Pages

Saturday, November 16, 2013

5BukuDalamHidupku | Jujur Tak Perlu Menunggu



(Katanya) ini penutupan. Hari terakhir #5BukuDalamHidupku membuat saya bimbang buku apa yang mesti saya sampaikan. Entah karena terlalu banyak, atau justru tak ada. Saya menarik napas, dan mulai berpikir perlahan. Kemudian satu judul buku muncul di kepala saya. Rasanya tak adil membiarkan buku ini tak mendapat ruang, setelah mengubah sedikit banyak sudut pandang saya. Maka, tanpa berharap menjadi terasa berlebihan, saya ingin berkisah tentang ini.

Sebuah langkah awal kadang kala tak selalu ditentukan oleh hal yang besar. Dan kaki-kaki saya tak mampu memilih jalan dan kapan saat itu datang. Ketika merasa siap dengan ekspektasi tinggi, tak ada yang datang. Namun ketika diri kosong dan tak mengharap apapun, momen itu dengan mengejutkan datang, dan mengisi dengan hal baru. Saya tak menyadarinya, hingga datang hari itu. Dua tahun lalu, di tengah jadwal kuliah yang menghimpit, saya iseng saja membeli buku bersampul putih dan bergambar apel itu. “9 Summers 10 Autumns” karangan Iwan Setyawan. Saya membeli dengan ekspektasi kosong. Alasannya sederhana. Saya orang yang tak mudah termotivasi.   

Buku itu merebut empati saya karena satu hal yang sangat sederhana : kejujuran. Penulis nampak menumpahkan semua yang memang ingin ia katakan. Terbaca, penulis murni ingin membagi. Seakan tak peduli dengan apa kata orang lain nantinya. Lalu, saya mendapati informasi tentang bedah bukunya. Saya hadir dengan alasan sekadar ingin lembar awal buku ditandatangan. Tapi ternyata semuanya bisa terjadi tanpa diduga. Saya belajar banyak dari sang penulis. Sejak itu saya mulai mengambil jarak dengan diri sendiri, dan  kembali mengenal diri secara berbeda, dan coba menelaah apa yang sebenarnya yang saya miliki. Saya seperti seorang yang selama ini selalu menghindari cermin. Takut akan bayangan sendiri. Khawatir akan melihat hal yang tak ingin saya lihat dalam refleksi itu. Saya pun takut melihat bayangan itu di mata orang lain. Saya tak pernah benar-benar mengambil jarak dekat, dan dengan gagah berani melihat bayangan diri saya di mata orang lain. Yang saya tahu, hanya kaki sendiri dan mengatur langkah dengan hati-hati. Awalnya berat. Saya mengintip perlahan. Membuka tirai yang menutupi cermin pelan-pelan, seperti mengucap permisi pada sebuah rumah yang baru didatangi. Untung refleksi itu tak bilang terlambat. Ia menjabat tangan saya perlahan dan menyambut dengan ramah, seakan sudah menunggu lama. Ia menunjukkan apa yang bisa dikenali dari diri saya. Apa yang harus saya terima, hadapi, dan sikapi. Kemudian perlahan saya membuat mimpi-mimpi kecil. Jangankan mencatatnya, membayangkan hasilnya pun saya enggan. Namun dari situlah saya menjadi (mulai) berani menghadapi diri saya sendiri. 

Di titik itu, saya kembali menanyakan pada diri saya sendiri, apa mimpi saya selama ini? Apa mimpi saya sudah sebesar si Iwan kecil dari sudut kota Batu itu? Atau jangan-jangan untuk bermimpi saja saya takut? Kemudian saya juga bertanya, apa saya juga sudah memeluk diri saya seerat pelukan sang pria dan si bocah kecil berbaju putih merah? Lain lagi jika saya bertanya, sudahkah rasa sayang saya cukup besar untuk mama, seperti penulis yang menyayangi ibunya? Atau sudahkah saya setangguh penulis dalam menghadapi kehidupan? Dan sudahkah saya melihat dunia seluas si penulis? Banyak pertanyaan lain yang saya kira bisa jawab, nyatanya selama itu pula saya hanya berusaha menghindarinya, atau memilih menjawabnya nanti-nanti saja.

No comments:

Post a Comment