Pages

Tuesday, February 7, 2017

Kotak Penuh Terisi : Buah Tangan Kunjungan Pegiat Budaya 2016

Lima puluh pegiat budaya menyorot kembali dan memberi refleksi tentang geliat seni di Indonesia sekembalinya dari Selandia Baru akhir tahun lalu. Benarkah Selandia Baru jauh lebih di depan?


***

Akhir tahun 2016 lalu, lima puluh pegiat budaya dari berbagai bidang dan daerah asal di Indonesia melakukan residensi selama tiga minggu (15 November 2016 - 3 Desember 2016) di Selandia Baru. Mereka terpilih dari ribuan aplikasi yang telah diajukan pada Dinas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Rabu, 1 Februari 2017 lalu, berlokasi di auditorium IFI Surabaya, beberapa dari para pegiat budaya terpilih asal Surabaya; Gema Swaratyagita, Parriska Indra, Dwiki Nugroho, dan Fauzan Abdillah, berinisiatif membagikan kisahnya pada publik tentang kegiatan dan analisa mereka terhadap geliat kebudayaan di Selandia Baru dengan tajuk acara "Marmoyo" Mari Ngomong Budoyo. 




Ialah Gema Swaratyagita, seorang musisi dan komposer asal Surabaya yang mengawali panelnya, dan berbagi inspirasi dengan audiens. Secara umum para pegiat budaya melaksanakan tahap pembekalan sebelum keberangkatan, pengenalan tentang negara tujuan, melakukan berbagai kunjungan dan pembelajaran ke beragam titik kebudayaan di Selandia Baru, hingga memperkenalkan ragam budaya Indonesia dengan berbagai tampilan kolaborasi. Gema membawa kesan tersendiri tentang giat budaya di Negeri Kiwi. Sebagai seorang musisi, Gema mendapatkan Auckland University of Technology sebagai salah satu destinasi kunjungan. Tidak hanya belajar tentang musik, namun lebih jauh dari itu, ia juga mencari informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Selandia Baru terkait kegiatan budaya. Di Selandia Baru, pemerintah mewadahi diskusi antar seniman, serta mendukung geliat seni melalui Art Council dan beberapa Foundation. Meski begitu, dari sisi keragaman budaya, Indonesia berada jauh di depan Selandia Baru. Maori, sebagai satu-satunya suku dengan kebudayaan yang masih dipertahankan hingga saat ini menjadi andalan Selandia Baru dalam menampilkan wajah kebudayaannya. Gema bahkan berkesempatan untuk mendapat arahan langsung dari musisi Maori. Menjadi suatu keistimewaan tersendiri, mengingat tradisi dan budaya Maori baru beberapa tahun belakangan boleh dimainkan oleh masyarakat umum selain suku Maori. Musik Maori turut berkembang bersama zaman, hingga lahir kolaborasi antara musik Maori dengan musik modern, seperti Rap dan DJ. Yang berbeda, musik Maori berkisar di antara alat musik tiup dan pukul sejatinya tidak dimainkan untuk sesuatu yang "hingar-bingar", justru penuh kedalaman yang syahdu; kepentingan ritual atau doa. 

Gema juga melawat ke sebuah pusat budaya di mana anak-anak muda diberikan ruang untuk mempelajari song writing dan audio recording. Dari kunjungannya, Gema mencari informasi tentang pembiayaan operasional tempat yang didukung oleh program amal masyarakat dan pemerintah. Hal itu membuka kesempatan besar pada seniman maupun pemula yang ingin berkarya secara sungguh-sungguh. Gema juga menemukan rasa Indonesia di New Zealand School of Music dalam kelompok Gamelan Padhang Mochar yang dimainkan penuh oleh warga negara Selandia Baru. Kesungguhan mereka mempelajari Gamelan terbukti dengan kebanyakan personil yang telah menyambangi Indonesia untuk mempelajari Gamelan. Bicara tentang pengarsipan, Auckland National Museum bisa menjadi contoh bagi Indonesia dalam mendokumentasikan dan merawat aset budaya. Dari perjalanannya, Gema berharap negara kita bisa belajar dari pengarsipan dokumen budaya, serta lebih sinerginya berbagai pihak di Indonesia demi mendukung budaya bangsa.    

Sejalan denga Gema, bersama sembilan orang penari lain, Parriska yang bergerak di bidang seni tari juga membawa "oleh-oleh" berharga. Jauh mendalami makna, Parriska mengungkapkan bahwa setiap kali memulai tarian, penari Selandia Baru selalu menselaraskan dirinya dengan alam. Dari kunjungannya ke berbagai lokasi, Parriska mempelajari beberapa jenis tarian suku Maori. Di antaranya Haka, tarian perang yang banyak bermain di kekuatan kaki dan ekspresi. Parriska juga mampir ke New Zealend Dance Company yang berfokus pada Ballet dan tarian kontemporer. menurut pengamatannya, penari-penari di sana gemar bereksplorasi dengan berbagai jenis objek sebagai variasi pada tarian. Meski begitu, keragaman jenis tarian Indonesia yang sempat ditampilkan pada publik Selandia Baru membuat kekaguman tersendiri. Parriska ingin seniman Indonesia bisa lebih dihargai oleh negeri sendiri, dengan lebih dimilikinya ruang-ruang untuk tampil di hadapan publik.

Fauzan dan Dwiki yang berangkat dari bidang film dan seni rupa juga memiliki buah tangan yang patut disimak. Sedikit berbeda, Fauzan menganggap dunia film Selandia Baru nyaris serupa dengan Indonesia. Hanya saja, apresiasi penonton di sana lebih baik, akses untuk mendapatkan dana produksi lebih mudah, dan disokong oleh piranti yang lebih canggih. Sedangkan Dwiki yang merupakan seorang kurator seni angkat bicara bahwa pola kerja seni di Selandia Baru berbeda dengan di Indonesia. Masalah tersebut cukup mendasar, karena di Indonesia karya seni diciptakan berdasarkan masalah yang terjadi di masyarakat, sedangkan sebaliknya, di Selandia Baru seni digunakan sebagai solusi dari masalah sosial yang ada. Apresiasi yang didapatkan untuk karya seni yang diletakkan di ruang terbuka pun bukan sebagai objek yang dekoratif, namun benar-benar dianggap sebagai karya seni yang diperlakukan sebagai perhatian utama. Meski begitu, Dwiki justru mengungkap ironi yang baginya menyenangkan. Ia merasa lebih nyaman berkesenian di Indonesia. Karena baginya, dengan minimnya dana dari pemerintah, justru seniman mampu lebih bebas berkarya tanpa terikat dengan pemberi dana. 

credit picture : instagram gemaswaratyagita

Dipandu moderator Vika Wisnu, para pegiat budaya terpilih juga mengadakan sesi obrolan ringan bersama terkait sudut pandang mereka tentang geliat budaya Negeri Kiwi demi kepentingan perkembangan seni budaya di Indonesia. Menanggapi tentang hubungan antara seniman dan pemerintah di Indonesia, Gema menilai dari sudut pandang yang berbeda bahwa kebanyakan seniman juga resisten ketika bekerjasama dengan pemerintah, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam perkembangan budaya. Fauzan sebagai seniman muda mengungkap bahwa seniman bisa mulai pro aktif mendekatkan diri dengan pemerintah dengan mengajukan berbagai aplikasi untuk program kebudayaan. Baginya, sinergi itu krusial terjalin karena industri dibentuk dari manajerial seni dan pelaku. Menyambung hal tersebut, Dwiki berpendapat, bahwa kendala lain dalam industri seni adalah kehomogenan pelakunya. Semua berebut ingin tampil, sehingga Indonesia kekurangan pelaku manajerial yang berperan penting. Tak heran, seniman mendapat tugas yang terlalu banyak untuk dipikul sendiri. Hal tersebut jadi salah satu hal yang menghambat berkembangnya industri seni di Indonesia. Pada akhirnya, langkah kaki para pegiat budaya menjejak negeri seberang bertujuan sama. Kembali dengan kotak yang penuh terisi : keinginan besar agar kekayaan budaya Indonesia dapat ditampilkan oleh anak bangsa menuju kekaguman dunia.     



Why you go away? So that you can come back. So that you can see the place you came from with new eyes and extra colors. - Terry Pratchett.