“Namanya Debur
Ombak Selatan. Oke, orang tua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak
Selatan?”
Bahkan sudah
bosan aku mendengarnya. Itu bisik-bisik yang sudah sampai di telingaku. Sayang, aku pun tak mengerti mengapa namaku begitu.
Setidaknya sampai hari ini. Di akhir perbincanganku dengan ayah.
***
Ayah. Aku tak pernah ingin
menyalahkan ayah. Kata ibu, hanya seorang pecundang lah yang terus saja
menyalahkan orang lain. Seandainya saja ayah saat itu tak membawa kami pindah
ke mari. Ke tepi selatan suatu pulau, yang seakan terpencil ini. Kehidupan kami
di kota sangat baik sebelumnya. Ayah mampu hidup dari honor menulisnya, dan ibu
mampu menambah biaya hidup kami dengan bekerja sebagai perawat di sebuah rumah
sakit besar. Tak ada kejanggalan apapun saat itu, sampai akhirnya
bertahun-tahun kemudian, saat ini, ketika diriku bukan lagi anak-anak. Usiaku
sudah lebih dari dua puluh tahun. Ayah mengajak kami mengepak semua barang, dan
memilih tinggal di sebuah pondokan tepi pantai selatan yang sederhana, namun
tertata apik.
Bukan aku tak suka. Namun,
mestinya ayah menyadari rasanya menjadi seorang gadis muda yang telah terbiasa
dengan segala fasilitas kota. Untunglah kami tak benar-benar terputus dari
kehidupan. Ada akses internet yang sengaja ayah pasang untuk mengirimkan
naskah-naskahnya pada penerbit dan media. Sedangkan ibu, telah berhenti total
dari pekerjaannya. Ia murni menjadi seorang wanita rumah tangga. Ketika aku
bertanya, apa alasan ayah mengajak kami pindah ke mari, yang keluar dari
bibirnya hanya “Sudah saatnya kembali ke masa lalu.”
***
Jauh, jauh sebelum saat ini, di
kepala ayah, sebuah kisah lahir. Ia sesumbar kisah itu akan menjadi bagian
penting dalam buku yang sedang ditulisnya. Buku yang mungkin akan bernasib sama
seperti buku-buku sebelumnya. Tak terlalu laku. Hanya bertahan beberapa minggu
di bagian rak depan toko buku, sebelum akhirnya berpindah di bagian pojok, dan
berakhir di tumpukan gudang, menanti saat-saat ia masuk pada tumpukan rak
diskon beberapa tahun kemudian. Aku selalu berpikir, apa yang menyebabkan buku
ayah tak laku. Apa karena temanya yang sudah terlalu umum? Atau teknis
penulisannya yang jauh dari cukup? Entah. Namun, ayah pun tak pernah peduli
dengan itu. Ia seakan menutup kedua telinganya terhadap surat-surat elektronik
yang berisi cacian pembaca. Hebat juga, pikirku.
Anganku belum menemukan muara,
ketika kudengar suara langkah seseorang dari belakang. Ternyata ayah. Ia
mengambil tempat di ayunan kosong sebelahku. Ayunan ini kubuat sendiri, ketika
kurasa tak ada tempat yang tepat untuk memandang laut.
“Sudah lama?”
“Lumayan. Tulisan ayah sudah
selesai?” kataku tanpa menoleh padanya.
“Melihatmu dari jendela, ayah
jadi ingin bergabung,” senyumnya masih sehambar warna langit di depan kami.
“Sejak kapan kamu menjadi sebesar
ini?”
“Sejak ayah terlalu sibuk dengan
pekerjaan,” kata-kataku agak ketus, tapi biarlah.
Kami kemudian berada dalam
kecanggungan. Seperti dua orang yang sudah lama tak saling bicara. Meski raga
kami berada di dimensi yang sama.
“Mengapa ayah suka menulis kisah
roman? Bukankah bagi sebagian orang itu terdengar payah?”
“Haha. Mungkin selama ini ayah
terlalu sibuk dengan tulisan, hingga tak mendengar jika orang berbicara begitu?”
ia sedikit tergelak. Aku tak merasa itu lucu.
“Ini kisah terbaru yang ayah
tulis. Khusus untukmu, ada spoiler istimewa.”
Aku sudah yakin, tak akan ada
yang menarik dari seorang penulis laki-laki yang bukunya telah membuat rugi
penerbit dan berakhir di gudang. Tapi, biarlah. Lagipula, aku sedang senggang.
Di antara deru suara angin pantai di telinga kami, ia pun lamat-lamat mulai
bercerita.
***
Hanya ada tiga tokoh di kisah
ini. Seorang laki-laki jahat, seorang pria payah yang berlagak pahlawan, dan
seorang wanita yang tingkat kesabarannya keterlaluan. Maklum, lah. Hanya ada
sekat tipis antara kesabaran dan kebodohan mau diperdaya.
Sang laki-laki menjanjikan banyak
hal untuk sang wanita. Keberanian, kebijaksanaan, dan yang paling utama,
janji-janji yang begitu manis. Janji setia, janji menyayangi, janji sehidup
semati. Klise, gombalan tak mutu. Kata orang, keberuntungan adalah ketika kita
berhadapan dengan musuh yang tepat. Sang wanita yang selalu menyajikan senyum
dan ketulusan tanpa pura-pura, sayangnya terperdaya. Ia selalu setuju dengan
ajakan sang laki-laki untuk bertemu setiap kali. Tak ada kecurigaan, tak ada
prasangka. Semua laki-laki sebaik bapak, baginya. Sayang, bunga yang indah tak
selalu mekar di tempat yang tepat. Sang laki-laki menghancurkan hidupnya
seketika. Bukan hanya untuk saat itu, namun seterusnya. Laki-laki itu hanya
mengaku ia tak sengaja melakukannya. Sang wanita, mengaku telah mencoba melawan
sekuat tenaga. Namun, apa daya, ia hanya perempuan dengan bobot tubuh yang tak
lebih dari lima puluh kilogram. Kuku-kuku jarinya sudah putus karena membela
diri, tak mampu merobohkan tubuh besar sang laki-laki. Rasanya ia nyaris buta
karena meratap. Meronta, menangis, mencoba bunuh diri, sudah ia coba lakukan
semua. Bukan hanya untuk kehidupannya yang berantakan, namun kepercayaan dan
ketulusannya yang telah dimanfaatkan. Butuh waktu yang lama sebelum akhirnya ia
berani menatap kembali harinya, dan membuka diri pada seorang pria yang lain. Pria
payah yang tak pernah menjanjikan apapun, namun bertekad membawa sang wanita
keluar dari pusaran kemuraman. Bukan hal mudah. Sang pria pun harus meluluhkan
hatinya dalam waktu yang lama. Wanita itu begitu rapuh, hingga ia takut menjadi
pria kedua yang menghancurkan hidupnya. Sang pria terus mencoret kalendernya,
menunggu waktu hingga sang wanita menerima pinangannya. Di sela itu, sang pria
masih sibuk dengan dirinya sendiri, dengan tulisan-tulisannya sendiri.
Aku begitu ingin menutup kisah
ini dengan bahagia. Oleh karena itu, sang pria kubuat bertekad kuat dalam
dirinya sendiri, bahkan menuliskannya besar-besar di setiap halaman catatannya.
KEBAHAGIAAN UNTUKKU DAN WANITAKU. Kubuat sang pria meminang sang wanita di
suatu pantai. Keduanya sepakat. Untuk memungut dan menyusun sisa-sisa harapan.
Melanjutkan kehidupan. Nyatanya, kenyataan tak semudah itu. Mereka belum siap
untuk bersama-sama. Sang perempuan belum banyak mampu menerima seorang pria di
samping tempat tidurnya setiap saat. Ia masih terbayang laki-laki yang dulu,
yang melantakkan hidupnya. Sang pria memilih mengalah, ketimbang memaksakan. Kemudian
keduanya sepakat berpisah. Memberi waktu masing-masing untuk berpikir. Namun,
aku tetap kukuh ingin menjadikan kisah ini bahagia. Jadi kubuat mereka bertemu
kembali, di tepi pantai yang sama, beberapa tahun kemudian. Mereka kembali.
Kali ini keduanya berjanji untuk tak saling pergi. Debur ombak menyaingi suara
janji mereka. Janji itu benar adanya. Putri mereka yang lahir beberapa tahun
kemudian, dinamakan Debur Ombak Selatan. Setelah beberapa tahun pergi, mereka
kini tinggal kembali di sana, di tepi pantai itu, untuk menyusuri masa lalu. Sejak
itu, diam-diam, mata sang wanita selalu terlihat sembab, dan ia seringkali
menatapi kuku jarinya sendiri. Sedangkan sang pria sibuk menuliskan kembali kisah
itu, sekaligus mengungkapkan masa lalunya. Meski akhirnya terkesan picisan dan
penuh drama, itu hidupnya. Dan kini ia mengungkap rahasia dua puluh tahunnya. Kepada
Debur Ombak Selatan, putri yang tak pernah tahu betapa besar rasa sayangnya.
***
Ayah menarik napas panjang
setelah bercerita. Aku terdiam. Tak ada yang mampu kukatakan. Kisah roman itu
menjadi kisah paling mengubah hidupku. Setelah itu, aku tak pernah lagi
bertanya-tanya. Mengapa kami pindah ke mari, dan mengapa ibu tak pernah memberi
penjelasan dari mana nama Debur Ombak Selatan itu berasal. Namun itu sekaligus
menyulut benci pada diriku. Mengapa ayah selalu berkisah roman. Yang saat ini
kukira, tak selalu picisan.
* Ditulis untuk tantangan menulis #ombak Jia Effendie
No comments:
Post a Comment