Pages

Tuesday, September 4, 2018

Sinergi Pelaku Ekonomi Kreatif : Kombet Kreatif Surabaya 2018 [Bagian Pertama]



Philip Pullman, seorang penulis fiksi kenamaan dunia pernah mengatakan, 

"After nourishment, shelter and companionship, stories are the thing we need most in the world."


Manusia pada dasarnya menyukai cerita. Kita terbiasa bercerita dan mendengar cerita tentang apa saja. Pendekatan manusiawi itu tampaknya makin dilirik belakangan. Termasuk pada teknik pemasaran produk. 

***

Badan Ekonomi Kreatif bersama Tempo Institute menyeleksi dan menemui ratusan pelaku ekonomi kreatif di 12 kota. Padang, Surabaya, Bandung Barat, Bojonegoro, Malang, Singkawang, Kendari, Karangasem, Maumere, Kupang, Belu, dan Merauke. Menamakan programnya dengan Kombet Kreatif 2018, Bekraf ingin menciptakan iklim kolaborasi di antara pelaku ekonomi kreatif, serta memberikan pelatihan mendasar tentang bagaimana menyampaikan produk yang dimiliki dengan baik. Story telling produk dinilai penting bagi peserta, mengingat saat ini era penjualan telah bergeser ke media digital yang tentu membutuhkan kecakapan bercerita.



Surabaya yang difasilitasi oleh Surabaya Creative Network menjadi kota kedua yang disinggahi tim Bekraf dan Tempo Institute di 31 Agustus-2 September 2018. Dihadiri 40 pelaku UKM berbagai bidang, mulai jasa pembuatan animasi, produk kerajinan daur ulang, pembuatan board game, kelas pendidikan anak, hingga catering makanan sehat. Berlokasi di Satu Atap Co Working Place and Food Station, di hari pertama hadir kreator karakter "Si Juki" Faza Meonk, Burhan Solihin direktur eksekutif tempo.co, serta Endri Kurniawati selaku editor tempo.co. 

Kreatif tak pernah identik dengan hal-hal yang kaku dan rutin. Oleh karenanya, acara ini sengaja dikemas santai. Bukan hanya materi satu arah, peserta juga diajak untuk melakukan diskusi kelompok dan dibimbing langsung oleh para pembicara. Hasil diskusi mesti dipresentasikan bersama berdasarkan masukan dari nara sumber.







Burhan Solihin memberikan fakta bahwa Indonesia masih begitu tertinggal dari sisi jumlah pelaku UKM dibanding negara lain. Sebut saja Singapura yang telah lebih maju dengan 7% pelaku UKM dari jumlah total populasi, Malaysia 5%, sedangkan Indonesia baru mencapai 2,5%. Bergerak mengikuti pola konsumsi dunia, Indonesia sedang berproses mengubah pola konsumsi dari konvensional ke digital (transaksi online). Menyadari bahwa UKM mampu menjadi pembuka lapangan kerja, saat ini ekonomi kreatif menjadi salah satu prioritas pemerintah. Ia juga menekankan bahwa lebih daripada sekadar meraup keuntungan, pelaku UKM mestinya memiliki visi untuk menjadi bagian dalam memajukan perekonomian negeri.

Di era disrupsi ini, media digital adalah jalan yang luar biasa untuk melakukan bisnis. Internet mulai menggeser pemain-pemain usaha lama yang tak mau menyesuaikan zaman. Menurut data, lebih dari separuh perusahaan besar dunia mati karena serbuan perubahan di era disrupsi. Perusahaan harus terus menggali value produknya untuk terus berkembang. Salah satu caranya adalah melalui digital marketing yang selalu membutuhkan kemampuan copy writing yang bersifat story telling untuk konsumen. Copy writing dalam hal ini bukan selalu berupa tulisan, namun juga dapat mewujud ke berbagai bentuk media lain. Meski begitu, penjual tak mungkin selalu bertumpu pada kemampuan copy writing, konten produk pun harus tetap berkonsep dan menarik, karena menjual sesuatu berarti juga berarti membangun reputasi. Terkait dengan masalah mana media digital yang paling tepat untuk berpromosi, Burhan menyarankan agar penjual mengenali karakter masing-masing medsos baik dari sisi fitur maupun perilaku mayoritas penggunanya. Dari hal itu, penjual dapat menyesuaikan dengan kebutuhan marketing produk. 

Credit : Instagram @fianda.julyantoro


Bukan hanya membagikan hal yang bersifat teoritis, Burhan yang juga memiliki bisnis kuliner membagikan tip praktis melakukan penawaran di media sosial. Misalnya saja, jika di Facebook, penjual tak bisa hanya sekadar mengunggah posts, namun juga harus selalu ada interaksi antara penjual dan pembeli. "Tanpa interaksi, tidak ada transaksi." Mengerti berbagai tipe konsumen juga penting bagi penjual. Tipe customer dapat dibagi menjadi tiga : cold, warm, hot. Cold berarti tahapan di mana calon konsumen masih meraba produk tanpa merasakan keterikatan apapun. Konsumen akan merasa warm ketika ia sudah mulai mengenal dan tertarik dengan produk. Tahap ini dapat diupayakan dengan sharing tip atau informasi terkait hal-hal yang berhubungan dengan produk. Jika telah melewati tahap itu, konsumen akan tiba pada tahap hot, di mana mereka merasa mantap untuk melakukan transaksi karena telah teryakinkan. Ketiga tahap itu dapat ditempuh dengan soft selling, bukan melulu langsung berjualan dengan hard selling. Burhan menyederhanakannya dengan istilah "Sharing-sharing dahulu, selling-selling kemudian." Pada prinsipnya, konsumen akan bertransaksi ketika benefit yang ia dapatkan lebih besar dari uang yang dikeluarkan. Benefit dapat dibagi menjadi dua : physical benefit dan emotional benefit. Emotional benefit dapat diartikan sebagai keuntungan bagi konsumen yang tak terlihat, semisal memiliki keanggotaan gym agar terlihat sebagai penganut gaya hidup sehat, atau mengikuti kelas workshop menulis agar dapat memilki kemampuan untuk menginspirasi orang lain melalui tulisan. Benefit itu dapat dibangun dan dilekatkan pada produk.

 ***

Faza Meonk mengisi sesinya dengan membagikan kisah perjalanan Si Juki, sebuah karakter komik yang ia ciptakan. Karakter itu tak hanya berhenti sebagai sebuah cerita komik, namun juga merambah ke berbagai media bisnis lain seperti film, merchandise, hingga perusahaan karakter yang dinamai Pionicon. Faza mengakui bahwa ia merangkum kesemuanya sebagai bisnis karakter. Bisnisnya banyak berkembang karena menangkap berbagai potensi di era sosial media. Bisnis karakter bertumpu pada popularitas, sehingga media sosial efektif untuk mengenalkan dan menjadikan karakter dekat dengan konsumen. Faza meyakini bahwa karakter dapat menambah value dari sebuah produk. Meski begitu, ia pun objektif membedakan bahwa tidak semua produk perlu karakter sebagai media marketing



Walau minim modal di awal, Faza tetap memutuskan berinvestasi dengan membagikan komik Si Juki gratis selama setahun di media sosial demi membangun kepopuleran Si Juki di mata konsumen. Baginya, awareness konsumen terhadap produk penting untuk diupayakan terlebih dahulu. Pasca karakternya populer, Faza dapat mengembangkan bisnisnya baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan berbagai pihak. Dalam mengembangkan lini bisnis, Faza tak sembarangan. Ia memiliki tim dan budget riset tersendiri untuk membaca perilaku pasar. Ditanya bagaimana menghadapi pesaing yang mirip dengan bisnis Faza, ia menyikapi bahwa pengembangan harus terus dilakukan agar berbeda dengan pelaku bisnis serupa yang lain. 

***


Credit : Instagram @tempo.institute



People don't buy your product, they buy your story. - Seth Godin

No comments:

Post a Comment