Pages

Saturday, February 6, 2016

Kampus Fiksi 15

"Sudah tahu, ya?"

Itu pertanyaan seorang teman suatu kali ketika kami berdiskusi tentang menulis beberapa kali. Ia curiga saya sudah mengerti apa yang ia katakan karena ia tahu, dulu saya sering keluar-masuk workshop/seminar. Merasa semakin pintar? Tidak. Merasa sebaliknya, hampir selalu pasti. Materi mungkin serupa. Namun sudut pandang memang wujud yang tak pernah kering, tak pernah habis dipelajari. Untuk apa saja, termasuk kemampuan menulis kreatif.

Saya juga sering bertanya-tanya pada diri sendiri. Kapan saya akan berhenti keluar-masuk workshop/seminar menulis? Jenuh, karena tak cukup membuat saya konsisten menghidupi motivasi diri, namun juga terlalu merasa sayang melewatkannya lalu begitu saja. Jadi, saya juga sering bertanya, mengangguk-angguk, merenungkan dan mencatat apa saja yang diterima, namun begitu saja mengabaikan dengan berbagai alasan, beberapa waktu kemudian. Bebal.

Tidak terbersit apa-apa ketika saya iseng saja mengirimkan cerita pendek untuk seleksi Kampus Fiksi. Sama seperti sayembara-sayembara lainnya, saya tidak berharap apa-apa. Ternyata semesta menjawab ke-setengahhati-an yang saja ajukan. Mungkin Tuhan menganggap api saya sudah terlalu kecil untuk memasak. Perlu ditambahkan minyak lagi agar baranya menyala, setidaknya cukup untuk penerangan beberapa langkah ke depan.

Pada akhirnya saya senang. Kampus Fiksi cukup kuat memberi alasan pada diri saya untuk kembali ke Jogjakarta setelah sekian lama. Ada teguran untuk janji-janji berkunjung yang belum ditepati, dan tentu saja utang kepada diri sendiri untuk kembali menemui kota ini.

Penyakit terlalu 'normatif' saya memang agak akut. Norma saya seperti janji yang sudah lama untuk diri sendiri. Menjejak Jogjakarta di menit-menit awal, saya bertekad mesti melepas rindu pada gang kecil Sosrowijayan terlebih dulu. Saya berutang banyak pada tempat itu sebagai setting cerpen dan iming-iming teman-teman yang memancing saya untuk kembali.

"Cari penginapan?" supir becak bertanya kesekian kalinya.
Saya menggeleng. "Mau ke toko buku, Pak."

Dengan beban barang bawaan yang lumayan, roda-roda kecil tas saya menyusuri jalan kecil gang Sosrowijayan. Sepertinya bookshop di sana sudah bertambah beberapa dibanding kunjungan saya terakhir kali. Boomerang memang selalu saya wajibkan. Tapi tidak ada salahnya menjajal toko-toko lainnya. Tuhan tidak membiarkan saya melakukan dosa terlalu lama, rupanya. Dosa karena sebegitu mudahnya mengurangi jumlah pundi-pundi, dan selisih paham dengan tim Diva Press perkara penjemputan. Tapi ini murni saya yang nakal. Memindah tempat penjemputan seenak hati demi nazar yang menuntut dipenuhi. Hanya beberapa menit saja sempat menyisipkan Ben Okri, Ishiguro dan Eric Siblin ke dalam tas, saya kemudian menggeret roda-roda tas kembali ke ujung gang yang berlawanan untuk tempat penjemputan baru yang sudah diatur ulang. Dosa lainnya, saya salah ambil posisi, dan membuat repot lebih lagi dengan mesti berjalan menuju mobil jemputan yang berhenti di ujung jalan. Bawaan saya yang berat dibantu bawakan oleh laki-laki muda yang belakangan saya tahu seorang penghobi jalan kaki. Belum lagi membiarkan pengemudi yang untungnya, sabar dan riang menunggu. Benar-benar tak enak hati.

Bahkan tak sempat lama saya memperhatikan wajah gadis yang menyambut saya di bangku penumpang. Sedikit-sedikit pandangan ia tundukkan dengan wajah memerah. Ia tak banyak bicara dan hanya menjawab sekenanya jika ditanya. Saya kira, ia tak suka dengan orang baru. Maka kami tak banyak bicara, hanya saya saja yang lebih banyak bertanya pada laki-laki pejalan kaki dan pengemudi riang hati di bangku depan. Melihat bagaimana mereka sebegitu mudahnya membagikan rasa percaya dan keramahtamahan yang tak dibuat-buat, saya tahu ini sudah bukan hal baru bagi mereka. Kami kemudian menunggu di depan Lempuyangan untuk menunggu yang lainnya. Seorang demi seorang datang. Perempuan dengan riasan lengkap serta laki-laki humoris yang mengalah dengan duduk di bangku paling belakang. Perjalanan tidak berlalu kaku, selalu tersedia banyak bahan obrolan untuk sebuah perkenalan.

Kami dituntut cepat untuk menyesuaikan diri dengan tempat baru. Sebuah gedung di Bantul mengumpulkan banyak orang di satu atap. Jelas, saya satu kamar dengan gadis pemalu dan perempuan riasan lengkap. Dalam beberapa menit, itu hanya menjadi prasangka awal saja. Gadis itu tak pemalu, fisiknya hanya terlalu sensitif bereaksi ketika terpapar matahari berlebihan, membuatnya tak enak badan. Perempuan dengan riasan lengkap itu pemecah kebekuan. Apa adanya dirinya membuat hangat. Kami kemudian cepat akrab dan berinisiatif berjalan sore menuju swalayan yang kami kira hanya di ujung jalan. Nyatanya lebih dari satu kilometer bolak-balik berjalan kaki. Meski cukup menyesal berjalan jauh, tapi kami melihat hal-hal lokal yang kami sadari sudah bukan hal biasa untuk kami. Anak-anak kecil bermain bola ketimbang gadget, atau beberapa pria-pria tua yang menatapi papan catur dengan serius di beranda rumah tak bersekat, seakan mengundang siapa saja untuk bergabung. Kami, nyatanya, terlalu merasa modern untuk menganggap hal-hal itu kebiasaan. Padahal, sesungguhnya, kami hanya dikecoh arus serba materi.

Kembali ke gedung, kami menemukan lebih banyak lagi orang. Saya terus-terusan gagal mengingat nama beberapa detik setelah bersalaman, menyalahkan kepayahan ingatan. Kami berjubel di salah satu kamar. Seorang perempuan dengan tatapan tajam, perempuan dengan rambut tergerai dan gadis berkacamata pendiam yang tampak berhati-hati membaca keadaan. Juga seorang perempuan manis dengan ayu khas wanita Jawa, calon ibu muda yang matang. Saya kemudian tak ingat apa yang kami semua bicarakan. Mungkin tentang kamar mandi, makan malam, atau pengaturan posisi tidur. Entah. Tapi riuhnya luar biasa. Meski sama-sama mengenal Surabaya, saya sesungguhnya agak segan berbincang dengan perempuan tatapan tajam. Bahkan saya menebak, hingga akhir program, saya tak akan cukup banyak berinteraksi dengannya. Nyatanya, saya tahu dia perempuan dengan keteguhan luar biasa, jujur dan percaya dengan nilai dirinya sendiri. Impresif.

Perkenalan yang dituntut singkat dan cepat, belum sempat membuat kami menjadi dekat. Namun pembukaan mesti segera dimulai. Sebisanya, saya mengais-ngais mata untuk mencocokkan nama di papan nama masing-masing dengan wajah-wajah baru. Kepayahan saya semakin menjadi-jadi. Pasrah saja, akan menghapal seiring dengan jalannya waktu, hibur diri sendiri. Posisi yang cukup dekat dengan pemateri membuat saya gembira. Maklum, mata buram dan seringkali lemot jika tak mendapat greget suasana. Saya belum sempat berbincang sedikit pun dengan perempuan easy-going di sebelah kiri. Rambutnya yang selalu terkuncir rendah dengan pembawaan santai dan apa adanya itu menarik. Juga pandai memposisikan diri, saya kira ia jagoan, dan membuat karakternya dengan mudah menonjol di antara yang lain. Sesekali ketika melirik pada mejanya, catatannya tak penuh poin, justru sarat ornamen hiasan. Ia penggambar ulung. Arsitek. Dan bukan perempuan dandan. Ia menarik karena apa adanya dirinya. Bebas berteriak, bahkan mengucapkan ungkapan persahabatan yang kasar. Itu caranya sendiri, dan kami tak pernah tersinggung untuk itu. Saya tak banyak berbicara hingga akhir dengan gadis mungil di sebelah kanan. Bahkan saya agak segan memancing pembicaraan, karena sepertinya ia sungguh-sungguh mengikuti panel. Nanti saya akan berbicara kembali dengannya, itu selalu dalam tekad saya. Tapi nyatanya kami tak banyak bersinggungan, selain duduk bersebelahan. Tak apa. Masih ada lain kali.

Setelah setahun berlalu, saya melihat beliau, sang empunya acara, pria yang menjadikan pertemuan-pertemuan dan memfasilitasi apa saja yang semua orang butuhkan selama acara berlangsung. Saya jadi ingat, saya menanyakan tentang internalisasi tokoh padanya terakhir kali di Surabaya. Masih dengan senyum yang membumi, namun dalam secara filosofi. Kemampuan berbicaranya tetap menarik untuk diikuti. Tak ingin membuat ekspektasi kami terbang terlalu tinggi, beliau menceritakan tentang pahitnya dunia kepenulisan yang akan kami tempuhi. Bukan untuk menjatuhkan, namun sekadar memaparkan kenyataan. Belum habis, kami diminta untuk membuat rancangan cerita pendek kemudian. Katanya, untuk bekal menulis selama tiga jam keesokan hari.    

Jam-jam pertama selalu jadi ruang penyesuaian. Malam itu, masalah dimulai. kamar yang terlalu kecil untuk sekian perempuan, cukup membuat repot. Barang bawaan yang bergeletakan, juga salah satu dari masalah setelah berebut giliran menggunakan kamar mandi. Perempuan dengan rambut tergerai yang santai di atas tempat tidur sejak tadi cukup membuat saya penasaran. Ada nada santai dalam setiap caranya berbicara. Namun saat-saat diamnya justru menimbulkan pertanyaan. Apa itu tentang hidup, pekerjaan, atau menilai perbincangan? Tak banyak yang bisa saya katakan tentang dirinya. Belakangan, kami tahu ia berkarir di sebuah penerbitan dan susah mendapat jadwal libur.

Kami tidur dengan pembagian yang seadanya. Beberapa mengalah memilih tidur di aula ketimbang mesti berdesakan di dalam kamar. Sisanya, termasuk saya, teguh mempertahankan slot. Maklum, saya sulit untuk tidur dengan ruang cenderung terbuka. Memilih untuk berhimpitan dengan perempuan tatapan tajam, perempuan rambut tergerai, juga perempuan riasan lengkap. Claustrophobia mesti diredam, karena butuh beberapa saat untuk bisa menerima tidur dengan lampu yang dimatikan. Sedikit terasa sesak di awal, tapi kemudian cukup terbiasa. Yang berhasil membuat saya lelap hanya lelah sisa menempuh perjalanan sepanjang pagi dan siang.

Mengingatkan tujuan sesungguhnya kami datang, program disusun beruntun dan padat di hari ke dua. Beliau, sang empunya acara hadir kembali dengan materi yang berbeda. Teknik kepenulisan secara umum, juga dengan pernik kisah pengalaman yang menarik untuk diikuti. Bukan sebentar kami mesti menyimak, namun jalan menyenangkan dalam penyampaian selalu berhasil menarik perhatian kembali. Seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan, calon-calon penulis ini dibekali dengan materi self edit yang begitu sering kami abaikan setelah proses menulis usai. Perempuan editor mungil dengan gaya bertutur tegas, cepat, membuat kami mesti pasang fokus lebih. Tak meremehkan proses koreksi ulang patut dimasukkan daftar penting untuk menjadi seorang penulis. Bentuk penghargaan pada pembaca, meski hanya seorang pembaca pertama. Seperti menawarkan diri, kami akan dinilai berdasar karya yang kami tuliskan. Self edit menempati posisi penting dari rangkaian proses lahirnya sebuah karya.

Jam-jam istirahat bukannya berlalu tanpa pelajaran apa-apa. Sembari mengudap makan siang, kami mengobrol, mencari tahu, mendengar, berkisah tentang latar belakang hidup satu sama lain. Mencari kesamaan, belajar dari perbedaan. Seakan kami dihantui waktu bahwa hari hanya tersisa esok, dan belum saling mengenal adalah momok menakutkan. Saya mulai berbincang langsung dengan perempuan-perempuan muda di kamar yang berbeda. Mereka adalah karakter-karakter yang nyaris bertolak belakang dengan populasi kamar sebelumnya. Ada ketenangan yang lebih mengambang, dibarengi kedekatan yang seakan terbangun tanpa perlu berkata. Ekspresi datar dari wajah manis awal dua puluhan itu yang membuat saya selalu merasa kesusahan menilai apa yang ia bicarakan yang sebenarnya atau hanya sebuah canda. Ia seakan memiliki dunia sendiri dan ketakacuhan terhadap apa yang tak ia yakini. Pun, tak sebegitu mudahnya mengekspresikan kepanikan atau kemarahan. Kemudian perempuan jangkung manis dengan satu-dua kata yang tak mudah ditebak apa yang dipikirkannya. Aksen Sunda membuatnya mudah diingat. Lain lagi, perempuan super mungil yang dewasa dan tenang menyikapi pembicaraan. Jiwa baru yang sedang berkembang dalam rahimnya tak membuat ia kesusahan dan membatasi diri. Bahkan ia belum mengidam apa-apa, hanya mampu makan sedikit-sedikit setiap kali. Mengesankan. Gadis kecil lain menonjol karena berbeda dari wujud fisik kami kebanyakan. Masih di usia belia, meski terlihat imut, namun ia cukup dewasa memposisikan diri. Tanpa perlu berusaha keras, bahkan kami sudah mampu menyayanginya sebagai adik terkecil kami.

Saya sudah curiga dengan perempuan rapi yang cenderung pendiam di antara obrolan candaan kami. Saya kira ia agak angkuh di awal. Ternyata ia hanya telah melewati masanya. Ibu muda dua anak yang tenang dan dewasa. Karakter berbeda saya dapatkan dari seorang perempuan berkacamata. Ekspresinya jelas, seakan mudah dibaca. Amarahnya hanya sebentuk humor untuk membuat cair suasana. Manis. Perempuan menyenangkan berikutnya salah satu favorit saya. Apa adanya, khas wanita Jawa, namun saya percaya beberapa tahun ke depan kedewasaannya akan mengesankan. Sangat perhatian dan kerap membagikannya melalui hal-hal kecil. Ia tak ingin selalu menjadi jagoan, namun punya kebesaran hati untuk menjadikan orang lain sebagai jagoan. Impresif.

Terbiasa menulis secara bebas, tanpa batasan waktu, membuat saya cukup kewalahan dengan tiga jam target selesai sebuah cerita pendek. Diam-diam saya bersyukur setidaknya telah membuat coretan awal rancang adegan sembari menyesap teh pagi. Tapi saya tetap merasa goyah. Ada pernik yang mesti didapatkan dengan riset kecil-kecilan. Sesuai dugaan, menulis penuh selama tiga jam memang tak mudah. Seperti maraton, saya sering kehabisan napas. Namun melihat bara semangat teman-teman yang lain, ada harapan yang terus dipacu. Perempuan arsitek di sebelah saya selalu berhasil menjadi teman menghilangkan kejenuhan. Ide-ide humornya gila dan out of the box. Sedikit-banyak saya jadi bertanya-tanya, apa inti karakternya. Yang paling ceria biasanya justru yang paling menyembunyikan kedalaman yang tak terlihat. Ia dengan tulus meminjamkan modem untuk saya sekadar menelusur informasi tentang pesawat tempur atau warna garis test-pack. Kami berhasil menyelesaikan tugas persis ketika tutor kami, seorang wanita penyuka jalan-jalan dan pelaku pola makan sehat menyodorkan flashdisk, meminta hasil. Perempuan ini juga menarik. Ia bagai sebuah jendela kecil dengan tirai motif bunga sederhana. Santai, tak membangun benteng apa-apa dalam bersosialisasi. Menyambut hangat siapa saja yang ingin menyapa, tanpa menumbuhkan keseganan.   

Sejalan dengan waktu-waktu santai yang diberikan, karakter-karakter peserta berikutnya semakin membuat penasaran. Lebih jangkung di antara yang lain, perempuan itu tampak malu-malu. Tak cukup banyak menyahut ketika obrolan-obrolan dilakukan. Kami hanya berpapasan sesekali ketika mengambil air minum atau di lorong kamar mandi. Tak banyak yang bisa kisahkan tentangnya, namun ia selalu mengundang tanya. Dua karakter terakhir laki-laki. Nyentrik secara penampilan, khas seniman Jogja. Merasa kecakapannya lebih banyak dalam meliukkan kata-kata, bukan dalam prosa. Sedang yang terakhir ala anak laki-laki polos yang tak berprasangka apa-apa. Ia sedang dalam fase awal perjalanan membaca dunia, dan memahami kehidupan. Seringkali keluguan yang ia tampilkan jadi bahan bercandaan. 

Tak ada yang bisa menolak senang-senang. Berhimpitan dalam beberapa mobil, kami semua menuju tengah kota untuk bergabung dengan keramaian gemerlap malam minggu. Sayang, tak banyak yang mampu kami lakukan dan lihat dengan keramaian yang keterlaluan. Tapi mungkin memang bukan itu yang kami cari. Kami hanya perlu waktu santai bersama. Menikmati saat sebelum kembali ke kehidupan masing-masing. Sesekali menepis kenyataan bahwa momen yang sama tak akan bisa diulang. 

Hari terakhir pun masih dipenuhi jadwal belajar. Membangun pengetahuan tentang keredaksian dan marketing yang memang semestinya diketahui seorang penulis. Bagian menegangkan berikutnya adalah mesti menerima komentar terhadap cerpen yang telah dituliskan sebelumnya. Ada beberapa kekhawatiran melesetnya ekspektasi yang berujung pada mempertanyakan kemampuan diri. Namun ternyata bisa kami lalui tanpa terlalu mengecewakan. 

Saya mengutuk diri sendiri ketika tahu bahwa  saya alpa mengecek rundown acara sebelum berangkat menuju Jogja. Barulah perempuan dengan riasan lengkap yang mengatakan bahwa bintang tamu untuk sesi panel cerpen koran adalah salah satu sastrawan favorit saya. Namun ini sekaligus menjadi jalan menyenangkan bagi saya. Sempat menjadi sesama kontributor di sebuah media online yang sama, saya bahkan tak cukup berani untuk menyapa beliau secara personal. Tertinggal acara peluncuran bukunya di Surabaya, saya juga cukup menyesal. Namun itu terbayar melalui Kampus Fiksi. Mampu mendengar berbagai pengalaman dan perjuangan beliau menyelami dunia sastra Indonesia, sangat menarik. Belum lagi keterbukaan dan kejujuran yang disampaikan. Sangat impresif. 

Satu per satu langkah-langkah kami diantar kembali ke asal. Mulai malam hingga sore hari keesokan harinya, semua peserta kembali menyusur berkilo-kilo jalan dengan menyimpan kenangan dalam kepala. Pada akhirnya, untuk saya, Kampus Fiksi bukan hanya ruang belajar, namun juga wadah pertemuan. Bukankah terlalu naif dengan menganggap semua adalah teman baik dalam waktu sekejap? Kami toh bukannya telah melalui kesusahan saling membahu menyeberangi sungai berarus deras atau mendaki gunung dengan kelaparan berhari-hari. Kami berkumpul dengan serba tercukupi. Apakah bisa disebut sebagai teman baik hanya karena ditakdirkan berinteraksi dalam satu atap selama tiga hari penuh? Tapi Kampus Fiksi menciptakan harapannya, benihnya. Semua berbalik pada keinginan untuk memupuk, memelihara dan memperjuangkannya. Selalu ada rasa-rasa yang tak terdefinisi yang membuat kami sejauh ini saling merindukan pertemuan kembali. Jika suatu saat itu berubah, kami mungkin tak pernah menyesali. Bukankah kehidupan selalu terdiri dari banyak kenangan dan pemberhentian? 

Untuk segalanya, ada ungkapan syukur dan terima kasih yang tak cukup diwujudkan lewat kata-kata.  

Friendship is the hardest thing in the world to explain. It's not something you learn in school. But if you haven't learned the meaning of friendship, you really haven't learned anything. - Muhammad Ali

4 comments: