Pages

Sunday, May 10, 2015

Menjadi Pelanggan yang Manusiawi

Perlu saya katakan di awal, blog post berikut murni merupakan catatan dan sudut pandang saya, tanpa kepentingan untuk hal-hal tertentu lainnya.

“Never ruin an apology with an excuse.” - Benjamin Franklin

Hari Minggu, 10 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WIB, mengendarai mobil seorang diri, saya melewati perumahan Babatan Pantai Barat Surabaya. Jalan di perumahan tersebut memang tak begitu besar dan sepi. Hanya muat dua mobil berpapasan. Dari ujung jalan gang, hanya terlihat sebuah taksi yang berhenti di depan salah satu rumah di deret kiri. Ketika saya semakin mendekat, tampak taksi baru menurunkan penumpang (seorang wanita tua turun dari pintu bagian kiri, bukan pintu di sisi jalan). Baru beberapa meter - tentu saja dengan kecepatan rendah, karena di dalam perumahan - saya dikejutkan suara benturan yang cukup keras dari arah kiri. Spion kaca mobil saya tertangkup karena benturan, sehingga saya juga tidak bisa mengetahui persis apa yang terjadi di bagian kiri, sampai saya menoleh dan mencari tahu melalui jendela tengah bagian kiri. Ternyata seorang ibu penumpang taksi yang berhenti tadi membuka pintu dengan keras persis ketika mobil yang saya kendarai melaju di sebelahnya.

Jantung saya berdegup. Bukan karena amarah, tapi saya khawatir masalah ini akan panjang. Saya memutuskan untuk menepi di depan rumah seberang taksi berhenti. Saya beranjak turun, taksi menepi ke depan tempat saya parkir. Kami berempat bertemu : saya, sopir taksi, ibu penumpang, dan koko pemilik rumah seberang yang kebetulan melihat kejadian (saya tak sempat menanyakan namanya). Kami bertiga tidak saling berbicara pada awalnya. Saya dan supir taksi sama-sama sibuk mengecek kondisi kendaraan masing-masing, sedang ibu penumpang tak berbicara apa-apa, entah kaget atau merasa bersalah. Dengan benturan seperti itu, saya duga setidaknya akan menimbulkan penyok. Benar, bagian depan mobil saya sebelah kiri  melesak ke dalam plus beret cukup panjang tanda pintu yang terseret. Cat silver pun 'dihiasi' cat oranye dari warna taksi. Saya pun menegur si ibu, "Gimana sih, Bu. Buka pintu kok nggak lihat-lihat?" Sementara sang supir hanya diam, si ibu justru sempat menuduh saya mengebut. Merasa mengetahui kejadiannya, untunglah Koko pemilik rumah seberang membela saya dan mengatakan bahwa saya tidak mengebut. Hanya satu-dua percakapan setelah itu yang kami lontarkan. Kami bertiga terlihat sama-sama enggan berdebat. Sang supir taksi memutuskan untuk melaporkannya ke kantor taksi dan meminta petugas bagian laka untuk datang, mengingat taksi juga mengalami kerusakan di bagian pintu hingga tidak bisa ditutup sempurna. Ketimbang berdebat, saya percayakan saja pada bagaimana hasil investigasi petugas laka. Kedatangan petugas memang cukup lama. Sembari menunggu, saya ditanya-tanya oleh Koko seberang rumah tentang peristiwa tadi. Saya juga mencoba menghubungi orang rumah untuk datang.

Kami menunggu cukup lama. Saya memilih duduk di dalam mobil, sedangkan ibu penumpang dan supir memilih berdiri berjauhan di teduhan bayang rumah. Sang supir yang saya kira usianya sekitar awal dua puluhan beberapa kali bolak-balik dengan cemas mengecek telepon selulernya, begitu pun dengan saya dan ibu penumpang (wanita paruh baya). Beberapa menit kemudian, papa saya datang. Belum sempat saya bercerita tentang kejadian, Koko seberang rumah (selanjutnya saya sebut Koko saja) lah yang menjelaskan secara garis besar. Papa saya melihat kondisi mobil dan taksi. Melihat kondisinya, sudah jelas kesalahan dari ibu penumpang yang membuka pintu tanpa hati-hati, karena bekas benturan di tengah, bukan di bagian depan. Jika memang saya yang salah dan menabrak pintu, tentu saja benturan akan bertempat di depan. Papa saya langsung me-review peristiwa dan memberi argumen-argumen penyelesaian. Nada papa sempat agak meninggi pada ibu penumpang, cepat saja saya tenangkan untuk menunggu pihak laka taksi saja. Kami menunggu cukup lama. Untung Koko rajin mengajak kami bicara, sehingga suasana agak cair. Belakangan saya tahu kalau Koko cukup khawatir jika saya akan trauma menyetir. Hehehe.

Sebelum petugas laka datang, suami dari ibu penumpang datang bergabung. Cerita kembali di-review, diulang sebagai penjelasan. Sang suami hanya mengeluarkan satu-dua argumen, kemudian diam di sisa waktu. Petugas laka pun datang. Seorang bapak paruh baya berkulit gelap dengan kaus putih bergaris dan jaket hitam. Setelah mengetahui permasalahan lengkap dan kondisi kendaraan, dengan tenang ia menengahi. Dengan meminta maaf sebelumnya, intinya ia mengatakan bahwa sesungguhnya kejadian ini adalah salah ibu penumpang yang kurang berhati-hati : membuka pintu tanpa mengecek kondisi jalan. Meski begitu, karena berhubungan dengan taksinya, dengan bijak ia menawarkan solusi untuk 50-50. Total tanggungan biaya perbaikan dari kerusakan taksi dan mobil kami dibebankan ke dua pihak : supir taksi dan ibu penumpang. Solusi itu masuk akal menurut saya. Jika saya berada di sisi ibu, mungkin saya akan berinisiatif untuk membayar semua kerugian. Karena jelas itu merupakan kelalaiannya, meski ia berperan sebagai penumpang yang notabene menggunakan dan membayar ongkos taksi. Jika boleh ditambah dari sisi emosional, saya sungguh tak tega membiarkan mas supir taksi menanggung kerugian. Sikapnya cukup sopan dan sabar meski dalam tuduhan.

Perdebatan berpindah menjadi antara papa, petugas laka taksi, dan suami si ibu. Beberapa saat terakhir, ditambah Pak RT setempat yang turut bergabung. Ini menjadi agak lucu, sementara kami bertiga yang terlibat langsung sudah enggan berdebat. Meski sesekali muncul nada agak tinggi, tapi argumen-argumen yang saling dilontarkan cukup masuk akal (kecuali ketika suami ibu penumpang yang salah melogika hitungan 100%). Cukup lama, belum ada kata sepakat juga dari pihak taksi maupun ibu penumpang. Saya dan papa lebih banyak diam, karena kami hanya 'berperan' sebagai korban. Perdebatan semakin alot, Pak laka mulai terkikis kesabarannya. Mungkin merasa logika dan argumennya cukup jelas, namun belum bisa diterima oleh suami ibu penumpang. Pak laka menawarkan untuk membawa masalah ini ke pihak kepolisian saja, jika memang tak kunjung ada kesepakatan. Kami semua bersedia, terkecuali suami sang ibu. Dengan berbagai tawar-menawar kembali, akhirnya kami sepakat untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan dan berapa biaya yang mesti ditanggung ke bengkel terdekat.

Kami sempat mengira perdebatan akan berakhir. Nyatanya bahkan ketika di bengkel pun sang suami ibu penumpang masih saja tak terima jika ia mesti menanggung biaya (menurut kami, biaya itu tak terlalu besar, bahkan tidak sampai menyentuh tujuh digit angka). Merasa iba dengan mas supir, papa sudah menawarkan urunan biaya (meski kami korban) untuk perbaikan mobil kami. Suami sang ibu masih kukuh dan memilih diam tak memberi penyelesaian. Kesabaran sudah dituntut ke titik maksimal, kami memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini di kantor polisi. Setelah didesak untuk kesekian kalinya dengan susah payah luar biasa, akhirnya suami sang ibu memutuskan untuk menanggung kerugian (tidak penuh, karena berbagi dengan mas supir taksi dan papa saya).

Lalu, apa intinya saya panjang-lebar berkisah tentang kejadian yang mungkin tidak terlalu penting ini? Ialah Bapak petugas laka O-renz taksi bernama Junaidi ini lah yang saya mesti beri jempol. Di saat bersamaan, ia bisa mengontrol kondisi pembicaraan agar kondusif, menenangkan supir taksi, berargumen secara sopan, melihat masalah secara berimbang dan tetap menghargai penumpang (meski saya tahu ia sudah sangat geregetan). Ia pun tidak serta merta menumpukan kesalahan pada supir taksi maupun sang ibu penumpang. Sementara saya juga mesti mengapresiasi Mas Joko Bagus P, supir taksi O-renz dengan nomor lambung taksi CA 109 yang begitu bersabar dengan keputusan dan berbesar hati turut mengganti kerugian. Ketika saya dan papa beranjak pulang, Pak Junaidi dan Mas Joko masih mengantar kami dan meminta maaf untuk kejadian ini sembari menangkupkan kedua tangan. Secara personal, saya berterimakasih pada mereka. Untuk berbesar hati mengalah dan bersabar.

Inti sikap mengakui kesalahan dan berbesar hati, bertanggung jawab dan bijak menjawab, berani mengucap maaf dan mengatakan apa adanya mudah-mudahan tak sekadar berakhir pada kalimat buku kewarganegaraan ketika SD belaka. Ini juga seperti kesempatan untuk mengoreksi diri. Apa selama ini saya sudah menjadi pelanggan yang manusiawi?  


Sebuah catatan pribadi di kelas kewarganegaraan yang berbeda,

Nabila Budayana    


No comments:

Post a Comment