Pages

Saturday, October 29, 2016

Wajah Baru Cascade Trio dalam Bohemia

Di antara perkembangan positif yang terus menerus diusahakan oleh Cascade Trio, beberapa waktu lalu Danny Ceri (violin) meninggalkan formasi trio ini untuk melanjutkan pendidikan musik di Amerika. Namun Cascade hadir dengan wajah baru. Lidya Evania Lukito ditunjuk sebagai pengganti Danny, menemani Airin Efferin (piano) dan Ade Sinata (cello). Cascade versi baru mengunjungi Surabaya untuk pertamakalinya Sabtu lalu. 22 Oktober 2016 bertempat di Seraphim Music Studio. Mengangkat tema Bohemia, Cascade menampilkan tiga komposisi.

Pertunjukan dibuka dengan penampilan dari Eliezer Selwin Horman yang menggaungkan Fragmen milik Jaya Suprana. Meski beberapa bagian masih lepas dan kurang hidup, namun Eliezer mampu merampungkannya dengan utuh. 

Kemudian, Cascade Trio muncul untuk membawakan Piano Trio No.4 in E Minor Op. 90, B. 166 (Dumky Trio) milik Antonin Dvorak. Kekompakan mereka, kejutannya, terlihat menyenangkan. Lidya sebagai personil baru dengan cepat menyesuaikan dan mengisi ruang yang ditinggalkan Danny. Ade memberikan pengantar sebelum komposisi dimainkan. Bahwa Dumky bermakna sebuah gagasan atau perenungan. Komposisi yang dibagi menjadi enam bagian akan kental dengan melodi yang kontras. Cascade memilih membawakan bagian 1,2 3, dan 6 (Lento Maestoso E minor and Major, Poco Adagio, Andante, dan Lento Maestoso C Minor and Major). Dibuka dengan forte yang menggugah, di bagian awal, cello dan violin mendominasi. setelah melodi-melodi gelap yang menyayat, audiens dibawa ke nuansa ceria dalam sekejap, ditunjukkan dengan volume dan rhytm yang berubah drastis. Meski begitu, Cascade tak begitu saja mengabaikan notasi-notasi lembut, mereka tetap tajam dan detail. Menggambarkan karakter komposisi yang penuh perenungan, namun tetap sesekali ceria. Ade berhasil menghidupkan komposisi dengan impresif. 

Dua bagian dari Andante Con Moto milik Franz Schubert dibawakan oleh Cascade kemudian. Diawali dengan ketenangan yang sederhana. Audiens dibawa pada pergantian mood yang ekstrim di sepanjang komposisi kemudian. 

Photo credit : instagram @pertemuanmusik

Setelah intermission, Seraphim Wind Quintet yang diisi oleh Edith Claudia Atmadja (flute), Ivan Namara (Oboe), Albert Nathanael (Clarinet 1), Kevin Georgius Atmadja (Clarinet 2), Cosmas Sebastian Atmadja (Bassoon) membawakan Three Short Pieces milik Jacques Ibert. Komposisi yang menyenangkan itu mengharuskan masing-masing instrumen sahut menyahut satu sama lain. Di bagian awal, quintet ini bisa lebih baik dalam hal keselarasan. Di bagian kedua, komposisi terdengar lebih tenang, sederhana, dan quintet lebih padu. Jika komposisi diakhiri dengan lebih percaya diri, akan mampu lebih meninggalkan impresi pada audiens. 

Cascade kembali untuk komposisi terakhir : Trio in G Minor (1855) milik Bedrich Smetana. Komposisi dari "Father of Czech Music" ini diciptakan karena kesedihan Smetana ketika putri pertamanya meninggal dunia. Airin Efferin memberikan pengantar bahwa komposisi ini merupakan perpaduan antara kemuraman dan harapan. Terdiri dari tiga bagian. Lidya membuka bagian pertama dengan berani membawa nuansa grande ke permukaan. Di bagian awal, kemuraman yang terasa terasa menghentak dengan kekecewaan. Di  pertengahan kemudian disajikan ruang tenang seorang ayah yang mengingat memori tentang anak gadisnya. Ritmis tak bertahan seterusnya, karena disusul oleh kesan lelah dengan melodi yang jarang. Setelah didominasi melodi rapat secara kontinyu, dinamika pun terus berada "di atas". Kemampuan Lidya ditunjukkan dengan memanfaatkan ruang pertunjukannya dengan baik. Bagian kedua masih sama, hingga audiens diantar pada bagian akhir. Bagaimana Airin mengisyaratkan klu pada kedua partner-nya terlihat menyenangkan. Komposisi yang cukup panjang berpotensi membuat audiens lelah, namun cukup banyak atraksi membuatnya menjadi menarik. Di bagian penghujung, emosi audiens dibawa naik terus hingga meninggalkan akhir yang membekas.        

Selepas menjalani lawatan ke beberapa negara untuk mengasah kemampuan trio, Cascade semakin kian menjanjikan untuk musik klasik Indonesia. 

Monday, October 3, 2016

Menapak Musik dengan Usia : 59 Tahun Pertemuan Musik Surabaya

Usia yang panjang tidak membuat Pertemuan Musik Surabaya (PMS) berhenti mengenali diri. Di genap usia ke-59, PMS membagi kegembiraan pada khalayak dengan mengadakan forum diskusi terkait refleksi di peringatan hari lahirnya. Diadakan di Surabaya dan Jakarta, Surabaya sebagai kota kelahirannya mendapat giliran pertama di tanggal 26 September 2016. Bertema "59 Tahun Pertemuan Musik : Mengulik Kepingan Sejarah Musik Indonesia", PMS ingin membawa semangat mengenal lebih dalam sejarah musik Indonesia pada generasi muda. Diikuti oleh sekitar dua puluh anak muda dari berbagai kalangan, diskusi berjalan santai, namun berbobot.




Erie Setiawan (Musikolog), Gema Swaratyagita (Musisi, Komposer), dan Musafir Isfanhari (Pengajar Musik, Musisi, Aktivis Musik) sebagai narasumber membagikan berbagai sudut pandang yang berbeda dengan Pertemuan Musik Surabaya sebagai benang merahnya.

Erie Setiawan, Gema Swaratyagita, Musafir Isfanhari


Sebagai aktivis di Pertemuan Musik Surabaya dan Pertemuan Musik Jakarta, Gema Swaratyagita mendapat tongkat estafet Slamet Abdul Sjukur untuk melanjutkan keberlangsungan perkumpulan ini. Gema memberi materi singkat tentang sejarah berdirinya PMS di tahun 1957 hingga masa istirahatnya di tahun 1980an. Ditinggalkan selama 23 tahun, PMS masih mengibarkan slogannya "Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik" hingga saat ini. PMS terbentuk dengan diawali oleh Slamet Abdul Sjukur dan The Lan Ing sebagai sesama pianis yang baru saja lulus dari sekolah musik di Jogjakarta. Pertemuan itu menghasilkan inisiasi berupa ruang diskusi kecil yang dilakukan dari rumah ke rumah. Roeba'i yang bekerja di Surabaya Post turut berperan dalam menggaungkan kegiatan PMS. Di sela penjelasannya tentang sejarah PMS, Gema juga menunjukkan beberapa gambar dokumen lawas hitam-putih di mana berbagai aktivitas PMS di awal masa berdirinya dilakukan. Yang menarik, gambar-gambar itu diambil dari satu-satunya dokumen cetak yang diwariskan Slamet terkait PMS. Di dalamnya tercantum sedikit-banyak tentang bagaimana PMS berdiri, bahkan juga akhirnya terbentuklah LMI (Lembaga Musik Indonesia) sebagai lembaga pecahan PMS yang bergerak di bidang pendidikan musik.

Suasana diskusi. Foto oleh Adrea Kristiani.


Musafir Isfanhari, yang akrab dipanggil Pak Is, selaku aktivis musik senior di Surabaya menjelaskan tentang kondisi permusikan di Surabaya era tahun 50an, masa ketika PMS sedang memulai aktivitas awalnya. Beliau menyebutkan bahwa saat itu, bahkan mungkin hingga saat ini, musik klasik menjadi suatu hal yang eksklusif. Di mana musik Keroncong, dan Dangdut mendominasi di masyarakat. Sempat menjadi pengisi acara PMS di tahun 70an, Pak Is juga mengingat tentang LMI yang saat itu diakuinya sebagai tonggak sejarah pendidikan musik di Surabaya. Bahkan kurikulum susunan pengurus LMI masih digunakan hingga saat ini oleh Dinas Pendidikan Surabaya. 

Sudut pandang yang dipilih Erie Setiawan berbeda. Ia mengupas identitas PMS sebagai sebuah organisasi. Bahwa PMS merupakan salah satu perkumpulan musik yang berdiri di masa pasca kolonial, yang berhasil meningkatkan derajat musik ke ranah ilmu pengetahuan dan spiritualitas individu dalam pemaknaan tentang musik, melalui acara-acara yang PMS adakan. Di akhir, Erie bahkan memberikan beberapa pertanyaan reflektif tentang seberapa krusial organisasi ini berdiri, dan kemanfaatannya bagi masyarakat hingga saat ini.


Akrab, namun berisi. Foto oleh Adrea Kristiani.

Audiens cukup interaktif dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada narasumber, baik terkait dengan pendidikan musik, referensi maupun masukan untuk PMS. Acara ini pun dihadiri oleh Pramita Dikariani Rosalia yang sempat mengangkat sejarah PMS sebagai bahan penelitian. Ia berperan besar dalam mengumpulkan kepingan sejarah PMS yang terserak di masa lampau.

Seiring dengan usianya yang menjelang 60 tahun, PMS berencana mengadakan pembaruan kembali terhadap kelembagaan dan struktur kepengurusan secara hukum, dan menata kembali program kerja. Kiranya PMS bukan hanya sekadar warisan perkumpulan, namun juga merupakan semangat belajar dan berkarya dengan musik yang tak henti diwariskan lintas generasi.