Pages

Tuesday, June 5, 2018

Mendengar Bunyi, Memeluk Literasi : Literasi Musik Sehari ala Pertemuan Musik

Sore itu, 28 Mei 2018, denting piano mengalun dari Qubicle Center Suropati 84 Surabaya. Sang pianis seorang siswi SMKN 12 Surabaya membawakan salah satu karya Chopin. Pertunjukan itu menjadi salah satu suguhan pertunjukan di acara diskusi “Literasi Musik” dari Pertemuan Musik Surabaya. Seperti acara-acara khas Pertemuan Musik sebelumnya, para pencinta musik dari berbagai kalangan hadir dan mendiskusikan tentang musik dengan lebih dalam daripada sekadar mendengarkan dan memainkannya. 





        Hadir dalam panel diskusi, seorang Etnomusikolog asal Jogjakarta Erie Setiawan, pegiat musik senior Surabaya Musafir Isfanhari, serta kurator seni Ayos Purwoaji. Ketiga sudut pandang yang berbeda ini menarik untuk diikuti. Erie yang banyak bergelut dengan dunia tulis menulis dan penerbitan buku musik, Isfanhari yang mengampu banyak murid musik selama bertahun-tahun, serta Ayos yang menilai musik dari bahan bacaannya. Perbincangan semakin kaya dengan moderasi dari dosen musik Moh. Sardjoko dan Evie Destiana. Mulai mengupas topik, literasi tak sekadar diartikan sebagai membaca dan menulis, namun juga hingga tahap pemahaman dan pemaknaan seseorang terhadap musik. Isfanhari mengingatkan audiens untuk benar dalam memaknai musik. Ia mengangkat sebuah ironi. Selama ini musik masih kerap dianggap sebagai alat untuk mengangkat gengsi bagi sebagian masyarakat. Misalnya dengan sekadar memiliki piano di rumah meski tak bisa memainkannya, atau sekadar mendatangi konser musik klasik demi dianggap termasuk dalam status sosial tertentu. Isfanhari menyayangkan hal tersebut dan menyebutnya sebagai paradigma feodal. Mestinya musik dimaknai sebagai hal indah dan dinikmati secara benar. Kesalahan sikap pun terjadi pada level pembelajar musik. Anggota paduan suara yang memilih menuliskan not angka di atas not balok sebagai panduan, misalnya. Ini kesalahan fatal karena notasi balok merupakan hal yang fixed, sedangkan notasi angka merupakan moving notes. Hal-hal tersebut dapat diluruskan dengan membaca banyak buku musik untuk menajamkan pemahaman. Isfanhari pun memberikan gambaran tentang kondisi musik Indonesia saat ini. Pertumbuhannya yang tak cepat salah satunya dikarenakan literasi musik yang masih belum diupayakan oleh berbagai kalangan. Isfanhari juga menilai bangsa kita lebih terbiasa dengan budaya tutur, daripada tulisan. Tak heran, literatur musik juga sangat kurang secara kuantitas dan kualitas. Sardjoko menambahkan jika literasi penting untuk mengaplikasikan kesenian. 




       Sementara Erie Setiawan sebagai seorang pegiat di lembaga Pusat Informasi Musik : Art Music Today ini mengungkap fakta bahwa masih begitu sedikit pencinta musik bahkan musisi yang rajin membaca literatur-literatur musik sehingga berpengaruh pada perkembangan musik di Indonesia.  Hal tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya belum terjalin baiknya hubungan antara masyarakat dengan literasi. Tercermin dari begitu "horor"nya perpustakaan di mata masyarakat, sehingga kebiasaan untuk berdekatan dengan buku dan membaca pun menjadi kering. Beberapa tip diberikan untuk menumbuhkan kesukaan membaca. Seperti membaca keras, meninggalkan buku yang masih terasa sulit dicerna (dapat diatasi dengan mencari pembimbing yang telah lebih dulu mengerti isinya) dan menjadikan membaca sebagai sebuah kebiasaan. Menjadikan literasi menjadi budaya tentu juga tak lepas dari peran seorang pendidik.

         Di tengah break setelah buka puasa, spontanitas dari para nara sumber juga menjadi pertunjukan yang menarik. Seakan enggan terjerat pada kotak "duduk dan berbicara" dalam diskusi, Erie Setiawan, Musafir Isfanhari, Sardjoko, dan beberapa musisi muda melakukan jamming session dengan membawakan lagu keroncong. Mengikuti jejak seniornya, Stikommusic dan UNESA Keroncong menyajikan berbagai komposisi berbagai genre. Mulai keroncong hingga pop. Di akhir acara, duo Westlist Cello Ensemble asal UNESA pun memainkan beberapa karya klasik barat.



          Sesi diskusi berlanjut dengan Erie dan Ayos. Ayos membagikan khasanah beberapa judul buku musik yang pernah dibacanya. Antara lain buku karya Jeremy Wallach, Nuran Wibisono, dan Yoyon Sukaryono. Banyak hal yang didapatnya dari buku-buku tentang musik, membuat Ayos berhasil memaknai musik dengan sudut pandang yang berbeda dan lebih luas. Dari karya pikiran Jeremy Wallach, ia mendapat gambaran landscape musik orang Indonesia yang berbeda. Masyarakat Indonesia lebih akrab dengan kebisingan, sehingga limit pendengarannya lebih tinggi dibanding penduduk negara barat. Meski berkebangsaan asing, riset mendalam Wallach mampu menghasilkan  pemetaan tiga jenis musik populer di Indonesia, yaitu dangdut, keroncong, dan religi. Nuran Wibisono berkisah dengan cair tentang kesan personalnya pada musik rock and roll melalui bukunya. Ambisi itu bahkan membawanya pada sebuah kesimpulan bahwa musik yang didengarkan ketika masa puber adalah musik yang akan didengarkan sampai mati. Sementara itu, karya Yoyon Sukaryono cenderung menyajikan opini tajamnya tentang musik grunge. Bahkan karyanya itu menciptakan reaksi keras dari pembaca yang mengancam akan membunuhnya.



          Erie Setiawan juga memberikan referensi judul bacaan yang menarik. Antara lain "Mendengar Bali, Merindukan Arawadisima" milik Gardika Gigih, "Estetika Musik" milik Suka Hardjana, dan "Notasi Musik Abad 20-21" karya Septian Dwi Cahyo. Berkaca dari karya Gardika Gigih yang menuliskan pengalaman personalnya tentang musik, semua orang dapat melakukan hal yang sama juga. Tanda bahwa tak harus seorang ahli musik melulu yang dapat menulis musik. Sementara "Estetika Musik" menggabungkan filsafat, etnomusikologi, dan estetika. Buku legendaris tersebut telah terbit sejak 1983, dan masih terus digunakan sebagai diktat kuliah musik. Karya Septian Dwi Cahyo lebih mengunggulkan teori ketimbang estetika. Erie juga memberikan refleksi menarik tentang dunia penerbitan buku musik. Salah satunya tentang menyeimbangkan idealismenya untuk menyampaikan sebuah wawasan spesifik dan mesti bergelut dengan minat pasar. Meski masih menyimpan banyak peluang yang bisa dikerjakan, nyatanya masih sedikit musisi yang memilih untuk menulis. Enam tahun Art Music Today berupaya bertahan dengan mencetak 500-1000 ekslemplar setiap judul terhitung cukup berat bagi Erie. Selain kekurangan penulis, Erie mengaku juga kesulitan mencari editor buku musik yang bukan hanya bisa memahami bahasa, namun juga mengerti teknis musik. Menyikapinya, Erie mengajak beberapa orang untuk mengikuti latihan editorial naskah musik, hingga pembahasan distribusi buku musik. Bertahan di industri yang cukup "seret" itu, ia menganalisis pemetaan pasar buku musik. Ada pasar yang mengikuti tren yang terus berubah, dan ada yang cenderung teguh pada prinsip. Untuk mengikuti tren tentu akan susah. Sehingga Erie menyasar pihak-pihak yang memiliki kompromi terhadap hal-hal yang tetap.  

Pemahaman dan pemaknaan yang mumpuni terhadap bunyi akan selalu dibutuhkan untuk iklim musik yang ideal. Meski begitu penting, namun literasi musik memang masih membutuhkan upaya perubahan besar di tengah masyarakat. Penting sebagai refleksi, sudahkah kita memaknai bunyi, yang berarti juga memaknai segala sesuatu dengan lebih dalam? 

No comments:

Post a Comment