Pages

Sunday, October 3, 2021

Seni Menerima Pandemi dalam Bunyi : Review pertunjukan "Bane" karya Laring

Pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi manusia. Sebagian besar kita dibenturkan dengan berbagai kehilangan, ketiadaan. Sayangnya, manusia sesungguhnya tak pernah siap menghadapinya. Bagaimana seni pertunjukan merekam realitas itu?

***

Laring, sebuah wadah seni yang dibentuk oleh komponis Gema Swaratyagita tampaknya semakin beradaptasi dengan pertunjukan virtual. Menghadirkan karya terbarunya, "Bane", Laring tetap konsisten memadukan seni bunyi dan gerak. Namun kali ini dengan konsep yang berbeda dan diimbangi dengan tampilan visual yang lebih memuaskan. Penonton difabel juga tetap dapat mengikuti pertunjukan dengan membaca caption yang disediakan. Karya ini diproduksi Laring untuk Jagongan Wagen, sebuah program pertunjukan seni bulanan milik Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. 

Setelah "Jeng Sri" di Ngangon Kaedan 3 karya Laring, September 2021 ini Laring kembali meluncurkan karya terbaru. Lebih ramah visual dan audio, konsep kali ini bukan pertunjukan langsung di atas panggung, justru serupa dengan konsep film. Penonton tak lagi mendapatkan ruang menonton yang terbatas. Bane diritmekan dalam adegan-adegan dengan tone monokrom tanpa mengabaikan kualitas bunyi dan konsep. 

Penonton disambut dengan overture yang menarik perhatian. Layar gelap dan seruan beberapa perempuan yang menggaungkan hitungan angka-angka muncul. Hitungan yang kadang berurutan, kadang tidak. Sementara di layar terungkap kondisi khas di waktu-waktu pandemi Covid. Pengumuman tak henti tentang jiwa yang meninggal dari toa masjid sementara waktu-waktu yang terus berlalu. Gumaman tentang angka-angka itu terus bertambah, puluhan, ratusan, hingga jutaan melambangkan korban yang berjatuhan. Terusiknya ketenangan dihadirkan dengan gelas kopi yang terus diisi dan diaduk tak kunjung henti. Kekacauan semakin menjadi. Hari-hari berganti, manusia semakin jenuh mendengar, melihat, merasa. Tanah-tanah terus digali, melambangkan manusia yang semakin banyak kembali.  

Babak kedua dinamai "Tinolak". Mulai bagian ini, Mian Tiara sebagai Pataakaa, Tessa Prianka sebagai Mamala, serta Yanthi Rumian sebagai Pralaya muncul di layar. Permainan vokal tiga perempuan yang duduk di satu meja. Karakter masing-masing perempuan itu terlihat mulai saat ini. Pataakaa menangis dan panik. Pralaya kemudian menggumamkan permainan vokal yang seakan berita, dan Mamala yang terdiam kemudian bernyanyi, seakan ingin menenangkan Pataakaa. Bagian ini seperti menggambarkan bagaimana respons berbeda masing-masing manusia dalam menghadapi kejamnya pandemi. Perlahan dengan nyanyian Mamala yang semakin mendayu, Pataakaa menjadi lebih tenang, dan Pralaya tak lagi mengoceh begitu banyak. Dinamika yang tergambar dari paduan vokal para performer menjelaskan karakter khas masing-masing. 

Penonton diajak beralih pada "Nesu", di suatu dapur di mana Pataakaa kembali pada amarah dan kekesalannya tentang keadaan. Mamala hadir dan membuat mereka beradu kekesalan. Tak bisa dipungkiri, ekspresi wajah Mian Tiara selalu memberi kesan. 

Situasi tenang hadir dalam bagian berikutnya, "Nyang-Nyang". Mamala muncul seorang diri dengan nyanyian yang kali ini berlirik. Tangannya menggenggam ponsel yang berisi video dirinya sendiri yang juga sedang dalam keadaan tak baik. Bagian ini seakan menggambarkan fase manusia yang bermonolog dan berefleksi tentang pandemi, juga kehilangan, kekecewaan, dan kesedihan. Sekaligus menampilkan ironi bahwa sesungguhnya manusia begitu tak terbiasa dengan ketidaknyamanan dan keadaan yang tak diinginkan. Pandemi Covid mengingatkan tentang pentingnya sehat, rasa syukur, dan ke-Tuhan-an. 

Bagian "Depresi" memiliki daya tarik visual paling menarik. Dalam layar, Pataakaa tampak "babak belur" dalam kekacauan ruang. Keputusasaan Pataaka tampak jelas melalui ekspresi dan racauannya yang semakin lirih. Mamala kemudian hadir tanpa kata-kata. Ia duduk di samping Pataaka dan memberikan sentuhan tenang. Di fase ini tampaknya baik Pataaka maupun Mamala sudah dalam tahap menuju penerimaan. Tergambar dari kostum mereka yang setengah-setengah. Putih dan hitam.



Sebuah gong yang ditidurkan mengawali bagian "Ditempa-Basa". Nuansa tenang muncul dari Pataakaa, Mamala, dan Pralaya dengan pakaian serba putih yang mengelilingi gong. Senandung vokal dengan nuansa spiritual seakan menandakan penerimaan terhadap yang terjadi. Penonton bisa menikmati melodi yang paling kental di sini.



Di bagian akhir, masih ada senandung pesan tentang ajakan perenungan dan bijak menyikapi kesempatan hidup. Karya ini diciptakan Tessa Prianka, setelah semua karya bunyi di bagian sebelumnya diciptakan Gema Swaratyagita.

"Bane" menunjukkan pola yang cukup jelas melalui simbol-simbol, seperti warna, ekspresi performer, juga latar ruang. Pemisahan dalam bagian-bagian juga memudahkan penonton untuk mengikutinya dan memetakan alur proses penerimaan manusia terhadap pandemi. Karya yang terasa ringkas, jernih dalam "suara", juga tema yang relevan ini dikemas dalam versi kontemporer dari sebuah opera.

"Bane" dapat ditonton melalui jagonganwagen.psbk.or.id pada tanggal 24 September 2021 hingga 10 Oktober 2021. Pertunjukan ini juga akan ditayangkan di kanal YouTube Indonesia Kaya pada tanggal 8 hingga 17 Oktober 2021.


Friday, July 16, 2021

Bertahan di Hari-Hari Terburuk

Apa rasanya menjadi satu-satunya negatif Covid di antara orang serumah yang seluruhnya positif? 


Akhir Juni 2021, langit menyelimuti saya dengan amarah dan kekecewaan. Mati-matian menjaga prokes untuk diri dan keluarga selama lebih dari setahun terakhir, ternyata keluarga kami masih mendapatkan giliran untuk terkena Covid 19. Tinggal bersama tujuh orang lain di rumah dengan beragam usia, mulai lansia hingga balita, saya kerap mengingatkan tiap orang agar berhati-hati semenjak pandemi. Saya sadar betul jika salah satu dari kami terkena, kemungkinan yang lain pun juga akan terpapar. Sayangnya, itu benar terjadi. 

Beberapa hari sebelum 29 Juni 2021, papa saya sudah bersin, batuk, mual, muntah, demam, dan lainnya. Sampai beberapa hari kemudian, mama dan papa saya masih beranggapan papa hanya masuk angin biasa. Kebanyakan minum es, katanya. Gejala itu kemudian menular pada mama tak lama kemudian. Alarm awas saya dan kakak sebenarnya sudah menyala sejak papa tak kunjung sembuh. Bedanya, kakak tetap beraktivitas di rumah seperti biasa, sedangkan saya sudah pakai double masker di rumah dan menghindari bertemu papa. Sejak awal pandemi, saya selalu berlaku demikian. Jika ada yang sakit di rumah, saya akan meminimalkan keluar kamar dan memilih mengenakan masker di dalam rumah. Lebih-lebih baru tiga bulan lalu saya harus berhenti dari semua kegiatan selama sebulan karena Demam Berdarah Dengue yang mengharuskan saya menerima transfusi trombosit karena angka trombosit yang hanya 8.000 (di kala normal trombosit saya bisa mencapai 397.000). Setelah pulang dari Rumah Sakit saat itu, saya merasa imunitas belum kembali penuh. Itu yang bikin saya ekstra hati-hati selama pandemi. Tidak bertemu teman sama sekali, tidak ke keramaian, tidak makan di tempat makan umum, dan hanya sekali ke taman yang sepi (nyaris tidak bertemu orang lain sama sekali). Di samping itu saya juga mengingatkan yang lain dengan lebih sering, sampai kerap disebut cerewet, paranoid, sampai satgas covid. 

29 Juni 2021, kakak dan saya sudah tak tahan lagi karena kakak ipar tiba-tiba mengalami gejala yang serupa dengan mama dan papa. Papa, mama, kakak ipar akhirnya memutuskan untuk mengambil tes antigen. Mereka bertiga menunjukkan hasil positif. Dunia rasanya runtuh sesaat. Dugaan kami benar. Kabar itu datang tiga puluh menit sebelum saya harus mengajar online. Rasanya ancaman yang awalnya terasa jauh dan tak terpikirkan untuk datang saat itu jadi begitu dekat. Saya tetap mengajar seakan tak terjadi apa-apa. Namun sisa hari itu dilalui penuh dengan kebingungan dan kecemasan. Saya langsung memisah kamar mandi, alat makan, menghindari berpapasan, dan bermasker meski di dalam rumah.  

30 Juni 2021, kami sepakat untuk mengambil tes PCR. Papa, mama, kakak ipar mengambil tes PCR di puskesmas sekaligus melapor. Sementara kami yang di rumah (yang belum menunjukkan gejala dan gejala ringan) memutuskan mengambil PCR home care mengingat ada oma kami yang berusia di atas 85 tahun juga balita. Selama jeda menunggu hasil, kami sudah memperlakukan semua yang bergejala sebagai positif. Dua hari kemudian, hasil PCR home care sudah keluar lebih dulu. Hasil itu mengejutkan dengan hanya menyisakan saya seorang di rumah yang negatif Covid-19. Artinya, dipastikan tujuh yang lain positif. Kami bertindak cepat, saya memutuskan untuk indekos sementara waktu di rumah kerabat.

Sebagai satu-satunya yang sehat, saya harus mengatur segala keperluan tujuh anggota keluarga dari kejauhan. Hampir setiap jam, setiap anggota keluarga harus dipantau kondisinya. Suhu tubuh, saturasi, keluhan, pembelian obat, dan sebagainya. Setiap keputusan dalam mengambil tindakan saya lakukan bareng Meita, sepupu yang kebetulan juga dokter. Mencocokkan resep dari dokter dengan gejala dari tiap anggota keluarga, di mana bisa membeli obatnya, memutuskan tindakan darurat, menemukan berbagai solusi perawatan, bersiaga ketika terjadi keluhan, dan lainnya. Hampir setiap saat saya berkomunikasi dengannya untuk mengambil langkah penanganan yang tepat. Beruntung, Meita sangat solutif, suportif, analitis, terbuka untuk diskusi, dan selalu memberi alasan ilmiah sebagai bentuk edukasi. Perjalanan merawat menuju kesembuhan ini jadi terasa berharga karena semua keputusan diambil dengan pijakan sains. 

Melawan Covid adalah maraton untuk berhadapan dengan ketegangan. Di detik lain baik-baik saja, di detik berikutnya kondisi psikis penderita bisa begitu berbeda dari biasanya. Rasa takut, cemas, khawatir, panik, lelah, kesal, bingung semua menumpuk jadi satu. Bahkan, saya baru menemukan emosi-emosi yang tak pernah saya lihat dari keluarga sebelumnya muncul kali ini. Menerima video call tangisan atau chat putus asa harus dihadapi dengan tenang. Saya tahu, di sini saya yang harus mengambil keputusan dan menyampaikannya dengan benar. Kepanikan tak akan mengubah apa-apa, dan berpotensi menambah beban pikir keluarga di rumah. 

Setelah kepindahan saya, saya masih harus berhati-hati karena masih ada risiko false negative, mengingat saya terhitung kontak erat dengan keluarga. Setiap hari saya berharap setidaknya selama 10 hingga 14 hari setelahnya saya tak bergejala apa-apa sehingga benar-benar negatif. Di saat yang sama, saya terus memantau kondisi di rumah. Per orang, per keluhan, per menit. 

Hari-hari berlalu dengan keadaan yang stabil. Sampai di hari pertama Juli, saturasi oksigen oma kami drop, hanya berkisar di 90-92. Berdasarkan saran teman, saya minta mbak ART di rumah untuk mencobakan posisi proning. Setiap kali proning, saturasi oma bisa agak naik. Namun itu tak bertahan lama. Kami memutuskan untuk mencoba membawa oma ke Rumah Sakit untuk penanganan lanjutan. Sayangnya, kondisi di sebagian besar RS sudah penuh. Papa dan Mama yang berkondisi lebih baik juga sempat tak kuat melihat betapa penuhnya kondisi IGD RS saat itu. Akhirnya oma kembali ke rumah dan kami mencoba mencari pinjaman tabung oksigen untuk menaikkan saturasi oma. Sempat terkendali selama beberapa hari, namun beberapa hari kemudian oksigen habis dan kami tak lagi punya cadangan tabung. Tengah malam, kami mencoba menelepon semua kontak pengisian oksigen, namun tak ada yang bisa membantu. Seluruh cucu oma juga menelepon berbagai kontak darurat, sayang tidak terhubung. Saturasinya begitu rendah hingga di bawah 51. 





Napasnya sangat sesak dan semakin lambat. Melihat kondisi yang sudah sangat kacau, saat itu, empat puluh lima menit sebelum oma berpulang, saya menelepon anak-anak oma untuk bisa berjaga di sampingnya maupun menemani melalui video call, siap dengan kemungkinan terburuk. Sesuatu yang begitu berat untuk dikatakan, namun tetap harus diucapkan. Pagi sekali, menjelang subuh di 4 Juli itu, oma kami harus kembali pada Tuhan. Saya belum pernah mendengar mama menangis begitu terisak dan sesak di telepon, saya juga belum pernah melihat kakak menangis sesenggukan itu di video call. Pukulan berat itu pasti berpengaruh pada kondisi psikis bagi mereka yang sedang dalam masa penyembuhan.  

Kepergian dan perjalanan oma menuju pemakaman ternyata tak mudah. Hingga menjelang dua belas jam setelah oma berpulang, ambulans baru datang untuk mengambil jenazah. Itu pun setelah seharian kami mencoba menghubungi berbagai pihak. Mengingat kondisi saat itu yang mengharuskan antre untuk menggunakan ambulans. Setelah melewati berbagai liku, petang itu, di bawah serat langit sore, oma dimakamkan dengan tata cara Covid. 




Beruntung, setelahnya semua psikis keluarga bisa cepat pulih dan bisa kembali pada fokus penyembuhan. Saat ini, sebagian besar keluarga sudah sembuh dan hanya menyisakan sedikit batuk. Papa sempat harus mengalami kebingungan karena beberapa tetangga tak sebegitu mudah menerima papa kembali hingga ia harus mengambil tes antigen dan PCR sebagai bukti negatif. Sementara yang lain sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa.  

Di tengah-tengah proses itu, saya sempat drop satu hari karena flu dan GERD yang kambuh. Kabar buruk yang beruntut dan menuntut waspada setiap waktu terasa melelahkan. Rasanya begitu berat untuk bangun esok pagi. Saya kerap berdoa agar ketika terbangun esok hari tak ada kabar buruk lagi yang datang. Pertarungan psikis itu yang begitu menguras energi. Menjaga tenang meski dada bergemuruh, menjaga damai meski keadaan sedang tak baik. Begitu banyak yang saya pelajari dari kejadian ini. Salah satunya, saya baru mengerti jika saya lebih kuat dari yang saya bayangkan. 

Di hari pergantian usia ini, saya mengucapkan terima kasih banyak untuk keluarga dan sahabat yang menemani dan membantu saya dengan segala cara dan dukungan melewati hari-hari terberat dalam hidup lalu.   

Meita Ardini Pratamasari. Nindia Maya. Dokter Astu Anindya Jati. Nina Deka. Astry Limas Yuliati.  Adika Kuswanto, Dinda Atika Putri dan keluarga. Nadia Asandimitra. Siti Arifah. Achmad Bagus Khoirul Rijal. Betari Aisah. Windy Tiandini. Juga banyak teman-teman lain yang memberikan begitu banyak dukungan dan doa untuk saya dan keluarga. 


Kiranya ini bisa jadi sebuah catatan agar kelak saya bisa mengingat betapa kuatnya manusia bertahan menghadapi hari-hari terburuk. Sebuah pengingat untuk menghargai waktu-waktu damai yang sudah ada dan akan ada nanti. 


"I am no longer defined by what happened to me, but by who I am. Now I would introduce my self as someone who's survived, who's rebuilt herself, who's reconstructed herself. I introduce myself as someone who's an active participant in her own life, not someone who had something done to her. Not someone who is reacting, but someone who is being." - Najwa Zebian



Surabaya, 16 Juli 2021.

Di hari ulang tahun dengan harapan yang paling sederhana : bertahan, sehat, dan bisa segera main piano lagi.