Pages

Thursday, October 31, 2013

Kursi-Kursi Kosong yang Tak Bicara dan Payung-Payung Besar yang Berharap untuk Dibuka





Terlalu cepat menghakimi bahwa Grote Markt akan selalu penuh dengan hasrat dan langkah-langkah untuk berbelanja. Terlalu cepat menyangka bahwa waktu selalu cepat berlalu saat menyusuri sepanjang kawasan Meir.

Seorang wanita tua dengan coat gelap itu memandang langit krem yang tak menghadirkan warna biru pada ruangnya. Dengan langkah yang perlahan ia mencoba menyeimbangkan diri dengan tongkat di tangan. Sudah beberapa hari ini kepalanya mengalami pusing kambuhan. Cukup membuatnya heran, karena selain kakinya yang mengalami rematik, sepengetahuannya bagian tubuh lain masih dalam kondisi yang baik. Angin kecil memainkan rambut putihnya yang bergelombang. Langkah-langkah tertatihnya akhirnya mengantarkannya pada lorong-lorong di antara bangunan tua yang sudah diatur indah. Tak salah Antwerpen dipilih sebagai salah satu kota dengan arsitektur bangunan tua yang terindah di dunia, dengan mengadopsi gaya Baroque dan Gothic abad ke-16. Diam-diam di balik senyumnya, juga di dalam hatinya, sang wanita tua merasa haru dengan apa yang dipandang oleh matanya, masih sama seperti di dalam ingatan saat ia tertegun lama memandang gerbang Antwerpen Centraal, stasiun kereta utama di kota ini.  Dalam kepalanya ia berpikir, jika ini menjadi pemandangan terakhir yang ia saksikan di dunia, ia tak akan menyesal. Begitulah. Akhir-akhir ini, segala hal nyaris terasa ‘menjadi yang terakhir’ baginya. Usia dan waktu yang tak pernah berhenti berlari, alasannya.   

Tak ia sangka sebegitu cepat kakinya membawa. Meski selalu mengatakan bahwa ia masih kuat, namun usia tak bisa dibohongi. Kakinya sudah sangat lelah, meski tak ada keringat yang membasahi tubuh. Rasanya tak ada salahnya berhenti sejenak. Pandangannya menangkap kursi-kursi kosong yang tak bicara dan payung-payung besar yang berharap untuk dibuka di sebuah pelataran restoran. Tempat itu nampaknya sepi pengunjung. Sebagian besar pelanggannya sedang menyaksikan festival di tepi sungai Scheldt. Dengan perlahan dan tenang, ia meletakkan dirinya pada kursi. Tongkat berharganya ia sandarkan dengan hati-hati. Seorang pramuniaga menyapanya dengan hangat. Menanyakan pesanan dan merekomendasikan macam-macam. Seakan ia mengerti bahwa itu adalah pertama kalinya sang wanita tua berkunjung. Namun sang wanita tua hanya meminta secangkir cokelat dan sepotong brownies untuk dirinya. Pelayan muda itu hanya mengerutkan kening sesaat sebelum mengiyakan dan bergegas ke dalam restoran. Sang wanita tua sadar betul, menunggu di sini tak akan pernah sanggup membuatnya bosan. Arsitektur memikat, langit yang kelabu menuju sendu, orang-orang yang tak peduli, membuatnya merasakan hawa yang berbeda. Yang dingin, namun membuatnya selalu rindu. Kenangan-kenangan selalu berhasil hidup kembali pada kepalanya dalam situasi begini. 

***

Karena sesaat terpikat dengan bunga-bunga yang dijual di sebuah toko bunga, membawa sang wanita berbincang dan mengobrol singkat dengan seorang perempuan imigran Maroko berjilbab yang sedang bekerja paruh waktu. Kenangan itu menjadi menarik karena sang wanita Maroko yang tak sempat ia tanyakan namanya itu menyapanya dengan “Assalamualaikum” begitu ia mengetahui bahwa ia berasal dari Indonesia. Perempuan paruh baya itu sangat ramah dan hangat. Ia bertanya tentang beberapa hal, termasuk apa yang membawa seorang wanita tua seorang diri dari sebuah negara tropis di tenggara Asia menuju ke kota kecil di utara Belgia. Mendengar itu, perempuan berjilbab itu menitikkan air mata mendengarkan sang wanita tua bercerita. Ia bahkan memohon maaf membuat sang wanita mesti melihatnya menangis di depan orang yang pertama kali ditemuinya. Mereka berpelukan tanpa direncanakan. Entah karena sama-sama perempuan, atau sang wanita berjilbab yang merasa memiliki keterikatan khusus dengan Indonesia. Namun pilihan yang paling mendekati kebenaran adalah alasan yang tak memerlukan kata untuk ditunjukkan : Rasa kemanusiaan yang terusik. Perempuan berjilbab itu belum rela membiarkan sang wanita tua berjalan sendirian meski sang wanita berkeras baik-baik saja. Sang perempuan berjilbab menuntun dan menggandengnya dengan sangat lembut dan halus. Sang wanita berkata ingin mengunjungi suatu tempat. Sepanjang jalan, tak banyak kata terlontar dari mereka. Hanya sepoi angin dan keramaian kecil sekitar yang membuat perjalanan itu tak secanggung yang sesungguhnya. Hingga akhirnya langkah mereka melambat ketika sebuah bangunan dengan tanda salib di atas salah satu menaranya tampak. Onze Lieve Vrouwekathedraal. Sang wanita tua melangkah masuk setelah memandang takzim apa yang ada di hadapannya. Sang wanita berdoa begitu lama di depan altar, dalam hening. Sang perempuan berjilbab menatapnya dari kejauhan.  

Tak lama, wanita tua itu kembali dengan mata yang menyilaukan seberkas basah. Katanya, tadi adalah pertemuan besarnya, setelah sekian tahun lamanya. Ia sudah lama melupakan Tuhan. Namun kini ia kembali mengirimkan doa. Tuhan ada di dalam sana, katanya. Sang perempuan berjilbab diam-diam memuji nama Tuhan di dalam hatinya. Kembali tak ada kata yang tersisa selama perjalanan berikutnya. Selain sang wanita tua yang mengeluh tentang kepala dan kakinya yang sakit beberapa kali, mereka dirundung hening. Kali ini sang wanita tua yang memimpin perjalanan. Beberapa kali ia menatap pada keramaian. Seakan ia melihat sesuatu yang penting di sana. Perempuan Maroko itu bertanya-tanya, apa ia kesepian? Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sepanjang jalan Meir. Wanita itu bilang ia ingin sendiri, dan mengucapkan salam perpisahan pada sang perempuan berjilbab. Setelah berdebat kecil, sang perempuan mengalah dan meninggalkannya. Namun diam-diam di balik tikungan, ia masih mengawasi apa yang dilakukan sang wanita. Dengan tersenyum, wanita tua itu nampak menikmati musik dari seorang seniman jalanan tua yang sedang memainkan akordion.

Tanya masih menyelimuti sang perempuan berjilbab. Ketika mengedipkan mata ke dua kali, ia sudah tak melihat hal yang sama. Justru di tempat yang sama, seorang wanita muda berkulit gelap yang cantik, dengan rambut bergelombang, persis milik sang wanita tua, sedang berputar dan menari. Gaun yang melekat di tubuhnya melambai sesuai dengan irama musik. Tarian itu diiringi irama ceria dari tangan seorang pemuda pemain akordion berkulit putih. Saat musik berhenti, mereka berdua saling bertatapan dan menggenggam tangan. Ketika perempuan itu mengedipkan mata kembali, wanita tua itu telah menyatukan tangan dengan sang pria tua pemain akordion.  

Perempuan berjilbab itu berjalan pergi dengan mata yang dihiasi seberkas basah, dan rapalan nama Tuhan di dalam hatinya. Wanita tua itu benar-benar membuktikan perkataannya : “Mencari kenangan sebelum akhir datang.”   

Saturday, October 26, 2013

[Interview] Perempuan dan Sastra



Melihat semakin banyaknya penulis perempuan di Indonesia, saya berinisiatif untuk menyusun wawancara ini dengan dua narsum yang saya kagumi. Sejatinya wawancara ini saya persembahkan untuk sebuah media online, namun karena satu dan lain hal, hasil wawancara ini saya tampilkan di blog pribadi. Semoga tak mengurangi manfaatnya sebagai sumber ilmu bagi siapa saja yang membacanya.


Sama-sama memiliki kepedulian khusus terhadap dunia perempuan dan berperan aktif berkarya dalam dunia sastra Indonesia, Olin Monteiro dan Yetti A.KA memiliki berbagai opini menarik terhadap korelasi antara perempuan dan sastra. Dua sudut pandang berbeda yang mencerahkan ini patut disimak.

-         Menurut Anda, sejauh apa kontribusi para penulis perempuan dalam dunia Sastra Indonesia?

Olin : Tergantung kontribusi apa yang dimaksud? Kontribusi nyata dalam menerbitkan buku dan menciptakan diskursus sastra Indonesia? Atau kontribusi menulis dan dimuat di media massa? Soalnya ini agak berbeda. Sekarang ini banyak sekali perempuan penulis, tapi yang bestseller belum bisa dibilang terbanyak. Belum ada riset soal ini. Kalau mau bisa mulai meriset siapa 10 penulis paling best-seller di Indonesia. Lalu di antara itu berapa perempuannya. Contoh penulis yang berkontribusi dengan buku-buku yang terlaris antara lain Ayu Utami, Dewi Lestari, Clara Ng dll. Tapi penjualan mereka masih kalah dengan berbagai buku motivasi (non sastra) dan buku chicklit atau teenlit, contohnya buku yang seperti Hunger Games, masih paling bestseller dibanding buku-buku penulis perempuan.

Kalau dalam kancah sastra Indonesia, sekarang ini juga standarnya masih susah dilihat. Apakah penulis perempuan dianggap menjadi bagian sastra Indonesia kalau tulisannya sudah di muat di media tertentu, seperti di Kompas, Tempo atau semacamnya. Atau harus memenangkan penghargaan dulu.

Kalau menurut saya pribadi, banyak perempuan Indonesia sangat aktif menjadi penulis, bahkan untuk mengkritisi lingkungan dan komunitas sosialnya sendiri, baik lewat blog maupun buku. Hal ini sudah harus diapresiasi, mengingat minat baca masyarakat Indonesia, masih belum terlalu tinggi. Untuk menciptakan generasi peduli sastra, tentu harus dibina dulu generasi suka membaca. Karena untuk menuliskan, penulis harus banyak riset, belajar dan membaca. Kalau mau ikut-ikutan jadi penulis tapi kualitas tulisannya sembarangan juga sangat disayangkan, apalagi contoh tulisan status di facebook atau blog-blog, baik penulis laki-laki dan perempuan banyak sekali yang asal menulis, tapi tidak mau baca referensi-referensi untuk memperkuat pengetahuannya dulu.

Jadi menurut saya, tergantung dari perspektif mana kita melihat bagaimana peran perempuan dalam kancah sastra Indonesia, yang jelas sudah ada tapi dengan kualitas atau hasil yang berbeda-beda. Dan apalagi kalau tulisannya ingin dibaca dan diingat oleh penduduk Indonesia yang 200 juta, tentu buku tersebut harus memenuhi kebutuhan dan ketertarikan pembaca yang beragam, tapi memang masih terbaca kebutuhannya seperti apa (yang ringan, yang lagi pop atau lagi ngetrend contohnya).

Yetti : Kemunculan penulis perempuan mencuri perhatian atau menjadi pembicaraan banyak orang terjadi pada tahun 2000-an. Sayangnya, pembicaraan tentang penulis perempuan ini lebih banyak bernada negatif. Perayaan diri (tubuh?) oleh sejumlah penulis perempuan muda dan cantik dalam karya-karyanya dianggap liar dan mengangkangi norma-norma agama, dan karena itu muncul istilah-istilah yang terasa melecehkan, misalnya ‘Sastra Wangi’, ‘Sastra Mazhab Selakangan (SMS)’, dll. 

Akan tetapi, jauh sebelum itu sebenarnya sudah banyak sekali penulis perempuan yang memberikan kontribusinya pada Sastra Indonesia. Mereka hadir untuk memberikan pandangan lain tentang dunia perempuan pada pembaca di tengah dominasi karya-karya yang ditulis laki-laki. Sebutsaja Suwarsih Djojopuspito dengan novelnya Manusia Bebas. Novel ini ditulis tahun 1939an dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1975. Tokoh perempuan dalam novel bernama Sulastri, seorang guru dan tergabung dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Akan tetapi novel ini kurang dikenal, tidak menjadi buku bacaan wajib di sekolah atau bahkan perguruan tinggi, dan tentunya sangat jarang dibincangkan dibanding novel-novel terbitan Balai Pustaka yang notabene ‘membesarkan’ nama pengarang laki-laki saja.

Selain Suwarsih, ada juga Nh. Dini dengan puluhan novel-novel ‘perempuan’-nya. Novel-novel yang berkisah tentang perasaan dan pikiran-pikiran perempuan. Novel yang memberikan pandangan perempuan terhadap dunianya sendiri. Diantara novel-novel Nh. Dini adalah Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan masih banyak lagi, termasuk juga cerita pendek, merupakan karya-karya yang ‘bicara’ dan menggugat.

Dan tentu masih banyak nama lainnya, dari Ratna Indraswari Ibrahim, Oka Rusmini, Abidah El Khalieqy, hingga generasi Ayu Utami, dan generasi terbaru di bawahnya. Kehadiran para penulis perempuan ini harus diakui telah memberikan warna sekaligus kontribusi yang luar biasa bagi dunia sastra di Indonesia, terlepas kemudian muncul pertanyaan, bagaimana kualitas tulisan/karya yang mereka tawarkan?


-         Apa isu-isu yang dibawa dalam karya-karya sastra Indonesia sudah mewakili/relevan terhadap kehidupan perempuan Indonesia? Isu apa yang mestinya lebih banyak dieksplorasi?

Yetti : Saya tidak tahu soal apakah sudah relevan atau tidak, sebab karya sastra, menurut saya, tidak bisa diukur dengan cara itu, sebab sastra bagaimanapun bagian dari seni dengan nilai-nilainya sendiri, dan bukan alat propaganda.  Terlebih lagi, rumusan seperti apa perempuan Indonesia juga butuh perbincangan tersendiri mengingat Indonesia bangsa yang majemuk, mengingat kita tidak bisa menarik kesimpulan begitu saja bahwa kehidupan perempuan Indonesia itu begini atau begitu. Hanya saja bila dilihat dari kehadiran karakter perempuan dalam karya sastra hari ini, saya bisa katakan kalau kehidupan perempuan yang diangkat cenderung atau masih dalam stigma sebagai makhluk tidak berdaya, perempuan sebagai korban, bahkan dalam karya yang ditulis perempuan itu sendiri.     

Soal isu apa yang semestinya lebih banyak dieksplorasi, jawaban saya sebagai seorang penulis sastra akan berbeda dengan jawaban saya sebagai seorang (yang merasa) feminis. Sebagai orang sastra saya sadar betul kalau menulis itu sebuah proses yang sangat personal, ekspresi-ekspresi spontan yang lahir dari pengalaman perasaan dan pikiran (dan itu juga berhubungan dengan pengalaman bacaan dan idelogi seseorang). Kalaupun kemudian muncul semacam keseragaman isu dan semangat dalam tulisan yang ditulis seorang penulis perempuan maka artinya nilai-nilai universal soal dunia perempuan telah secara tidak langsung terbentuk begitu saja. Jadi saya mau menegaskan bahwa proses kreatif berbeda dengan tulisan yang sengaja ditulis untuk tujuan tertentu. Jika, misalnya, dalam karya perempuan ada semangat ‘pemberontakan’ maka itu ekspresi alami. Saya hanya mencoba tidak menjadikan sastra sebagai alat perjuangan perempuan dengan cara yang ‘kasar’. Tapi sebagai seorang (yang merasa) feminis, saya tentu sangat menginginkan penulis, terutama perempuan, menulis dunianya dengan perspektif feminisme dan bila perlu dilakukan dengan sadar dan sebagai bagian dari perjuangan. Begitulah, harus saya akui saya hidup dalam dualisme yang kadang bertengkar, kadang bisa sejalan. Kalau Anda bingung dengan jawaban saya, percayalah saya juga bingung dengan diri saya, hahaha.

Olin : Ya penulis Indonesia sudah beragam dan memiliki ciri khas dan gaya penulisan yang berbeda. Baik isu maupun jumlah buku sudah beragam. Soal isu apa yang mesti diperdalam, aku rasa tergantung penulisnya. Sepertinya tulisan terkait perempuan dan politik, atau perempuan dan isu anti korupsi yang masih kurang, karena peminat dan penelitinya jarang.  Lalu isu terkait ketahanan dan keamanan negara (intelejen dll) juga jarang ditulis perempuan. Pemilihan isu itu tergantung background tergantung minat perempuan. Karena itu kita juga tidak bisa menentukan. Kalau untuk fiksi saya rasa sudah cukup banyak tema, isu dan perspektif yang ditulis oleh perempuan penulis.


-         Pada dasarnya, adakah perbedaan mendasar akan karya sastra yang ditulis perempuan dan laki-laki?

Olin : Pasti ada perbedaan. Karena perempuan memang memiliki cara memandang, cara menulis dan cara bertutur yang beda dengan laki-laki.  Walaupun ada kalanya banyak penulis laki-laki menulis tentang perempuan atau isu perempuan, tapi hasilnya bisa berbeda. Perbedaan ini karena memang perbedaan pengetahuan, pengalaman dan perbedaan perspektif dalam menghadapi kehidupan ini yang tentu sangat berbeda.

Yetti : Jelas ada. Dari  bahasa ungkap saja pasti berbeda, belum lagi sudut pandang, belum lagi soal perasaan dan pikiran tokoh. Laki-laki tidak akan pernah dengan tepat bisa mengungkapkan sesuatu dalam diri perempuan. Hanya perempuan sendiri yang paling paham apa yang ingin ia sampaikan tentang dirinya. Hanya perempuan yang mampu mengungkapkan dunia macam apa yang ada dalam pikiran dan diinginkannya.


-         Menurut Anda, mampukah para penulis pria mengungkapkan secara baik masalah perempuan dalam karyanya? Sejauh apa semestinya mereka terlibat dalam pengangkatan isu tersebut?

Yetti : Point ini sudah saya singgung pada pertanyaan sebelumnya ya. Intinya penulis laki-laki pasti cenderung menulis dengan perspektif laki-laki (patriarki?). Dan itu membuat mereka sering melihat masalah perempuan dengan sikap superioritas. Karena itu, bagi saya, hal paling penting bukan soal penulis laki-laki semestinya terlibat dalam isu perempuan, namun bagaimana mereka paling tidak dapat memandang perempuan dengan cara yang tidak bias.

Olin : Mungkin saja ada yang bisa menuliskan masalah perempuan dengan baik, asalkan benar diriset mendalam. Soal laki-laki menulis tentang isu perempuan itu bisa saja, tergantung minat mereka. Asalkan mereka tidak menulis dengan bias gender atau standar patriarki yang biasanya mereka miliki.


-         Beralih ke karya-karya yang telah anda hasilkan, pesan tentang perempuan apa yang ingin Anda sampaikan?

Olin : Saya menulis puisi dan esai, semua puisi dan tulisan saya ada beragam pesan. Tapi pada intinya, saya mendokumentasikan pengalaman pribadi saya, keluarga, teman atau orang di sekitar. Puisi bisa juga menjadi wadah kepedulian sosial dan kritik sosial, walaupun sering dikritisi kurang estetikanya oleh kritikus. Pesan utama bahwa perempuan memiliki pikiran, perspektif, pandangan, analisa dan kepedulian. Pesan penting lain adalah hak perempuan dan kesetaraan itu harus diperjuangkan bersama baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan memiliki ide, konsep dan kepedulian baik terhadap lingkungan maupun negaranya. Bahwa isu perempuan juga penting dituliskan sebagai dokumentasi dan sejarah kita sendiri. Sekarang ini sejarah dan seni lebih banyak dituliskan oleh laki-laki. Kalau bukan kita menulis sendiri pesan perempuan, maka siapa lagi?

Yetti : Dalam berkarya saya tipikal orang yang mengalir (deras) begitu saja. Saya mengeluarkan apa yang ingin saya katakan (dengan cara saya) tanpa berpikir dunia perempuan apa sebenarnya yang ingin saya sampaikan. Saya juga sudah singgung soal ini ya, bahwa menulis kegiatan kreatif yang punya dimensi tersendiri. Jadi saat menulis saat tidak punya target apa-apa. Nah, kalau kemudian dalam karya saya muncul semacam kemarahan atau gugatan, itu pasti terjadi dengan sendirinya, mengingat itulah (perasaan dan pikiran) saya.

Tulisan-tulisan saya lahir dari pengalaman dan pengamatan atas dunia perempuan atau dunia yang lebih luas dari itu. Dan hampir semuanya memang berangkat  dari ‘kemarahan’. Saya mengangkat dunia perempuan sebagaimana yang saya lihat, amati, dan rasakan. Sangat apa adanya. Begitulah perempuan. Begitulah kejadian-kejadian yang mereka alami. Saya tidak berusaha mendramatisir tokoh perempuan dalam karya saya sebagai seorang yang luar biasa, perempuan kuat yang tidak pernah kalah, tidak menangis, tidak menderita. Tidak. Karakter perempuan dalam cerita saya malah banyak yang berangkat dari kekalahan. Namun, tentu tidak selesai begitu saja pada kekalahan itu. Tokoh perempuan saya justru bangkit dan bergerak dan melawan—dengan caranya sendiri. Saya meyakini dalam seorang yang tertindas ada suara-suara perlawanan dalam dirinya.


-         Ada karya dari penulis perempuan Indonesia yang Anda gemari? Mengapa?

Yetti : Sebenarnya saya suka pengarang asing, Susanna Tamaro dan Toni Morisson. Tapi kalau harus menyebut pengarang perempuan Indonesia, saya punya beberapa nama yang karyanya saya anggap menginspirasi dan matang dibanding yang lain. Pertama, Ratna Indraswari Ibrahim. Sejak lama saya suka sekali dengan cerita pendeknya, cerita-cerita yang berkisah tentang kehidupan perempuan dan dikisahkan dengan cara yang sederhana. Sosok Ibu Ratna yang juga (maaf) tidak sempurna secara fisik, membuat saya seringkali ‘tertampar’ mengingat, rasanya, saya tidak segiat beliau dalam berkarya. Semoga beliau damai di sisi Tuhan dan karya-karyanya akan selalu hidup dalam dunia sastra Indonesia.

Nama lain, Ayu Utami, Nukila Amal, Linda Cristanty. Mereka penulis perempuan yang karyanya saya anggap berkualitas. Karya-karya yang cerdas, baik secara kesastraan maupun sisi perempuannya. Khusus Nukila Amal saya sangat takjub dengan bahasa-bahasa ungkapnya yang puitis dan kuat dan mistis.


Olin : Saya mengagumi NH Dini, Toety Heraty, Dorothea Rosa Herliany dan Ayu Utami. Sebagai penulis senior, ibu NH Dini menuliskan tentang pengalaman hidupnya menjadi novel dengan manis dan deskriptif, menjadi salah satu pemicu saya suka traveling di Indonesia. Sementara Toety Heraty menulis puisi yang feminis dan penuh filosofi. Untuk Dorothea Rosa Herliany, puisi-puisinya juga sangat unik dan kontemplatif,yang juga sudah diterima Sastrawan Indonesia sebagai karya puisi yang bagus. Sementara Ayu Utami membuka jalan pada sekitar 1998 dan menginspirasi banyak penulis lainnya untuk menulis soal isu perempuan, seksualitas, politik dan sejarah dengan mendalam.


-         Apa harapan Anda terhadap karya-karya sastra sebagai kontribusinya untuk mempengaruhi kehidupan perempuan?

Olin : Harapan saya justru karya sastra perempuan bisa mempengaruhi cara pandangan laki-laki atau budaya patriarkis supaya bisa lebih menerima hak perempuan, kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Bagi saya penting laki-laki membaca dan mengerti isu perempuan, karena itu bagian dari hidup. Banyak orang salah persepsi terhadap novel perempuan atau tulisan perempuan yang membicarakan soal kesetaraan gender, seksualitas atau pemikiran perempuan. Harusnya kepedulian terhadap perbaikan hak perempuan itu jadi tanggung jawab bersama, juga dalam sastra. Kalau perempuan sendiri, kalau dia ada akses dan mampu, dia harus menjadi agent of change, atau agen perubahan apabila ingin mengubah situasi di masyarakat kita yang masih mendiskriminasikan perempuan.Kalau belum banyak yang ikut jadi agent of change, itu karena dukungan kepada perempuan masih minim, dari keluarga, bahkan komunitas sosial dan infrastruktur pendidikan yang harusnya disediakan oleh pemerintah umpamanya, jadi bukan salah mereka.

Yetti : Apa ya, hehe. Makin banyak saja karya-karya yang berkualitas lahir, karya sastra yang memberikan kesadaran baru pada perempuan. Makin banyak juga perempuan yang punya waktu dan suka membaca. Karya sastra tanpa dibaca juga tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan perempuan, bukan?


-         Menutup perbincangan ini, ada pesan yang ditujukan untuk para penulis perempuan di Indonesia?

Yetti : Menulis dan terus belajar. Menulis bukan soal seseorang sekadar bisa menghasilkan karya, namun bagaimana bisa menulis dengan kualitas yang bagus.
So, menulislah terus dan jangan berhenti. Itu saja.


Olin : Pesan saya, mulai lah rajin membaca. Dari situ minat menulis akan mengikuti. Menulis tanpa membaca, tanpa riset, tanpa belajar dan berdiskusi akan sangat dangkal. Walaupun pekerjaan menulis itu kelihatannya sangat keren, sebenarnya ada tanggung jawab besar juga, untuk menulis yang baik dan bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena itu belajar, membaca dan menulis bisa dilakukan bersamaan. Kalau mau cari tempat bacaan yang murah bisa ke perpustakaan dekat daerahnya, atau beli buku di loakan/buku diskon, yang sekarang juga sudah cukup banyak. Ilmu itu bisa didapat dimana saja asalkan kita berusaha. Begitu saja dari saya. Terima kasih.

Perempuan selalu memiliki cara dan sudut pandang tersendiri untuk berkarya. NH. Dini pernah menyatakan, “Tugas saya sebagai pengarang adalah menulis. Menulis yang selalu menyentuh hati saya, yang terpandang oleh mata saya dan dianggap oleh hati saya sebagai sesuatu yang dipilihnya.”



- Nabila Budayana -


Thursday, October 24, 2013

"All The World Loves a Clown"



Dua pasang mata itu terpaku di depan selembar surat kabar. Sang wanita paruh baya tertunduk dalam suram, sedangkan suami di sampingnya hanya terus membaca dengan sungguh-sungguh tanpa bicara. Seakan ia tak boleh melewatkan satu kata pun dari berita.
Tangan mereka berdua saling menggenggam.
“Kau tak perlu merasa cemas, istriku.”
Sang wanita tetap diam, masih sedikit gemetar, dengan mata yang mulai basah. Foto beberapa badut di atas artikel itu semakin menambah gundahnya. 

“Mungkin perkataannya benar, sesungguhnya kita hanya perlu tertawa.”

***

Udara di luar terlalu dingin bukan hanya untuknya, namun juga untuk seluruh kota. Ia bayangkan sebagian besar orang sedang menghangatkan tubuhnya di depan perapian, meminum secangkir cokelat hangat, juga pelukan orang terdekat yang sanggup memerahkan wajah. Namun kemudian ia menghapus bayangan itu dari kepalanya, dan mulai kembali melangkahkan kakinya. 

Demi menghalau dingin, didekapnya sendiri tubuhnya, dikerucutkan bibirnya, dan mulai bersiul. Mulutnya perlahan mulai menyenandungkan melodi dari "All the world loves a clown."* Sesekali sepatunya menendang kaleng bekas dan kerikil sebagai pengalih perhatian atau penghilang kebosanan. Namun kepalanya tetap tak sanggup bertahan dalam kekosongan. Memorinya kembali terputar. Gambar dan suara yang begitu familiar seakan hadir nyata di hadapannya.

“Aku tak tahan!” gadis itu berteriak..
Dengan langkah lebar dan tergesa karena amarah, ia dengan cepat mencapai beranda.
“Terserah kau saja! Tak usah kembali!”
Dadanya berdegup mendengar suara sang wanita paruh baya saat itu. Tak ia sangka sang wanita dapat mengatakan hal itu padanya. Tapi ia enggan peduli. Meski kepalanya hendak meledak tanpa kendali, ia pergi. Dan ia punya harga diri.

Bahkan jaket jeans washed yang ia kenakan saat meninggalkan rumah itu masih melekat di tubuhnya saat ini. Beberapa bulan ini jaket itu tak pernah menyentuh air untuk dicuci. Jangankan untuk mencuci baju, pikirannya setiap detik adalah tentang bagaimana bertahan hidup. Apa ia harus kembali mendatangi mini market dan menyelundupkan beberapa kardus sereal ke balik jaketnya, atau ia mesti meminjam beberapa sen pada orang lain? Pada siapa saja. Setidaknya yang belum bosan ia bohongi.

“Gaun ini sungguh indah. Terima kasih.” Gadis kecil itu nampak sibuk melihat dirinya di depan kaca.
Seorang wanita muda menghampirinya dan memujinya.
“Kau sungguh cantik. Apa ini benar-benar gadis kecilku?”
Sang ibu dan sang gadis kecil tertawa bersama. Kemudian gadis itu mencium pipi sang ibu dan memeluknya erat. Seakan tak pernah ingin lepas.
“Ah, pestamu segera dimulai. Cepatlah turun.”
“Ibu tak mengundang badut, kan?”
Dengan tatapan lembut, wanita itu memandang putrinya sejenak.
“Mana mungkin aku lupa bahwa putriku takut pada badut?”
Gadis kecil dengan gaun merah jambu itu membalasnya dengan senyum lebar, kemudian dengan riang melompat-lompat kecil tak sabar menuju pestanya.

Ia mulai membenci dirinya sendiri. Baginya mengingat-ingat hal yang tak perlu adalah lemah. Dipukul-pukulnya kepalanya. Berharap isi kepalanya bersih dan kembali kosong, tanpa perlu terisi apapun. Tak ada kenangan. Hanya hari ini dan masa depan. Ia bertekad untuk mulai membentuk masa depan dalam hidupnya. Ia bisa menjadi apa saja yang ia inginkan. Apa saja. 
  
***

Akhir-akhir ini jalanan menjadi lebih sepi. Anak-anak tak bermain di luar rumah, atau mungkin sekadar mengajak anjingnya berjalan-jalan. Setiap petang menjelang, mereka dipaksa duduk tenang di dalam rumah oleh orang dewasa. Untuk mengganti waktu bermain mereka, orang tua menambah fasilitas di dalam rumah. Entah itu berbagai jenis buku bacaan atau bahkan game console sesuai dengan yang anak mereka minta. Apa saja, agar mereka bertahan di dalam rumah, dan mengurangi kadar kecemasan para orang tua. 

Sementara itu anak-anak tak pernah tahu apa yang disembunyikan para dewasa di balik perkataan keras mereka. Diam-diam mereka merasa cemas dan dihantui. Di luar sana, setiap menjelang petang, di komplek mereka, bahkan terkadang di depan rumah mereka, badut-badut semakin bertambah jumlah. Tiga, enam, sembilan, entah berapa orang saat ini. Tak satupun mengerti dari mana mereka datang. Semuanya sama, memutuskan mengambil white face sebagai peran yang mereka mainkan. Hidung dengan bola merah, wig keriting berwarna, pakaian warna-warni, dan seluruhnya dengan balon-balon di tangan. Awalnya mereka kira, badut itu hanya seseorang dari kota yang datang untuk mencari penghasilan tambahan dengan menghibur anak-anak di komplek perumahan tepi kota. Namun tak pernah mereka sangka semakin hari semakin banyak pula badut-badut itu. Mereka tak melakukan apapun. Hanya berdiri, membagi senyum yang lebar, menari-nari kecil, terkadang jika lelah mereka akan memandangi balon-balon yang mereka pegang. Seakan ada sesuatu yang penting pada balon itu. 

***

Mengikuti desas-desus akan ketakutan yang berlebihan terhadap badut-badut itu, para polisi mengkaji apa yang mesti mereka perbuat. Belum ada laporan pelanggaran hukum yang badut-badut itu lakukan, hingga mereka tak bisa menangkapnya. Warga pun ternyata tak sepenuhnya merasa terganggu. Bahkan beberapa mengatakan bahwa badut-badut itu sesekali membantu para wanita membawakan kantung belanja hingga rumah tanpa bayaran, membantu para lansia untuk menyeberang jalan, bahkan seringkali mereka memberikan balon secara cuma-cuma pada anak-anak. Seakan tak ada apapun yang perlu dikhawatirkan. 

Sementara pemerhati masyarakat berkonsultasi dengan psikolog. Mengira-ngira apa ada kemungkinan badut-badut itu berpotensi untuk membahayakan orang lain. Mereka sibuk rapat, berdebat, meski akhirnya tak menghasilkan apa-apa. Dan tak melakukan apa-apa. Badut-badut itu pun menghilang sama cepatnya ketika datang. Begitu petang menjelang, satu per satu berdatangan, namun tak pernah seorang pun yang tahu dari arah mana dan bagaimana mereka datang.

***

Petang semakin mendekat. Langit semakin pekat. Hanya beberapa langkah lagi ia akan pulang, menemukan rumah barunya. Sementara sekitar semakin senyap dan gelap, ia menghilang pada tikungan terakhir menuju sebuah rumah tua yang tak terawat, yang terasing dari riuh rendah kehidupan.

Ia melangkah cepat, sebelum akhirnya disambut oleh remangnya lilin-lilin yang membagi cahaya keemasan setelah pintu masuk. Pandangannya menyusur segala arah. Kali ini nyaris sepuluh orang di dalam. Masing-masing terpisah, tak bicara, sibuk dengan dirinya masing-masing. Maklum, mereka mengejar waktu. Memerahkan bibir, memutihkan wajah, memasang hidung merah, rambut warna-warni, juga perut pasangan. Badut-badut itu siap tampil sesaat setelah petang. Gadis itu tak mau ketinggalan. 

Tak ada yang bisa disebut layak di rumah itu. Semua orang hidup dengan seadanya. Atau mungkin tanpa apa-apa. Mereka hanya memiliki satu sama lain. Sebagai keluarga. Mereka hanya memiliki kesempatan untuk berbagi tangisan atau senyuman. Itu satu-satunya sumber kehangatan di rumah itu. Tanpa perapian, cokelat panas, atau pelukan.
   
***

Pasangan suami istri itu mendapat panggilan telepon istimewa baru-baru ini. Namun sang istri sukses dibuatnya menangis. Sambungan itu dari seorang gadis.
“Di mana kau berada?” suara berat sang suami menggema di dalam rumah, nyaris menunjukkan marah.
Sang gadis tak bicara. Dengan tercekat, pria paruh baya itu terus mencoba bertanya.
“Mengapa kau lakukan ini, putriku?”
Gadis itu memberikan jeda, sebelum akhirnya bicara.
“Semakin banyak orang yang menangisi kehidupan, ayahku. Mereka bisa melupakan sejenak beban hidup itu, mengecat wajahnya, memerahi bibir dan hidungnya agar selalu gembira. Begitupun denganku. Aku tak bisa kembali. Sampaikan maafku pada ibu dan katakan bahwa aku tak lagi membenci badut. ”
Sebelum gagang telepon itu berpindah ke tangan sang wanita paruh baya, di ujung sana sang gadis telah memutus sambungannya. Melangkah dengan kostum badutnya diiringi senyum lebar. Ia kini mampu menertawakan hidupnya sendiri.


"To truly laugh, you must be able to take your pain, and play with it!"Charlie Chaplin.


 *Lagu yang ditulis oleh penulis lagu Amerika Serikat, Cole Porter (1893 - 1964) 
**Terinspirasi dan dikembangkan dari kisah nyata #northamptonclown






Ditulis untuk PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1