendah? 

Salah satunya dikarenakan tahapan proses budaya komunikasi Indonesia yang masih belum utuh. Setelah kita terbiasa dengan budaya lisan seperti bercerita (oral culture), kita belum sempat menjejak "jembatan" reading culture, dan digital culture sudah keburu menyerbu. Ini menjadikan generasi kita belum memiliki kebiasaan membaca yang kuat. Selain itu, Indonesia juga melewatkan fase "learning to read" (bagaimana kita membiasakan, mengolah, bersikap dengan bacaan kita), dan mengharuskan peserta didik untuk langsung melakukan "reading to learn" (membaca untuk mendapatkan informasi terakit studi tertentu). Artinya, kita belum mendalami bagaimana "cara" dan menikmati bacaan, namun langsung diharuskan membaca untuk belajar tentang apa saja. Unsur kebiasaan, kegembiraan, kesukaan belum terpupuk dan langsung dihadapkan pada kewajiban IR yang cenderung formal dan kaku, karena tak ada emosi di dalamnya. Tak salah jika bagi banyak orang, membaca masih dianggap sebagai "keharusan belajar", bukan kegembiraan menikmati dan mendapat ilmu. Meski begitu, sekali lagi, IR bukan merupakan kesalahan. Hanya perlu dilakukan secara seimbang.

Sebagian dari kita juga masih terjebak dalam anggapan bahwa "anak pintar" adalah anak yang jago pada bidang sains dan matematika. Padahal itu bukan tolok ukur satu-satunya. Bukan hanya harus pintar sains dan matematika, namun mereka juga harus pintar dalam membaca. Dalam tataran lingkungan terkecil, yaitu rumah, masih juga ada anggapan bahwa membaca bukan menjadi bagian dari tradisi keluarga. Ini ironis, karena sebagian besar waktu anak berada di rumah dan bersama keluarga yang seharusnya paling berperan untuk mempengaruhi kebiasaannya.

Menjawab anggapan bahwa membaca tidak diharuskan bagi semua orang, ada dua tipe pembaca. Pertama, orang yang suka membaca buku. Kedua, orang yang membaca buku yang salah. Kesimpulannya, sesungguhnya tidak ada orang yang tak suka membaca buku. Mereka hanya perlu menemukan buku yang mereka sukai untuk mulai menyukai membaca.


Sebagian peserta workshop dan 5 finger rule



Apa yang harus diperhatikan seorang pendidik dalam menerapkan ER?
- Pendidik harus menyamakan kedudukan dengan siswa. Menyamakan kedudukan dalam arti menjadi teman bagi siswa sehingga siswa tak segan untuk bercerita atau berdiskusi
- Pilihkan bacaan satu level di bawah kemampuan siswa dalam membaca. Level yang lebih rendah tentu akan lebih sederhana dan mudah yang menghasilkan kecepatan, kelancaran, dan pemahaman.
- Meski santai, hindari membaca dengan terlalu lambat. Akan mengakibatkan kuantitas sedikit, tidak bisa dinikmati, dan tidak bisa dimengerti isi bacaan
- Sarankan siswa untuk memilih bacaan yang mudah. Bagaimana mengetahui bahwa suatu bacaan tergolong mudah? Buku tersebut bertema sesuai dengan kesukaan dan pilihan siswa. Jika buku dalam bahasa asing, gunakan rumus 5 finger rule. Sebuah aturan apabila terdapat 0-1 kata sulit maka bacaan tersebut terlalu mudah, 2-3 kata sulit berarti bacaan yang tepat, 4 kata sulit termasuk bacaan yang patut dicoba, 5 kata atau lebih yang sulit bagi siswa, tandanya buku tersebut terlalu sulit
- Jangan berikan target
- Jika buku tidak tuntas dibaca, tidak masalah. Siswa bisa mencoba buku yang lain
- Berikan kegiatan kolaborasi yang menyenangkan dalam membahas bahan bacaan
- Pendidik harus menjadi contoh. Turut membaca di dalam kelas bersama siswa, menjadi kuncinya
- Jangan haruskan siswa untuk membuat laporan membaca saat itu juga. Ini akan mengurangi kegembiraan membaca
- Beri waktu 1 menit setelah membaca agar menjadi ruang bagi siswa untuk berpikir tentang isi buku, sebelum mengekspresikannya ke dalam pembicaraan 
- Buatlah suasana membaca menyenangkan
- Berikan motivasi-motivasi positif untuk membaca dan tanyakan buku-buku kesukaan siswa
- Coba terapkan dramatic reading, di mana pendidik membacakan sepotong cerita dengan intonasi yang sesuai dan menyenangkan untuk didengar. Ketika dibacakan dengan suasana dramatis, emosi siswa akan terpicu. Emosi sangat baik untuk menciptakan rasa suka pada sesuatu 
- Biasakan melakukan ER. Latihan sangat penting membentuk kebiasaan.
- ER dapat dilakukan di luar kelas
- Lakukan persiapan kegiatan ER yang cukup. Meliputi bahan bacaan, aktivitas yang menggugah, dan lain sebagainya. good preparation, engaging activities.



Dalam praktiknya, pendidik juga memerlukan referensi dan bahan. Beberapa halaman yang dapat mendukung Extensive Reading antara lain : xreading.com, readworks.org, lit2go, librarygenesis.

Rasa senang dalam melakukan sesuatu terbukti menjadi cara baik untuk mengenalkan dan membiasakan seseorang terhadap suatu kegiatan. Membaca, hal yang mendasari perkembangan dan kekayaan jiwa seseorang mestinya juga menjadi salah satunya. Kesadaran yang sama terhadap pentingnya membaca menjadi penting untuk dibangun pada setiap kepala. Karena sejatinya, kita, selalu menjadi pendidik dan pembelajar sepanjang hayat.








Monday, April 1, 2019

Semangat Kolaborasi Worldship Orchestra

Semangat memberikan edukasi musik kembali dihadirkan oleh Worldship Orchestra asal Jepang. Beberapa kali mengunjungi Surabaya sebelumnya, WSO kali ini memilih 17 Maret 2019 untuk kembali menyapa publik Surabaya. Bersama Penakita Foundation, kali ini WSO seakan ingin lebih mendekatkan  pada misi edukasinya, dengan memilih untuk tampil di Hall Nation Star Academy, sebuah sekolah di Surabaya Timur. Mengambil tajuk Worldship Orchestra Friendship Concert 2019, WSO mengutamakan kemeriahan dan kegembiraan malam itu. 



Pertunjukan kali ini dibuka oleh grup Kulintang dan Angklung dari siswa-siswi NSA. Bukan hanya membawakan lagu-lagu daerah seperti Yamko Rambe Yamko yang memberikan nuansa gempita di telinga audiens, grup ini juga memberi greget dengan menyajikan dinamika yang berbeda dengan bentuk aransemen lain pada lagu yang sama. Menariknya, di sesi ini personel WSO turut ambil bagian. Dengan latihan yang singkat dan semangat bertukar budaya, personel WSO tampil sangat baik. Selain menyajikan nuansa budaya, grup Kulintang juga menghadirkan "Flashlight" milik Jessie J yang membuktikan kemampuan alat musik ini sanggup untuk melebur dengan budaya luar. 

WSO diisi oleh 40 orang personel yang terdiri dari musisi-musisi profesional yang berkeliling ke negara-negara di Asia Tenggara seperti Kamboja, Filipina, dan Indonesia secara rutin. WSO masih mengusung misi yang sama, yaitu mengenalkan musik klasik pada publik. Meski bersifat sangat santai, namun penampil tak alpa membuka pertunjukan dengan lagu kebangsaan Indonesia dan Jepang.

Masih mengusung konsep yang kurang lebih serupa dengan pertunjukan sebelumnya, WSO menghadirkan nuansa kereta api dengan derap-derap yang penuh semangat. Komposisi Winds and Percussions dari Orient Express dihadirkan sebagai pengantar pada audiens tentang eksplorasi berbagai instrumen yang ada pada orchestra. Perkusi dan woodwind mengambil peran menghadirkan deru kereta. Nuansa itu semakin lengkap dengan bunyi peluit. Seperti biasa, WSO tak melupakan sisi hiburan yang total untuk audiens. Ketika komposisi dimainkan, salah seorang personel hadir dengan kostum masinis. Tak dibiarkan sia-sia, sekelompok personel lain pun berkeliling ruangan dengan berbaris, seakan membentuk konfigurasi kereta api. Background musik dan upaya persuasi yang menghibur menjadikan audiens merasa sedang diajak bergembira dengan menumpang kereta api. Sebagai pembuka, komposisi ini cukup menghibur dan catchy.

Pengenalan instrumen tak berhenti sampai di situ. WSO menggaet audiens dengan komposisi sederhana Twinkle-Twinkle Little Star. Semua instrumen mendapat giliran untuk diperkenalkan, mulai woodwind, percussion, hingga string instruments. Masing-masing mengambil melodi secara bergantian untuk memberi gambaran pada audiens tentang karakter instrumen.

Audiens diajak untuk menikmati suasana tango kemudian. Solois Saxophone dari WSO mengambil panggung dengan menyajikan Four Pictures from New York. Power Saxophone terasa kurang dominan dibanding orchestra di komposisi ini. Dibuka dengan not-not rapat dan menghentak, dinamika diajak meningkat secara cepat. Perlahan, tension diturunkan ke nuansa ballad dan grande. Meski dinamika naik turun, namun kerjasama antara orchestra dan solois dapat menjadi sebuah paduan yang hebat ketika saxophone dapat lebih rapi, sehingga artikulasi pun dapat dirasakan dengan jelas oleh audiens.

"West Side Story" medley menjadi sajian berikutnya. Nuansa broadway yang ringan, lincah, dan menyenangkan di awal membawa audiens seakan berjalan di sebuah kota di New York. WSO cukup baik menyajikannya dengan dinamika yang tergarap baik. Komposisi yang cukup panjang ini sengaja diulik semi teatrikal oleh WSO dengan menghadirkan talent sepasang laki-laki dan perempuan muda yang berakting tentang kisah mereka, sesuai konsep Leonard Bernstein yang terinspirasi oleh kisah Romeo dan Juliet ketika menciptakan komposisi ini. WSO berani mengambil risiko menyajikan adegan semi teatrikal yang justru dapat mengambil fokus utama dari penonton. Namun audiens sangat terhibur dengan konsep tersebut. Kembali pada fokus WSO untuk mengenalkan musik dengan cara menyenangkan, tak heran tiba-tiba di komposisi ini conductor turun panggung dan berkeliling ke antara sela-sela bangku penonton. Trik ini sukses menghilangkan jarak antara penampil dan audiens. 

Menginjak sesi kedua, WSO berkolaborasi dengan Amadeus Orchestra membawakan potongan dari "Eine Ideine Nachtmusik" milik Mozart yang tersohor. Dibuka dengan melodi yang sangat familiar bagi audiens, komposisi ini dihadirkan dengan agak berbeda dengan memotong dan memainkan dinamika ekstrim untuk menggiring audiens pada nuansa edukasi. Conductor diperkenalkan dan didemokan apa saja tugasnya. Mengambil sudut interaktif, beberapa audiens diajak untuk mencoba mengemban tugas conductor. Tentu pengalaman itu menjadi hal yang tak terlupakan bagi audiens.

Dokumentasi : Amadeus Enterprise

"Pomp and Circumstance no.1" karya Sir Edward Elgar tentang kelulusan dipilih menjadi sajian berikutnya. Dibuka dengan derap-derap rumitnya nuansa mars yang akrab dengan ketegasan dan hentakan, disusul dengan ketenangan yang megah bisa diatasi dengan baik oleh WSO. 

Sebelum membawakan "Symphony No.3 Organ" milik Saint Saens, orchestra sempat mengalami kendala sesaat pada salah satu section, sehingga audiens harus menunggu beberapa saat sebelum komposisi dimainkan. Dengan rendah hati, conductor membungkukkan badan, memohon maaf pada audiens terkait kendala tersebut. Not-not yang rapat dan rumit menjadi tantangan meski legato terjalin sepanjang komposisi. Sahut-sahutan antara organ dan strings harus terjalin mulus. Materi tematik yang ada pada komposisi ini, serta nuansa yang cenderung datar membuat komposisi ini menantang fokus audiens. Berkisar pada addagio, allegro, hingga presto karya ini banyak memainkan tempo sebagai daya tarik.


Seluruh pertunjukan ditutup dengan semangat kebersamaan melaluin kolaborasi WSO, Amadeus Orchestra, serta NSA  junior orchestra yang membawakan "Lihatlah Lebih Dekat", sebuah komposisi popular di tahun 90-an dari film "Petualangan Sherina". Nico Allan dan Patrisna May Widuri menjadi arranger untuk komposisi ini. 

Lepas dari konsepnya yang masih serupa seperti pertunjukan sebelumnya, melalui panggung kali ini, WSO masih konsisten menunjukkan misinya untuk memberikan edukasi pada publik Surabaya. Membawa musik sebagai jembatan kegembiraan bersama antara penampil dan audiens selalu menjadi ciri khas mereka. Semangat kolaborasi dan bertukar budaya dari WSO tampaknya akan selalu dinanti dan berhasil menularkan hal positif pada bakat-bakat musik muda di Surabaya.