“Harus kukutuk ia menjadi apa?”
Sang wanita tua berpandangan
dingin yang biasanya selalu tenang itu merasa kebingungan. Selama ini ia sudah
menggunakan berbagai jenis binatang untuk mengutuk orang lain. Sebutkan saja,
kucing, anjing, lebah, burung, dan lain sebagainya. Meski beberapa dari itu
adalah binatang yang lucu, namun tak ada yang lebih menyedihkan selain menjadi
wujud berbeda dari si pemilik raga sempurna, manusia. Sungguh rasanya tak
begitu nyaman terbiasa menjejak tanah dengan dua kaki kemudian dipaksa untuk mendekatkan
wajah pada tanah dan berdiri pada empat kaki. Bahkan menjadikan kedua tangan
sebagai sayap bukanlah hal mudah. Jika kau melihat burung-burung yang terseok
untuk mencoba terbang, bisa jadi mereka adalah manusia hasil kutukan wanita
berpandangan dingin. Wanita itu tak pernah melakukan kutukan karena diminta. Ia
melakukan sesuai keinginannya sendiri. Bisa saja karena ia begitu iba menyaksikan
seorang wanita tua yang ditelantarkan putranya. Pernah pula ia melakukannya
karena tak tahan melihat seorang wanita korban kejahatan. Kali ini ia tergerak
oleh seorang wanita paruh baya sepantaran dirinya yang sakit hati dan nyaris
gila karena mengalami penyiksaan dari sang suami. Semua yang dikutuknya adalah
laki-laki. Negeri ini sungguh serupa dengan negeri dongeng yang sering mereka
sebut sebagai Dunia. Penuh kejahatan dan penyiksaan.
Kali ini ia mesti berpikir.
Binatang apa yang belum pernah ia gunakan sebagai objek kutukan. Dikelilinginya
segala sudut negeri, mencari hewan apa yang tepat untuk ia gunakan. Saat pulang
dan berpikir di beranda rumahnya, seorang gadis mungil bermata indah dengan riang
berlari kecil menuju sang wanita. Sebuah buku bersampul cerah ia apit di lengan
kanannya.
“Mengapa kau bawa-bawa itu?”
“Saat membaca di bawah pohon
tadi, ia tiba-tiba datang menghampiriku.” mata gadis itu melebar.
Di belakangnya, seekor rusa
sedang mengikutinya dengan takut-takut. Tanduknya yang bercabang nampak gagah, ada
bintik putih di atas bulu lembut kemerahan dan keunguannya, juga mata sayu yang
berhasil membujuk sang gadis agar tak mengusirnya. Nampaknya ia tertarik dengan
rok motif polkadot yang dikenakan si gadis. Mungkin bulatan-bulatan ungu itu
dianggapnya permen. Sang gadis tak mampu menyembunyikan rasa gembira di balik
cemberut yang dibuat-buat. Sang wanita berpandangan dingin itu sangat mengerti
apa yang gadis kecil itu inginkan.
“Bolehkah aku merawatnya?”
“Tidak. Dan kau tahu itu.”
Betapa kecewa sang gadis kecil
dengan keputusan sang wanita berpandangan dingin. Meski begitu, ia tak mampu
menolaknya. Rusa itu bergeming dan terus menatap ke jendela rumah di mana sang
gadis kecil berada. Diam-diam, sang wanita berpandangan dingin menatap lurus
pada rusa itu.
***
Gadis itu telah diubah masa.
Meski tak pernah berlaku hitungan waktu di sini, namun ia mengerti bahwa ia
bukan lagi si gadis kecil rok polkadot yang senang membaca buku di bawah pohon.
Di sela rambut kepang besarnya yang merah keunguan itu, tanduk yang bercabang
dan megah menghiasi kepalanya. Matanya memancarkan cahaya berbeda. Sendu dan
sayu, seperti mata rusa. Ia pun tak lagi bertemu dengan siapapun semenjak ia berada
di negeri ini. Negeri di mana cahaya tak pernah habis, dengan matahari yang tak
pernah tenggelam. Seluruh penghuninya tak pernah mengenal langit malam yang
kelam. Nama tempat ini Negeri Cahaya. Tempat di mana bunga matahari merajai
setiap sudut. Masing-masing mereka tumbuh dari benih dan mendewasa dalam waktu
yang singkat. Hingga akhirnya menjadi sebuah bunga matahari dengan tangan dan
kaki seukuran anak-anak manusia. Mereka tertawa, berlari, bermain, bercanda,
apa saja. Namun belakangan bunga-bunga itu menjadi suram dan berbeda.
Mereka semua terdiam dan menundukkan kelopak ketika seorang wanita melintas. Langkahnya
seanggun dan selembut angin sepoi. Bunga matahari kecil yang cerewet dan banyak
bertanya merasa terpesona oleh sang wanita.
“Siapa ia?” ucapnya berbisik
ketika sang wanita sudah menghilang.
“Peri Bertanduk Rusa.”
“Aku ingin bicara dengannya.”
“Gila kau! Kau tahu kan, negeri
ini menjadi suram sejak kedatangannya? Tak ada yang berani dengannya.”
Bunga matahari kecil itu menggerakkan
kelopaknya.
***
Dengan suara mencicit dan
keberanian penuh, bunga matahari kecil itu menatap mata sang peri.
Peri Bertanduk Rusa menatap benar
sang bunga kecil. Meski mengetahui setiap hal yang terjadi di negeri ini, sang
peri belum pernah mendapat perlakuan dari sekuntum bunga yang berani.
“Darimana kau berasal? Mengapa
kau ada di negeri kami?”
Sang peri dengan wajah yang
tenang, diam sejenak sebelum memulai ceritanya.
“Di negeriku, kutukan yang
diciptakan ibu tak sempurna dan kembali padaku. Aku mesti menanggung takdir
menjadi manusia setengah rusa. Ibuku tewas diadili oleh para laki-laki yang
merasa terancam dengan keberadaannya. Seorang diri aku diasingkan di negeri
ini. Meski tak melakukan kesalahan apapun, namun aku yang mesti menanggung akibatnya.
Sesungguhnya, aku ingin kembali ke negeriku.”
Sang Peri Bertanduk Rusa dengan
tenang mengakhiri kisahnya.
“Lalu, mengapa semua bunga takut
padamu?”
Kali ini peri itu tak kembali
menjawab. Ia hanya tersenyum.
***
Negeri Cahaya berjalan seperti
biasa, setelah lama mereka mendapat pahlawan : si bunga matahari kecil yang
banyak bertanya. Bunga matahari pencerita berkisah pada bunga matahari muda.
“Apa jadinya dengan si cerewet
itu?”
“Ia memang penuh rasa ingin tahu.
Namun ia lupa. Bunga matahari selalu menjadi menu santapan favorit para rusa.”
“Kalau begitu, ia bukan pahlawan.
Semestinya peri itu masih ada di negeri ini, kan?”
“Tidak. Ia memang pahlawan. Peri
itu juga lupa. Kita memiliki bulu-bulu tajam pada permukaan tubuh sebagai senjata.
Mereka berdua mati.”
“Lalu bagaimana dengan negeri
asal sang peri?”
Bunga pencerita berpikir sejenak.
“Kini, di negeri itu tak ada lagi
rusa dan wanita.”
***
No comments:
Post a Comment