(Katanya) ini penutupan. Hari
terakhir #5BukuDalamHidupku membuat saya bimbang buku apa yang mesti saya
sampaikan. Entah karena terlalu banyak, atau justru tak ada. Saya menarik
napas, dan mulai berpikir perlahan. Kemudian satu judul buku muncul di kepala
saya. Rasanya tak adil membiarkan buku ini tak mendapat ruang, setelah mengubah
sedikit banyak sudut pandang saya. Maka, tanpa berharap menjadi terasa
berlebihan, saya ingin berkisah tentang ini.
Sebuah langkah awal kadang kala
tak selalu ditentukan oleh hal yang besar. Dan kaki-kaki saya tak mampu memilih
jalan dan kapan saat itu datang. Ketika merasa siap dengan ekspektasi tinggi,
tak ada yang datang. Namun ketika diri kosong dan tak mengharap apapun, momen
itu dengan mengejutkan datang, dan mengisi dengan hal baru. Saya tak menyadarinya,
hingga datang hari itu. Dua tahun lalu, di tengah jadwal kuliah yang menghimpit, saya iseng
saja membeli buku bersampul putih dan bergambar apel itu. “9 Summers 10
Autumns” karangan Iwan Setyawan. Saya membeli dengan ekspektasi kosong.
Alasannya sederhana. Saya orang yang tak mudah termotivasi.
Buku itu merebut empati saya
karena satu hal yang sangat sederhana : kejujuran. Penulis nampak menumpahkan
semua yang memang ingin ia katakan. Terbaca, penulis murni ingin membagi.
Seakan tak peduli dengan apa kata orang lain nantinya. Lalu, saya mendapati informasi
tentang bedah bukunya. Saya hadir dengan alasan sekadar ingin lembar awal buku
ditandatangan. Tapi ternyata semuanya bisa terjadi tanpa diduga. Saya belajar
banyak dari sang penulis. Sejak itu saya mulai mengambil jarak dengan diri
sendiri, dan kembali mengenal diri
secara berbeda, dan coba menelaah apa yang sebenarnya yang saya miliki. Saya
seperti seorang yang selama ini selalu menghindari cermin. Takut akan bayangan
sendiri. Khawatir akan melihat hal yang tak ingin saya lihat dalam refleksi itu.
Saya pun takut melihat bayangan itu di mata orang lain. Saya tak pernah
benar-benar mengambil jarak dekat, dan dengan gagah berani melihat bayangan
diri saya di mata orang lain. Yang saya tahu, hanya kaki sendiri dan mengatur
langkah dengan hati-hati. Awalnya berat. Saya mengintip perlahan. Membuka tirai
yang menutupi cermin pelan-pelan, seperti mengucap permisi pada sebuah rumah
yang baru didatangi. Untung refleksi itu tak bilang terlambat. Ia menjabat
tangan saya perlahan dan menyambut dengan ramah, seakan sudah menunggu lama. Ia
menunjukkan apa yang bisa dikenali dari diri saya. Apa yang harus saya terima,
hadapi, dan sikapi. Kemudian perlahan saya membuat mimpi-mimpi kecil. Jangankan
mencatatnya, membayangkan hasilnya pun saya enggan. Namun dari situlah saya
menjadi (mulai) berani menghadapi diri saya sendiri.
Di titik itu, saya kembali menanyakan
pada diri saya sendiri, apa mimpi saya selama ini? Apa mimpi saya sudah sebesar
si Iwan kecil dari sudut kota Batu itu? Atau jangan-jangan untuk bermimpi saja
saya takut? Kemudian saya juga bertanya, apa saya juga sudah memeluk diri saya
seerat pelukan sang pria dan si bocah kecil berbaju putih merah? Lain lagi jika
saya bertanya, sudahkah rasa sayang saya cukup besar untuk mama, seperti
penulis yang menyayangi ibunya? Atau sudahkah saya setangguh penulis dalam
menghadapi kehidupan? Dan sudahkah saya melihat dunia seluas si penulis? Banyak
pertanyaan lain yang saya kira bisa jawab, nyatanya selama itu pula saya hanya
berusaha menghindarinya, atau memilih menjawabnya nanti-nanti saja.
No comments:
Post a Comment