Pages

Tuesday, October 6, 2015

Pertemuan Musik Surabaya : Cascade Trio

"The trio is a bit frightening at first glance, but it is not really that difficult to perform: seek and you shall find!” - Felix Mendelssohn

"Bulan depan Cascade Trio."

Di tengah obrolan akhir Agustus lalu, Mbak Gema Swaratyagita memberikan bocoran acara berikutnya dari Pertemuan Musik Surabaya.

Pertemuan kedua saya dengan Cascade Trio terjadi Senin lalu, 28 September 2015. Sebelumnya, setahun lalu, saya sempat menonton pertunjukan mereka, juga di Surabaya. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya di mana saya datang terlambat dan mendapatkan seat terbelakang, kali ini saya lebih tepat waktu. Partner nonton saya kali ini pun istimewa. Hanya bisa didatangkan setahun sekali dari Denver, Colorado. Kebetulan guru musik saya sedang berlibur tahunan ke Indonesia, jadi saya tak panjang pikir untuk mengajaknya bergabung menonton.

Di Senin terakhir di September, setelah kelas, kami meluncur ke Melodia untuk mengikuti workshop pasif. Di luar perkiraan, kami hadir terlalu awal dan workshop menarik ini minim peserta. Mengingat jumlah peserta yang sedikit, kami bisa mendapat seat paling depan untuk leluasa menyimak workshop peserta aktif. Peserta workshop aktif akan tampil juga di malam hari di sela program yang ditampilkan Cascade Trio. Tim quartet dari Sendratasik Unesa String Quartet mendapatkan kesempatan pertama untuk workshop. Para pemain string muda ini telah mendapat workshop intensif sehari sebelumnya di tempat yang berbeda. Mereka membawakan Quartetto 46 op. 33 No. 1, 1st movement dari 'sang empunya' quartet gesek, Joseph Haydn. Harapan timbul dengan adanya bibit string quartet baru yang masih segar. Namun bibit-bibit baru potensial ini mesti dipoles dan diberi kesempatan kembali untuk menjadi sebuah 'hasil jadi'. Kesiapan secara teknis, kematangan dalam membawakan komposisi, komunikasi antar performer dan rasa percaya diri menjadi hal yang secara umum perlu diperhatikan. Dibimbing oleh Danny Ceri dan Ade Sinata, mereka banyak ditekankan pada menciptakan padu antar instrumen, phrasing, bowing, dinamika, rhytm, juga pembiasaan pada sebuah ruang konser yang besar. Kedua mentor memberikan berbagai saran, terutama tentang keyakinan dalam menampilkan komposisi. Keempat personil pun berusaha maksimal dalam menyerap dan memperbaiki kualitas penampilan.


Airin Efferin kebagian untuk membimbing dua pianis muda yang memainkan sebuah komposisi 4 tangan. Kedua peserta, Lisa Angelia dan Aubrey Ruby tampak telah siap dengan komposisi yang mereka bawakan. Tak heran, Airin memuji perkembangan mereka karena telah memperbaiki begitu banyak hal yang ia sarankan untuk menyempurnakan penampilan. Airin terlihat begitu ekspresif dalam memberikan workshop. Kedua pianis diberikan berbagai saran upaya perbaikan dari sisi mood, ekspresi, komunikasi dan kerja sama satu sama lain, beberapa teknis yang berkaitan dengan phrasing, bahkan posisi tumpuan duduk. Tak lama kemudian workshop diakhiri.



Membawa partner workshop yang tepat, saya pun diberikan begitu banyak masukan dari guru di sebelah saya. Meski hanya peserta pasif, saya belajar banyak hari itu. Begitu akan beranjak pulang, kami sempat menyapa dan berbincang singkat dengan Airin Efferin. Karena waktu hanya tersisa beberapa jam dari waktu konser di malam hari, begitu workshop selesai, Cascade Trio berlanjut untuk melakukan latihan.

Kami kembali di malam harinya untuk menikmati puncak acara. Konser chamber music dari Cascade Trio dan peserta workshop cukup ramai oleh penikmat musik. Puluhan audiens memenuhi ruang konser Wisma Musik Melodia Surabaya. Kali ini audiens cukup tertib dalam menikmati pertunjukan, sehingga fokus dapat sepenuhnya diberikan pada penampil.

Pertunjukan kali ini menjadi lebih menarik bagi saya, karena adanya kesempatan untuk menonton peserta workshop terlebih dahulu sebelumnya. Tentu ambiance ketika workshop dan konser akan sangat berbeda. Penampil dan sebagian penonton memiliki kesempatan untuk menikmati keduanya. Panggung menjadi milik duo pianis, Lisan Angelia dan Aubrey Ruby dengan Sonata for Four Hand milik Francis Poulenc terlebih dahulu. Terlihat bahwa mereka sudah terbiasa untuk tampil di depan umum, sehingga kualitas penampilan mereka cukup terjaga. Berbagi tuts piano dengan pianis lain untuk membahu menampilkan satu komposisi yang sama memang tak mudah. Tentu komunikasi satu sama lain akan sangat berperan. Saya rasa komposisi ini akan jauh lebih menarik ketika duo pianis ini lebih menikmati melodi yang dihasilkan dan memberikan fokus lebih pada interpretasi serta penyampaian musik pada audiens. Not-not yang repetitif yang khas dan dinamika yang menarik sesungguhnya mampu menampilkan rasa ceria dan pengalaman mendengarkan yang menyenangkan bagi penonton.    

String Quartet dari UNESA yang diisi oleh Ridwan Alwy, Rendi Fakhrudin, Dwi Rendra Sugiatma dan Mardha Putra memutuskan untuk memberi kejutan dengan menampilkan bukan hanya Haydn, namun juga Mozart. Meski komposisi utamanya adalah Haydn, namun Mozart juga sempat dimainkan ketika sesi workshop. Meski masih terkesan kurang yakin, namun String Quartet ini mencoba sebaik mungkin. Keberanian mereka untuk mencoba berkolaborasi menjadi satu tim quartet patut diberikan apresiasi. Mereka hanya butuh waktu, kesempatan, ketekunan dan jam terbang lebih untuk menjadi Quartet yang menjanjikan.

Cascade Trio masih memikat. Berbeda dengan kali pertama menonton penampilan mereka, saya jauh lebih menikmati pertunjukan kali ini. Airin, Dany dan Ade tampil begitu profesional. Di kesempatan pertama mereka membawakan Piano Trio no.6 op. 22 kepunyaan Felix Mendellsohn (1809-1847) yang terdiri dari empat movements. Cascade Trio juga menghadirkan Shostakovich Piano Trio No 1 in C minor op 8 yang banyak bermain di tempo dan karakter. Di antara persiapan mereka di atas panggung sebelum tampil, Ade memecah kecanggungan dengan memberi penjelasan pada penonton tentang partitur yang panjang. Meski ini hal minor, namun menjadi trik yang bagus untuk membangun chemistry dengan penonton bahkan sebelum komposisi dimainkan. Profesionalitas mereka terwujud dengan komunikasi yang terjalin sangat baik. Bahkan saya rasa penonton akan tak begitu menyadari bagaimana mereka bertukar isyarat ketika mesti memulai nada di timing yang sama. Dinamika-dinamika dan bagian-bagian komposisi dihadirkan jelas dan menghibur. Forte-forte dihadirkan dengan yakin dan ekspresif selalu menjadi bagian favorit saya karena berhasil menampilkan nuansa grande. Saya jadi membayangkan, apabila saya memilih seat paling terbelakang sekali pun, nuansa akan sama didapatkan. Meski cenderung menjadi hal kecil, tapi bagi saya, membaca ekspresi wajah performer ketika memainkan komposisi juga menjadi sebentuk 'kelengkapan' paket hiburan untuk audiens yang juga ingin dimanjakan secara visual. Ekspresi itu dapat ditemukan dari Ade Sinata. Memberikan nada-nada pentatonik, Cascade memutuskan untuk menyajikan Variasi Pelog milik Budi Ngurah yang mereka bawakan ketika menjalani workshop di Spanyol. Sembilan variasi pendek dihadirkan. 


Keseriusan, ketekunan, konsistensi dan dedikasi Cascade Trio seakan membuktikan bahwa mereka harus diperhitungkan. Tidak heran ketika mereka menjadi satu-satunya trio dari Indonesia yang berhak menimba ilmu langsung dari Trio Arbos di Spanyol baru-baru ini. Membagikan ilmu pada performer-performer baru adalah sebentuk usaha yang sangat positif. Ini seakan menjadi gambaran investasi Cascade Trio pada perkembangan musik kamar di masa mendatang.   

No comments:

Post a Comment