Pages

Saturday, April 29, 2023

Belajar dari Riweuh-nya Liburan Keluarga Besar : Catatan Lebaran 2023

Makassar dan Toraja sudah cukup jauh dari ingatan kami, keluarga besar Handoko (yang seringkali kami sebut sendiri dengan Handora, singkatan dari Handoko Bersaudara). Tujuh tahun lalu kami menyambut dua member baru yang akan dan baru saja menikah dengan dua dari cucu perempuan almarhum kakek Handoko. Keluarga yang semakin membesar seakan selalu perlu dirayakan oleh kami. Tujuannya, tentu saja mengospek kekuatan mental member baru menghadapi "keriweuhan" keluarga besar ini. Haha. Itu alasan bercandanya. Alasan seriusnya : tentu saja karena semua suka kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, makan-makan, dan jalan-jalan secara berkala. Kebiasaan bepergian bersama-sama ini sudah dibiasakan dan diwariskan oleh almarhum Kakek dan almarhumah Uti kami sejak lama.
Bukan berarti selama tujuh tahun kami tak bertemu sama sekali. Kami masih merawat jumpa di acara makan-makan perayaan ulang tahun, kumpul-kumpul kecil di kota sekitaran Surabaya, atau sekadar nyanyi-nyanyi di rumah salah satu keluarga. Namun trip jauh adalah hal yang berbeda. Banyak perbedaan trip tahun 2023 ini dengan trip di 2016. Ketika kami bedol desa ke Makassar dan Toraja di 2016, hampir seluruh acara dan akomodasi diatur oleh Om kami yang kebetulan sudah beberapa tahun dinas di Makassar. Generasi cucu bisa "tinggal berangkat" dan santai mengikuti agenda. Namun, tidak dengan tahun ini. Kami dengan rentang usia 25-35 tahun ini ditantang para orang tua untuk mengatur keseluruhan trip. Ini cukup mengejutkan karena keinginan berangkat trip tercetus dari para orang tua (yang kemudian kami sebut para sesepuh) hanya sebulan sebelum lebaran (persis setelah salah satu dari cucu perempuan termuda beres menyelenggarakan pernikahan). Tantangannya jadi jelas : waktu yang singkat, jumlah kami yang ber-23, harus bisa mengakomodir keinginan sesepuh, juga tentu saja peak season.
Tak pakai pembentukan panitia dan sejenisnya, kami langsung bergerak. Group chat para cucu yang biasanya adem ayem jadi selalu ramai. Kami diberondong ratusan chat setiap harinya. Alhasil, ada yang ngantor sambil searching penginapan, memesan dan mendesain kaus keluarga, mengatur itinerary, dan sebagainya. Semua ramai-ramai bergerak, meski tak punya pengalaman menjadi travel consultant dan sejenisnya. Meski rata-rata sudah pernah berkunjung ke Jogjakarta sebelumnya, namun kami belum terpikirkan akan menginap bukan di pusat kota. Pertimbangannya jelas, karena dengan stay di kota akan memudahkan untuk berkunjung ke lokasi-lokasi wisata. Keinginan tinggal keinginan ketika kami ingat kami ber-23 dan sangat sulit menemukan villa yang masih tersedia di tanggal kami booking. Kembali ke poin suka kumpul-kumpul, kami juga kurang suka dengan ruangan hotel karena akan lebih sulit bagi kami untuk berada di sebuah ruang besar bersama. Hotel jadi opsi terakhir. Segala rupa perburuan dimulai tanpa komando. Tiba-tiba grup chat terisi dengan berbagai tautan instagram, aplikasi traveling, websites. Semua dibuka, disaring, dipertimbangkan. Tentang lokasi, ketersediaan kamar, desain vila, harga, dan sebagainya. Sungguh menemukan yang sesuai sangat sulit, terutama di tengah kota yang sudah full booked. Masih ada yang tersedia dan menarik, namun tak bisa menampung 23 orang. Semua pusing berhari-hari. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah villa besar di kawasan Banguntapan, Bantul untuk hari kedua (kami berencana menginap 3 hari 2 malam). Ndalem Sardan Guest House ini menarik juga. Ia punya interior yang jadi gabungan tradisional-modern. Punya ruang bersama yang luas, parkir basement, dan ada ruang terbuka di lantai atas yang jadi tempat curhat sambil melihat langit dan hujan. Sayang, ia hanya bisa menampung kami satu malam saja. Terpaksa harus ada pencarian penginapan lain untuk hari lainnya.
Sementara untuk hari pertama kami menemukan sebuah villa baru di kawasan Kalasan, belasan kilo dari pusat kota. Umur villa ini belum setahun, bahkan. Landscape-nya menarik dan estetik, namun belum tersedia di aplikasi booking pihak ketiga manapun. Belum banyak juga yang memberikan review untuk villa ini. Belakangan setelah mem-booking, kami baru sadar jika villa Joglo Diego ini bersejarah karena bekas tempat tinggal seorang laskar pangeran Diponegoro (ditandai dengan pohon sawo di halaman depan). Menyewa keseluruhan komplek villa ini lebih terasa menyenangkan karena tak perlu ada tamu lain selain rombongan sendiri. Selain fasilitas kamar, ada public pantry, kolam renang, juga ruang duduk di lantai atas menghadap persawahan. Kursi santai tepi kolam renang jadi tempat curhat sampai malam datang.
Setelah permasalahan lokasi inap selesai, masih ada tantangan level berikutnya. Para sesepuh request agar bisa berfoto studio bersama dengan pakaian tradisional Jogja. Di hari-hari biasa ini mudah dilakukan. Namun beda dengan peak season. Antrean studio foto bahkan sudah mencapai 10 antrean ketika kami mencoba menanyakan. Ini bukan pilihan yang bagus, karena waktu kami akan habis untuk sekadar mengantre. Diskusi-diskusi berjalan. Akhirnya muncullah ide untuk berfoto di villa Joglo Diego saja, yang menurut kami sudah cukup estetik untuk dijadikan background foto, dan hasilnya akan berbeda dari foto studio kebanyakan. Berikutnya, kami mencari fotografer Jogja sambil berharap ada yang tidak liburan. Ternyata kami berjodoh dengan Bahtera Photo Family. Hasil foto-fotonya menarik dengan background yang bermacam-macam. Keriweuhan 23 orang ini sampai membuat fotografer jadi geleng-geleng kepala.
Lalu, bagaimana dengan kostum luriknya? Pagi setelah tiba di Jogja kami langsung menelepon sebuah galeri dan rumah jahit lurik di kawasan Kalasan untuk membukakan pintunya bagi 23 orang ini di pagi itu juga. Hasilnya keluarga pemilik Omah Jahit Jawi kaget dan gelagapan juga diserbu tiba-tiba. Keriuhan kami "mengobrak-abrik" galerinya bahkan sampai mereka videokan.
Kami sengaja memilih destinasi wisata yang mudah diakses. Perjalanan beberapa mobil pribadi yang beriringan kerap membuat kami kehilangan jejak. Ketua rombongan memutuskan untuk memasang pita biru di wiper belakang dari setiap mobil. Ini hal kecil, tapi ternyata sangat berguna. Perjalanan bagian penting dari trip ini. Semua generasi cucu bertanggungjawab untuk menyupir mobil pribadi keluarga masing-masing. Mengingat saya juga kerap lelah menyetir jarak panjang, saya suka minta gantikan sepupu lain untuk menyupir. Selama perjalanan pun chat grup tak berhenti aktif. Mulai petunjuk map ke lokasi berikutnya, notifikasi hati-hati jalanan becek, rute yang berubah, dan sebagainya. Banyak kepala, banyak suara, wajar jika perbedaan pendapat dan perdebatan seringkali terjadi. Namun semua bisa diatasi dengan berkepala dingin, mengalah, dan mementingkan kepentingan bersama. Mencoba memfasilitasi sebisa mungkin semua keinginan secara adil, juga memberikan acara bebas di sela jadwal wajib bersama jadi penting.
Tak semua sesuai rencana, memang. Namun dari trip ini kami belajar bahwa persiapan tak kalah pentingnya. Tak sampai dua belas jam sebelum berangkat, H+1 lebaran, kami berkumpul dulu di rumah salah satu keluarga. Tujuannya : anak-anak muda akan presentasi. Ya, presentasi pada para sesepuh tentang itinerary yang kami sudah susun. Kami tampilkan spreadsheet di layar, sampai google maps untuk menunjukkan jarak satu lokasi ke lokasi lain, hingga foto-foto setiap tempat yang kami kunjungi, plus biaya yang diperlukan. Hasil presentasi ditanya, diuji, dicatat oleh sesepuh.
Setelah melewati banyak tantangan perbedaan jarak (entah tinggal, kerja, atau sekolah di luar kota dan luar negeri), melewati berbagai tantangan kesehatan (mayoritas kami juga terjangkit covid dan menghadapi badai besar ketika covid berada di puncak kegilaan), melewati kesabaran menunggu di waktu yang panjang, trip ini selalu jadi bagian dari rasa syukur kami yang luar biasa. Setelah sebulan merencanakan, trip bisa diakhiri dengan baik. Rasa syukur bukan hanya untuk apa-apa yang kami rasakan ketika bepergian, namun juga kekompakan dan kerja sama yang semakin kuat setelah trip ini direncanakan hingga selesai. Keriweuhan memang kerap menyebalkan, tapi di sisi lain ia membuat kami belajar banyak hal.
Credit photo : dokumen pribadi, traveloka, Bahtera Photo Family, Villa Joglo Diego

Tuesday, September 27, 2022

Catatan Singkat tentang Perayaan Keberagaman : Art Exhibition CREATE Moments AKSARA 2022

AKSARA seperti ruang yang perlu, yang ambisius, namun memberi teduh yang memeluk semua. Dibutuhkan karena toleransi, kecintaan pada keberagaman, dan kesadaran terhadap kesetaraan gender perlu untuk terus digaungkan, terutama pada generasi muda. Ambisius karena menantang status quo, ketidakingintahuan, dan pengabaian. Memberi teduh karena menerima dengan ramah dan hormat semua pilihan dan bentuk ekspresi. Ruang istirahat untuk diterima apa adanya sebelum kembali menghadapi dunia yang kerap kali belum mampu menerima perbedaan sepenuhnya. 

Itu kesan yang saya tangkap dari rangkaian empat hari Art Exhibition CREATE Moments : AKSARA (Apresiasi Kreasi Budaya Remaja) berlangsung selama empat hari, 22 hingga 25 September 2022 lalu di Surabaya. Selain di Surabaya, acara ini juga dilaksanakan serentak di Makassar dan Bandung. Acara ini diselenggarakan oleh tim CREATE dan didukung oleh USAID, Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos), Pamflet, LAPAR, Rombak Media, Yifos, dan CMars.  


Credit : Tim CREATE


Credit : tim CREATE



credit : tim CREATE



AKSARA bukan hanya menampilkan berbagai karya seni visual teman-teman SMA, namun juga tampilan-tampilan yang bernuansa toleransi, keberagaman, dan kesetaraan gender. Mulai tarian yang bernuansa toleransi kebangsaan, tarian kontemporer yang berpesan tentang penerimaan diri, nyanyian dan orasi tentang keberagaman, hingga teater tentang kesetaraan gender. Ini menunjukkan semangat seni sebagai refleksi terhadap kemanusiaan. Seluruh hasil karya teman-teman SMA adalah hasil binaan fasilitator CREATE. Di samping itu, audiens umum juga difasilitasi dengan berbagai workshop dan talkshow edukasi tentang tema terkait. Seperti menyulam tangan visual rahim pada kain sembari berdiskusi dan mendengar edukasi tentang hak kesehatan reproduksi, doodle art workshop dengan tema penerimaan diri, juga kegiatan-kegiatan lainnya.


Credit : tim CREATE



Beruntung, saya berkesempatan menjadi bagian dari rangkaian acara ini dan melihat bagaimana perayaan keberagaman ini dilangsungkan. Di tengah gempuran arus untuk menjadi homogen dan eksklusif, ruang ini menjadi oase yang penting. Dengan mudah saja saya menemukan teman-teman baru yang beragam. Misalnya saja saya mengobrol dengan seorang teman remaja yang menunjukkan bakat luar biasa dalam menari. Di balik senyumnya setelah turun panggung, ia menyimpan kabut karena keluarga yang mengecilkan minatnya di bidang menari. Sebabnya, menari dianggap sebagai aktivitas untuk gender tertentu saja, bukan untuknya. Namun ia tak patah arang dan tetap menari dengan sepenuh hatinya. Saya juga bertemu dan mendengar dari beberapa teman keresahan yang sama tentang ekspresi gender yang terkotakkan, ketimpangan hak asasi manusia, dan perjuangan advokasi isu-isu di antaranya. Semuanya menarik dan membuka mata.


Credit : tim CREATE

Toleransi dan pengharagaan terhadap sesama tak hanya digaungkan dengan ucapan, namun juga dengan tindakan yang selaras. Itu terlihat bagaimana setiap tim CREATE memperlakukan tamu, pengisi acara, audiens umum dengan sama, setara. Seakan pintu dibuka lebar dan mempersilakan siapa saja -apa pun pilihannya, bagaimana pun tampilan fisiknya, bagaimana ia mendefinisikan dirinya- untuk masuk dan disambut hangat. Ruh ini penting dan terlihat dari bagaimana acara terlaksana hingga akhir.

Tim CREATE bukan hanya melihat hari ini. Mereka memperjuangkan masa depan dengan merangkul anak-anak muda sebagai subjek penting keberlangsungan panjang toleransi dan kesetaraan gender. Mereka memahamkan keberagaman dengan hangat, membisikkan pada teman-teman remaja tentang pentingnya memiliki cinta kasih pada diri sendiri dan sesama manusia, menyikapi ketidaksetujuan dengan bijaksana dan welas asih, serta meminta untuk selalu menemukan diri sebagai manusia yang adil, inklusif, dan toleran. Nilai-nilai luhur yang mestinya terus bersemayam di diri seseorang sepanjang waktu hidupnya.

  

Credit : Tim CREATE

 










Sunday, October 3, 2021

Seni Menerima Pandemi dalam Bunyi : Review pertunjukan "Bane" karya Laring

Pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi manusia. Sebagian besar kita dibenturkan dengan berbagai kehilangan, ketiadaan. Sayangnya, manusia sesungguhnya tak pernah siap menghadapinya. Bagaimana seni pertunjukan merekam realitas itu?

***

Laring, sebuah wadah seni yang dibentuk oleh komponis Gema Swaratyagita tampaknya semakin beradaptasi dengan pertunjukan virtual. Menghadirkan karya terbarunya, "Bane", Laring tetap konsisten memadukan seni bunyi dan gerak. Namun kali ini dengan konsep yang berbeda dan diimbangi dengan tampilan visual yang lebih memuaskan. Penonton difabel juga tetap dapat mengikuti pertunjukan dengan membaca caption yang disediakan. Karya ini diproduksi Laring untuk Jagongan Wagen, sebuah program pertunjukan seni bulanan milik Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. 

Setelah "Jeng Sri" di Ngangon Kaedan 3 karya Laring, September 2021 ini Laring kembali meluncurkan karya terbaru. Lebih ramah visual dan audio, konsep kali ini bukan pertunjukan langsung di atas panggung, justru serupa dengan konsep film. Penonton tak lagi mendapatkan ruang menonton yang terbatas. Bane diritmekan dalam adegan-adegan dengan tone monokrom tanpa mengabaikan kualitas bunyi dan konsep. 

Penonton disambut dengan overture yang menarik perhatian. Layar gelap dan seruan beberapa perempuan yang menggaungkan hitungan angka-angka muncul. Hitungan yang kadang berurutan, kadang tidak. Sementara di layar terungkap kondisi khas di waktu-waktu pandemi Covid. Pengumuman tak henti tentang jiwa yang meninggal dari toa masjid sementara waktu-waktu yang terus berlalu. Gumaman tentang angka-angka itu terus bertambah, puluhan, ratusan, hingga jutaan melambangkan korban yang berjatuhan. Terusiknya ketenangan dihadirkan dengan gelas kopi yang terus diisi dan diaduk tak kunjung henti. Kekacauan semakin menjadi. Hari-hari berganti, manusia semakin jenuh mendengar, melihat, merasa. Tanah-tanah terus digali, melambangkan manusia yang semakin banyak kembali.  

Babak kedua dinamai "Tinolak". Mulai bagian ini, Mian Tiara sebagai Pataakaa, Tessa Prianka sebagai Mamala, serta Yanthi Rumian sebagai Pralaya muncul di layar. Permainan vokal tiga perempuan yang duduk di satu meja. Karakter masing-masing perempuan itu terlihat mulai saat ini. Pataakaa menangis dan panik. Pralaya kemudian menggumamkan permainan vokal yang seakan berita, dan Mamala yang terdiam kemudian bernyanyi, seakan ingin menenangkan Pataakaa. Bagian ini seperti menggambarkan bagaimana respons berbeda masing-masing manusia dalam menghadapi kejamnya pandemi. Perlahan dengan nyanyian Mamala yang semakin mendayu, Pataakaa menjadi lebih tenang, dan Pralaya tak lagi mengoceh begitu banyak. Dinamika yang tergambar dari paduan vokal para performer menjelaskan karakter khas masing-masing. 

Penonton diajak beralih pada "Nesu", di suatu dapur di mana Pataakaa kembali pada amarah dan kekesalannya tentang keadaan. Mamala hadir dan membuat mereka beradu kekesalan. Tak bisa dipungkiri, ekspresi wajah Mian Tiara selalu memberi kesan. 

Situasi tenang hadir dalam bagian berikutnya, "Nyang-Nyang". Mamala muncul seorang diri dengan nyanyian yang kali ini berlirik. Tangannya menggenggam ponsel yang berisi video dirinya sendiri yang juga sedang dalam keadaan tak baik. Bagian ini seakan menggambarkan fase manusia yang bermonolog dan berefleksi tentang pandemi, juga kehilangan, kekecewaan, dan kesedihan. Sekaligus menampilkan ironi bahwa sesungguhnya manusia begitu tak terbiasa dengan ketidaknyamanan dan keadaan yang tak diinginkan. Pandemi Covid mengingatkan tentang pentingnya sehat, rasa syukur, dan ke-Tuhan-an. 

Bagian "Depresi" memiliki daya tarik visual paling menarik. Dalam layar, Pataakaa tampak "babak belur" dalam kekacauan ruang. Keputusasaan Pataaka tampak jelas melalui ekspresi dan racauannya yang semakin lirih. Mamala kemudian hadir tanpa kata-kata. Ia duduk di samping Pataaka dan memberikan sentuhan tenang. Di fase ini tampaknya baik Pataaka maupun Mamala sudah dalam tahap menuju penerimaan. Tergambar dari kostum mereka yang setengah-setengah. Putih dan hitam.



Sebuah gong yang ditidurkan mengawali bagian "Ditempa-Basa". Nuansa tenang muncul dari Pataakaa, Mamala, dan Pralaya dengan pakaian serba putih yang mengelilingi gong. Senandung vokal dengan nuansa spiritual seakan menandakan penerimaan terhadap yang terjadi. Penonton bisa menikmati melodi yang paling kental di sini.



Di bagian akhir, masih ada senandung pesan tentang ajakan perenungan dan bijak menyikapi kesempatan hidup. Karya ini diciptakan Tessa Prianka, setelah semua karya bunyi di bagian sebelumnya diciptakan Gema Swaratyagita.

"Bane" menunjukkan pola yang cukup jelas melalui simbol-simbol, seperti warna, ekspresi performer, juga latar ruang. Pemisahan dalam bagian-bagian juga memudahkan penonton untuk mengikutinya dan memetakan alur proses penerimaan manusia terhadap pandemi. Karya yang terasa ringkas, jernih dalam "suara", juga tema yang relevan ini dikemas dalam versi kontemporer dari sebuah opera.

"Bane" dapat ditonton melalui jagonganwagen.psbk.or.id pada tanggal 24 September 2021 hingga 10 Oktober 2021. Pertunjukan ini juga akan ditayangkan di kanal YouTube Indonesia Kaya pada tanggal 8 hingga 17 Oktober 2021.


Friday, July 16, 2021

Bertahan di Hari-Hari Terburuk

Apa rasanya menjadi satu-satunya negatif Covid di antara orang serumah yang seluruhnya positif? 


Akhir Juni 2021, langit menyelimuti saya dengan amarah dan kekecewaan. Mati-matian menjaga prokes untuk diri dan keluarga selama lebih dari setahun terakhir, ternyata keluarga kami masih mendapatkan giliran untuk terkena Covid 19. Tinggal bersama tujuh orang lain di rumah dengan beragam usia, mulai lansia hingga balita, saya kerap mengingatkan tiap orang agar berhati-hati semenjak pandemi. Saya sadar betul jika salah satu dari kami terkena, kemungkinan yang lain pun juga akan terpapar. Sayangnya, itu benar terjadi. 

Beberapa hari sebelum 29 Juni 2021, papa saya sudah bersin, batuk, mual, muntah, demam, dan lainnya. Sampai beberapa hari kemudian, mama dan papa saya masih beranggapan papa hanya masuk angin biasa. Kebanyakan minum es, katanya. Gejala itu kemudian menular pada mama tak lama kemudian. Alarm awas saya dan kakak sebenarnya sudah menyala sejak papa tak kunjung sembuh. Bedanya, kakak tetap beraktivitas di rumah seperti biasa, sedangkan saya sudah pakai double masker di rumah dan menghindari bertemu papa. Sejak awal pandemi, saya selalu berlaku demikian. Jika ada yang sakit di rumah, saya akan meminimalkan keluar kamar dan memilih mengenakan masker di dalam rumah. Lebih-lebih baru tiga bulan lalu saya harus berhenti dari semua kegiatan selama sebulan karena Demam Berdarah Dengue yang mengharuskan saya menerima transfusi trombosit karena angka trombosit yang hanya 8.000 (di kala normal trombosit saya bisa mencapai 397.000). Setelah pulang dari Rumah Sakit saat itu, saya merasa imunitas belum kembali penuh. Itu yang bikin saya ekstra hati-hati selama pandemi. Tidak bertemu teman sama sekali, tidak ke keramaian, tidak makan di tempat makan umum, dan hanya sekali ke taman yang sepi (nyaris tidak bertemu orang lain sama sekali). Di samping itu saya juga mengingatkan yang lain dengan lebih sering, sampai kerap disebut cerewet, paranoid, sampai satgas covid. 

29 Juni 2021, kakak dan saya sudah tak tahan lagi karena kakak ipar tiba-tiba mengalami gejala yang serupa dengan mama dan papa. Papa, mama, kakak ipar akhirnya memutuskan untuk mengambil tes antigen. Mereka bertiga menunjukkan hasil positif. Dunia rasanya runtuh sesaat. Dugaan kami benar. Kabar itu datang tiga puluh menit sebelum saya harus mengajar online. Rasanya ancaman yang awalnya terasa jauh dan tak terpikirkan untuk datang saat itu jadi begitu dekat. Saya tetap mengajar seakan tak terjadi apa-apa. Namun sisa hari itu dilalui penuh dengan kebingungan dan kecemasan. Saya langsung memisah kamar mandi, alat makan, menghindari berpapasan, dan bermasker meski di dalam rumah.  

30 Juni 2021, kami sepakat untuk mengambil tes PCR. Papa, mama, kakak ipar mengambil tes PCR di puskesmas sekaligus melapor. Sementara kami yang di rumah (yang belum menunjukkan gejala dan gejala ringan) memutuskan mengambil PCR home care mengingat ada oma kami yang berusia di atas 85 tahun juga balita. Selama jeda menunggu hasil, kami sudah memperlakukan semua yang bergejala sebagai positif. Dua hari kemudian, hasil PCR home care sudah keluar lebih dulu. Hasil itu mengejutkan dengan hanya menyisakan saya seorang di rumah yang negatif Covid-19. Artinya, dipastikan tujuh yang lain positif. Kami bertindak cepat, saya memutuskan untuk indekos sementara waktu di rumah kerabat.

Sebagai satu-satunya yang sehat, saya harus mengatur segala keperluan tujuh anggota keluarga dari kejauhan. Hampir setiap jam, setiap anggota keluarga harus dipantau kondisinya. Suhu tubuh, saturasi, keluhan, pembelian obat, dan sebagainya. Setiap keputusan dalam mengambil tindakan saya lakukan bareng Meita, sepupu yang kebetulan juga dokter. Mencocokkan resep dari dokter dengan gejala dari tiap anggota keluarga, di mana bisa membeli obatnya, memutuskan tindakan darurat, menemukan berbagai solusi perawatan, bersiaga ketika terjadi keluhan, dan lainnya. Hampir setiap saat saya berkomunikasi dengannya untuk mengambil langkah penanganan yang tepat. Beruntung, Meita sangat solutif, suportif, analitis, terbuka untuk diskusi, dan selalu memberi alasan ilmiah sebagai bentuk edukasi. Perjalanan merawat menuju kesembuhan ini jadi terasa berharga karena semua keputusan diambil dengan pijakan sains. 

Melawan Covid adalah maraton untuk berhadapan dengan ketegangan. Di detik lain baik-baik saja, di detik berikutnya kondisi psikis penderita bisa begitu berbeda dari biasanya. Rasa takut, cemas, khawatir, panik, lelah, kesal, bingung semua menumpuk jadi satu. Bahkan, saya baru menemukan emosi-emosi yang tak pernah saya lihat dari keluarga sebelumnya muncul kali ini. Menerima video call tangisan atau chat putus asa harus dihadapi dengan tenang. Saya tahu, di sini saya yang harus mengambil keputusan dan menyampaikannya dengan benar. Kepanikan tak akan mengubah apa-apa, dan berpotensi menambah beban pikir keluarga di rumah. 

Setelah kepindahan saya, saya masih harus berhati-hati karena masih ada risiko false negative, mengingat saya terhitung kontak erat dengan keluarga. Setiap hari saya berharap setidaknya selama 10 hingga 14 hari setelahnya saya tak bergejala apa-apa sehingga benar-benar negatif. Di saat yang sama, saya terus memantau kondisi di rumah. Per orang, per keluhan, per menit. 

Hari-hari berlalu dengan keadaan yang stabil. Sampai di hari pertama Juli, saturasi oksigen oma kami drop, hanya berkisar di 90-92. Berdasarkan saran teman, saya minta mbak ART di rumah untuk mencobakan posisi proning. Setiap kali proning, saturasi oma bisa agak naik. Namun itu tak bertahan lama. Kami memutuskan untuk mencoba membawa oma ke Rumah Sakit untuk penanganan lanjutan. Sayangnya, kondisi di sebagian besar RS sudah penuh. Papa dan Mama yang berkondisi lebih baik juga sempat tak kuat melihat betapa penuhnya kondisi IGD RS saat itu. Akhirnya oma kembali ke rumah dan kami mencoba mencari pinjaman tabung oksigen untuk menaikkan saturasi oma. Sempat terkendali selama beberapa hari, namun beberapa hari kemudian oksigen habis dan kami tak lagi punya cadangan tabung. Tengah malam, kami mencoba menelepon semua kontak pengisian oksigen, namun tak ada yang bisa membantu. Seluruh cucu oma juga menelepon berbagai kontak darurat, sayang tidak terhubung. Saturasinya begitu rendah hingga di bawah 51. 





Napasnya sangat sesak dan semakin lambat. Melihat kondisi yang sudah sangat kacau, saat itu, empat puluh lima menit sebelum oma berpulang, saya menelepon anak-anak oma untuk bisa berjaga di sampingnya maupun menemani melalui video call, siap dengan kemungkinan terburuk. Sesuatu yang begitu berat untuk dikatakan, namun tetap harus diucapkan. Pagi sekali, menjelang subuh di 4 Juli itu, oma kami harus kembali pada Tuhan. Saya belum pernah mendengar mama menangis begitu terisak dan sesak di telepon, saya juga belum pernah melihat kakak menangis sesenggukan itu di video call. Pukulan berat itu pasti berpengaruh pada kondisi psikis bagi mereka yang sedang dalam masa penyembuhan.  

Kepergian dan perjalanan oma menuju pemakaman ternyata tak mudah. Hingga menjelang dua belas jam setelah oma berpulang, ambulans baru datang untuk mengambil jenazah. Itu pun setelah seharian kami mencoba menghubungi berbagai pihak. Mengingat kondisi saat itu yang mengharuskan antre untuk menggunakan ambulans. Setelah melewati berbagai liku, petang itu, di bawah serat langit sore, oma dimakamkan dengan tata cara Covid. 




Beruntung, setelahnya semua psikis keluarga bisa cepat pulih dan bisa kembali pada fokus penyembuhan. Saat ini, sebagian besar keluarga sudah sembuh dan hanya menyisakan sedikit batuk. Papa sempat harus mengalami kebingungan karena beberapa tetangga tak sebegitu mudah menerima papa kembali hingga ia harus mengambil tes antigen dan PCR sebagai bukti negatif. Sementara yang lain sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa.  

Di tengah-tengah proses itu, saya sempat drop satu hari karena flu dan GERD yang kambuh. Kabar buruk yang beruntut dan menuntut waspada setiap waktu terasa melelahkan. Rasanya begitu berat untuk bangun esok pagi. Saya kerap berdoa agar ketika terbangun esok hari tak ada kabar buruk lagi yang datang. Pertarungan psikis itu yang begitu menguras energi. Menjaga tenang meski dada bergemuruh, menjaga damai meski keadaan sedang tak baik. Begitu banyak yang saya pelajari dari kejadian ini. Salah satunya, saya baru mengerti jika saya lebih kuat dari yang saya bayangkan. 

Di hari pergantian usia ini, saya mengucapkan terima kasih banyak untuk keluarga dan sahabat yang menemani dan membantu saya dengan segala cara dan dukungan melewati hari-hari terberat dalam hidup lalu.   

Meita Ardini Pratamasari. Nindia Maya. Dokter Astu Anindya Jati. Nina Deka. Astry Limas Yuliati.  Adika Kuswanto, Dinda Atika Putri dan keluarga. Nadia Asandimitra. Siti Arifah. Achmad Bagus Khoirul Rijal. Betari Aisah. Windy Tiandini. Juga banyak teman-teman lain yang memberikan begitu banyak dukungan dan doa untuk saya dan keluarga. 


Kiranya ini bisa jadi sebuah catatan agar kelak saya bisa mengingat betapa kuatnya manusia bertahan menghadapi hari-hari terburuk. Sebuah pengingat untuk menghargai waktu-waktu damai yang sudah ada dan akan ada nanti. 


"I am no longer defined by what happened to me, but by who I am. Now I would introduce my self as someone who's survived, who's rebuilt herself, who's reconstructed herself. I introduce myself as someone who's an active participant in her own life, not someone who had something done to her. Not someone who is reacting, but someone who is being." - Najwa Zebian



Surabaya, 16 Juli 2021.

Di hari ulang tahun dengan harapan yang paling sederhana : bertahan, sehat, dan bisa segera main piano lagi.


  

Sunday, September 20, 2020

Suara Ibu dalam Karya Seni Kontemporer Gema Swaratyagita

Apa rasanya menonton pertunjukan seni kontemporer secara virtual? Beberapa seniman yang menjadi bagian dari rangkaian acara Musim Seni Salihara tahun 2020 menantang halangan ruang waktu untuk melakukannya. Gema Swaratyagita salah satunya. Komposer ini mencoba memberi pengalaman baru pada penonton karyanya. Ia bersama Laring kembali dengan karya terbarunya yang bertajuk “Jeng Sri” yang merupakan bagian dari seri Ngangon Kaedan, seni pertunjukan berdasar dongeng. Dikuratori oleh Tony Prabowo, pertunjukan ini dapat ditonton melalui kanal youtube Salihara Arts Center hingga 27 September 2020 mendatang.

Pertunjukan ini mengajak penonton menangkap pesan melalui seni musik dan peran. Ditemani tiga orang vokalis yaitu Mian Tiara, Tessa Prianka, Yanthi Rumian serta seorang performer Fiametta Gabriella, Gema hadir di panggung sebagai komposer dan pengaba. Kali ini, Gema menghadirkan karya dengan inspirasi dari tradisi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat. Tiap tahun, mereka menyelenggarakan Nutu Nganyaran yang merupakan bagian dari prosesi pesta panen musim tanam.

Sesuai dengan temanya, kostum yang dipakai oleh semua penampil pun serupa dengan pakaian yang dikenakan oleh perempuan yang turut dalam prosesi adat Nutu Nganyaran. Panggung dengan dekorasi serba hitam dibuka oleh seorang vokalis yang berlari-lari kecil di tempat sembari memeluk dirinya dan memanggil-manggil nama Jeng Sri atau Dewi Sri yang merupakan dewi padi dan dewi ibu. Sesekali ia merasa kelelahan dan bernada putus asa. Sementara di sisi lain, vokalis lain dan performer sedang memarut kelapa, memanen padi sembari mengumandangkan dengung vokal yang apik. Nuansa tradisional langsung terasa.

Masing-masing gerak-gerik penampil terlihat memiliki makna. Misalnya ditunjukkannya kegiatan memanen padi, menumbuk, menggiling, hingga menjadi bubur sumsum yang mirip dengan rangkaian kegiatan upacara adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.


Tangkap layar youtube Salihara Art Center

Tensi pertunjukan dibawa naik dengan teriakan dan permainan gabungan kalimat-kalimat keluhan para ibu pada Jeng Sri, seperti ungkapan capai tapi bahagia atau keluhan tentang menjadi seorang ibu yang kerjanya tak habis-habis. Kalimat-kalimat langsung ini langsung mengajak penonton untuk mengerti posisi seorang ibu yang keluhannya kerap tak tersampaikan. Menariknya, menurut Gema, kalimat-kalimat ini merupakan jawaban dari sejumlah pertanyaan yang diajukan pada beberapa perempuan tentang apa yang ingin mereka katakan pada Dewi Sri terkait peran mereka sebagai ibu.

Di bagian berikutnya, permainan harmoni ketiga vokalis ditampilkan. Dengan ritme yang tetap, berbagai bentuk olah vokal diungkapkan. Ketiga vokalis pun kemudian kembali dengan kegiatan mereka seperti berlari-lari kecil di tempat, maupun memasak. Pertunjukan diakhiri dengan performer yang menyuapi dan memberikan semangkuk bubur sumsum pada ketiga vokalis, seakan melambangkan proses akhir dari upacara adat yaitu menyicipi hasil panen. Kata-kata seperti “Depan belakang, kanan kiri, lahir batin, jiwa raga, hitam putih” diucapkan terus menerus oleh Gema seakan untuk menunjukkan bentuk keseimbangan dan penerimaan.

Pertunjukan ini memiliki logo pertunjukan yang menarik dengan guratan punggung perempuan dengan batang-batang padi. Detail kecil yang menarik itu mendukung secara visual. Dongeng ini akan tersampaikan dengan lebih baik seandainya kalimat-kalimat jawaban dari para ibu bisa terdengar lebih jelas di samping vokal. Sajian selama kurang lebih lima belas menit ini prima meski kehilangan detail seperti bunyi-bunyi yang dari benda seperti parutan yang kurang terdengar sehingga mengurangi perannya di dalam komposisi. Seandainya sudut pengambilan gambar dapat dimanfaatkan dengan berganti-ganti lebih sering dan tanpa berguncang, visual penonton tentu akan lebih termanjakan.

Menyatukan banyak hal di karyanya kali ini, baik tentang budaya, legenda, isu perempuan, keselarasan alam, serta eksplorasi bunyi dan gerak membuat karya Gema Swaratyagita berlapis dan eksploratif. Menghadirkan perempuan sebagai sorotan dengan berbagai pergulatan dalam dirinya sebagai ibu, karya ini patut diapresasi karena keberpihakan, kejujuran, dan bentuknya. Tak lupa karena juga mampu mengajak penonton terbuka pada berbagai bentuk seni serta menyelidiki makna sebagai refleksi dari kehidupan.

 

Tuesday, August 18, 2020

[Cerita Anak] Tarian Hujan Icon

Lala menggeleng pada Icon. Ia ingat kata Mama. Jangan main hujan. Nanti sakit.

"Ayolah, Laa. Masa kamu enggak pernah sekali aja main hujan sih?" Icon agak kesal. Mana mungkin di dunia ini ada anak yang belum pernah main hujan?

Icon menjulurkan tangan ke tetesan hujan. Ia agak bergidik. Airnya ternyata dingin. Lala menatap curiga pada Icon.

"Kenapa, Con? Airnya dingin, kan? Kubilang juga apa. Ayo pulang pakai payung aja!"

"Ee.. enggak! Ini enggak dingin, kok!" Icon melesat ke arah jalan, bertemu hujan.

"Icoon! Nanti kamu sakit, lho!" Lala berteriak sambil melambai pada Icon. Ia mengajak Icon kembali berteduh.

Bukan Icon namanya kalau tak bandel. Ia malah menari-nari di tengah hujan. Tariannya aneh. Goyang pinggul kanan-kiri, angkat tangan, lambai-lambai, putar-putar delapan kali. Seperti senam yang biasa nenek Lala lakukan di rumah. Lala geleng-geleng kepala melihatnya.

Icon melihat Lala. Bukannya kembali, Icon malah menghentak-hentakkan kakinya di kubangan air warna cokelat. "Horee, horee! Ini kayak susu cokelat!"

"Susu cokelat enggak pakai lumpur dong, Icoon! Sudah, ayo pulang!" Lala jadi heran pada dirinya sendiri. Biasanya dia yang dimarahi Mama. Sekarang, dia yang mengomel pada Icon.

Lala membuka payung kuning yang dibawakan Mama dari rumah. Lala curiga Mama peramal. Mama selalu tahu apa yang Lala akan butuhkan. Padahal tadi pagi Lala menolak habis-habisan ada payung di dalam tasnya. Siapa yang tahu jika hari ini akan hujan, kan?

Lala mulai melangkah. Ia berjalan pelan-pelan. Pokoknya ia tak boleh kena basah. Lala tak mau membuat Mama repot kalau ia jatuh sakit. Sepatunya juga jangan sampai kena lumpur. Nanti Mama akan kesusahan mencucinya.

Lala berjingkat-jingkat menjauhi genangan air. Satu, dua. Yeah! Ia selamat dari genangan. Tinggal satu genangan lagi untuk selamat sampai ke jalan. Hup! Lala melompat. Suara kecipak keras mengagetkan Lala. Icon mendorongnya. Kaki Lala masuk ke dalam genangan yang akan ia hindari.

"Icooon!" Lala belum pernah berteriak sekeras ini. Icon menyebalkan.

Bagaimana ini? Sepatunya sudah berubah jadi perahu. Sayangnya, perahu yang bocor. Air cokelat itu masuk ke sepatunya.

Icon mulai joget lagi dengan tariannya. Goyang pinggul, lambai-lambai, putar-putar. Lala putus asa melihat sahabatnya. Seragam, rambut, sepatu Icon sudah kuyup. Tapi wajahnya gembira sekali. Senyumnya lebar, suara tawanya meriah. Lala jadi iri. 

"Ayo!" Icon mengambil payung Lala. Lala melotot dan mulai mengomel. Ia jadi basah! Ialah si Icon yang tak peduli. Ia malah mengajak Lala menari bersama-sama! Goyang pinggul, lambai-lambai, putar-putar.

"Icon! Malu tuh!" kata Lala sambil menunjuk pada bapak tukang parkir yang melihat mereka berdua.

Lala menutup muka dengan kedua telapak tangannya karena malu. Ia memejamkan mata. Lala merasakan air hujan yang mengenai kepalanya. Kalau Lala memejamkan mata seperti ini, hujan terasa berbeda. Rasanya sejuk!

"Lala, sini!" Icon berteriak dari kejauhan.

Lala membuka telapak tangannya. Ia terkejut sekali! Butir-butir air hujan menjadi permen bulat warna-warni. Hijau, merah, pink, ungu, kuning, cokelat, putih, dan... pokoknya banyak! Permen-permen itu hinggap di pohon, atap, jalan, bahkan saku seragam Lala dan Icon.

"Waaa!" mereka berteriak bersamaan. Icon dan Lala membuka mulut lebar-lebar. Mereka berlomba untuk menelan permen sebanyak mungkin. Puas makan permen, Icon bergulingan di lautan permen di jalan. Lala bermain tangkap permen dengan tangannya.

Lala merasa dadanya akan meledak karena gembira. Ia berteriak-teriak sepuasnya. Berlari-lari. Tertawa-tawa. Menari-nari. Tak ada Mama yang berkata tidak boleh. Tidak ada tukang parkir yang melihat mereka dengan heran. Saat ini cuma ada Icon dan Lala yang bermain di dunia permen! 

***

Ketika Icon menari-nari entah keberapa kalinya, hujan permen berhenti. Lala dan Icon mengedipkan mata. Mereka kembali. Jalan yang becek, rambut yang basah, sepatu yang kotor. Icon melihat wajah Lala yang kecewa. Dunia permen mereka lenyap. Icon tersenyum. Ia merogoh saku dan memberikan sebutir permen ungu untuk Lala.

“Tadi aku simpan di dalam saku! Hehe!” kata Icon nyengir.

Lala mengunyah permen itu. Senyumnya lebar sekali. Senyum paling lebar yang pernah Lala miliki.

 

 


Surabaya, 18 Agustus 2020

 

Friday, August 7, 2020

[Cerpen] Riak Sungai Allegheny


Riak sungai Allegheny berhenti menari sejenak ketika menampilkan pantulan diriku di wajah air. Kubuat ia kembali marah dengan melempar sebongkah batu hitam dari tepi. Aku suka melihat bagaimana permukaan air itu koyak, melompat ke udara sesaat, sebelum menampilkan lingkaran yang terus membesar, kemudian hilang. Ada kalanya aku gagal melakukannya diam-diam, tidak seperti hari ini. Ibu pasti akan mencengkeram tanganku sebelum aku sempat melempar. Ia akan seketika membawaku ke balik semak yang melindungi kami dari banyak tatapan, dan memukulkan payungnya ke pantatku. Sakitnya aku hafal benar. Menembus sampai ke pakaian dalam, dan bisa membuatku berjalan timpang di sisa perjalanan menuju rumah. Anehnya, ia selalu membiarkan Gustav si pengecut cilik itu untuk melakukannya. Kutebak karena Gustav lahir dengan penis di antara kakinya.

Perjalanan ke sungai Allegheny hari itu berbeda dan jadi kuingat selamanya. Ibu membawa koper kulit besar yang biasa dibawa Ayah untuk bepergian ketika harus mengecek tanah-tanah di luar kota. Ayahku spekulan tanah. Sayangnya tak banyak yang bisa kuingat dari Ayah saat ini selain hanya punggungnya yang menjauh dari bingkai pintu rumah setiap kali ia akan pergi. Hari itu Ayah tak ada di rumah, dan koper besar itu tergeletak di atas lemari kamar. Ibu menjejalkan sebuah benda besar ke dalamnya kemudian buru-buru memintaku berganti pakaian pantas. Sepanjang jalan aku mendapat cengkeraman ibu di pergelangan tangan hingga terasa sakit.  



Ini aneh. Ibu membiarkanku bermain lempar batu sampai aku puas. Kemudian ia membuka koper dengan buru-buru sampai-sampai lengan loncengnya tersangkut resleting. Tapi ia tak peduli dan menarik keluar sebuah kanvas besar. Di muka kanvas itu terlihat seorang perempuan dengan gaun garis longgar. Lengannya tergulung agar tak mengenai air baskom. Ia mencelupkan kaki seorang anak perempuan di pangkuannya. Anak kecil itu diriku, kata Ibu sembari memamerkan lebar mata terbesarnya. Ia menderap-derapkan kakinya di tepi sungai Allegheny dan mengutukku dengan banyak kata tak pantas. Kanvas itu terlempar dan membuat riak sungai menelannya sesaat sebelum membuatnya tenggelam.

***

Aku tak mengerti mengapa Ibu melakukannya hari itu. Ia bilang ia membenci dengan seluruh amarah tujuh generasi padaku, Ayah, dan perempuan berbaju longgar dalam kanvas. Sampai saat ini aku di sini. Dengan batu dan tali yang terikat di pergelangan kaki. Aku memeluk kanvas itu erat. Ibu dan aku berada di tempat yang berbeda sekarang. Ibu tak suka sungai Allegheny. Jadi ia bermain timbun tanah seperti tikus di jalan Butler dengan marmer bertuliskan nama di atas timbunan tanahnya. Aku tetap di sini. Aku suka riak air sungai Allegheny.


Surabaya, 30 Juli 2020

*Terinspirasi lukisan Mary Cassat