“Aku dong, dapet prioritas.”
Bukan. Itu bukan kalimat saya. Kalimat itu milik seorang
teman beberapa waktu lalu ketika kami bertemu di acara meet and greet Trinity
di Surabaya. Kali itu, setelah acara usai, tim Bentang Pustaka mengingatkan
audiens untuk mengikuti kompetisi review Gelombang, karena reviewer terbaik
akan mendapat kesempatan mengikuti Dee’s Coaching Clinic di bulan Maret.
Dimentori Dee? Rasanya tidak ada yang tidak ingin. Namun saya punya satu alasan
lain : Ingin membuktikan pada si empunya kalimat bahwa saya akan terpilih
dengan kemampuan saya sendiri. Dari lubuk hati terdalam, thanks to you, hei, si
empunya kalimat, saya jadi ‘panas’ dan berhasil mengirim review di detik-detik
akhir dengan gemilang. Ada kontribusimu di balik kesempatan saya ini. Meski
hanya sekadar kalimat sesumbar dan wajah menyebalkan. Oh, percayalah pembaca,
saya sungguh berterimakasih padanya. Kelak jika bertemu kembali, saya janji
akan mentraktirnya seporsi - dua porsi diskusi obrolan dari Coaching Clinic ini,
juga mungkin secangkir bully-an yang sudah biasa kami saling lontarkan.
Seorang sahabat yang berbeda mengabarkan bahwa nama saya ada
di salah satu daftar reviewer terpilih Dee’s Coaching Clinic. Saya sama sekali
tidak menyangka. Tapi rasanya luar biasa. Terutama ketika melihat ada beberapa
teman penulis lain yang juga terpilih. Ini menjadi menyenangkan bukan karena ucapan selamat kawan-kawan di
media sosial, tapi karena bayangan ‘oleh-oleh ilmu’ yang akan bisa saya bawa
pulang. “Cuma Satu Nama dan Bach Flower Remedies” tiba-tiba juga terbayang di
kepala. Oh, maaf, ini tentang sisi Dee yang lain.
***
Short boots dan tentengan tote
bag penuh buku karya Dee di antara khalayak yang sedang ber-car free day di
depan lokasi Coaching Clinic mungkin membuat saya terlihat absurd. Ketika
peserta sudah mengambil tempat, sesaat suasana di aula perpustakaan Bank
Indonesia dibayangi rasa antusias menyambut Sang Penulis. Benar, begitu Dee
melangkah masuk, seluruh peserta tersergap aura penulis hingga terdiam. Dee
tampil dengan chic. Skinny jeans hitam, gray stripes cardigan membuatnya ringkas
namun smart. Ah, namun saya naksir berat dengan black platform pump shoes yang
dikenakannya. Dee tampil memikat dengan pembawaan diri dan isi kepalanya.
Nyaris setiap kata yang diucapkan Dee berarti. Tak membuang waktu dan ruang
sia-sia, sama seperti tulisannya.
Dee mengungkap alasan mengapa ia
bekerjasama dengan Bentang untuk mengadakan Coaching Clinic ini. Karena di
dunia perbukuan Indonesia saat ini, buku tentang teknik menulis sangat sedikit.
Penulis buku teknik menulis semestinya adalah orang yang sudah pernah merasakan
asam-garam di dunia menulis. Namun, itu saja belum cukup. Yang terpenting, ia
harus tahu apa yang dibutuhkan oleh pembaca yang memerlukan teknik menulisnya.
Berangkat dari hal itu, peserta
Coaching Clinic diharapkan dapat mengetahui dan belajar langsung dari orang
yang mengetahui tentang dunia menulis. Tak heran, materi Coaching Clinic ini
berdasarkan pengalaman yang dimilikinya selama ini. Agar kesempatan besar
dengan waktu yang sempit ini dapat benar-benar bermanfaat secara maksimal, Dee
dan Bentang Pustaka menjaring peserta dengan kompetisi review “Gelombang”,
serial terbaru Supernova. Dengan begitu, audiens dapat tepat sasaran, dipenuhi
oleh orang yang memang memiliki keseriusan dengan dunia menulis. Sebelum
workshop dimulai, Dee menyarankan pada peserta untuk bersikap egois. Dalam hal
ini, egois berarti memanfaatkan dan menghargai kesempatan Coaching Clinic
dengan sebaik-baiknya. Terbukti, hingga akhir, Coaching Clinic ini ibarat
makanan bergizi dengan porsi besar. Padat, bermanfaat, dan terlalu sayang untuk
disia-siakan, bahkan hingga ke remahnya.
Bicara tentang teknik menulis,
Dee tidak pernah memulai karir menulisnya dengan pendidikan sastra formal. Ia mulai
sebagai pembelajar otodidak, berkembang berdasarkan pengalaman. Terkadang ada
kesulitan baginya untuk menerjemahkan apa yang ia alami dalam proses menulis ke
dalam bentuk teori. Meski begitu, Dee berprinsip “Di atas langit masih ada
langit” dimana ia masih merasa harus terus belajar dan mengembangkan kemampuan.
Tak heran, seorang Dee bahkan masih kursus menulis online hingga saat ini.
Saya merasakan keseriusan dan
ketulusan Dee dalam mengisi Coaching Clinic ini. Agar efektif, ia ingin
mengetahui sejauh mana kemampuan menulis peserta. Oleh karenanya, Coaching Clinic
ini langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kami ajukan sebelumnya
melalui e-mail. Ia memilah dan mengelompokkan pertanyaan. Di antara
kesibukannya, rasanya ia ingin benar-benar membagikan apa yang ia bisa.
Kesungguhan itu juga tergambar ketika telepon selular seorang peserta berbunyi,
dengan tegas dan kata ‘please’, Dee menegur peserta tersebut untuk mematikan dering
teleponnya.
Dee memilih untuk selalu berpijak
pada pengalaman menulisnya, karena pendekatan tersebut adalah cara paling
praktis. Layaknya novel dengan bab-bab, Dee merangkum pertanyaan-pertanyaan
seperti cara mempertahankan konsistensi plot cerita, cara menulis tanpa
terjebak keinginan untuk mengedit, apakah penulis harus memiliki alter ego dan
cara menghindari rasa malas dalam satu chapter :
Ego, Fokus, Deadline.
Dalam perjalanan karirnya, Dee
seringkali ditanya tentang bagaimana cara menulis cerita yang berbeda, lain
daripada yang lain. Jawabannya : Tidak Bisa! Alasannya, semua manusia memiliki
rasa yang universal dan tidak ada yang istimewa darinya. Keinginan untuk
menjadi berbeda justru berpotensi menjadi beban.
Dee
mengatakan bahwa kami harus kembali ke pertanyaan mendasar milik salah satu
peserta, Dheril :
Bagaimana cara
berpikir kreatif?
Orang yang kurang kreatif biasanya hanya fokus pada dirinya. Oleh karena itu, kita mesti meluaskan pandangan. Contoh stimulus berpikir kreatif, misalnya saja ketika diminta untuk membuat cerita namun dengan tantangan, “Bagaimana seandainya kita menjadi seekor cicak?” Hal itu memaksa kita untuk berpikir kreatif dengan melihat sesuatu di luar diri kita.
"Berpikir kreatif adalah tentang bagaimana memperluas medan kesadaran
kita. Expanding our awareness."
Dee mencontohkan bagaimana
membuat cerita dari spidol di genggamannya : Spidol, hidupnya hanya sebatas
tinta. Begitu tinta habis, hidupnya usai. Bahkan sebuah benda mati pun mampu
menjadi tokoh dalam cerita. Ia kembali mengambil contoh tentang pengalamannya
sebelum memasuki ruang Coaching Clinic Surabaya. Sekembalinya dari toilet, ia
melihat pajangan ulir-ulir dari besi. Yang terpikirkan dalam kepalanya :
bagaimana perajin ulir tersebut mampu membuatnya sedemikian detail, bahkan
ketika peralatan canggih belum dibuat. Dee selalu mencoba melihat segala
sesuatu dengan perspektif yang berbeda. Penulis memiliki dua ‘mode’
penglihatan. Penglihatan sehari-hari yang kita gunakan untuk bekerja, memasak,
ke pasar, dsb. Mode lainnya untuk mengamati dan menganalisa sebagai bekal untuk
menulis. Penulis yang baik adalah pengamat yang baik. Observasi menjadi modal
utama. Ide-ide yang didapatkan dari hasil observasi kemudian dapat dimasukkan
dalam celengan ide yang dapat dibentuk menjadi cerita kapan saja. Lebih baik
tidak menghapus ide saat belum dibutuhkan. Suatu saat, ide tersebut akan
berguna.
Berpikir kreatif erat dengan
memperluas pengamatan dan kesadaran. Segalanya menjadi unik di mata penulis.
Memaksakan menjadi berbeda merupakan hal yang nyaris mustahil, yang justru akan
menjadi beban penulis. Setiap manusia unik, setiap penulis memiliki unique voice. Unique Voice tersebut
tersimpan begitu dalam di diri penulis. Seperti permata, ia harus digali dengan
begitu dalam. Berlatih menulis adalah tentang bagaimana menggali, mengeluarkan
permata tersebut, mencari suara unik kita masing-masing. Ketika kita telah
meyakini konsep tersebut, kita tak perlu lagi pusing tentang naskah kita. Apakah
orang lain akan menyukainya, apakah penerbit akan meloloskannya, dan sebagainya.
Dee menegaskan :
TULIS SAJA!
Meski begitu, menulis memerlukan
bekal. Menulis adalah masalah mengkonkretkan
yang abstrak. Oleh karena itu, penulis mesti memiliki cita-cita yang
konkret. Penulis apa, dengan target apa. Buku macam apa yang disukai dan tema
apa yang menciptakan greget. Penulis pun perlu memiliki peta tujuan agar tidak
takut dan bimbang. Mengubah sesuatu yang abstrak dan diawang-awang menjadi
sesuatu yang bisa diukur.
“Please, punya cita-cita yang konkret!”
Karena yang konkret akan membumikan
yang abstrak.
Awalnya, seorang Dee tidak ingin menjadi penulis. Namun ia selalu
berkhayal buku yang ditulisnya dapat ada di toko buku. Di waktu awal menulis
hingga remaja, ia menulis cerita anak karena banyak dipengaruhi oleh penulis
kenamaan Enid Blyton. Kemudian karirnya berlanjut dengan menulis cerpen untuk
majalah-majalah. Sayangnya, Dee mengalami penolakan. Saat itu, ia mempunya dua
pilihan : putus asa dan merasa tidak
berbakat, atau beranggapan bahwa tulisannya belum berjodoh dengan majalah
tersebut. Seperti yang kita tahu, jika saat itu Dee memilih opsi pertama, tak
akan ada seri Supernova di hadapan kita saat ini. Di Bulan September tahun
2000, Dee menyelesaikan Supernova : Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Demi
menghadiahi diri sendiri di ulang tahun ke-25, Dee meminta sebuah
percetakan untuk mencetaknya sebanyak 5000 copy. Belum habis buku-buku
tersebut, Dee kembali mencetak 2000 copy. Di luar dugaan, ke 7000 copy buku
tersebut terjual dalam waktu 14 hari, meski Dee tetap harus menunggu
pundi-pundi hasil penjualan karena toko buku baru membayarkannya setelah 3
bulan. Saat itu, penulis masih dianggap
profesi ‘miskin’. Ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang penulis mesti
bergabung di IKJ, atau kurus kering tanpa daya tarik. Profesi penulis belum
diterima sebaik saat ini di masyarakat. Dee murni hanya ingin memiliki bukunya
sendiri, bukan menjadi seorang penulis. Ketika datang pertanyaan “Mengapa
menulis Supernova?” Dee merasa bahwa tema Supernova adalah tema favoritnya.
Diantaranya membahas spiritualitas dan science. Karena memiliki renjana terhadap
hal tersebut, Dee menyusun ceritanya. Oleh karena itu, penting untuk mencari
tema yang paling greget, yang paling bisa menimbulkan emosi. Kemudian, tuliskan
buku yang paling ingin kita baca. Hal itu merupakan sikap jujur terhadap diri
sendiri. Karena pasar akan selalu berganti. Dee mencontohkan tentang mengapa
Perahu Kertas (yang banyak dianggap terlalu ringan) ditulis? Karena Dee ingin
membaca kisah cinta berliku ala cerber di majalah seperti favoritnya dahulu.
“Yang jadi patokan adalah diri sendiri!”
Hal tersebut berarti hal primer
yang patut kita perhatikan adalah diri sendiri. Bukan faktor di luar itu.
Lantas apa saja modal yang dibutuhkan seorang
penulis?
Dee menjawabnya dalam 4 poin :
1.
Berpikir
Kreatif
2.
Tekun
Berlatih
Menulis adalah
masalah otot (kebiasaan)
3.
Tahu
buku apa yang ingin dituliskan
Buku yang pengin
kita baca banget
4.
Punya
Deadline
Deadline penting
untuk diri kita sendiri. Bagaikan ketika kita mulai perjalanan dengan menaiki
kereta, ketika kita sudah duduk tenang di dalam kereta dan siap berangkat,
peluit tanda berangkat adalah deadline kita.
“Jadikan deadline sebagai alat, bukan tujuan.”
Bagaimana cara membuat deadline?
1. Tahu
apa yang ditulis
2. Tentukan
jumlah kata dan estimasi waktu
Seorang Dee pun sering merasakan
malas dalam menulis. Namun, selalu ada target dan niat awal. Target tersebut
mesti konkret agar bisa dihitung. Jangan terlalu memitoskan proses kreatif,
seperti menunggu waktu ideal, dsb. Masing-masing kita harus mempunyai disiplin
terhadap diri sendiri. Dalam berkarya, Dee memiliki waktu yang tetap antar
karya. Produktifitasnya terjaga dengan rata-rata mengeluarkan karya setiap 1,5
tahun, dengan estimasi menulis 2 halaman sehari.
“Ade Rai tidak kekar dalam semalam.”
Dee terkenang ketika dirinya
melihat foto Ade Rai saat belum sekekar saat ini. Belajar dari Ade Rai, menulis
adalah hal yang sama. Menulis adalah sebuah proses yang panjang dan bertahap.
Carilah tempat ‘gym’ yang paling nyaman untuk menulis. Entah diary, blog atau
lainnya.
Belajar secara otodidak, Dee
menemukan teori dari teknik yang ia lakukan/alami ketika salah satu bukunya dibedah
oleh sastrawan Budi Darma di Surabaya. Benang merah antara karya-karya Dee
menurut beliau adalah tentang proses pencarian jati diri. Manusia yang mencari
‘rumah’, ‘asal’ mereka. Itu adalah ‘gatal’ milik Dee yang selalu ia ajukan
dalam setiap karya-karyanya. Lantas, bagaimana bisa ‘gatal’? Setiap penulis
harus mencarinya sendiri dengan mengetahui apa yang akan ‘digali’ dan tujuan
kita. Ide bisa datang dari mana saja. Berkembang dan lahirnya ide menjadi
sebuah cerita memerlukan deadline. Begitu mempunyai deadline, kita bukan lagi
penunggu pasif yang tersesat. Kita adalah penulis yang punya tujuan dan
perhitungan.
“Pikiran manusia serupa parabola yang kehujanan sinyal.”
Berbagai hal masuk ke dalam
kepala kita setiap saat. Kita mesti menyaring dan mencari noise-nya. Begitulah
ide bisa muncul.
Dee juga membagikan beberapa tips
lain dalam mendapat, memilih dan mengembangkan ide :
1.
Personifikasi
ide
2.
Berteman
dengan ide
3. Celengan ide
Anggaplah ide seperti teman.
Dapatkan, dan catat ide tersebut. Namun, jangan buru-buru dituliskan. Berilah
ia perhatian, kenali dan gali ia kembali. Ketika memang belum saatnya ia
dituliskan, katakan padanya bahwa ia harus menunggu. Bicara ide, Dee nyaris tak
pernah membuang apapun dari celengan idenya. Jangan pernah menutup potensi ide
cerita. Simpan ide tersebut.
RISET
Dee mengelompokkan
pertanyaan-pertanyaan ini ke dalam bagian riset :
Tentang bagaimana mempercayai
sumber riset dan bagaimana menggambarkan riset tentang tempat yang belum
dikenal. Caranya :
1.
Riset
pustaka dan film
2.
Riset
internet
3.
Wawancara
4.
Datang
ke lokasi langsung
Sebagai gambaran, untuk keperluan
riset tulisannya, Dee memiliki Lonely Planet semua negara ASEAN. Ketika ia tak bisa datang langsung ke
negara yang dimaksud, ia rajin nongkrong di kantor sekertariat ASEAN di Jakarta
untuk riset mengenai Laos dan Vietnam, misalnya. Ia pun rajin bertanya pada
pegawai yang merupakan warga negara tersebut demi kroscek tentang hasil riset.
Verisimilitude adalah suatu hal yang membuat cerita fiksi terasa
nyata. Selain riset, yang juga perlu
diperhatikan adalah tentang penggunaan pancaindra untuk membangun adegan di
dalam cerita. Kerap kali indra penglihatan lah yang digunakan oleh mayoritas
penulis. Padahal, justru indra penciuman lah yang paling kuat di otak manusia.
Setiap mendapat aroma dari suatu hal dan berpotensi untuk kita gunakan dalam
tulisan, masukkan ke dalam celengan ide.
Dalam membangun adegan, bagaimana
cara menggabungkan fakta dan fiksi? Dalam kasus ini, Dee mencontohkan Kopi
Tiwus dan Bukit Jambul yang terasa begitu nyata dan ada dalam serial Supernova.
Banyak pembaca yang mengira bahwa keduanya benar-benar ada, padahal
sesungguhnya keduanya adalah rekaan dari Dee. Ia mengaku bahwa tips untuk
melakukannya adalah dengan menggabungkan fiksi dan fakta. Fiksi dengan sedikit
fakta akan membuat verisimilitude meningkat. Kita bisa mempermainkan kadar
kepercayaan pembaca dengan porsi fakta.
“Fungsi riset adalah menguatkan fiksi.”
Namun, tidak semua hal yang kita
dapatkan dari riset harus seutuhnya masuk ke dalam kisah yang kita tulis.
Perhatikan apakah ada tujuan dari detail yang dimasukkan? Apakah itu membangun
cerita? Jangan paksa pembaca untuk menelan kisah dengan terlalu detail, agar
pembaca punya ruang untuk imajinasinya. Dee mencontohkan detail sederhana :
dengan ‘suara berat dan wajah persegi’, pembaca sudah mempunyai cukup ruang
untuk menduga bagaimana tokoh yang ditampilkan. So, you don’t have to describe the other, kata Dee. Pembaca yang
memiliki ruang untuk berimajinasi, memiliki ikatan dengan cerita. Bicara
tentang tempo cerita, terlalu panjang narasi, cerita akan melambat. Dengan
dialog, tempo akan lebih cepat. Penggunaan keduanya, memang semestinya harus
seimbang dalam cerita.
PEMETAAN
Tidak semua karya butuh pemetaan.
Misalnya saja puisi. Puisi adalah karya dengan teritori penulis secara penuh.
Sehingga bersifat ‘bebas’. Sementara cerpen, bisa menggunakan pemetaan, bisa
tidak. Novel dengan kuantitas kata yang besar, misalnya 20.000 kata ke atas,
sebaiknya menggunakan pemetaan agar tak kehabisan napas. Dalam pemetaannya,
novel dibagi menjadi ‘pulau awal’ dan ‘pulau tujuan’. Di antara jarak awal dan
tujuan terdapat ‘pulau-pulau transisi’ yang menjadi tahap-tahap cerita. Sehingga
dalam menulis tidak terjadi ‘hilang arah’, karena tahap cerita tercatat.
Karena sangat umum digunakan, Dee menghimbau penulis fiksi
untuk memahami struktur ‘3 babak’ dengan komposisi berikut :
![]() |
Drama 3 Babak |
Dalam menulis Intelegensi Embun
Pagi, Dee bahkan membuat 4 karton besar (babak 1, 2A, 2B dan 3) dimana
masing-masing berisi post it berbagai
warna dengan masing-masing bertuliskan satuan terkecil dari cerita :
adegan. Adegan tersebut dapat dengan
leluasa Dee acak dan pindahkan. Babak kedua dibagi menjadi dua bagian agar terpetakan
dengan lebih jelas, karena akan terlalu panjang. Dengan begitu, Dee dapat
melihat garis besar penggambaran ceritanya dengan jelas.
· Babak I berisi perkenalan tokoh dan setting
· Babak II A menceritakan ketika tokoh terlempar
dari zona nyamannya. Tokoh mulai mengalami kehidupan ‘yang tidak seharusnya’.
Di sinilah terjadi konflik yang mulai memuncak
· Babak II B, tokoh mulai ragu akan keputusannya.
Konflik mencapai puncak, memanas dan segala macam hal yang bersifat sangat
emosional terjadi di sini
· Babak III merupakan penyelesaian. Jangan
memunculkan pertanyaan baru di babak ini, kecuali ingin membentuk cerita ke
dalam serial. Seluruh pertanyaan di babak sebelumnya mesti terjawab di sini
Untuk membuat cerita yang
menarik, karakter harus menjerit-jerit minta ampun akan apa yang dihadapinya.
Tugas kita adalah meyakinkan karakter menemukan yang dia inginkan. Cerita
mengalir karena sequence-nya tepat : sebab
– akibat. Bukan akibat- sebab. Mudahnya, dicontohkan Dee dalam kalimat :
“Bodhi berteriak karena
kesandung” à
kalimat ini kurang tepat karena menggunakan konsep akibat – sebab.
“Karena kakinya tersandung, Bodhi
berteriak” à kalimat
ini tepat karena menggunakan konsep sebab – akibat.
Teknik ‘ciprat-ciprat’ adalah
teknik yang kerap digunakan Dee untuk menulis. Dimana ketika awal adalah A,
tujuan adalah C, pertengahan adalah B. Ketika ia mengalami hambatan untuk
menulis B, Dee akan mengerjakan C terlebih dahulu. Ketika C sudah selesai, B
otomatis akan terlihat. Untuk menulis cerita yang mengalir, selalu dikontrol
oleh tempo. Untuk menjadikan tulisan bertempo cepat, gunakan adegan dan dialog.
Ketika ingin memperlambat, gunakan narasi. Namun ada baiknya penggunaan
keduanya seimbang. Jika terus menerus memberikan narasi, pembaca ibarat masuk
ke dalam ruang besar tanpa jendela, ia merasa sesak. Jadi berikan dialog untuk
‘memperlonggar’.
Lalu, bagaimana cara menciptakan
karakter yang unik? Dan bagimana pula menciptakan karakter pendukung yang kuat?
Dee menjawab bahwa tidak perlu ada character driven (karakter menyetir cerita).
Kita memiliki kontrol penuh terhadap cerita. Karakter adalah kuli dari cerita.
Untuk menciptakan karakter yang unik, buatlah tokoh yang mirip dengan
keseharian manusia, namun mempunyai kemampuan spesial. Karakter yang hidup
memiliki :
·
Habit/kebiasaan
Tujuannya agar
memiliki kedekatan dengan pembaca
·
Keistimewaan
Membuat pembaca
merasa suka / mengidolakan
·
Kelemahan
Agar tidak
terlalu sempurna, layaknya manusia biasa
·
Beraksi
Karakter bukan
korban keadaan. Seperti Keenan yang memutuskan jalan hidupnya sendiri dalam
Perahu Kertas.
“Kenali karaktermu dengan baik!”
Ada tip andalan dari Dee agar karakter kita memikat pembaca. Buatlah ia menjadi karakter yang berkorban. Karakter yang punya pengorbanan selalu berhasil menumbuhkan simpati dari pembaca.
Mengapa ia tidak menjawab hal-hal yang bersifat
pribadi dari peserta? Dee menjawab bahwa hal itu agak kurang sesuai dengan
tujuan Coaching Clinic. Ia telah merangkum semua pertanyaan pribadi dirinya di www.dee-interview.blogspot.com
Dee beralih untuk bicara tentang editor. Bagi
Dee, editor berfungsi sebagai penyelaras bahasa. Masing-masing penerbit
memilliki aturan tersendiri. Misalnya seluruh buku yang diterbitkan penerbit X
memiliki aturan bahwa setiap penulisan judul harus ditulis miring. Selain
sebagai penyelaras bahasa, editor juga turut mengecek dan menyelaraskan fakta.
Editor tidak akan mengubah hal penting seperti gaya bahasa dan cerita sebelum
berdiskusi dengan penulis.
Seseorang menanyakan, apakah ada makna tertentu
di balik pemilihan cover dengan background hitam dan simbol tertentu dalam serial
Supernova? Dee mengatakan bahwa ada kesinambungan satu sama lain antara
simbol-simbol tersebut. Dan, Dee pun sekaligus menjelaskan tentang cetak ulang
Supernova yang menjadi bentuk kecil. Ungkapnya, ide mencetak dengan ukuran
lebih kecil tersebut datang dari Mas Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, untuk
mengembalikan tren buku tahun 80-an. Selain itu merupakan trik marketing,
dimana buku yang dicetak dengan kemasan baru akan diletakkan kembali di rak-rak
terdepan toko buku.
Bagaimana Dee mampu membuat karya yang dapat
diangkat menjadi film? Dee mengatakan bahwa jangan jadikan karyamu sebagai
beban. Poin utama dari penulis adalah membuat cerita yang bagus dan menarik.
Penulis tidak lagi bisa menjadi Tuhan untuk filmnya. Ada hak adaptasi yang
dimiliki oleh pekerja film. Hal itu tentu sangat berbeda dengan ‘hak untuk
mengangkat mentah-mentah isi film’. Apakah penulis memiliki hak untuk
‘mengontrol cerita dalam film’? Hal itu sangat bergantung pada
perjanjian/kontrak yang telah disepakati. Film sangat berbeda dengan buku. Film
adalah hasil kerja kolektif, karena melibatkan banyak orang. Jadi, tak heran
film adaptasi kebanyakan terdapat perbedaan dengan bukunya.
Lantas, bagaimana Dee membangun sisi humor dalam
tulisan-tulisannya? Humor sangat dipengaruhi selera. Dee selalu mencoba humor
yang ditulisnya sendiri. Minimal, dirinya sendiri mampu tertawa karena humor
tersebut. Setidaknya emosi dan energi dapat sampai ke diri kita sendiri. Ia
mengatakan bahwa komedian banyak menggunakan absurditas sebagai pematik humor.
Ia mencontohkan Raditya Dika dengan berbagai hal absurd yang ia ceritakan.
Bagaimana saran Dee untuk penulis yang
ingin ‘menembus’ penerbit? Dee mengakui bahwa ini salah satu kelemahannya untuk
menjawab. Karena ia memulai karir menulisnya bukan dari menawarkan pada
penerbit, namun melalui jalur self publishing. Ketika respon dari buku yang
diterbitkannya bagus, barulah berbagai penerbit datang untuk menawarkan diri.
Dee beranggapan bahwa tulisan itu bukan masalah
jelek atau bagus. Tulisan adalah masalah suka atau tidak suka. Dee mengatakan
bahwa karya-karya yang ditulisnya pun kerap mengalami kritik. Misalnya saja,
beberapa orang yang menyebut karya-karya Dee sebagai ‘sastra ambang’. Menurut
Dee, ‘gap’ antara ‘sastra’ dan ‘bukan sastra’ dijembatani Ayu Utami di tahun 1998 ketika ia mengeluarkan karyanya. Saat ini, penulis muda yang memutuskan untuk
‘menyeberang’ ke ranah ‘sastra’ jauh lebih sedikit. Dee pun mengenang tentang
ungkapan Arswendo Atmowiloto ini, “Hati-hati dengan sesuatu yang trendy,
biasanya umurnya pendek.”
Dalam suka-dukanya menjadi seorang juri
kompetisi menulis, Dee selalu memperhatikan hal-hal berikut :
·
Kerapihan
Entah spasi atau ejaan
·
Halaman atau paragraf pertama
Mulailah cerita dari beberapa kalimat sebelum konflik. Sehingga pembaca
merasa memiliki urgensi untuk terus membaca kelanjutan kisahnya
·
“Fiksi
adalah membuat realitas yang tidak biasa. Fiksi membuang yang sifatnya
ordinary.”
Penulis bertugas mengubah wujud yang tidak terlihat menjadi detail.
Penulis bertugas mengubah wujud yang tidak terlihat menjadi detail.
Pertanyaan lain, apa syarat dari Dee untuk memberikan endorsement?
* Buku yang dikomentari sudah pasti akan diterbitkan
* Ada ketertarikan Dee pada genre-nya
Hambatan terbesar Dee dalam menulis adalah rasa
malas. Terutama transisi ketika memiliki anak. Setelah memiliki anak, ia harus
menyesuaikan banyak hal,sehingga menjadi tantangan tersendiri baginya. Misalnya
Dee yang telah terbiasa untuk menulis di malam hingga pagi hari. Ketika
memiliki anak, ia tak lagi menemukan waktu yang sama. Pada akhirnya ia pun
meyakini bahwa siang dan malam memiliki ‘hantu’nya sendiri. Dengan mengakrabi
hantu tersebut, tak ada alasan baginya untuk menunggu waktu yang selalu sama. Menulis
adalah masalah disiplin.
“Hambatan terbesar
menulis : jerat personal tentang mitos menulis.”
Mengapa Dee berani mengangkat tema spiritualitas
dalam karya-karyanya? Ketertarikan Dee pada bidang spiritualitas berawal dari
ibunya yang begitu lurus dalam memeluk agama. Ada
pertanyaan-pertanyaan dalam diri Dee tentang hal tersebut sepeninggal sang ibu.
Di keseharian kita, juga banyak terjadi konflik agama. Dee selalu
bertanya-tanya, mengapa orang bertikai karena masalah agama yang notabene
adalah tentang Tuhan. Supernova adalah ledakan Dee atas semua pertanyaan tersebut.
Tips dalam menemukan judul cerita? Dalam memilih
judul, Dee menyarankan kita untuk menggunakan intuisi. Akan ada kata-kata yang
berulang-ulang di kepala tentang cerita yang kita tulis. Sebelum mem-publish
cerita, perhatikan judul baik-baik. Usahakan konsisten dan sejiwa dengan cerita.
Apakah seorang penulis harus selalu bergabung
dengan komunitas? Dee menjawab bahwa komunitas bagai pisau bermata dua. Kadang
kita merasa sempit karena merasa bahwa karya kita merasa cukup dengan memuaskan
komunitas. Meski, komunitas juga sering mendukung dengan lingkungan satu visi.
Sesungguhnya kita menulis untuk diri sendiri. Penghargaan seperti best seller
dan lainnya jangan jadikan tujuan utama. Menulislah untuk diri kita sendiri.
Karya yang jadi adalah hadiah terbesar.
“Tujuan menulis
adalah untuk menggali ke dalam diri kita sendiri.”
Ditanya tentang mengapa seorang Dee masih begitu
membumi? Ia menjawab dengan diplomatis, bahwa ia merasa masih harus terus
belajar, di atas langit masih ada langit. Kedua, Dee selalu menulis untuk
dirinya sendiri, bukan karena orang lain. Pujian dan kritik bernilai sama
untuknya. Setelah bertahun-tahun menghasilkan karya, Dee menyimpulkan
bahwa kritik dan pujian berjumlah sama. 50-50. Terlalu mendengarkan keduanya
dapat berdampak kurang baik untuk penulis. Untuk apa sesuatu yang tidak memberi
manfaat untuk kepenulisan? Wajar saja memasukkan respon pembaca ke dalam hati,
mengingat karya tersebut kita lahirkan dengan susah payah. Namun, kita tidak
bisa membuat semua orang senang. Faktor eksternal hanya bonus baginya. Menulis
menjadi karir yang penting bagi Dee karena menulis secara profesional adalah
suatu hal yang benar-benar ia perjuangkan sendiri.
“Dunia ini adalah
dualitas. Hitam-putih. Yin-yang.”
***
Seusai materi, kami tentunya diberi kesempatan untuk book
signing dan foto bersama. Pada saat Dee membuka cover Gelombang milik saya
untuk ditandatangan, disitulah saya merasa bahwa kesempatan ini adalah satuan terkecil cerita Tuhan untuk saya. Bagaimana tidak? Gelombang
milik saya adalah hadiah dari Mbak Ade Kumalasari : editor dan translator Bentang Pustaka, juga mommy kece dari remaja luar
biasa yang seminggu sekali saya ajak untuk bermain musik. Jika ia tak
memberikannya untuk saya, mungkin saya tak akan mampu menyusun review tepat
waktu, dan tak akan mendapat kesempatan untuk mengikuti Coaching Clinic ini. Di Coaching Clinic ini pula saya dan Mbak Ade sama-sama duduk di satu ruang
untuk belajar langsung dengan Dee. Serendipity.
![]() |
Cuma Satu Nama akan rilis tahun ini, kata Dee! :) |
![]() |
Bersama sang mommy kece, Ade Kumalasari |
Selama Coaching Clinic ini, peserta serasa diajak
introspeksi tentang proses menulisnya, juga ‘diobati’ permasalahannya seperti
menenggak campuran Bach Flower agar tak moody. Menemukan proses agar mampu
melihat ke dalam, memaklumi cela diri dan mencintai proses menulis seperti di Cuma Satu Nama.
Saya jadi menganggap bahwa Dee persis seperti tulisannya.
Tenang, chic, penuh analogi dan imajinasi, rapi dan intelek. Ia adalah pengamat
yang gila. Sudut pandangnya tidak terduga. Terencana dan terorganisir. Meski begitu,
sangat manusiawi ketika beberapa kali saya menangkap Dee berkaca-kaca berkisah
tentang adegan Partikel yang paling menyentuhnya, juga tentang dukungan ibunya
terhadap karyanya. Tulisan yang bagus bagi saya adalah ketika saya mampu
mendapat gambaran wujud gaya tulisan tersebut menjadi sesosok manusia. Dengan ini terbukti,
tulisan Dee adalah wujud cerminan dirinya sendiri.
![]() |
Sumber : dokumentasi Dheril |
5 April 2015,
Nabila Budayana
Nabila Budayana
Hai, gurl! :D
ReplyDelete