Jika bukan karena Teh Irma, responsable pedagogique dari IFI
Surabaya yang mengatakan di grup chat kami bahwa ia sedang menerjemahkan
informasi mengenai acara Printemps Francaise ke Bahasa Indonesia, mungkin kami
tak akan ribut. Sebelumnya, ketika mengetahui bahwa IFI Surabaya akan
mengadakan rangkaian acara Printemps Francais, saya langsung 'memburu'
program-program musik klasik yang disajikan IFI. Salah satunya program yang
akan dibawakan oleh String Orchestra of Surabaya, 18 Mei 2015.
Begitu tiba sekitar empat puluh lima menit
sebelum acara dimulai, sejumlah audiens sudah berkumpul di depan ballroom
Sheraton. Terlihat juga tim dari IFI yang sedang sibuk menemui tamu, maupun
menyambut di meja registrasi. Setelah sesaat menunggu partner nonton yang masih
belum menjejak Sheraton juga, saya memilih untuk masuk terlebih dahulu.
Tujuannya sama seperti audiens yang lain, sebisa mungkin untuk mendapat seat
paling depan.
Bertekad datang tepat saat open gate, saya
berhasil mendapatkan seat baris pertama untuk audiens umum (baris ketiga
setelah dua baris pertama diisi khusus tamu-tamu undangan). Saya duduk manis
sembari menunggu partner nonton kali ini saya datang. Booklet program hanya
satu lembar, saya menyisir daftarnya. Debussy, Offenbach, Bizet, Charpentier.
Di deretan pemain, saya menangkap beberapa nama yang sudah tak asing : Finna
Kurniawati, Shienny Kurniawati, juga keluarga musik Celine Liviani Tandiono dan
Felicia Liviani Tandiono.
Secara umum, acara ini banyak diminati. Terlalu
sibuk dengan booklet, tanpa saya sadari, dalam waktu singkat, kursi-kursi
terpenuhi hingga bangku paling belakang. Keputusan tepat untuk hadir begitu
open gate dilaksanakan. Acara dibuka dengan sambutan dari pihak Sheraton dan
IFI Surabaya. Veronique Mathelin, direktur IFI Surabaya memberi kejutan dengan
membacakan sambutan dalam Bahasa Indonesia yang cukup baik. Ada aura kesedihan
yang mengambang tiba-tiba ketika di dalam sambutan tersebutkan nama Alm. Bapak
Slamet Abdul Sjukur. Saya mendapat jawaban tentang apa yang saya cari-cari di
bangku depan sejak awal. Di acara musik klasik, terutama yang berhubungan
dengan Prancis, saya selalu bisa menemukan Pak Slamet duduk di antara undangan
di bangku depan. Di antara break program atau di akhir acara, biasanya saya
menghampiri beliau dan menyapa. Di konser kali ini, saya baru menyadari, saya
tak bisa melakukannya lagi.
String Orchestra of Surabaya (SOOS) membuat
saya heran, karena di atas panggung hanya terlihat sebuah grand piano hitam
dengan dua kursi kosong. Trio? Ternyata dugaan saya dijawab oleh booklet
program yang menampilkan komposisi Trois Pieces pour Violon, Violoncelle et Piano
op.54. Ya, dihadapan, Angela Soegito, Finna Kurniawati and Novia Devita
menampilkan komposisi musik kamar dari Rene de Boisdeffre (1838-1906), komposer
abad ke-19 penerima penghargaan untuk musik kamarnya. Nuansa elegan dari
komposisi tersebut dimainkan dengan baik oleh ketiga pemusik. Layaknya movement
seperti biasanya, nomor-nomor yang ditampilkan cenderung pendek. Sangat
terlihat, Finna Kurniawati memegang kendali dalam upaya mewujudkan keselarasan
permainan. Ia bermain dengan sangat dewasa. Begitupun dengan Angelia dan Novia,
mereka tampak menikmati komposisi tanpa perlu memaksakan diri untuk
'bervirtuoso' ria.
Secara general, 'gangguan' ala konser pada
umumnya hanya tampak sedikit kali ini. Namun masih ada bunyi shutter camera,
audiens yang sengaja batuk di waktu yang tidak tepat, ponsel yang berbunyi,
khusus untuk saya, ada gangguan sepasang muda-mudi yang ngobrol berbisik pada
saat komposisi dimainkan. Saya kembali mesti mengatakan dan mencoba meyakinkan
diri bahwa hal itu adalah proses pendewasaan penonton.
Mari nikmati kembali komposisi kedua :
Allegro Appasionato op. 43. Tentu komposisi ini merupakan tantangan tersendiri
bagi sang pemain Cello. Ia mesti menerjemahkan dan menghadirkan maksud
Saint-Saens untuk menciptakan komposisi yang senatural mungkin, selayaknya
pohon apel menghasilkan buah apel. Dituntut untuk bermain dengan tempo cepat
dan menampilkan virtuoso, tentunya komposisi ini cukup menguras tenaga.
Dinamika wajib hadir, melodi rapat digeber, plus kekompakan dengan pianist.
Novia Devita bermain baik di komposisi ini. Hanya saja mungkin ada energi yang
kurang tersampaikan, mengingat ukuran ruang yang cukup besar.
La Capricieuse op 17 milik Edward Elgar,
komposer Inggris, berganti menampilkan kembali Finna Kurniawati dan Angelia
Soegito. Dengan bunyi violin yang dominan, Finna Kurniawati tampil memimpin di
komposisi post-romantic ini. Secara personal, saya suka gerak-gerik setiap kali
Finna Kurniawati memainkan komposisi. Dalam komposisi ini, Finna berhasil
menampilkan running-running melodi dengan hidup, ekspresif, namun dewasa.
Komposisi ini sukses hadir dengan staccato-staccato yang menyenangkan.
Ketika break program, saya memilih untuk
tetap di tempat. Selain bisa mengobrol kecil dengan partner nonton, saya juga
penasaran untuk menoleh pada muda-mudi yang berbisik-bisik di belakang sejak
tadi. Terangnya lampu membuat kami sadar, semenjak komposisi awal dimainkan,
lampu audiens dibiarkan tetap terang, sehingga mengurangi penciptaan suasana.
Syukurlah hal yang sama tidak terjadi pada komposisi-komposisi yang dimainkan
setelah break. Empat komposisi yang tersisa dimainkan dalam formasi 19 pemain
orchestra.
Komposisi zaman Barok, Concert Pour quatre
parties de violes H. 545 milik Marc-Antoine Charpentier menjadi pembuka.
Komposisi ini terdiri dari cukup banyak bagian atau movements yang
pendek-pendek. Finna Kurniawati memimpin chamber music dengan baik, selain
dirinya juga memainkan violin. Nuansa zaman Barok terasa. Agak saya sayangkan,
di antara movements masih ada tepuk tangan dari penonton. Mestinya memang
applause diberikan di akhir keselutuhan komposisi. Di komposisi ini tidak ada
running-running notes yang terlalu berlebihan. Cukup untuk memberikan imajinasi
pada audiens tentang pedansa-pedansa di masa Barok.
Setelah diberi alunan dansa Barok yang
'mudah ditebak', audiens dilempar beberapa ratus tahun ke depan dengan emosi
yang lebih 'rumit'. Debussy dihadirkan di panggung musim semi dengan nada-nada
lincah Golliwogg's Cake-Walk from Children's Corner. Melodi-melodi awal yang
khas tersebut cukup menarik minat. Komposisi yang sejatinya diperuntukkan untuk
solo piano ini menarik seakan penonton sedang dibawa ke nuansa lincahnya
anak-anak ketika bermain, meski dari sudut pandang orang dewasa. Debussy mendedikasikan
komposisi ini untuk Claude-Emma, putrinya, yang sayangnya meninggal karena
difteri pada usia belia, setahun setelah kematian ayahnya.
Dua komposisi terakhir seakan dipilih agar
menjadi penutup yang mengena. Kedua komposisinya cukup familiar di telinga
audiens dibanding komposisi-komposisi yang lain.
Jika bisa dikatakan, komposisi yang sangat
populer milik Jacques Offenbach, Orpheus in the Underworld menjadi klimaks
acara. Audiens merasa familiar dengan komposisi riang ini karena kerap menjadi
back sound dari berbagai film animasi. Komposisi pendek yang gembira dan
menyenangkan ini berhasil menciptakan suasana berbeda. Diciptakan untuk
kepentingan opera, maka komposisi ini terasa 'ringan dan mudah diterima'.
hingga mampu menghasilkan applause paling meriah di antara komposisi
lainnya.
Mari berpetualang ke Bizet. dengan Melodies
from Carmen Opera. SOOS menyampaikan dinamika dengan baik. Harmoni juga begitu
jelas. Nada-nada riang di awal, kemudian berubah menjadi harmoni-harmoni yang
lebih 'gelap' dan tenang. Secara keseluruhan komposisi ini menggambarkan kisah
opera kehidupan kaum proletar dan sifat manusia yang tak bermoral. Komposisi
untuk opera ini hidup dengan baik di tangan SOOS.
Saya secara pribadi menyukai pilihan
komposisi untuk program kali ini. Seakan hadirin memang disajikan deretan
virtuoso yang menarik, dengan waktu masing-masing komposisi yang tidak terlalu
panjang. Peletakan dua komposisi yang lebih familiar di telinga masyarakat umum
juga cukup menarik. Sama seperti menyambut harapan dan bunga bermekaran, Bienvenue,
Printemps Francais! J
-
Nabila
Budayana -