Pages

Thursday, June 30, 2016

The Sweet Taste of Flute Recital : Flute dalam Lampu Sorot

Flute belum mendapat ruang sebesar Piano atau strings di dalam pertunjukan. Untuk itu lah, Satryo Budi Gunawan (Flute) dan Patrisna May Widuri (Piano) berkolaborasi dalam The Sweet Taste of Flute Recital di Melodia Hall Surabaya, 18 Juni 2016 lalu. Sebuah perayaan, dengan memberi ruang sebesar-besarnya pada Flute untuk berada di bawah lampu sorot utama. Satryo Budi dan Patrisna berada dalam satu naungan yang sama, Amadeus Orchestra. Satryo merupakan woodwind principal dan Patrisna mengepalai bagian Piano. 

Dibuka dengan Siciliano dari Bach sebagai komposisi pertama, alunan Flute yang lembut dan nuansa Pastoral langsung menyergap audiens. Dinamika yang dibawakan Satryo pun terasa. Sedangkan Patrisna tampil dewasa dengan kontrol yang pas. Menjadikan Siciliano sebagai pembuka adalah keputusan yang tepat. Yang menarik, pertunjukan ini terkesan dekat dan tak terlalu formal karena Satryo banyak bermonolog, dengan memberikan sambutan, maupun pengantar setiap kali komposisi akan dimainkan.

Beethoven dihadirkan sebagai komposisi kedua dengan Allegro Vivace e Disinvolto. Komposisi yang sejatinya diciptakan untuk strings dan Piano ini diaransemen ulang untuk Piano dan Flute tanpa mengurangi orisinalitasnya. Not-not yang rapat membuatnya tak semulus komposisi pertama. Phrasing pun agak longgar di bagian yang ber-staccato. Ialah Scherzo milik Eugene Walckiers, yang dipilih sebagai karya ketiga di pertunjukan ini. Walckiers, karya dari komposer dan flutist Prancis ini terkesan layaknya tarian dengan banyaknya not-not trio yang dimainkan.

Seakan semakin lama semakin rumit, audiens dibawa pada Nocturne karya Lili Boulanger kemudian. Komposisi kali ini memang terkesan "gelap". Sicilienne - Faure sebagai komposisi keempat seakan mengulang nuansa serupa dengan Siciliano di awal. Satryo apik ketika mencapai puncak dinamika.

Aria milik Albert Roussel menjadi komposisi keenam yang dimainkan. Menuntut kekompakan duo Piano dan Flute, koneksi Satryo dan Patrisna mampu kembali diasah, terutama di bagian timing. Canzone miliki Samuel Barber menjadi komposisi pilihan berikutnya. 

Setelah break singkat, pertunjukan dimulai kembali dengan lebih cair dan menghibur. Telemann dibawakan oleh Jivanetra, sebuah komunitas pemain Flute pertama di Surabaya yang juga digawangi oleh Satryo. Tiga orang flutist bermain di atas panggung bersama Jeanne Christine yang mengiringi dengan piano. Secara kekompakan, mereka cukup baik dan bermain bersih. Komposisi indah Berceuse milik Faure juga turut dibawakan sebagai komposisi berikutnya. Meski sejatinya diciptakan untuk Piano dan Harpa, Satryo dan Patrisna sangat baik membawakannya. Not-not sederhana yang ada tak membuat mereka terburu-buru menghabiskan lagu.

Berbagi tentang serba-serbi instrumen flute, Satryo mengatakan bahwa flute merupakan instrumen woodwind secara subjektif yang paling susah dimainkan di antara yang lain. Instrumen ini tak memiliki reed, sehingga produksi bunyi benar-benar bergantung pada mulut pemain yang berperan untuk menggantikan reed. Sedikit mengulik sejarah, Satryo juga membagi informasi bahwa pada zaman Barok dan Klasik, instrumen Flute hanya memiliki satu kunci. Di masa musik Prancis yang menuntut not-not "absurd" barulah instrumen mengalami modifikasi perkembangan menjadi kromatik. 

Promenade "Le Tombeau de Poulenc" milik John McLeod yang tegas dan rapat. Part Piano Patrisna sangat baik, bersih dan penuh kontrol, sekaligus tak membuat bunyi Flute tenggelam. Komposisi kesepuluh kembali dihadirkan Faure dengan Fantasie Op 79. Sedangkan komposisi kesebelas Flute Concerto, datang dari komposer perempuan yang juga seorang flutist, Chaminade. Khas komposisi modern yang tak terikat tema, kedua komposisi berat ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Satryo. Meski sempat lepas di beberapa bagian, terutama di bagian solo, namun keberanian dan keyakinan kuat Satryo untuk memilih komposisi tersebut mesti diapresiasi hangat. 

Setelah melampaui klimaks di komposisi sepuluh dan sebelas, Smoke Gets in your Eyes sebagai komposisi keduabelas lebih dingin. Karya modern ini juga dibawakan dengan ringan dan romantis. Menjelang akhir, sesuai dengan semangat yang dibawa Satryo untuk lebih mempopulerkan Flute, Halleluya dibawakan secara bersama-sama oleh sebelas flutist, yang sebagian besar perempuan. Pertunjukan ditutup dengan Cinta Sejati, OST Ainun Habibie yang juga dibawakan oleh quartet Amadeus di pertunjukan sebelumnya. Meski tak full team, kesempatan ini menjadi ajang pertunjukan bagi Amadeus Orchestra dalam satu panggung.

Dua belas komposisi jelas menuntut stamina dari pemain. Begitu singkatnya waktu persiapan menjadi tantangan tersendiri bagi Satryo Budi Gunawan dan Patrisna May, namun pertunjukan mampu dieksekusi dengan cukup baik. Semangat belajar, keterbukaan, penghargaan Satryo dan Patrisna terhadap proses, juga misinya untuk mengembangkan Flute di Surabaya patut diapresiasi sebagai ragam bentuk dedikasi terhadap dunia musik klasik. 

Monday, June 20, 2016

Catatan dari Berbuka : Taman Baca Kampung Pemulung

Jika hal terberat dari suatu pekerjaan adalah memulai, kiranya benar adanya. 

Buka bersama tahun kedua kami bersama adik-adik di Taman Baca Kampung Pemulung Kalisari Damen Surabaya, syukurlah tidak seberat buka bersama tahun sebelumnya. Kendala utama di tahun 2015 adalah minimnya dana dan waktu persiapan yang sempit. Kali ini, kami mesti bersyukur dengan kas yang cukup dan beberapa donatur yang berinisiatif memberi donasi. 

Buka bersama ini telah kami rencanakan dua minggu sebelumnya. Karena mengumpulkan volunteer di saat bersamaan cukup susah, kami lebih banyak berdiskusi melalui grup chat. Hingga akhirnya menentukan 19 Juni 2016 menjadi tanggal acara juga mesti melalui voting kecil-kecilan mengingat jadwal kegiatan volunteer yang tak sama. Kakak-kakak volunteer sebagian besar sedang berkutat dengan Tugas Akhir mereka yang telah mendekati masa deadline. Sedang yang lain sedang dihimpit nuansa UAS dan beban pekerjaan di kantor. Namun, saya mesti angkat topi untuk dedikasi mereka, masih menyempatkan untuk membeli perlengkapan buka puasa dan hadir menemani adik-adik. 




Kemudian menu ditentukan. Masing-masing anak mendapat makanan dan minuman tajil, makanan dan minuman buka, snack untuk dibawa pulang, serta souvenir. Kali ini souvenir diusulkan oleh salah satu volunteer, Dian, berupa botol minuman, agar adik-adik mampu mengurangi frekuensi mereka membeli minuman di luar atau menggunakan botol air mineral berulang kali. Karena keteguhan hatinya, Dian memutuskan bertanggungjawab untuk sesi souvenir. Kami tentu tak bisa menghalanginya, sekaligus senang karena merasa terbantu.:) Dian juga selalu bertugas untuk mendokumentasikan kegiatan kami.

Sementara kakak volunteer berdedikasi lainnya, Ghozi, di antara tekanan deadline Tugas Akhir yang menurutnya belum kelar juga, ia masih menawarkan diri untuk memilih dan membeli makanan tajil. Ghozi paling tak bisa melihat ketidakrapian, bukannya seperti sebagian besar kami yang menyerah karena isi lemari yang selalu cepat berantakan, Ghozi memilih untuk merapikan buku-buku di lemari hingga tertata kembali seperti semula. 

Sisa keperluan lainnya, masih sanggup saya tangani dengan bantuan dana donatur. Begitu tiba di depan musholla pun saya sudah disambut beberapa anak yang berteriak-teriak memanggil. Bahkan membukakan pintu mobil karena saya agak lama di dalam. Mereka berebut membawakan keperluan berbuka puasa di saat berikutnya. Saya terbantu sekali dengan apa yang mereka lakukan. Kejutan yang saya dapatkan datang dari Ryan, seorang adik di taman baca yang selalu kami kenal karena kenakalannya, berhasil menghafal nyaris 50 kosa kata Bahasa Inggris baru sembari menunggu waktu berbuka dengan bantuan kartu edukasi. Saya bahkan masih terpana dengan kecepatan anak kelas 2 SD itu dalam belajar.   

Ryan, si pemberi kejutan.

Meski masa persiapan berbuka cukup lancar, kali ini nyatanya kendala ada pada lokasi. Di bulan suci, beberapa adik-adik taman baca tekun membaca Qur'an secara bergantian dengan menggunakan bantuan sound system di dalam musholla. Di tengah kegiatan itu, perangkat suara yang mereka gunakan tiba-tiba berasap dan menguarkan aroma gosong. Sontak, adik-adik meninggalkan bacaannya dan lari menjauh. Maklum, ada sedikit trauma pada mereka. Di kampung itu sempat gempar karena seorang kakek tewas tersengat listrik dari perangkat elektronik. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda dari rumah sekitar datang membantu mematikan perangkat. Namun adik-adik sudah enggan melanjutkan bertadarus, sehingga mereka lebih memilih bermain dan membaca buku.

Kegiatan sebelum berbuka


Beberapa saat kemudian, volunteer berdatangan. Sama seperti anak kecil yang lain, mereka selalu punya kakak favoritnya masing-masing, menyambut dan duduk belajar atau bermain dengan mereka. Kali ini, favorit sebagian besar dari mereka adalah Windhy, volunteer baru yang sudah memanen cukup banyak perhatian adik-adik yang berebut untuk bermain atau sekadar meminta duduk di pangkuannya. Perangkat pengeras suara yang sempat berasap ternyata berdampak pada aliran listrik di dalam musholla. Lampu terus-terusan gagal dinyalakan. Kami terancam berbuka dalam gelap. Untung, Windhy "menyulap" sekring, dan kami berbuka seperti seharusnya. :)

Sembari menunggu berbuka, kami melakukan dialog beberapa menit dengan adik-adik. Sekadar menyampaikan evaluasi kegiatan adik-adik selama ini, serta ungkapan pesan dari kakak-kakak volunteer untuk kebaikan adik-adik ke depan. Harapan mereka pun beragam. Mulai Devi yang berencana akan menikah di tahun ini, ingin adik-adik lebih tenang, Winda dan Icha yang menyampaikan harapan serupa. Sementara Mbak Tiwi ingin adik-adik lebih banyak belajar dan membaca buku. Di antara riuh rendah kegiatan berbuka, kami cukup merindukan beberapa volunteer yang tahun lalu turut serta dalam buka bersama. Tahun ini mereka terpaksa tak dapat hadir karena terbentur kesibukan, waktu dan jarak.  

Volunteer yang hadir

Kegiatan berbuka bersama kali ini cukup lancar dan selalu berhasil meninggalkan kesan di hati kami. Bahkan tak terlintas di benak kami tahun lalu, bahwa tahun ini pun kami masih berkesempatan untuk menemani adik-adik secara konsisten setiap minggu, apalagi berbuka puasa bersama. Kiranya ini bukan hal besar secara kuantitas dengan nyaris empat puluh anak, namun selalu menjadi hal besar untuk kami. Dengan mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari sepenggal masa kecil mereka, dan terus percaya bahwa kebermanfaatan bagi sesama tak pernah habis untuk diusahakan, bagaimana pun bentuknya. 

Saatnya berbuka! :)

Kakak-kakak volunteer membagikan makanan berbuka

Kami membagikan kelebihan makanan berbuka untuk warga sekitar musholla

Melalui catatan yang begitu personal ini, saya berterimakasih sebesar-besarnya untuk kakak-kakak volunteer dan para donatur untuk sebentuk kemurahan hati, dan kesediaan untuk selalu menjadi kawan seperjalanan saya dalam meyakini bahwa kebahagiaan hakiki adalah ketika kita bisa terus berbagi. 


Salam hangat,

Nabila Budayana   


*dokumentasi acara secara lengkap dapat diakses di sini atau Fanpage taman baca kami di sini
   

Saturday, June 11, 2016

Ensemble Trielen dan String Orchestra of Surabaya : Perayaan Musim Semi Bersama

Festival musim semi (Printemps Francais) kali ini, Institut Francais Indonesia kembali mendatangkan reed trio, Ensemble Trielen ke hadapan publik berbagai kota. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. Ballroom Sheraton Surabaya menjadi lokasi pilihan pertunjukan 2 Juni 2016 lalu.

Audiens diajak kembali mendengar paduan bunyi Clarinet, Oboe, Bassoon yang matang. Musisi-musisi asal Prancis itu tak hadir sendiri, String Orchestra of Surabaya (SOOS) menjadi pembuka dan berkolaborasi dengan mereka.

Pertunjukan dibagi dalam tiga bagian. SOOS mengisi penuh di bagian pertama, bergantian Ensemble Trielen di bagian kedua, dan kolaborasi keduanya di bagian akhir.  SOOS membuka dengan Divermetimento in D KV 136 milik Mozart. Untuk pembuka yang langsung menuntut tampilan not-not rapat dan tempo cepat di movement pertama dan ketiga, SOOS tampil cukup baik dengan dinamika yang terjaga, namun frase dan artikulasi bisa digarap dengan lebih bersih di beberapa bagian sebagai kesatuan dari sebuah sajian kelompok strings. Di sisi lain, SOOS berhasil menyuguhkan dinamika yang cukup mengesankan sebuah sajian Sinfonia nuansa opera.

Le Cygne from Le Carneval des animeaux dari Camille Saint-Saens dipilih sebagai komposisi kedua. Dani Kurnia Ramadhan sebagai soloist Cello ditampilkan menonjol, sedangkan Shienny Kurniawati berpindah mengisi posisi Harpa. Di komposisi yang tak terlalu panjang ini, Dani tak menyia-nyiakan ruangnya dengan pandai memainkan frase dan dinamika yang ekspresif. Sehingga menghanyutkan, berhasil merepresentasikan gesekan Angsa dengan permukaan air danau yang tenang.

Carmen Suite from the Opera, komposisi ringan dan menghibur ini kerap dibawakan ini dipilih sebagai komposisi terakhir di bagian pertama. Les Dargaons d'Alcala, Habanera, Seguidilla, Les Toreadors menjadi sajian ringan sebelum intermessions. Membawakan Les Toreadors yang begitu familiar di telinga audiens sangat membantu dalam penyampaian. Namun juga sekaligus menjadi tantangan bagaimana ketiga bagian lainnya juga menjadi sama hidupnya.

Ensemble Trielen menyapa ramah audiens di bagian kedua. Mereka menjelaskan singkat tentang komposisi yang akan mereka bawakan, Variations on "La ci darem la mano" from "Don Giovanni" from Mozart milik Beethoven. Di komposisi pertama ini mereka langsung memberi kesan hidup dan menyenangkan dengan sajian nada yang bulat dan selaras, baik secara teknis maupun emosi. Trielen meninggalkan kesan sebuah komposisi yang megah, serta dinamika yang terasa.

Berbeda dengan komposisi sebelumnya, Suite Breve en Trio milik Eugene Bozza dipilih oleh Trielen sebagai unjuk kebolehan lainnya dengan menuntut instrumen untuk "berjalan masing-masing" meski harus tetap berada di kesatuan tujuan menyampaikan pesan yang sama. Meski tak "semudah" mendengarkan komposisi pertama dari Trielen, namun mereka tetap berhasil menyajikan kesegaran dan pesan yang tersampaikan dengan kematangan dan kedewasaan berbagi ruang.

Sebagai penutup dan puncak acara, Ensemble Trielen dan SOOS membahu memainkan Alexander Feast, Concerto en Do Majeur de Haendel HWV 318. Meski terbagi dalam part-part pendek, namun Trielen dan SOOS menunjukkan kerjasama yang cukup menyenangkan dalam komposisi ini. Dalam part yang terbagi jelas dan jarang memberikan ruang unjuk kebolehan pada pemain, Trielen dan SOOS menjauhkan audiens dari kemonotonan dengan menampilkan keselarasan yang cukup. Sebagai encore, Rasa Sayange dan Manuk Dadali dari aransemen Sounds of Indonesia Addie MS dibawakan secara berurutan. 

Pada akhirnya, musim semi Prancis tak harus selalu dipenuhi dengan nuansa komposer-komposer negeri Eiffel. Sebuah perayaan lebih memerlukan keceriaan bersama-sama. Ensemble Trielen dan SOOS membawanya ke panggung penutupan Printemps Francais 2016 di Surabaya dan mengajak audiens merasakan hal yang sama. 



Tuesday, June 7, 2016

Silampukau : Mencipta Berdasar Peristiwa

Pertemuan Musik Surabaya berinisiatif untuk menyajikan sesuatu yang berbeda di pertengahan tahun 2016 ini. Bukan lagi membahas musik klasik, kontemporer, maupun tradisional, namun PMS juga ingin menjangkau musisi-musisi folk indie dengan semangat berbagi dan mengenal musik yang sama. 

Surabaya belakangan banyak disuarakan melalui musik indie yang ditampilkan band Silampukau. Album mereka yang bertajuk Dosa, Kota dan Kenangan masuk dalam daftar 20 album Indonesia terbaik Rolling Stone 2015 dan 10 album terbaik versi Majalah Tempo.

Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening, dua personel Silampukau, tampil mendendangkan karya-karya mereka di depan umum sudah jamak terjadi. Namun bagaimana dengan kisah menarik di balik terciptanya karya-karya mereka? Silampukau membagikannya pada pendengar-pendengar setianya, 30 Mei 2016 lalu. 





Silampukau tak menjejak tangga pencapaian karier musiknya secara instan. Mereka menapak jalur mandiri dalam menyampaikan pesan musikal selama beberapa tahun. Berangkat tanpa mengekspektasikan apa-apa dari apa yang mereka kerjakan, kini Silampukau dikenal secara nasional. Lirik-lirik yang jujur bercerita dan melodi yang sederhana menjadi ciri khas yang mereka tampilkan.

Kharis Junandharu mengungkap bahwa inspirasi Silampukau dalam mencipta karya bermula dari hal sehari-hari yang mengusik pikiran. Gaya mereka yang lepas dari batas-batas melahirkan keunikan dan keragaman yang berbeda dalam karya-karya yang mereka ciptakan. Puan Kelana, salah satu lagu yang mereka anggap satire dan "memenuhi semua syarat untuk tak diterima pendengar" justru digemari oleh banyak orang. Sebagian besar karya mereka dimulai dari melodi-melodi mentah yang kemudian mereka kembangkan hingga menemukan tema dan lirik yang sesuai. Kuat dalam lirik, Silampukau berujar bahwa mereka konsisten menjaga cerita dalam lagu. Bagi mereka, lebih mudah mengolah melodi dengan kata-kata, dibanding hanya menawarkan nada. Lirik pun tak begitu saja mengalir terciptakan, mereka mempertimbangkan rima, pilihan kata, juga kuantitas suku kata. Rima dan kata bagi mereka membantu untuk membentuk suasana, sedangkan kuantitas suku kata juga dipertimbangkan untuk memenuhi efektifitas lirik dalam lagu. Inti utama dari proses penciptaan lagu mereka adalah keinginan kuat untuk bercerita.

Ditanya tentang beberapa lirik karya Silampukau yang keras menyindir sesuatu, bukan berarti tidak ada kekhawatiran dari "jalur bebas" yang diambil. Mereka mengungkap bahwa sebelum lagu tersebut dirilis ke publik, mereka mencoba mendengarkannya pada beberapa teman sebagai percobaan. Ketika respons positif yang didapat, mereka percaya bahwa sesungguhnya pendengar secara luas memiliki sisi humor yang bisa disentuh. Silampukau pun mengemasnya menarik, selaras dengan pilihan melodi yang mereka rencanakan. 

Mengapa menjadikan Kota Surabaya menjadi sorotan dalam karya-karya mereka, Silampukau menjelaskan bahwa inspirasi mereka dipicu oleh Didi Kempot yang juga menciptakan lagu-lagu iconic tentang suatu kota, seperti Stasiun Balapan. Tak banyak lagu bertema Surabaya yang diciptakan oleh musisi kota pahlawan sendiri. Silampukau berangkat dengan semangat serupa.

Ditanya mengapa memilik jalur folk, meski berangkat dengan banyak referensi musik keroncong dan country, Silampukau merasa folk paling fleksibel. Mereka kemudian mencari tahu apa yang bisa ditawarkan genre folk dan memutuskan untuk menekuninya.

Silampukau menawarkan keunikan tersendiri. Kejujuran dan kebebasan berekspresi yang mereka sajikan menjadi magnet bagi penikmat musik yang sedang dikungkung kejenuhan dalam pusaran yang "itu-itu saja", serta mengajak mereka melampaui batasan tentang bagaimana mengapresiasi suatu karya.
  
Kiranya Silampukau akan terus menjejak kehidupan sekaligus terbang meraih jumlah pendengar yang lebih besar, seperti kata-kata mereka dalam mendeskripsikan karya yang tercipta. 

"Lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana."




Untuk Pertemuan Musik Surabaya, 

Nabila Budayana


Friday, June 3, 2016

Musical Journey 3 : Semangat Berkembang String Orchestra of Surabaya

Mengakhiri sebuah perjalanan bukan menjadi hal mudah. Ekspektasi pada sebuah penutupan yang apik menciptakan tantangan tersendiri untuk para penampil. String Orchestra of Surabaya (SOOS) memungkaskan rangkaian konser orkestra Musical Journey-nya di Ciputra Hall, Rabu, 25 Mei 2016 lalu. Konser ini menyimpan begitu banyak semangat musikal dan pendidikan, dengan nyaris seluruh personel adalah anak didik dari Shienny Kurniawati dan Finna Kurniawati. 

Musical Journey 3 : A Classical Night ini menjadi suatu perjalanan yang menarik dengan memilih untuk menghadirkan komposisi-komposisi dari Bach, Mozart, Albinoni, hingga beberapa komposisi dari album Sounds of Indonesia milik sang conductor tamu, Addie MS. Finna dan Shienny memberikan ruang selebar-lebarnya pada bakat-bakat baru Surabaya. Penampilan dibuka oleh ensemble muda SOOS yang membawakan simfoni-simfoni pendek. Old English Dance (1886) yang bernuansa lincah dipilih sebagai pembuka. Melodi-melodi sederhana khas suasana ayunan tarian menuntut kerjasama dan kekompakan baik dari pemain biola dan harpa. Setelah lincah menari, audiens dibawa pada ketenangan dari Melody milik A Corelli. Piano dan Harpa diberikan ruang tampil yang lebih besar di La Golondrina karya Narciso Serradesi.



Menggantikan children ensemble, SOOS menghadirkan Concerto for Violin and Oboe in D minor, BWV 1060R. Membawa Oboe ke garis depan dengan Arjuna Bagaskara sebagai solist, dan Addie MS sebagai conductor, SOOS tampak ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Meski kerapatan not tak terlalu penuh, namun oboe dan strings yang saling menyahut menjadi hal utama yang mesti ditonjolkan, yang membutuhkan keselerasan baik timing, padunya melodi, dan karakter, agar menjadi sebuah keutuhan komposisi Barok yang menyenangkan. Finna Kurniawati dan Arjuna Bagaskara bekerja baik untuk mengimbangi orkestra. Komunikasi dengan conductor pun terjalin cukup baik. Setelah first movement yang repetitif dan lincah, audiens dibawa pada movement kedua yang tenang dan mengalir. Adrenalin dipacu kembali melalui Allegro, movement ketiga yang cepat dan rapat. Baik Oboe maupun strings dituntut menampilkan running melodi yang panjang dan prima.

Audiens kemudian dibawa ke era klasik melalui Violin Concerto No.4 in D Major, K.218 milik Mozart. Movement pertama Allegro membawa keriaan yang berbeda. Movement ini bertumpu pada staccato-staccato pada melodi sekaligus menjadikan sebuah artikulasi yang jelas. Dinamika pun mengambil tempat penting. Movement kedua Andante Cantabile mengalir dengan legato yang syahdu. Komposisi yang disusun Mozart sepanjang Juni hingga Desember 1775 ini menjadi  menyenangkan dengan ditutup oleh movement ketiga, Andante Grazioso Rondeau yang tegas. 

Setelah intermission, Addie MS sempat membagikan sepenggal cerita tentang bagaimana ia bertemu Finna dan Shienny pertamakalinya di Beijing, dan betapa ia mengapresiasi kerja keras mereka untuk berjuang membentuk SOOS dan menjaga eksistensinya. Perjalanan membentuk SOOS yang terkendala berbagai halangan tak membuat Shienny dan Finna menyerah. Sempat bermain di Twilite Orchestra, mereka banyak berbagi kisah dalam perjalanannya dengan Addie MS. Proses dan semangat mengembangkan musik klasik di dalam negeri begitu diapresiasi oleh sang guest conductor.

Komposisi dari Tomasso Albinoni, Concerti a Cinque, Op.5 dipilih untuk mengembalikan mood audiens ke dalam pertunjukkan. Diramaikan dengan berbagai running-running notes yang megah. Nuansa opera khas Albinoni menguar dari movement-movement yang ditampilkan. Mozart kembali hadir dengan Exsultate, Jubilate, KV 165. Soprano Joyce Deborah Thungriallu lincah dan bertenaga dalam menyampaikan lirik. Joyce berhasil menggaungkan kesan liturgi, tanpa perlu tenggelam di antara iringan strings dari SOOS. 

Bagian akhir yang hidup dan menyenangkan disampaikan melalui beberapa komposisi lagu daerah dari Sounds of Indonesia milik Addie MS. Manuk Dadali, Bengawan Solo, Ayam Den Lapeh. Ketiga komposisi yang sejatinya dibawakan oleh Prague Philharmonic Orchestra, juga dibawakan baik dan hidup oleh SOOS. Audiens diajak berkeliling Nusantara dengan ketiga komposisi terakhir, sebelum akhirnya beranjak dari gedung pertunjukan.

Sejalan dengan Addie MS, semangat Finna Kurniawati dan Shienny Kurniawati yang mengabdi untuk musik klasik Indonesia patut diberikan apresiasi, juga untuk sebuah ruang dan kesempatan besar yang mereka berikan untuk bakat-bakat baru demi perkembangan musik simfoni Indonesia di masa mendatang.