Pages

Thursday, April 9, 2015

Kamisan 6 Season 3 : Writer's Block

"Sepuluh menit. Cukup?"

Itu syaratnya ketika aku meminta untuk mengintip apa isi USB yang selalu ia kalungkan di dadanya. Aku mengangguk setuju. Antara antusias dan berdebar cemas. Mungkin ini adalah kesempatan pertama dan terakhir. Setelah itu, yang tersisa hanya sesal atau kegembiraan.

***

Kata takjub apa yang bisa kukeluarkan. USB-nya bukan berisi tumpukan folder atau file yang tercecer. Lebih dari itu, bunyi ombak dan embus angin di pantai terdengar. Ada seorang laki-laki di dalamnya. Aku merasakan percikan asin air laut. Pria itu sedang bekerja keras memotong senja dan menyesakkannya pada sepucuk kartu pos. File ini menyimpan senja. Lengkap dengan balada dan pemain serupa Sukab dan Alina.

***

Kemudian aku berpindah ke file berikutnya. Kalender yang menempel di suatu dinding nyatanya selalu basah. Apa yang menyebabkannya? Kuperhatikan dengan lekat. Kalender itu terbuka di lembar Juni. Seorang pria dengan topi pet di kepalanya menatap kalender itu, kemudian menulis puisi diiringi rintik hujan. Romansa dan suasana hujan menyentuhku begitu saja. Entah semerbak petrichor atau bunyi tetes hujan yang jatuh ke tanah. Rasanya aku ingin memandangi puas-puas punggung pria penyair itu. Pria yang membuat tabah, bijak dan arif Sang Hujan.

***

Kali ini aku tak bisa menahan rasa penasaran. Dua kali terpercik air dan menatap bayang senja, rasanya begitu ingin merasakan sensasi lainnya. Kali ini kupilih file yang nyaris keseluruhan iconnya dipenuhi tinta hitam yang menetes-netes kepenuhan. Tunggu. Aku salah lihat. Alih-alih hitam, itu merah kehitaman. Darah. Kubuka file itu dengan penuh debar. Pisau, seorang perempuan, dan anak laki-laki. Apa yang di....

"Namanya Radian" ia menarik pundakku, mengagetkan. 

Aku mendongak dan selama beberapa saat baru menyadari bahwa aku tak pernah benar-benar berada di pantai dengan senja, duduk di dekat pria penyair, ataupun menatap dari jauh ibu dan anak itu. Rasanya benar-benar dekat dan nyata. Sesaat, dadaku berdebar marah. Jika ia tak menarik pundakku, aku tentu masih berada di sana. Bertualang lebih jauh.  

"Izinkan aku kembali!" aku memohon.
"Kau yakin? Penyesalan tak diperbolehkan kali ini."

Decak tak sabarku sudah jelas mengindikasikan jawaban apa. Segera, ia izinkan aku kembali menyelam dalam USB-nya. Aku bersiap menyambut petualangan baru. Kupilih icon file yang tampak tak utuh, seperti bekas terbakar di ujungnya. Yang kulihat hanya lorong gelap dan pintu-pintu yang tertutup. Ia tiba-tiba muncul di hadapanku dengan senyum, yang herannya, terasa menakutkan.

"Ini setengah perjalanan dari kisah yang kutulis. Tak ada senja, hujan atau Radian."
"Mengapa hanya ada gelap?" aku bertanya sungguh-sungguh.
"Kisah ini terlalu lama menunggu pemeran utama untuk tinggal di dalamnya. Sayang aku sudah memutuskan berbeda."
"Apa keputusanmu?"
"Pemeran itu kita. Dan aku tak akan pernah mengakhiri kisah ini. Anggap saja writer's block."

Seringainya kali ini benar-benar menyeramkan.

***


No comments:

Post a Comment