Pages

Thursday, March 30, 2017

Kemegahan Indonesia : Bunga Rampai Art Festival 2017

Berjalan sendiri tentu sangat melelahkan. Sebaliknya, bersama-sama akan terasa menyenangkan. Tampaknya itu juga menjadi salah satu semangat dari Amadeus Enterprise sebagai penyelenggara berbagai kegiatan seni di Surabaya untuk mempertemukan pencinta musik dari berbagai latar belakang peran, usia, hingga genre, yang terwujud dalam Bunga Rampai Art Festival 2017 Gala Concert. Dihelat di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya 26 Maret 2017 lalu, puluhan musisi hadir merayakan musik yang beragam dalam satu panggung.



Di awal acara, menarik untuk menyimak refleksi yang disampaikan Bapak Musaifr Isfanhari, Ketua Asosiasi Pengajar Musik Jawa Timur mengungkapkan optimismenya tentang geliat musik di Surabaya dengan antusiasme audiens yang hadir di festival Bunga Rampai. Beliau begitu mengapresiasi gelaran seni Bunga Rampai yang menurutnya menunjukkan semangat berkesenian, meski hal itu belum berarti bisa sejalan dengan pendapatan finansial penyelenggara, mengingat kegiatan seni di sisi lain masih belum begitu menjanjikan untuk menyokong pendapatan acara. Bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan di Amerika dengan tingkat apreasiasi musik tinggi pun, hal yang sama masih terjadi. Sebagai gambaran, 60 orkes simfoni yang ada di Amerika, hanya 5 orkes yang mampu menghidupi dirinya sendiri. Sementara sisanya disokong bantuan dana dari pemerintah dan masyarakat. Beliau bahkan berandai tentang crowd funding, jika seribu orang saja pencinta musik di Surabaya menyisihkan Rp.25.000 setiap bulan, acara-acara seni sejenis tentu akan bisa lebih sering diselenggarakan.

Nuansa teduh dan sangat Indonesia mengantar audiens pada pertunjukan malam itu. Tim Musik Angklung Nafiri Sion dari GKI Manyar menyuguhkan beberapa komposisi yang menyenangkan. Sekitar 45 personel dari berbagai rentang usia, dari anak-anak hingga lansia membahu menghadirkan bunyi yang menarik. "Surabaya" dibawakan sebagai lagu perdana. Jangan bayangkan ansamble Angklung yang monoton dan membosankan. Aransemen yang mereka tampilkan tampak diperhitungkan untuk memaksimalkan bunyi angklung.

Meletakkan permainan angklung dari Nafiri Sion di awal acara bisa dibilang sangat tepat, seakan mengingatkan bahwa musik asli Indonesia akan bertabur di sepanjang jalannya acara. Audiens langsung disambut dengan nuansa yang sangat Indonesia dan bunyi angklung yang tenang. Harmoni angklung sangat padu, meski hanya sebagian kecil masih samar dalam tempo. Setelah "Surabaya", "Tanah Airku" dan "Indonesia Pusaka" dibawakan syahdu dan menggetarkan. Sebelum mengantar audiens ke penampil berikutnya, Nafirision menyisakan "I Will Follow Him" dengan beat rancak yang menaikkan kembali mood audiens. Sekali lagi, Nafiri Sion membuktikan kekuatan aransemen dan dinamika mereka. 

Gala Concert Bunga Rampai juga memberi kesempatan di setengah babak pertama pada penampil-penampil junior yang terpilih dari seleksi sebelumnya. Dimulai dari tingkat beginner, rata-rata penampil masih di usia yang sangat muda. Memainkan duo piano, trio cello-piano-violin, mereka hadir dengan komposis-komposisi pendek yang sederhana dari barat maupun lagu tradisional dan lagu anak Indonesia. Mereka tampil cukup baik dan percaya diri. Beberapa kesalahan kecil terjadi, namun tak mengurangi optimisme akan bakat mereka yang masih akan terus berkembang. Menariknya, beberapa dari mereka bahkan menghibur dengan keluguan dan atraksi lucu dengan gesture tubuh yang sesuai beat, atau bahkan mengenakan kostum lucu sesuai lagu yang mereka bawakan. Gregorius dan Teresa, misalnya. Berbagi piano berdua, mereka kompak mamainkan soundtrack animasi The Flinstones, lengkap dengan pakaian ala Fred dan Wilma, tokoh utama dalam kisah tersebut. 

Di tingkat intermediate, genre musik yang disajikan lebih beragam. Mulai duo piano-cello, duo harpa, hingga trio cello. Namun dinamika acara ditarik ke atas dengan kejutan dari trio keyboard-bass-drum dari Adi Nugroho, Fanny Surya, dan Prananda. Mereka terlihat begitu berbeda dari penampil-penampil sebelumnya dengan menyajikan hentakan-hentakan khas band semi rock. Meski berbeda, namun mereka terlihat salah satu yang paling siap dengan menampilkan kekompakkan yang sangat baik, bahkan ketika dinamika lagu terus berubah drastis. Berbagai jenis rhythm mampu dilalui dengan tepat. Yang terpenting, mereka terlihat nyaman untuk menjadi berbeda dari yang lain. 

Beranjak ke tingkat advance, penampil tak berjumlah terlalu banyak di kategori ini. Audiens dimanjakan dengan duo vokal dari Yarret Didish dan Matata Vidya di awal. Menyuarakan "Gambang Suling", mereka tampil jauh dari kesan monoton. Meski hanya berdua, mereka tak canggung menguasai panggung, namun tetap menyajikan harmoni dan aransemen yang dinamis. Mengakhiri sesi pertama, Aris Pujo tampil menggaungkan seriosa dengan "Aku Ingin Menjadi Malam". Diiringi piano FX Kartika Ratri yang mengambil porsi pengiring dengan tepat. 

Setelah jeda, Shine Harmony Voice, grup vokal yang telah membawa karya mereka di tingkat internasional tampil dan memikat audiens dengan aransemen baru dari lagu anak lawas "Impianku" milik Natasha Chairani. Nuansa grande pun hadir dengan sentuhan Amadeus Orchestra yang tampil full team. Seakan menghilangkan dahaga di audiens, Shine Harmony Voice secara berturut-turut membawakan dua komposisi kembali, dengan jenis rhythm yang berbeda dengan lagu awal. Total menghibur, Shine Harmony Voice bahkan juga menyuguhkan "Serba Salah" dari Raisa yang sangat santai dan popular. Kematangan mereka terlihat dari harmoni, stage act dengan koreografi menarik, hingga kepercayaan diri dan interaksi dengan audiens yang baik. Meski kadang paduan vokal tertutup iringan orchestra, namun hal itu tak mengurangi apreasiasi positif dari audiens. 

Jubing Kristianto yang telah ditunggu-tunggu hadir di atas panggung kemudian. Dengan penuh senyum, Jubing menyapa ramah audiens di awal. Bungong Jeumpa dibawakan sebagai lagu pertama. Sebagai solois kenamaan Indonesia, Jubing menampilkan kualitasnya dengan memainkan komposisi dengan seimbang. Melodi dan rhythm tak saling berebutan, namun tetap berhasil menyergap perhatian audiens hingga akhir. Meski seorang diri, Jubing juga tetap berhasil memunculkan ruh dari musik yang dimainkannya dan menyampaikannya pada audiens. Rek Ayo Rek dibawakan kemudian. Aransemen Jubing tetap mempesona tanpa menghilangkan karakter dari lagu. Bahkan Jubing seperti seorang pencerita. Ia selalu memberikan dinamika yang tak terduga, juga sesekali atraksi dari kemampuan tekniknya yang mumpuni. Becak Fantasi andalannya menutup penampilan solonya tanpa audiens merasa jenuh atau monoton. 

Foto oleh : Gandhi Wasono

Amadeus Orchestra hadir kembali dan bermain bersama Jubing Kristianto. Audiens diterbangkan ke nuansa pop klasik Indonesia melalui "Kala Sang Surya Tenggelam" milik Chrisye. Dengan conductor Nico Alan, orchestra bermain dengan proporsional. Belum cukup dimanjakan secara audio, di tengah tampilan, Chendra Yunita Koestomo dan Paulus Dwi Raharja hadir dan mewarnai visual panggung dengan tarian kontemporer.  

Foto oleh : Gandhi Wasono

Ochestra Amadeus kembali dengan "Pink Panther" yang familiar kemudian. Dibawakan sebagai sebuah keutuhan, komposisi tersebut juga terdengar bulat dan memiliki greget. Sebagai puncak dan suguhan terakhir, audiens yang sudah mulai merasa lelah dengan pertunjukan yang panjang dinaikkan mood-nya kembali dengan komposisi yang diaransemen dan ditampilkan secara khusus oleh Nico Alan, Amadeus Orchestra, Shine Harmony Voice, dan Jubing Kristianto. Patrisna May Widuri pun tampil apik sebagai pianis. Berbagai lagu tradisional dari berbagai daerah dipadukan dalam satu komposisi antara lain Kampuang Nan Jauh di Mato, Manuk Dadali, hingga Yamko Rambe Yamko. Tim Angklung Nafiri Sion kembali hadir dan melengkapi nuansa Indonesia dalam tampilan lengkap itu. 

Foto oleh : Shine Harmony Voice


Tampilan penampil tampak cocok dengan konsep dengan semangat keberagaman dengan pakaian-pakaian khas Indonesia, juga melodi-melodi Indonesia yang memanjakan audiens hingga akhir. Rasa Indonesia yang dibingkai megah mengingatkan kembali tentang kekayaan tanah air yang luar biasa. Hasil kerja keras Amadeus dan seluruh penampil patut diapresiasi tinggi. Pada akhirnya Bunga Rampai Art Festival 2017 membawa banyak hal positif pada setiap yang terlibat di dalamnya. Mulai penampil hingga audiens bersama-sama dalam satu lingkaran kebersamaan dan kebahagiaan : seni.    


Saturday, March 25, 2017

Edukasi Musik Ala Worldship Orchestra : A Musical Journey 3

"Music has to be a right for every citizen." - Gustavo Dudamel.

El Sistema, sebuah program edukasi tentang bagaimana anak-anak Venezuela meraih optimisme hidup melalui musik, telah menginspirasi hingga ke setengah lingkaran bumi, negeri Jepang. 

Worldship Orchestra, sebuah orkestra yang terdiri dari anak-anak muda Jepang, berlayar berkeliling dunia untuk membawa spirit dan keyakinan yang serupa : mengenalkan musik secara lebih luas. Akihide Noguchi, kapten dari WSO lah yang memiliki inisiatif untuk program mereka. Puluhan anak muda tersebut berkeliling ke banyak negara, seperti Kamboja dan Filipina dengan membawa misi edukasi musik pada anak-anak di daerah yang dikunjungi. 

Beberapa kali berkeliling Asia sejak 2015, Worldship Orchestra datang membawa semangat yang sama di Surabaya baru-baru ini. Selain atrium mall yang menjadi lokasi mereka bermain, gedung kesenian Cak Durasim pun mendapat giliran di hari Kamis, 23 Maret 2017 lalu. Sejalan dengan tujuan edukasi yang mereka angkat, tiket acara pun dapat ditebus dengan donasi berupa buku bacaan atau mainan anak.



WSO tampil tak biasa. Begitu masuk dan mengedarkan pandangan pada panggung, sudah terlihat perbedaan yang mencolok dibanding konser-konser biasanya. Berbagai karton warna-warni bertuliskan jenis-jenis instrumen pada orkestra tertempel di bagian depan masing-masing music stand.

Jangan harapkan nuansa formal pada A Musical Journey 3 WSO kali ini. Mereka tampil sangat santai dan kasual. Mulai dari kostum yang hanya kaus dan jeans, pilihan komposisi yang disajikan, hingga bagaimana acara dibawakan. Tampaknya cara itu sengaja dipilih sebagai upaya pendekatan antara audiens dan musik yang dibawakan.

Sebagai prolog, WSO menyuguhkan melodi-melodi khas dari soundtrack film-film kenamaan, seperti Harry Potter, E.T, dan Superman. Tak serta merta dilanjutkan dengan komposisi berikutnya, kapten dari WSO pun muncul menyapa audiens. Rupanya itu menjadi pola sepanjang acara. Sebelum setiap komposisi dimulai, kapten selalu memberikan gambaran tentang lagu yang akan dibawakan. Sesuai dengan misinya untuk memberikan edukasi musik, WSO memperkenalkan secara bertahap jenis instrumen apa saja yang ada dalam orkestra. Dimulai dari woodwind, masing-masing personel menjelaskan dan mendemokan bagaimana bunyi dari instrumen yang mereka mainkan. Secara santai dan interaktif pula, audiens diajak untuk memahami. Komposisi yang dipilih juga menunjukkan bunyi woodwind yang menonjol, ialah Clarinet Concerto Immer Kleiner (Always Smaller). Dengan solois Klarinet Sae Yamashita, sepanjang komposisi didemokan secara menyenangkan bagaimana bunyi masing-masing bagian Klarinet ketika dilepaskan. Edukasi yang humoris dan menghibur, pelepasan masing-masing bagian Klarinet pun dilakukan dengan semi teatrikal. Yamashita terlihat agak kurang rapi dalam memfrasekan kalimat terutama di bagian running, namun masih bisa dinikmati audiens  

Beralih ke bagian berikutnya, string section yang mendapat giliran lampu sorot. Dance Macabre (Tarian Kematian) dihadirkan. Ini cukup menjadi tantangan bagi WSO untuk menyelipkan kemuraman di antara konsep fun. Concert Master pun berpindah posisi menjadi solois, tampil dengan jubah bertudung dan gerakan-gerakan atraktif. Kemudian giliran konduktor yang mendapat perhatian. Setelah sebelumya audiens diajak untuk mencoba gerakan mengayun baton bersama, dipilih tiga audiens untuk naik ke panggung dan menjajal langsung rasanya menjadi konduktor dan mengendalikan dinamika lagu. 

Sebelum jeda, dibawakan komposisi yang sangat familiar, Carmen. Untuk komposisi yang bisa dibilang sederhana, kekompakan orkestra cukup baik. Namun ada hubungan secara emosional yang terputus antara audiens dengan harmoni yang tersampaikan. Sekadar menduga, bisa jadi karena komposisi yang terlalu sering dimainkan, sehingga para pemain pun kurang maksimal dalam menyampaikan pesan lagu. 

Di bagian kedua, WSO tak sendiri. Mereka berkolaborasi dengan Pusat Oleh Seni Surabaya Orchestra (POSS) dan Tumapel Youth Orchestra Malang. Komposisi yang dipilih soundtrack dari animasi Frozen yang sangat familiar. Total ingin menghibur audiens junior di bangku penonton, salah seorang personel WSO berkostum Elsa dan berkeliling di antara audiens, mengajak audiens bernyanyi bersama. 

Foto : instagram @annara24

Seakan mencoba menampilkan nuansa yang berbeda, soundtrack Godzilla menjadi sajian berikutnya. Sebagai penutup, Rek Ayo Rek sebagai lagu tradisional Surabaya dibawakan dengan gaya yang lebih tenang. Namun sayang, justru pilihan aransemennya menghilangkan karakter kuat beat dari Rek Ayo Rek yang kental dengan staccato-staccato yang tegas. Untuk kolaborasi dengan puluhan, bahkan ratusan pemain dalam waktu singkat, penampil bisa dibilang cukup berhasil. 

WSO menunjukkan kualitas yang cukup baik secara keseluruhan. Memilih menampilkan komposisi-komposisi yang sederhana juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi untuk pertimbangan kepentingan edukasi dan pendekatan selera audiens, namun di sisi lain orkestra tetap harus bermain maksimal karena audiens mengenal betul apa yang mereka dengar. Sepanjang acara WSO terdengar longgar di beberapa bagian komposisi, serta greget yang kurang tersampaikan. Meski begitu, konsep pendidikan yang digarap WSO sangat kreatif. Berani keluar kotak, dan menampilkan berbagai atraksi yang bersifat menghibur tampaknya menjadi andalan WSO untuk memercik apresiasi audiens terhadap musik, terutama orkestra. Untuk konsep pertunjukan, WSO telah selangkah di depan. Namun di atas itu semua, WSO berani memilih "turun gunung" dan mengambil substansi musik yang sering terlupakan : ada untuk dinikmati semua orang.