Terlalu cepat menghakimi bahwa Grote Markt akan selalu penuh dengan hasrat dan langkah-langkah
untuk berbelanja. Terlalu cepat menyangka bahwa waktu selalu cepat berlalu saat
menyusuri sepanjang kawasan Meir.
Seorang wanita tua dengan coat gelap itu memandang langit krem
yang tak menghadirkan warna biru pada ruangnya. Dengan langkah yang perlahan ia
mencoba menyeimbangkan diri dengan tongkat di tangan. Sudah beberapa hari ini
kepalanya mengalami pusing kambuhan. Cukup membuatnya heran, karena selain
kakinya yang mengalami rematik, sepengetahuannya bagian tubuh lain masih dalam
kondisi yang baik. Angin kecil memainkan rambut putihnya yang bergelombang. Langkah-langkah
tertatihnya akhirnya mengantarkannya pada lorong-lorong di antara bangunan tua
yang sudah diatur indah. Tak salah Antwerpen dipilih sebagai salah satu kota
dengan arsitektur bangunan tua yang terindah di dunia, dengan mengadopsi gaya
Baroque dan Gothic abad ke-16. Diam-diam di balik senyumnya, juga di dalam
hatinya, sang wanita tua merasa haru dengan apa yang dipandang oleh matanya,
masih sama seperti di dalam ingatan saat ia tertegun lama memandang gerbang Antwerpen
Centraal, stasiun kereta utama di kota ini. Dalam kepalanya ia berpikir, jika ini menjadi
pemandangan terakhir yang ia saksikan di dunia, ia tak akan menyesal. Begitulah.
Akhir-akhir ini, segala hal nyaris terasa ‘menjadi yang terakhir’ baginya. Usia
dan waktu yang tak pernah berhenti berlari, alasannya.
Tak ia sangka sebegitu cepat
kakinya membawa. Meski selalu mengatakan bahwa ia masih kuat, namun usia tak
bisa dibohongi. Kakinya sudah sangat lelah, meski tak ada keringat yang
membasahi tubuh. Rasanya tak ada salahnya berhenti sejenak. Pandangannya
menangkap kursi-kursi kosong yang tak bicara dan payung-payung besar yang
berharap untuk dibuka di sebuah pelataran restoran. Tempat itu nampaknya sepi
pengunjung. Sebagian besar pelanggannya sedang menyaksikan festival di tepi
sungai Scheldt. Dengan perlahan dan tenang, ia meletakkan dirinya pada kursi.
Tongkat berharganya ia sandarkan dengan hati-hati. Seorang pramuniaga
menyapanya dengan hangat. Menanyakan pesanan dan merekomendasikan macam-macam.
Seakan ia mengerti bahwa itu adalah pertama kalinya sang wanita tua berkunjung.
Namun sang wanita tua hanya meminta secangkir cokelat dan sepotong brownies
untuk dirinya. Pelayan muda itu hanya mengerutkan kening sesaat sebelum
mengiyakan dan bergegas ke dalam restoran. Sang wanita tua sadar betul,
menunggu di sini tak akan pernah sanggup membuatnya bosan. Arsitektur memikat,
langit yang kelabu menuju sendu, orang-orang yang tak peduli, membuatnya merasakan
hawa yang berbeda. Yang dingin, namun membuatnya selalu rindu.
Kenangan-kenangan selalu berhasil hidup kembali pada kepalanya dalam situasi
begini.
***
Karena sesaat terpikat dengan
bunga-bunga yang dijual di sebuah toko bunga, membawa sang wanita berbincang
dan mengobrol singkat dengan seorang perempuan imigran Maroko berjilbab yang
sedang bekerja paruh waktu. Kenangan itu menjadi menarik karena sang wanita
Maroko yang tak sempat ia tanyakan namanya itu menyapanya dengan
“Assalamualaikum” begitu ia mengetahui bahwa ia berasal dari Indonesia.
Perempuan paruh baya itu sangat ramah dan hangat. Ia bertanya tentang beberapa
hal, termasuk apa yang membawa seorang wanita tua seorang diri dari sebuah
negara tropis di tenggara Asia menuju ke kota kecil di utara Belgia. Mendengar
itu, perempuan berjilbab itu menitikkan air mata mendengarkan sang wanita tua
bercerita. Ia bahkan memohon maaf membuat sang wanita mesti melihatnya menangis
di depan orang yang pertama kali ditemuinya. Mereka berpelukan tanpa
direncanakan. Entah karena sama-sama perempuan, atau sang wanita berjilbab yang
merasa memiliki keterikatan khusus dengan Indonesia. Namun pilihan yang paling
mendekati kebenaran adalah alasan yang tak memerlukan kata untuk ditunjukkan :
Rasa kemanusiaan yang terusik. Perempuan berjilbab itu belum rela membiarkan
sang wanita tua berjalan sendirian meski sang wanita berkeras baik-baik saja. Sang
perempuan berjilbab menuntun dan menggandengnya dengan sangat lembut dan halus.
Sang wanita berkata ingin mengunjungi suatu tempat. Sepanjang jalan, tak banyak
kata terlontar dari mereka. Hanya sepoi angin dan keramaian kecil sekitar yang
membuat perjalanan itu tak secanggung yang sesungguhnya. Hingga akhirnya
langkah mereka melambat ketika sebuah bangunan dengan tanda salib di atas salah
satu menaranya tampak. Onze Lieve Vrouwekathedraal. Sang wanita tua melangkah
masuk setelah memandang takzim apa yang ada di hadapannya. Sang wanita berdoa
begitu lama di depan altar, dalam hening. Sang perempuan berjilbab menatapnya
dari kejauhan.
Tak lama, wanita tua itu kembali
dengan mata yang menyilaukan seberkas basah. Katanya, tadi adalah pertemuan
besarnya, setelah sekian tahun lamanya. Ia sudah lama melupakan Tuhan. Namun
kini ia kembali mengirimkan doa. Tuhan ada di dalam sana, katanya. Sang
perempuan berjilbab diam-diam memuji nama Tuhan di dalam hatinya. Kembali tak
ada kata yang tersisa selama perjalanan berikutnya. Selain sang wanita tua yang
mengeluh tentang kepala dan kakinya yang sakit beberapa kali, mereka dirundung
hening. Kali ini sang wanita tua yang memimpin perjalanan. Beberapa kali ia
menatap pada keramaian. Seakan ia melihat sesuatu yang penting di sana.
Perempuan Maroko itu bertanya-tanya, apa ia kesepian? Mereka terus berjalan
hingga akhirnya tiba di sepanjang jalan Meir. Wanita itu bilang ia ingin
sendiri, dan mengucapkan salam perpisahan pada sang perempuan berjilbab.
Setelah berdebat kecil, sang perempuan mengalah dan meninggalkannya. Namun
diam-diam di balik tikungan, ia masih mengawasi apa yang dilakukan sang wanita.
Dengan tersenyum, wanita tua itu nampak menikmati musik dari seorang seniman jalanan
tua yang sedang memainkan akordion.
Tanya masih menyelimuti sang
perempuan berjilbab. Ketika mengedipkan mata ke dua kali, ia sudah tak melihat
hal yang sama. Justru di tempat yang sama, seorang wanita muda berkulit gelap
yang cantik, dengan rambut bergelombang, persis milik sang wanita tua, sedang
berputar dan menari. Gaun yang melekat di tubuhnya melambai sesuai dengan irama
musik. Tarian itu diiringi irama ceria dari tangan seorang pemuda pemain
akordion berkulit putih. Saat musik berhenti, mereka berdua saling bertatapan
dan menggenggam tangan. Ketika perempuan itu mengedipkan mata kembali, wanita
tua itu telah menyatukan tangan dengan sang pria tua pemain akordion.
Perempuan berjilbab itu berjalan
pergi dengan mata yang dihiasi seberkas basah, dan rapalan nama Tuhan di dalam
hatinya. Wanita tua itu benar-benar membuktikan perkataannya : “Mencari
kenangan sebelum akhir datang.”
No comments:
Post a Comment