Pages

Wednesday, October 29, 2014

Bincang Litterature de Juenesse : LPM GRI Sby 25 Oktober 2014


Setelah bulan lalu melaksanakan bedah novel Green Card dengan Dani Sirait, Goodreads Sby mewadahi keinginannya untuk kembali bersama-sama belajar tentang budaya literasi di Prancis. Semua berawal dari pertemuan kesekian kali kami dengan Teteh Irma Husnal Chotimah, Kakang Karguna Purnama, dan tentunya putri mereka, si kecil balita primadona acara, Elle beberapa bulan lalu. Ketika mereka datang di tengah-tengah kami, rasanya kami selalu menanyakan apapun tentang Prancis. Wajar saja, selain teteh dan kakang bekerja di pusat kebudayaan Prancis sebagai penanggung jawab pengajaran dan pengajar, teteh sempat beberapa tahun tinggal di Prancis, dan kakang juga kerap berkunjung ke negeri Eiffel. Dari obrolan-obrolan itu, saya pikir akan menarik ketika teteh dan kakang dapat berbagi dengan lebih banyak orang tentang dunia literasi di Prancis. Mereka berdua sepakat dalam waktu singkat. Bulan Oktober sudah mendekat, namun kami masih belum punya topik dan persiapan. Beruntunglah teteh berkenan menyiapkan beberapa topik sebagai opsi tema acara untuk kami pilih. Ketiga opsi itu saya lemparkan pada teman-teman, dan sebagian besar merasa tertarik dengan opsi pertama : Literatur anak-anak yang sedang hangat di Prancis, bahkan masuk ke dalam kurikulum TK sejak tahun 2000. Sepakat didapat, dan semua diatur dan dilaksanakan. Terima kasih banyak saya sampaikan pada rekan-rekan yang sukarela membantu acara ini, untuk Teteh, Kakang, Elle, Kak Nindia Nurmayasari, Ghozi dan semua rekan-rekan GRI Sby.

Didampingi teteh dan kakang, Elle sedang asik memakan kudapannya ketika saya tiba di Heerlijk Gelato, 30 menit sebelum acara dimulai. Ghozi (anggota GRI Sby yang rajin menyusun rancangan publikasi) datang beberapa menit kemudian. Sembari saya berbincang ringan dengan emak dan abahnya, Elle justru menatap Oom Ghozi (begitu Elle memanggilnya) yang duduk di sebelah saya dengan seksama ("Oom ini asik diajak main nggak, ya?" mungkin begitu pikirnya). Terbukti, hingga kami beranjak, Elle mengajak Oom Ghozi bermain sepanjang waktu (Lupakan saja Oom Lalu dan Oom Praja, sudah bosan!" lagi-lagi, mungkin itu kata Elle jika dapat bisikan dari saya) :D Saya tak terlalu repot mesti membuka roll banner sendirian karena Ghozi banyak membantu. Hari itu Perpustakaan BI Mayangkara agak ramai. Di waktu yang bersamaan sedang ada desain fair yang diselenggarakan. Sementara roll banner telah terpajang di sudut Heerlijk Gelato, lewat pukul 2 siang, audiens mulai berdatangan. Beberapa dari mereka berangkat dari komunitas-komunitas literasi Surabaya, semisal LendABook dan Klub Buku Surabaya. Juga ada pemilik rumah baca, pendongeng, pengajar, dosen, mahasiswa, dll. Lima belas bangku yang kami pesan terisi penuh, bahkan perlu menambah.

Sedikit prolog seperti biasa, kemudian obrolan santai dimulai. Sore itu, 25 Oktober 2014, Teteh banyak mengungkap fakta-fakta literasi di Prancis. Misalnya saja, sebuah aturan yang wajib dipatuhi, yaitu setiap anak sekolah TK dan SD sudah harus selesai membaca satu buku penuh. Tidak harus novel, namun juga disarankan buku anak bergambar. Bicara perbedaan karakteristik literatur anak antara Prancis dan Indonesia, teteh mengungkap hal menarik. Di Prancis, kecenderungan cerita anak lebih berani dan terasa agak provokatif dibanding dengan buku-buku anak di Indonesia yang sangat menonjolkan "hitam - putih". Misalnya saja, dalam suatu buku anak Prancis, tokoh ibu dalam buku itu adalah seorang Afrika yang tak mengenakan bra. Akan sangat terdengar kontroversial di Indonesia, namun di Prancis adalah hal biasa. Buku-buku anak Prancis memiliki tema yang lebih bervariasi dan lebih berani menyatakan sesuatu. Di Prancis, anak-anak diajarkan dua jenis kemampuan membaca. Yang pertama, membaca untuk menulis dan membaca untuk membaca. Membaca untuk menulis : anak diminta untuk membaca agar mereka dapat mengetahui berbagai jenis gaya bahasa atau gaya penulisan yang bermacam-macam, dengan tujuan agar mereka dapat menerapkannya dalam tulisan mereka kelak. Sementara membaca untuk membaca bertujuan agar anak-anak dapat memahami konteks bahan bacaan.

Pertanyaan menarik datang dari Kak Nindia Nurmayasari. Sebagai pendongeng dan pengajar anak, ia bertanya apa yang menyebabkan Prancis lebih unggul dari Indonesia dalam hal pengajaran. Apakah karena faktor SDM guru? Teteh menjawab dengan sepakat. Pengajar di sana memiliki banyak cara untuk memahamkan bacaan pada siswa. Misalnya, membaca buku yang bercerita tentang beruang kutub dengan menggunakan peta. Siswa diajak untuk mengetahui dimana lokasi cerita tersebut melalui peta. Guru juga diimbangi dengan kompetensi dalam bercerita.

Saya pun penasaran. Dengan sistem pembelajaran seperti itu, apakah Prancis juga memiliki budaya baca yang baik seperti halnya Amerika atau Inggris. Tentang kebiasaan, mereka nyaris serupa dengan kedua negara tersebut. Orang-orang membaca di taman, perpustakaan sangat hidup dengan berbagai kegiatan, dan lain sebagainya. Namun bukan berarti Prancis bertahan penuh dengan gempuran teknologi. Di tahun 2000an minat baca orang Prancis menurun karena adanya video game dan banyaknya penggunaan bahasa 'ala SMS', namun tak menghentikan secara penuh kebiasaan membaca. Buktinya, membaca menjadi kebiasaan dari profesi apapun. Seorang tukang listrik bahkan memiliki referensi bacaan yang luas, seperti puisi-puisi Arthur Rimbaud meski bidang pekerjaannya tak menuntut itu. Maka, berapa banyak tukang listrik kita, setidaknya mengenal Sapardi Djoko Damono? Mampu menjadi bahan refleksi kita bersama. Bisa dibayangkan, di sekolah menengah atas jurusan bahasa di Prancis, ujian mata pelajaran Bahasa Prancis seakan menjadi prioritas bagi pemerintah. Ujian dibagi menjadi dua jenis. Ujian tulis dan ujian lisan. Bahkan saat menjalani ujian tulis, setiap siswa diberi waktu pengerjaan empat jam dan hanya berisi satu nomor soal. Bukan berarti mudah. Satu soal tersebut meminta pendapat siswa tentang kalimat tertentu dari suatu buku. Jawaban-jawaban mereka pun sangat metodis.

Kebiasaan lain di sekolah-sekolah Prancis yang juga menarik adalah setiap anak diberikan referensi bahan bacaan, agar orangtuanya mampu terus menerus membacakan cerita baru. Jika anak-anak distimulus melalui sekolah, bagaimana dengan orang dewasanya? Ternyata pemerintah Prancis pun memiliki solusi jitu. Di televisi, secara rutin, disiarkan acara mendikte yang dapat diikuti oleh semua orang yang menonton. Pemirsa diajak untuk menulis sesuai dengan kalimat yang didiktekan sebagai bahan latihan untuk menulis. Hal tersebut dilakukan karena ejaan Bahasa Prancis tidak mudah dituliskan. Menyadari bahwa media televisi dapat mencakup banyak orang, setiap hari juga disiarkan seseorang yang membaca buku selama 3 menit di televisi. Sehingga masyarakat pun tak terlalu berjarak dengan bahan bacaannya.

Teteh memperlihatkan berbagai jenis buku bacaan anak pada kami sebagai contoh yang kemudian menimbulkan pertanyaan : apakah di Prancis juga banyak kisah-kisah anak yang merupakan hasil terjemahan dari bahasa lain? Beliau menjawab : sangat banyak. Kemungkinan karena tradisi bangsa Prancis yang menomorsatukan bahasa ibu mereka, hingga cenderung menilai negatif seseorang yang mencampuradukkan Bahasa Prancis dan Bahasa Inggris. Di televisi pun nyaris tak ada film yang tidak dialihbahasakan. Namun bukan berarti mereka tak belajar bahasa asing. Di tingkat sekolah, diajarkan pula bahasa Jerman, Spanyol, Italia, bahkan Arab. Meski begitu, sekolah dengan kelas bilingual pun anti menyisihkan Bahasa Prancis.

Selain berbagai jenis bacaan anak berbahasa Prancis yang dibawa teteh, beliau juga menyarankan satu judul buku favoritnya : Liberte, egalite ... Mathilde ! yang ditulis oleh Sophie Cherer dan Veronique Deiss. Buku anak itu memberi gambaran tentang konsep demokrasi pada anak-anak.


Senja sudah mulai tua ketika kami mesti menutup acara. Rambahlah bacaan literatur anak dari negara-negara lain, begitulah teteh berpesan. Hal tersebut tentu erat dengan bagaimana agar kita mampu memandang keberagaman dari cerita maupun gaya penceritaan. Ketika Elle memanggil emaknya untuk bermain, kakang pun tak ketinggalan memberikan pesan agar kami membiasakan mendongeng pada anak. Sebelum memiliki anak pun kami sebaiknya telah memperkaya diri dengan berbagai jenis literatur anak-anak. Juga janganlah cukup puas dengan karya terjemahan. Kakang pun berharap pada para penulis, agar menulis kisah untuk anak-anak dengan tema yang lebih bervariasi.

Berbincang tentang budaya literasi bangsa lain selalu menjadi hal yang menarik. Literatur anak-anak pun sebaiknya tak luput dari perhatian kita. Memahami literasi anak akan sangat dekat dengan bagaimana cara kita memahami anak-anak, memahami harapan dan masa depan.

If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein