Melihat semakin banyaknya penulis perempuan di Indonesia, saya berinisiatif untuk menyusun wawancara ini dengan dua narsum yang saya kagumi. Sejatinya wawancara ini saya persembahkan untuk sebuah media online, namun karena satu dan lain hal, hasil wawancara ini saya tampilkan di blog pribadi. Semoga tak mengurangi manfaatnya sebagai sumber ilmu bagi siapa saja yang membacanya.
Sama-sama memiliki kepedulian khusus terhadap
dunia perempuan dan berperan aktif berkarya dalam dunia sastra Indonesia, Olin Monteiro
dan Yetti A.KA memiliki berbagai opini menarik terhadap korelasi antara
perempuan dan sastra. Dua sudut pandang berbeda yang mencerahkan ini patut
disimak.
-
Menurut Anda, sejauh apa kontribusi para penulis perempuan
dalam dunia Sastra Indonesia?
Olin : Tergantung kontribusi apa yang dimaksud? Kontribusi
nyata dalam menerbitkan buku dan menciptakan diskursus sastra Indonesia? Atau
kontribusi menulis dan dimuat di media massa? Soalnya ini agak berbeda.
Sekarang ini banyak sekali perempuan penulis, tapi yang bestseller belum bisa
dibilang terbanyak. Belum ada riset soal ini. Kalau mau bisa mulai
meriset siapa 10 penulis paling best-seller di Indonesia. Lalu di antara itu
berapa perempuannya. Contoh penulis yang berkontribusi dengan buku-buku yang
terlaris antara lain Ayu Utami, Dewi Lestari, Clara Ng dll. Tapi penjualan
mereka masih kalah dengan berbagai buku motivasi (non sastra) dan buku chicklit atau teenlit, contohnya buku yang seperti Hunger
Games, masih paling bestseller dibanding buku-buku penulis perempuan.
Kalau
dalam kancah sastra Indonesia, sekarang ini juga standarnya masih susah
dilihat. Apakah penulis perempuan dianggap menjadi bagian sastra Indonesia
kalau tulisannya sudah di muat di media tertentu, seperti di Kompas, Tempo atau
semacamnya. Atau harus memenangkan penghargaan dulu.
Kalau
menurut saya pribadi, banyak perempuan Indonesia sangat aktif menjadi penulis,
bahkan untuk mengkritisi lingkungan dan komunitas sosialnya sendiri, baik
lewat blog maupun buku. Hal ini sudah harus diapresiasi, mengingat minat baca
masyarakat Indonesia, masih belum terlalu tinggi. Untuk menciptakan generasi
peduli sastra, tentu harus dibina dulu generasi suka membaca. Karena untuk
menuliskan, penulis harus banyak riset, belajar dan membaca. Kalau mau ikut-ikutan jadi penulis tapi kualitas tulisannya sembarangan
juga sangat disayangkan, apalagi contoh tulisan status di facebook atau
blog-blog, baik penulis laki-laki dan perempuan banyak sekali yang asal menulis,
tapi tidak mau baca referensi-referensi untuk
memperkuat pengetahuannya dulu.
Jadi
menurut saya, tergantung dari perspektif mana kita melihat bagaimana peran
perempuan dalam kancah sastra Indonesia, yang jelas sudah ada tapi dengan kualitas
atau hasil yang berbeda-beda. Dan apalagi kalau
tulisannya ingin dibaca dan diingat oleh penduduk Indonesia yang 200 juta,
tentu buku tersebut harus memenuhi kebutuhan dan ketertarikan pembaca yang
beragam, tapi memang masih terbaca kebutuhannya seperti apa (yang ringan, yang
lagi pop atau lagi ngetrend contohnya).
Yetti : Kemunculan penulis perempuan mencuri perhatian atau
menjadi pembicaraan banyak orang terjadi pada tahun 2000-an. Sayangnya,
pembicaraan tentang penulis perempuan ini lebih banyak bernada negatif.
Perayaan diri (tubuh?) oleh sejumlah penulis perempuan muda dan cantik dalam
karya-karyanya dianggap liar dan mengangkangi norma-norma agama, dan karena itu
muncul istilah-istilah yang terasa melecehkan, misalnya ‘Sastra Wangi’, ‘Sastra
Mazhab Selakangan (SMS)’, dll.
Akan
tetapi, jauh sebelum itu sebenarnya sudah banyak sekali penulis perempuan yang
memberikan kontribusinya pada Sastra Indonesia. Mereka hadir untuk memberikan
pandangan lain tentang dunia perempuan pada pembaca di tengah dominasi
karya-karya yang ditulis laki-laki. Sebutsaja Suwarsih Djojopuspito dengan
novelnya Manusia Bebas. Novel ini ditulis tahun 1939an dalam bahasa Belanda dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1975. Tokoh perempuan dalam novel
bernama Sulastri, seorang guru dan tergabung dalam organisasi pergerakan
kemerdekaan. Akan tetapi novel ini kurang dikenal, tidak menjadi buku bacaan
wajib di sekolah atau bahkan perguruan tinggi, dan tentunya sangat jarang
dibincangkan dibanding novel-novel terbitan Balai Pustaka yang notabene
‘membesarkan’ nama pengarang laki-laki saja.
Selain
Suwarsih, ada juga Nh. Dini dengan puluhan novel-novel ‘perempuan’-nya.
Novel-novel yang berkisah tentang perasaan dan pikiran-pikiran perempuan. Novel
yang memberikan pandangan perempuan terhadap dunianya sendiri. Diantara
novel-novel Nh. Dini adalah Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan
masih banyak lagi, termasuk juga cerita pendek, merupakan karya-karya yang
‘bicara’ dan menggugat.
Dan tentu
masih banyak nama lainnya, dari Ratna Indraswari Ibrahim, Oka Rusmini, Abidah
El Khalieqy, hingga generasi Ayu Utami, dan generasi terbaru di bawahnya.
Kehadiran para penulis perempuan ini harus diakui telah memberikan warna
sekaligus kontribusi yang luar biasa bagi dunia sastra di Indonesia, terlepas
kemudian muncul pertanyaan, bagaimana kualitas tulisan/karya yang mereka
tawarkan?
-
Apa isu-isu yang dibawa dalam karya-karya sastra Indonesia
sudah mewakili/relevan terhadap kehidupan perempuan Indonesia? Isu apa yang
mestinya lebih banyak dieksplorasi?
Yetti : Saya tidak tahu soal apakah sudah relevan atau tidak,
sebab karya sastra, menurut saya, tidak bisa diukur
dengan cara itu, sebab sastra bagaimanapun bagian dari seni dengan
nilai-nilainya sendiri, dan bukan alat propaganda. Terlebih lagi, rumusan seperti apa perempuan
Indonesia juga butuh perbincangan tersendiri mengingat Indonesia bangsa yang
majemuk, mengingat kita tidak bisa menarik kesimpulan begitu saja bahwa
kehidupan perempuan Indonesia itu begini atau begitu. Hanya saja bila dilihat
dari kehadiran karakter perempuan dalam karya sastra hari ini, saya bisa
katakan kalau kehidupan perempuan yang diangkat cenderung atau masih dalam
stigma sebagai makhluk tidak berdaya, perempuan sebagai korban, bahkan dalam
karya yang ditulis perempuan itu sendiri.
Soal isu apa yang semestinya lebih banyak dieksplorasi, jawaban saya
sebagai seorang penulis sastra akan berbeda dengan jawaban saya sebagai seorang
(yang merasa) feminis. Sebagai orang sastra saya sadar betul kalau menulis itu
sebuah proses yang sangat personal, ekspresi-ekspresi spontan yang lahir dari
pengalaman perasaan dan pikiran (dan itu juga berhubungan dengan pengalaman
bacaan dan idelogi seseorang). Kalaupun kemudian muncul semacam keseragaman isu
dan semangat dalam tulisan yang ditulis seorang penulis perempuan maka artinya
nilai-nilai universal soal dunia perempuan telah secara tidak langsung
terbentuk begitu saja. Jadi saya mau menegaskan bahwa proses kreatif berbeda
dengan tulisan yang sengaja ditulis untuk tujuan tertentu. Jika, misalnya,
dalam karya perempuan ada semangat ‘pemberontakan’ maka itu ekspresi alami.
Saya hanya mencoba tidak menjadikan sastra sebagai alat perjuangan perempuan
dengan cara yang ‘kasar’. Tapi sebagai seorang (yang merasa) feminis, saya
tentu sangat menginginkan penulis, terutama perempuan, menulis dunianya dengan
perspektif feminisme dan bila perlu dilakukan dengan sadar dan sebagai bagian
dari perjuangan. Begitulah, harus saya akui saya hidup dalam dualisme yang
kadang bertengkar, kadang bisa sejalan. Kalau Anda bingung dengan jawaban saya,
percayalah saya juga bingung dengan diri saya, hahaha.
Olin : Ya penulis Indonesia sudah
beragam dan memiliki ciri khas dan gaya penulisan yang berbeda. Baik isu maupun
jumlah buku sudah beragam. Soal isu apa yang mesti diperdalam, aku rasa
tergantung penulisnya. Sepertinya tulisan terkait perempuan dan politik, atau
perempuan dan isu anti korupsi yang masih kurang, karena peminat dan
penelitinya jarang. Lalu isu terkait
ketahanan dan keamanan negara (intelejen dll) juga jarang ditulis perempuan.
Pemilihan isu itu tergantung background tergantung minat perempuan. Karena itu
kita juga tidak bisa menentukan. Kalau untuk fiksi saya rasa sudah cukup banyak
tema, isu dan perspektif yang ditulis oleh perempuan penulis.
-
Pada dasarnya, adakah perbedaan mendasar akan karya sastra
yang ditulis perempuan dan laki-laki?
Olin : Pasti ada perbedaan.
Karena perempuan memang memiliki cara memandang, cara menulis dan cara bertutur
yang beda dengan laki-laki. Walaupun ada
kalanya banyak penulis laki-laki menulis tentang perempuan atau isu perempuan,
tapi hasilnya bisa berbeda. Perbedaan ini karena memang perbedaan pengetahuan,
pengalaman dan perbedaan perspektif dalam menghadapi kehidupan ini yang tentu
sangat berbeda.
Yetti : Jelas ada. Dari
bahasa ungkap saja pasti berbeda, belum lagi sudut pandang, belum lagi
soal perasaan dan pikiran tokoh. Laki-laki tidak akan pernah dengan tepat bisa
mengungkapkan sesuatu dalam diri perempuan. Hanya perempuan sendiri yang paling
paham apa yang ingin ia sampaikan tentang dirinya. Hanya perempuan yang mampu
mengungkapkan dunia macam apa yang ada dalam pikiran dan diinginkannya.
-
Menurut Anda, mampukah para penulis pria mengungkapkan secara
baik masalah perempuan dalam karyanya? Sejauh apa semestinya mereka terlibat
dalam pengangkatan isu tersebut?
Yetti : Point ini sudah saya singgung pada pertanyaan
sebelumnya ya. Intinya penulis laki-laki pasti cenderung menulis dengan
perspektif laki-laki (patriarki?). Dan itu membuat mereka sering melihat
masalah perempuan dengan sikap superioritas. Karena itu, bagi saya, hal paling
penting bukan soal penulis laki-laki semestinya terlibat dalam isu perempuan,
namun bagaimana mereka paling tidak dapat memandang perempuan dengan cara yang
tidak bias.
Olin : Mungkin saja ada yang bisa
menuliskan masalah perempuan dengan baik, asalkan benar diriset mendalam. Soal
laki-laki menulis tentang isu perempuan itu bisa saja, tergantung minat mereka.
Asalkan mereka tidak menulis dengan bias gender atau standar patriarki yang
biasanya mereka miliki.
-
Beralih ke karya-karya yang telah anda hasilkan, pesan
tentang perempuan apa yang ingin Anda sampaikan?
Olin : Saya menulis puisi dan esai, semua puisi dan tulisan
saya ada beragam pesan. Tapi pada intinya, saya mendokumentasikan pengalaman
pribadi saya, keluarga, teman atau orang di sekitar. Puisi bisa juga menjadi
wadah kepedulian sosial dan kritik sosial, walaupun sering dikritisi kurang
estetikanya oleh kritikus. Pesan utama bahwa perempuan memiliki pikiran,
perspektif, pandangan, analisa dan kepedulian. Pesan penting lain adalah hak
perempuan dan kesetaraan itu harus diperjuangkan bersama baik laki-laki maupun
perempuan. Perempuan memiliki ide, konsep dan kepedulian baik terhadap
lingkungan maupun negaranya. Bahwa isu perempuan juga penting dituliskan
sebagai dokumentasi dan sejarah kita sendiri. Sekarang ini sejarah dan seni
lebih banyak dituliskan oleh laki-laki. Kalau bukan kita menulis sendiri pesan
perempuan, maka siapa lagi?
Yetti : Dalam berkarya saya tipikal orang yang mengalir
(deras) begitu saja. Saya mengeluarkan apa yang ingin saya katakan (dengan cara
saya) tanpa berpikir dunia perempuan apa sebenarnya yang ingin saya sampaikan.
Saya juga sudah singgung soal ini ya, bahwa menulis kegiatan kreatif yang punya
dimensi tersendiri. Jadi saat menulis saat tidak punya target apa-apa. Nah,
kalau kemudian dalam karya saya muncul semacam kemarahan atau gugatan, itu
pasti terjadi dengan sendirinya, mengingat itulah (perasaan dan pikiran) saya.
Tulisan-tulisan
saya lahir dari pengalaman dan pengamatan atas dunia perempuan atau dunia yang
lebih luas dari itu. Dan hampir semuanya memang berangkat dari ‘kemarahan’. Saya mengangkat dunia
perempuan sebagaimana yang saya lihat, amati, dan rasakan. Sangat apa adanya.
Begitulah perempuan. Begitulah kejadian-kejadian yang mereka alami. Saya tidak
berusaha mendramatisir tokoh perempuan dalam karya saya sebagai seorang yang
luar biasa, perempuan kuat yang tidak pernah kalah, tidak menangis, tidak
menderita. Tidak. Karakter perempuan dalam cerita saya malah banyak yang
berangkat dari kekalahan. Namun, tentu tidak selesai begitu saja pada kekalahan
itu. Tokoh perempuan saya justru bangkit dan bergerak dan melawan—dengan
caranya sendiri. Saya meyakini dalam seorang yang tertindas ada suara-suara
perlawanan dalam dirinya.
-
Ada karya dari penulis perempuan Indonesia yang Anda gemari?
Mengapa?
Yetti : Sebenarnya saya suka pengarang asing, Susanna Tamaro
dan Toni Morisson. Tapi kalau harus menyebut pengarang perempuan Indonesia,
saya punya beberapa nama yang karyanya saya anggap menginspirasi dan matang
dibanding yang lain. Pertama, Ratna Indraswari Ibrahim. Sejak lama saya suka
sekali dengan cerita pendeknya, cerita-cerita yang berkisah tentang kehidupan
perempuan dan dikisahkan dengan cara yang sederhana. Sosok Ibu Ratna yang juga
(maaf) tidak sempurna secara fisik, membuat saya seringkali ‘tertampar’
mengingat, rasanya, saya tidak segiat beliau dalam berkarya. Semoga beliau
damai di sisi Tuhan dan karya-karyanya akan selalu hidup dalam dunia sastra
Indonesia.
Nama
lain, Ayu Utami, Nukila Amal, Linda Cristanty. Mereka penulis perempuan yang
karyanya saya anggap berkualitas. Karya-karya yang cerdas, baik secara
kesastraan maupun sisi perempuannya. Khusus Nukila Amal saya sangat takjub
dengan bahasa-bahasa ungkapnya yang puitis dan kuat dan mistis.
Olin : Saya mengagumi NH Dini,
Toety Heraty, Dorothea Rosa Herliany dan Ayu Utami. Sebagai penulis senior, ibu
NH Dini menuliskan tentang pengalaman hidupnya menjadi novel dengan manis dan
deskriptif, menjadi salah satu pemicu saya suka traveling di Indonesia.
Sementara Toety Heraty menulis puisi yang feminis dan penuh filosofi. Untuk Dorothea Rosa Herliany, puisi-puisinya
juga sangat unik dan kontemplatif,yang juga sudah diterima Sastrawan Indonesia
sebagai karya puisi yang bagus. Sementara Ayu Utami membuka jalan pada sekitar
1998 dan menginspirasi banyak penulis lainnya untuk menulis soal isu perempuan,
seksualitas, politik dan sejarah dengan mendalam.
-
Apa harapan Anda terhadap karya-karya sastra sebagai
kontribusinya untuk mempengaruhi kehidupan perempuan?
Olin : Harapan saya justru karya
sastra perempuan bisa mempengaruhi cara pandangan laki-laki atau budaya
patriarkis supaya bisa lebih menerima hak perempuan, kesetaraan dan keadilan
bagi perempuan. Bagi saya penting laki-laki membaca dan mengerti isu perempuan,
karena itu bagian dari hidup. Banyak orang salah persepsi terhadap novel
perempuan atau tulisan perempuan yang membicarakan soal kesetaraan gender,
seksualitas atau pemikiran perempuan. Harusnya kepedulian terhadap perbaikan
hak perempuan itu jadi tanggung jawab bersama, juga dalam sastra. Kalau
perempuan sendiri, kalau dia ada akses dan mampu, dia harus menjadi agent of
change, atau agen perubahan apabila ingin mengubah situasi di masyarakat kita
yang masih mendiskriminasikan perempuan.Kalau belum banyak yang ikut jadi agent
of change, itu karena dukungan kepada perempuan masih minim, dari keluarga,
bahkan komunitas sosial dan infrastruktur pendidikan yang harusnya disediakan
oleh pemerintah umpamanya, jadi bukan salah mereka.
Yetti : Apa ya, hehe. Makin banyak saja karya-karya yang
berkualitas lahir, karya sastra yang memberikan kesadaran baru pada perempuan.
Makin banyak juga perempuan yang punya waktu dan suka membaca. Karya sastra
tanpa dibaca juga tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan perempuan,
bukan?
-
Menutup perbincangan ini, ada pesan yang ditujukan untuk para
penulis perempuan di Indonesia?
Yetti : Menulis dan terus belajar. Menulis bukan soal
seseorang sekadar bisa menghasilkan karya, namun bagaimana bisa menulis dengan
kualitas yang bagus.
So,
menulislah terus dan jangan berhenti. Itu saja.
Olin : Pesan saya, mulai lah
rajin membaca. Dari situ minat menulis akan mengikuti. Menulis tanpa membaca,
tanpa riset, tanpa belajar dan berdiskusi akan sangat dangkal. Walaupun
pekerjaan menulis itu kelihatannya sangat keren, sebenarnya ada tanggung jawab
besar juga, untuk menulis yang baik dan bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena
itu belajar, membaca dan menulis bisa dilakukan bersamaan. Kalau mau cari
tempat bacaan yang murah bisa ke perpustakaan dekat daerahnya, atau beli buku
di loakan/buku diskon, yang sekarang juga sudah cukup
banyak. Ilmu itu bisa didapat dimana saja asalkan kita berusaha. Begitu saja
dari saya. Terima kasih.
Perempuan selalu memiliki cara dan sudut
pandang tersendiri untuk
berkarya. NH. Dini pernah menyatakan, “Tugas saya sebagai pengarang adalah
menulis. Menulis yang selalu menyentuh hati saya, yang terpandang oleh mata
saya dan dianggap oleh hati saya sebagai sesuatu yang dipilihnya.”
- Nabila Budayana -