Wanita itu sudah sepucat mayat. Tak ada
senyuman, tak ada sapaan ramah seperti biasanya. Dahinya berkerut, membuatnya
tampak jauh lebih tua. Tangannya bergetar, menghasilkan bunyi ketukan pada
mangkuk dan sendok yang digenggamnya. Putih telur dan almond bubuk ia tumpahkan
begitu saja. Tanpa ukuran sendok makan atau gram timbangan. Cuma berdasar
kira-kira. Hanya gula yang mampu menunggu digabungkan secara perlahan. Di
sekitar mangkuk, permukaan meja dihiasi berbagai tumpahan bahan yang tercecer.
Tak apa, katanya meyakinkan dirinya sendiri dalam hati. Ini hanya masalah kecil
belaka. Aku bisa.
***
Busa-busa putih sudah terbentuk. Bahan-bahan
itu sudah berganti rupa, saling menggulung dalam putih yang lembut dan anggun.
Meringue tercipta. Katanya, ini selalu seperti gula-gula, juga angan-angan di
atas kepala. Manis, tapi terlalu indah untuk dunia nyata. Seandainya saja ia
masih muda, mampu memakan segala rupa gula-gula dengan leluasa. Ia kini
bahkan tak mampu merasakan hasil karyanya sendiri. Terlalu riskan untuk gula
darah, pertaruhan antara hasrat dan sisa usia. Larut dalam pikirannya sendiri tak
menjamin tangan tua itu tak payah. Mengocok bukan lagi hal mudah untuk otot tangannya.
Ia tak suka menggunakan mesin yang baginya selalu berhasil membuat manusia
menjadi manja. Tremor, seisi mangkuk tertumpah. Wanita itu tenggelam jauh dalam
tangisan. Katanya, tangisan seorang tua akan selalu jadi sia-sia. Tak cukup
menarik untuk diketahui permasalahannya, juga karena selalu dianggap seakan
bocah saja.
***
Putri yang berada dalam ambang keputusan. Antara tinggal menemani
sisa usia sang wanita, atau justru memilih kehidupan lain bersama laki-laki pilihannya di tanah yangberbeda, dimana putih salju berkuasa, meringue dalam kualitas terbaik.
Ini tentang suatu kisah pertaruhan. Dalam tujuh menit, ketika uap panas
dan cairan teh putriku tandas, ia akan memberi jawaban, hidupku ditentukan. Itu
ucap sang wanita tua. Kini terjawab. Tak ada Green Tea French Macaroon kesukaan
yang mampu ia sajikan. Sang wanita tua kalah telak, mesti mengakui kemampuannya
tak lagi seperti puluhan tahun lalu.
“Apa yang terjadi tujuh menit lagi?”
Langkah sang wanita muda tak dapat terhentikan. Antara pertaruhan
Macaroon dan kerinduan ibunya. Sejak awal, ia memang tak ingin tinggal. Takdir
menghadiahinya alibi. Tujuh menit tadi, biarlah menjadi dosa yang terus ia sesali.
***
Ditulis untuk proyek menulis dwi mingguan : Sisa Selasa
No comments:
Post a Comment