Pages

Wednesday, January 15, 2014

Geliat Penulis Perjalanan Muda



Kini, buku-buku perjalanan sedang menapaki tangga kejayaan dan memiliki ruang yang cukup besar di masyarakat. Berbagi dan membaca hasil dari suatu perjalanan menjadi terdengar menyenangkan bagi banyak orang. Nama-nama yang tercetak di buku bukan hanya didominasi oleh para penulis perjalanan kawakan. Bibit-bibit penulis perjalanan baru kini pun bermunculan. Mereka yang selama ini menulis untuk halaman-halaman pribadi, mulai keluar dan menerbitkan buku. Gaya dan ide baru tentang penulisan perjalanan pun mengikuti pertumbuhan itu. Sejauh apa kiprah para penulis perjalanan muda itu di dunia travel writing saat ini, dan apa semangat yang mereka bawa? 

Dari perbincangan dan diskusi saya dengan Lalu Abdul Fatah : seorang penulis perjalanan muda, seorang penulis buku "Travelicious Lombok", kontributor di belasan antologi buku perjalanan, editor dan penggagas komunitas "Lombok Backpacker" selama ini, seringkali saya tertarik dengan gagasan yang ia bawa. Di tengah kesibukannya menyelesaikan skripsi, saya ajukan beberapa pertanyaan tentang geliat penulis perjalanan muda dan hasilnya, ia menyajikan sudut pandang yang berbeda.

Sejauh apa sesungguhnya travel writing / tulisan perjalanan dapat diartikan?
Kalau bicara teori, tulisan perjalanan dibagi ke dalam empat jenis. Ia bisa berupa jurnal perjalanan, buku panduan perjalanan, buku perjalanan, dan yang saat ini sedang naik daun adalah sastra perjalanan. Bedanya terletak pada gaya tulisannya. Jika tulisannya lebih ke arah naratif dan instruktif, itu termasuk catatan perjalanan. Kalau deskriptif dan instruktif, itu masuk kategori buku panduan perjalanan. Sementara kalau evokatif (menggugah) dan deskriptif, itu terkategorikan buku perjalanan. Dan, sastra perjalanan itu lebih bergaya evokatif dan naratif.
Itu teori idealnya. Sebab, ada juga yang membagi tulisan perjalanan ke ranah komersil dan tidak komersil. Maksudnya, tulisan perjalanan yang komersil itu lebih menonjolkan eksotisme, keindahan, dan hal-hal surgawi di dalamnya. Tujuannya memang untuk membangkitkan fantasi pembaca sekaligus menarik mereka untuk mau berkunjung ke tempat tersebut. Sebaliknya, tulisan perjalanan non-komersil mengangkat sisi lain di luar keindahan tempat, kenikmatan kuliner, dan hal-hal menyenangkan dalam perjalanan. Ia lebih mengangkat sisi humanis, kritik sosial, ataupun hal-hal yang bersifat perenungan atau kontemplatif.
Tapi, tentu saja pembagian-pembagian di atas sangat bisa diperdebatkan. Tidak ada batasan kaku, bahkan terjadinya lintas subgenre pun sangat memungkinkan. Dan, tulisan perjalanan pun jika dikembalikan ke ‘fitrah’nya adalah tulisan, sebuah ekspresi kebebasan berpikir manusia. Penulis perjalanan punya hak sekaligus tanggung jawab hendak ke mana membawa arah tulisannya. 
Namun, satu hal yang mesti digarisbawahi dalah tulisan perjalanan itu bersifat non-fiksi alias faktual. Bukan khayalan penulisnya. Jika perjalanan penulisnya disampaikan dalam wujud novel atau cerita pendek, yang tentu saja ada tambahan bumbu-bumbu di sana sini biar lebih dramatis, misalnya, maka ia sudah masuk ranah fiksi.
Saya kira, ini yang bisa menjadi ruang lingkup paling jelas untuk tulisan perjalanan. Ia berlindung di bawah kubah bernama non-fiksi.  

Mengapa Anda memilih tulisan perjalanan sebagai pilihan genre?
Sebenarnya saya masih pemain baru di genre ini. Saya mulai menekuni tulisan perjalanan sejak 2010. Buku solo perdana saya berjudul Travelicious Lombok. Buku yang bisa dikategorikan mixed antara buku panduan perjalanan dan jurnal perjalanan. Sebab di situ saya tidak hanya memberi informasi mengenai akomodasi, transportasi, kuliner, dan tips-tips teknis untuk berkeliling Lombok, tapi juga ada cerita perjalanan saya dari hari ke hari.
Namun, sebagaimana buku panduan yang informasi di dalamnya rentan kadaluwarsa, saya mulai beranjak ke travelogue alias cerita perjalanan. Alur dan gaya bertutur jauh lebih bisa saya lenturkan lewat cerita perjalanan. Tidak melulu bahasannya hal-hal teknis jika di buku panduan.
Maka, pasca buku solo saya itu terbit, gairah menulis di genre ini terus meningkat. Jika dalam menyanyi ada istilah range vocal, begitu pula dalam menulis. Saya melihat genre tulisan perjalanan ini memiliki range atau jangkauan yang luas, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dan, saya pikir, ada peluang bagi saya untuk mengeksplorasinya.
Saya pun menulis artikel perjalanan untuk majalah. Di buku TraveLove, saya menulis cerita perjalanan yang dibumbui dengan romansa. Di buku Love Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan, saya melakukan otokritik atas publikasi yang melulu menceritakan keindahan dan itu sedikit tidak, juga langsung dan tidak langsung, berdampak pada arus kunjungan yang membludak di area wisata dan tentu saja berdampak.
Di buku Traveling Note Competition, saya menulis ala jurnal perjalanan saat berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas juga Karimun Jawa. Sementara di buku yang baru-baru ini terbit, Storycake for Your Life: Backpackers, saya berkisah dengan gaya yang lebih kontemplatif dengan sentuhan kocak.
Bagi saya pribadi, meminjam elemen-elemen fiksi untuk tulisan perjalanan itu jauh lebih menarik. Mengapa? Saya bisa memainkan alur dan mengeksplorasi gaya bercerita. Dan, itu jauh lebih bisa saya nikmati. Sebab, sebelum menulis buku solo pertama, saya lebih dahulu akrab menulis puisi, cerpen, dan naskah drama.
  
Akhir-akhir ini buku bertema perjalanan mendapat banyak tempat di antara pembaca. Menurut Anda, faktor apa yang mendukung fenomena tersebut?
Ada asap, pasti ada api. Jika buku bertema perjalanan sedang marak disukai pembaca di Indonesia saat ini, saya kira itu tidak lepas dari kesuksesan serial The Naked Traveler yang ditulis oleh Trinity. Ketika buku itu dilempar ke publik pada 2007 dan akhirnya dicetak berkali-kali, maka di situ jelas-jelas berlaku hukum permintaan dan penawaran. Ternyata, The Naked Traveler disukai karena gaya menulisnya yang blak-blakan dan cenderung kocak.
Kalau saya menerka, hasrat untuk mengetahui daerah lain beserta manusia yang tumbuh di atasnya  merupakan hal alamiah dalam diri seseorang. Pengalaman-pengalaman tak terduga, menyebalkan, menyenangkan, mengejutkan, dan seterusnya yang dialami seorang pejalan di daerah lain, memancing rasa ingin tahu. Apalagi jika pengalaman itu diolah dengan keterampilan menulis yang bagus, maka peluang untuk mengkhatamkannya sangat besar.
Ujung-ujungnya apa? Permintaan buku-buku bertema perjalanan pun meningkat. Penerbit pun sigap menyikapi ini. Mereka menawari pembaca yang skupnya luas dan minatnya beragam dengan buku-buku perjalanan yang juga beraneka macam. Ada pembaca yang menyukai cerita-cerita ringan dan kocak, maka pilihan jatuh, misalnya, pada The Naked Traveler. Ada pembaca yang menyukai kisah-kisah perjalanan penuh petualangan dengan ramuan sejarah yang kental, maka larilah mereka ke buku-buku yang ditulis oleh Agustinus Wibowo. Ada pula pembaca yang butuh buku-buku teknis yang akan memandu mereka ke suatu kota, pulau, atau negara, maka penerbit pun berlomba-lomba menyajikan itu.
Dan, hasrat bertualang dalam diri pribadi, ditambah asupan buku-buku bertema perjalanan, lantas kawin dengan maraknya media sosial dan promosi wisata baik dari pemerintah maupun swasta, klop sudah.     

Dari banyak buku bertema perjalanan, sesungguhnya adakah pengelompokkan jenis-jenis tulisan perjalanan pada spesifikasi tertentu? Apa kelebihan dan kekurangan masing-masing?
Pengelompokan ini sudah saya jawab di atas. Masalah kelebihan dan kekurangan, tentu saja ada. Tapi, ini juga berbeda tergantung masing-masing orang melihatnya.
Misalnya, saya melihat buku panduan perjalanan punya kelebihan di sisi teknis dan panduannya. Bagi pemula dalam aktivitas jalan-jalan, mereka akan terbantu oleh buku jenis ini. Apalagi jika cetakannya dalam bentuk saku, enteng di bawa ke mana-mana. Buku jenis ini bisa menjadi alternatif bantuan ketika di daerah yang dikunjungi ternyata tidak memiliki sinyal untuk akses informasi melalui internet, misalnya.
Namun, tentu saja kelemahannya adalah pada data dan informasi yang rentan kadaluwarsa. Dan, saya melihat penerbit-penerbit di Indonesia, masih belum seserius The Lonely Planet untuk terus memperbarui konten buku-buku panduan perjalanan terbitan mereka. 
Untuk jurnal perjalanan, ini bisa jadi alternatif bacaan yang mengasyikkan. Bisa dibawakan dengan gaya ringan tapi tetap berisi. Tapi, penilaian pembaca tentu akan beragam. Jika tidak diolah dengan dinamis, jurnal perjalanan bisa akan jatuh membosankan. Tapi, jika diselipi dengan humor, satir, kritik, dan elemen-elemen lainnya, saya yakin akan mampu membetot perhatian pembaca. Hal ini berlaku juga untuk buku perjalanan.
Sementara, sastra perjalanan, saya melihat kekuatannya pada kemampuannya untuk lintas waktu dan tempat. Jika mencermati buku-buku Agustinus Wibowo, misalnya, ia akan tetap asyik dibaca pada 10 atau 30 tahun mendatang, bahkan mungkin lebih dari itu. Mengapa? Karena telah ada usaha untuk menguniversalkannya. Universal yang saya maksudkan adalah nilai-nilai yang ia sematkan dalam kisah-kisah perjalanannya, bisa saja relevan dengan kondisi pada 10 atau 30 tahun mendatang. Apalagi tulisan-tulisannya berkutat pada urusan sosial, politik, agama, budaya, dan sejarah. Bukankah ada yang bilang kalau sejarah akan berulang? Dan, potensi keberulangan itu menyebabkan ia berpeluang pula untuk punya relevansi dengan kondisi mendatang. 
  
Menurut pengamatan Anda, bagaimana respons pembaca pada buku perjalanan dibandingkan dengan, sebut saja, buku-buku fiksi?
Genre buku itu punya peminatnya masing-masing. Meskipun tentu saja tidak kaku bahwa seorang pembaca  akan melulu baca buku yang sesuai genre minatnya. Sebagai penikmat buku perjalanan juga buku fiksi macam novel, saya mengamati bahwa buku perjalanan masih belum bisa menyaingi dominasi buku-buku fiksi.
Tak perlu jauh-jauh menganalisi. Cobalah ke toko buku. Bandingkan jumlah buku-buku fiksi dengan buku perjalanan. Di beberapa toko buku yang saya kunjungi, rak buku perjalanan masih cuma satu. Sementara buku-buku fiksi, seperti novel, tak usah ditanya. Bejibun! Apalagi novel lebih bisa mengusung tema-tema yang jauh lebih beragam ketimbang buku perjalanan.
Ya, dunia khayalan memang jauh lebih luas dari dunia nyata.  

Selain menerbitkan buku sendiri, Anda juga seringkali mengkoordinir dan berkolaborasi dengan penulis perjalanan muda lainnya dalam antologi kisah perjalanan. Ada hal menarik yang bisa dibagi tentang itu?
Saya membaca potensi. Mungkin bisa dibilang kalau saya ‘meminjam’ mata editor. Sebagai narablog aktif, saya melihat banyak tulisan perjalanan yang bagus. Bagi saya, sayang jika hanya berakhir di blog, tidak dibukukan. Meskipun hal ini pun masih bisa didebatkan di era internet saat ini yang justru lebih gampang mengakses konten di dunia maya daripada ke toko untuk membeli buku perjalanan.
Selain itu, saya melihat ada potensi pembaca buku perjalanan. Dengan berkaca pada diri saya sendiri yang haus akan buku-buku perjalanan, maka saya menerjemahkannya demikian pula pada pembaca di Indonesia.
Maka, saya adakan audisi untuk menjaring tulisan-tulisan perjalanan. Audisi terakhir yang saya lakukan adalah untuk buku Love Journey 2: Mengeja Seribu Wajah Indonesia. Dari segi tema, banyak yang bilang itu menarik dan menantang. Mengapa? Karena saya menantang para calon kontributor untuk menulis catatan perjalanan mereka di Indonesia tapi dari sudut pandang yang lebih kritis. Misalnya, bagaimana mereka melihat kondisi tempat wisata yang banyak sampahnya, bagaimana mereka mengisahkan kehidupan pembatik, kondisi sosial yang tercermin dari para pedagang di pasar, atau kisah perjalanan ke situs wisata yang ternyata menyimpan sejarah yang jarang diungkap.
Dengan antusiasme yang lebih besar dari audisi sebelumnya untuk Love Journey: Ada Cinta di Tiap Perjalanan, saya berani bilang bahwa tulisan-tulisan perjalanan masih diminati. Potensinya besar dan tinggal kejelian kita untuk menggalinya dengan menghadirkan tema-tema yang unik dan menarik.

Dengan semakin gencarnya buku-buku perjalanan yang bermunculan, apa itu menjadi indikasi bahwa para pejalan mulai tertarik untuk membagi pengalamannya melalui tulisan?
Saya kira demikian. Selain karena faktor hukum permintaan dan penawaran tadi. Bagaimanapun itu sebuah kesadaran positif. Kesadaran untuk berliterasi di antara para pejalan. Bahwa, sekalipun destinasi yang dikunjungi sama, tapi perspektif yang berbeda akan menghasilkan pengalaman yang juga berbeda. Hal itu akan tampak dari tulisan-tulisan perjalanan yang mereka ramu.

Topik apa yang menjadi jamak diangkat oleh para penulis perjalanan muda? Apa ada penulis perjalanan tertentu yang sedang banyak menjadi acuan mereka?
Saya melihat bahwa para penulis perjalanan muda masih terjebak pada destinasi. Yakni, bercerita tentang tempat yang mereka kunjungi. Masih jarang yang mencoba untuk menceritakan hal dan cara yang lebih subtil. Maksudnya, berupaya untuk menangkap makna-makna lain dalam perjalanan mereka untuk kemudian dituliskan. Entahlah alasannya apa. Bisa jadi karena kekurangan referensi untuk menulis yang lebih dari sekadar bercerita tentang destinasi. Jawaban paling mudah dan telak bisa kita temukan di rak buku perjalanan di toko buku. Akan terlihat perbandingan yang mencolok antara buku-buku perjalanan yang bicara destinasi semata dengan buku yang berkisah tentang kedalaman, tentang makna perjalanan.
Untuk acuan, saya melihat Trinity dan Agustinus Wibowo masih terkuat untuk saat ini.

Bagaimana karya-karya penulis perjalanan muda dalam ruang literasi Indonesia? Semangat apa yang mereka bawa?
Sebelumnya saya merasa harus memberikan apresiasi positif pada semangat para penulis perjalanan muda. Jika mau direnungkan lebih dalam lagi, di luar urusan pencapaian pribadi kala bertualang di sebuah wilayah, ada spirit dan nilai yang mereka tularkan pada pembaca. Kalau saya menerjemahkannya sebagai spirit untuk menjelajah, mengenal orang dan budaya yang berbeda, juga untuk menikmati sekaligus menemukan hikmah-hikmah tersembunyi di bumi.
Apalagi di era yang rentan konflik etnis atau agama yang diakibatkan oleh pemikiran sempit. Maka, di sinilah penulis perjalanan bisa memainkan perannya. Mereka bisa memancing pembaca untuk mengenal orang lain dengan segala keunikan mereka, baik adat, bahasa, kuliner, budaya, dan sejarahnya. Dan, tentu saja ini bisa membantu kita untuk meluaskan pandangan sekaligus wawasan.
Terlepas dari polemik tulisan perjalanan yang dianggap memicu ekses negatif bagi rusaknya destinasi, saya kira perlu dibangun pula kesadaran pada penulis perjalanan agar lebih bijak dalam menulis. Bijak ini maknanya luas. Silakan masing-masing menerjemahkannya.

Apa kendala yang dihadapi para penulis perjalanan muda? Apa yang dibutuhkan mereka untuk berkembang?
Referensi. Saya kira, saya dan penulis perjalanan muda lainnya, butuh lebih banyak lagi referensi buku perjalanan. Saya tidak mengatakan ‘referensi buku perjalanan yang baik’ karena itu sifatnya subjektif sekali. Karena pada dasarnya untuk tahu bahwa sesuatu baik, tentu karena ada pembandingnya yang buruk. Baik dan buruk, dalam ranah buku perjalanan, juga relatif.
Ketika referensi bacaan lebih banyak, cakrawala pemikiran meluas, maka ini pun akan berefek pada kedalaman tulisan.
Sekali lagi, referensi. Banyak membaca, banyak menulis.

Apa yang Anda harapkan pada dunia penulisan perjalanan Indonesia beberapa tahun ke depan?
Saya berharap ini bukan tren semata yang akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Dan, untuk tetap membuatnya berada di atas permukaan, maka cara satu-satunya adalah dengan terus berkarya.
Dan, saya sangat optimis dengan itu. Mengapa? Karena eksistensi tulisan perjalanan berbanding lurus dengan wilayah di bumi ini. Menuliskan satu wilayah saja bisa dari berbagai sudut pandang. Coba bayangkan ada berapa desa, kota, distrik, pulau, provinsi, negara, dan benua yang bisa dieksplorasi dalam tulisan-tulisan perjalanan.
Medianya pun bisa jadi amat beragam nantinya. Tidak melulu dicetak di atas kertas, tapi juga bisa dinikmati melalui media digital. Jika saat ini tulisan perjalanan sudah bisa dinikmati versi buku elektroniknya yang interaktif, maka ke depannya bisa lebih atraktif daripada itu. Membuat versi buku suara (audio book), misalnya, atau hal-hal yang saat ini belum terpikirkan oleh manusia.  

Industri perbukuan tampaknya masih sangat terbuka untuk berbagai nama baru dan konsep-konsep yang juga segar. Perjalanan, perkara menjelajah tempat dan menghayatinya, akan terus menjadi daya tarik tersendiri untuk dituliskan. Henry Miller pun menegaskan inti dari perjalanan, “Tempat tidak pernah menjadi tujuan seseorang, tetapi tujuannya adalah suatu cara baru melihat hal-hal.”  

-Nabila Budayana-