Kira-kira setahun lalu, di suatu acara, saya tertarik
dengan kisah seorang Kirana Kejora, seorang penulis kelahiran Ngawi, 2
Februari tentang bagaimana perjuangannya menerbitkan buku secara
indie. Dengan gaya santai dan apa adanya, Kirana bagi saya jauh dari kesan
penulis yang ‘berjarak’. Bahkan masih teringat betul apa yang dikatakannya pada
saya saat itu. “Jangan takut memilih. Tuhan tidak pernah salah memilihkan.”
Kemudian akhir-akhir ini, buku-bukunya diangkat ke layar
lebar. Seorang penulis lain kembali membuktikan ia mampu berangkat dari
penerbitan indie. Saya jadi teringat bahwa semakin banyak penulis-penulis yang
memilih jalur indie sebagai pilihan langkahnya. Ketika saya tawarkan beberapa
pertanyaan sebagai sarana berbagi, beliau menyambut dengan hangat. Hasilnya,
sebuah jawaban-jawaban menarik yang bermanfaat untuk siapapun yang memilih
menerbitkan buku melalui jalur indie.
Memang, sudah begitu banyak artikel tentang menerbitkan
buku secara indie. Namun, saya rasa pengalaman Kirana bisa memberi satu sudut
pandang baru. Silakan disimak!
![]() |
Gambar dari wartakota.tribunnews.com |
Penerbit indie adalah penerbit yang
memproduksi sebuah buku dalam jumlah yang terbatas, tanpa tekanan dan pesanan
pihak tertentu serta tak peduli dengan selera pasar, lebih memikirkan idealis
diri sendiri atau komunitas yang mau dibidik.
Penerbit major adalah penerbit yang
memproduksi buku dalam jumlah yang besar, dengan perhitungan tertentu, membidik
pasar dan segmen, lebih profesional, lebih ke industri yang memikirkan
benar-benar untung ruginya menerbitkan sebuah produk.
Mengapa pada awalnya Anda memilih untuk menerbitkan melalui jalur indie?
Saat
itu di Surabaya minim penerbit buku fiksi atau sastra, saya terbiasa kerja sama dengan teman-teman
indie (band dan club fotografer), saat itu saya ada sanggar model dan teater
kecil. Banyak
CD lagu-lagu indie beberapa teman yang sukses, memicu saya untuk menerbitkan
buku secara indie atas dukungan mereka pula. Semangat berkesenian,
itu pada awalnya.
Seni itu bebas. Jadi bagi saya alangkah baiknya saya terbitkan buku sendiri, toh ada dukungan dari komunitas yang saya bentuk dengan teman-teman lintas seni saat itu. Seni yang tidak tergantung pasar, apalagi tekanan. Bebas menerbitkan dan memasarkan bukunya kemanapun dengan cara apapun. Merasa yakin buku laku dengan kemasan serta isinya. Indie bukan berarti sendiri. Dulu saya menerbitkan dan mencetak buku saya sendiri karena awalnya buku-buku saya adalah sebatas curahan hati dan pemikiran pribadi saja yang tak mau diedit siapapun. Menulis saat itu bagi saya adalah obat sakit jiwa. Namun meski indie, saya juga melakukan prosedur layaknya penerbit major, mengurus ISBN serta kerjasama dengan toko-toko buku yang mau menerima buku saya. Saya melakukannya sendiri, dalam arti dari sisi menulis, mengurus ISBN, mencetak, mengemas produk, memasarkan dan promosi. Karena tidak dalam tekanan siapapun, indie, maka saya pun melenggang asyik bisa kerja sama dengan siapapun untuk pemasaran buku saya Kepak Elang Merangkai Eidelweis (2006) novelet dan puisi, Selingkuh (2006) kumpulan cerpen dan puisi, Perempuan dan Daun (2007) kumpulan cerpen, puisi, dan foto, serta Novel Elang (2009), semua buku tersebut edar di toko buku kecil maupun major selain direct selling dari Almira Management punya saya pribadi.
Apa saja tantangan dari menerbitkan buku melalui jalur indie saat itu?
Bagaimana buku yang sedikit
jumlahnya ini bisa dilihat pasar dengan minimnya ruang untuk pajangannya di
toko.
Strategi apa yang digunakan Kirana untuk memperkenalkan buku indie pada khalayak?
Saat itu belum ada FB, jadi selain
melalui acara-acara lintas seni, share dengan festival Band, pameran lukisan. Saya mengemas
pertunjukan promo buku dari panggung ke panggung dengan menampilkan puisi, petikan
cerpen dipadu dengan musik
atau lukisan. Tak
lelah bikin musikalisasi puisi atau menawarkan puisi jadi lirik lagu teman-teman
indie yang disambut baik, dan jadilah lagu-lagu mereka dari buku-buku saya.
Foto kegiatan promo buku diunggah di
blog multiply selain promo melalui chating dan radio yang tertarik mengundang
saya, yang saat itu dilihat
sebagai perintis buku indie di Surabaya, hanya bonek saja modalnya. Berani di
caci maki, itu saja. Kalau
ada pujian anggap bonus. Narsis
bagian dari optimis, itu prinsip saya sebagai penulis dan penerbit indie.
Ada kejadian menarik yang paling diingat tentang seorang Kirana yang menerbitkan melalui jalur indie?
Saat
itu anak sanggar model saya membantu menawarkan buku pertama saya, Kepak Elang
Merangkai Eidelweis (KEME) seharga 20 ribu, ke Gramedia Tunjungan Plaza, dia
sudah ditolak satpam sebelum bertemu bagian pemasaran. Sementara toko buku lain
di Surabaya sudah mengedarkan buku saya dan lumayan laku meski kecil omzet-nya,
maklum jumlah buku saya saat itu hanya 500 ex yang edar di Surabaya. Saya
penasaran saja, nekad, esoknya membawa 50 buku KEME ke toko tsb. Dan langsung mau bicara
dengan manajer tokonya. Saya
bilang kalau saya penulisnya. Eh,
langsung diterima dengan baik dan beliau bilang begini, ”Sebuah kehormatan
saya, didatangi penulisnya langsung.” Rasanya kepala terbang saja saat itu, lha wong saya ini hanya penulis cilik,
indie, dan ecek-ecek, namun beliau sangat menghargai kedatangan dan kenekatan
saya, atau mungkin kasian dan merasa iba? Entahlah, yang jelas bapak itu
langsung menerima buku yang saya bawa, dan bahkan membuka jalur saya untuk bisa
lebih luas memasarkan ke seluruh Indonesia melalui bagian pemasaran Gramedia
Pusat di Jakarta Timur. Langsung saya diberi contact person, dan segera saya nekad ke Jakarta share dengan bagian pemasaran (gudang). Alhamdulillah setelah
saya presentasi,
akhirnya mereka minta share
750 ex buku saya, kecil jumlahnya bagi mereka namun besar bagi saya. Semenjak
itu saya semakin semangat menulis dan menerbitkan buku secara indie. Karena makin banyak
peluang serta guru di jalan yang membantu saya berkembang pada akhirnya.
Sejauh
ini, apa yang Kirana rasakan saat menerbitkan buku secara major dan indie?
Karena saya semakin banyak pekerjaan di
FTV maupun film untuk menulis script,
maka energi
saya mulai terkuras untuk mengurusi penerbitan indie saya. Mengingat untuk
penagihan, pengiriman buku memakan waktu dan tenaga, hal ini akan menyusahkan
saya tentunya dengan semakin banyaknya buku saya yang terbit. Kapan saya ada
waktu tenang menulis lagi? Akhirnya
setelah memilah memilih tawaran kerjasama dari beberapa penerbit major, saya
pun memilih kerjasama dengan Group Hi-Fest Publishing. Saya nyaman, karena
saya sangat diberi penghargaan dalam proses kreatif dari kepenulisan hingga
promosinya, mereka selalu mendukung penuh apa yang ada dalam pemikiran saya.
Dari layout, pemilihan cover, saya dilibatkan dan kami bisa
saling berbagi dengan nyaman untuk kebaikan kemasan produk yang tentu harus
lebih baik hasilnya dari buku-buku saya dulu. Serahkan pada ahlinya,
itu saya. Saya
tetap merasa bebas berkreasi dengan diskusi yang baik serta terbuka dengan
penerbit, idealis saya tentu buku saya bisa terbaca dengan baik oleh semua
orang dan dapat tersebar seluas-luasnya. Maka saya pun tak lagi
bisa egois menulis untuk diri sendiri, namun juga memperhatikan pembaca yang
telah mengeluarkan uang untuk beli buku saya, tentu saya juga berusaha tidak
mengecewakan mereka. Saya mulai peduli apa kebutuhan pembaca di tanah air
dengan dukungan penerbit yang cerdas menyiasati apa yang ada di kepala saya
dengan apa yang diinginkan pasar. Terbukti buku-buku saya yang diterbitkan
major label bisa bagus hasilnya, dan salah satunya AIR MATA TERAKHIR BUNDA
dalam waktu enam bulan sudah cetak ulang 6
kali, hingga diangkat ke layar lebar dan
menang di beberapa festival film. Dan yang baru AYAH MENYAYANGI TANPA AKHIR
(AMTA) sudah cetak ulang 3 kali dan telah dipinang sebuah PH besar untuk diangkat ke layar lebar. Sementara yang terbaru
PENCARIAN CINTA TERAKHIR baru
saja edar.
Apa
perbedaan yang paling besar dirasakan dari penerbit indie dan major?
Lebih nyaman menulis,
karena telah ada tim kreatif
yang mendukung dari penerbit major. Mereka lebih tahu dari saya apa yang
terbaik bagi tulisan saya. Saya banyak belajar tentang ‘selling point’ sebuah
buku.
Apa
tanggapan Kirana dengan semakin banyaknya penulis-penulis yang memilih jalur
indie untuk berkontribusi dalam dunia literasi?
Ya asyik saja. Semakin
banyak penulis baru lahir dan berani menerbitkan bukunya. Hanya
sayang banget setelah terbit mereka lupa merawatnya. Buku
itu adalah bayi, bagaimana
kita menumbuhkembangkan dia menjadi seorang anak manis yang banyak disukai
orang karena sehat, lucu, cantik, ganteng, dan menyenangkan. Artinya, banyak
teman-teman hanya efouria saja menerbitkan buku indie, launching besar, namun
minim di promosi berikutnya. Dulu kemanapun saya pergi, di dalam tas saya
selalu ada buku-buku saya buat saya promosikan dimanapun saya berada. Jangan pernah malu
membawa buku kemanapun kita jalan, karena buku itulah sayap kita untuk terbang.
Sebagian
khalayak masih menilai buku-buku indie belum sebaik buku-buku dari penerbit
major. Bagaimana Anda memandang masalah ini?
Ya
nyatanya memang begitu. Karena keterbatasan tim kreatif yang tidak melakukan
riset pasar saja saya kira. Riset bagaimana sebuah buku itu bisa diterima, dilihat
dan dibaca banyak orang, bukan hanya komunitas saja, hal ini sangat penting!
Ada
tips yang bisa dibagikan untuk penulis yang memilih menerbitkan buku secara
indie?
-
Berani dengan ide,
jujur dengan tema.
-
Jangan
setengah-setengah.
-
Berlakulah layaknya
major label yang berpikir untung ruginya baik dari sisi nilai maupun harga
sebuah buku.
-
Ramahlah dengan
pembaca, jaga mereka.
-
Layani pembeli siapapun
dia dengan sama, adil.
-
Belajar professional di
promosi maupun penjualannya.
-
Terus semangat promosi
dengan kata-kata yang tidak hanya inspriratif, kreatif, komunikatif, tapi juga
provokatif.
-
Serius dalam hal
marketing komunikasi, peka terhadap pasar dan sponsor.
-
Jangan sepelekan selling point buku : Judul, Cover,
Harga, Kemasan, Kertas, Tagline, Sinopsis atau petikan buku di back cover,
serta harga. Ini kunci sebuah buku indie agar terlihat diantara ribuan buku
yang setiap hari lahir dan terpampang mewah di rak-rak toko.
-
Banyak mendengar dan
bertanya pada orang yang memang tepat sebagai praktisi buku atau penerbitan.
-
Jalin selalu kerjasama
yang nyaman dengan pihak distributor maupun toko.
-
Jangan sungkan
menawarkan kerjasama dengan siapapun.
-
Percaya diri, yakin
buku kita laku!
-
Semua buku punya takdir
sendiri-sendiri
Mungkin akan banyak luka dan perjuangan Anda menerbitkan karya melalui jalur indie. Namun mengutip prinsip Kirana, “Derita itu sebuah kekuatan, bukan kematian. Dan luka itu menghasilkan karya.” Tidak ada pilihan lain selain ‘mengolah luka’, berdiri dan kembali berjuang.
-Nabila Budayana-
makasih kak...
ReplyDeleteaku suka karya kirana kejora
begitu nyata!
namun selalu menyisipkan pesan kehidupan
seperti novel ELANG :-)