Pages

Thursday, January 29, 2015

Hari Pengharapan

Sudah beberapa tahun ini, wajah-wajah di kota itu tak jua mengalami perubahan. Wajah tua dan muda nyaris sama. Wajah mereka seluruhnya pucat, tak merona. Matahari sudah lupa datang ke kota ini, rupanya.

Kota seakan selalu diselimuti kabut setelah hujan turun. Tinggal di dalam kesuraman yang sama selama bertahun-tahun membuat seluruh kota merasa ditempatkan pada sebuah penjara bawah tanah. Anak-anak muda tenggelam dalam lamunannya akan mendung yang selalu datang. Mereka lebih memilih memandang jendela dalam hening ditemani balada-balada romantis. Sedangkan yang tua lebih memilih merajut dan membaca koran diiringi bunyi tetesan hujan. Tak ada aktivitas belakangan. Hanya sektor-sektor penting yang masih bergerak. Misalnya industri batu bara, pangan dan media (sebagian besar mengabarkan berita dari luar kota dan iklan). Seluruhnya berjalan lambat.

Berdasarkan rancangan undang-undang pemerintahan kota, hujan sudah dianggap sebagai penyebab kesuraman dan ketidakproduktifan. Ia hujan, bukan kambing hitam. Namun kekuasaan berbicara. Perlahan kota mulai membenci hujan yang turun terus menerus selama bertahun-tahun. Tak ingin dianggap tak berhasil, walikota memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mencari pengharapan di antara arsip perpustakaan. Salah seorang dari mereka berhasil menemukan. Menurut ramalan para tetua, akhir bulan depan akan ada hari istimewa.

Semua jiwa menunggu hari besar. Berdasarkan almanak, dalam satu hari, matahari akan mampir kembali sejenak. Ia menyelinap beberapa derajat dari garis edarnya. Menggantikan sementara hujan yang seakan abadi. Seluruh kota menantikan, bersiap. Generasi tua menantikan kembali setelah sekian lama, sedangkan pemuda bertanya-tanya seperti apa rupa matahari jika menyinari rumah dan tanah lapang mereka. Hari itu krusial karena ditumpuk dari begitu banyak pengharapan.

***

Di antara remang dan sepi, wanita paruh baya itu terbangun dengan cemas. Keringat dingin menyusur di sepanjang pelipisnya. Matanya membelalak, mencoba menangkap gambaran samar yang ia saksikan di alam bawah sadar sebelumnya. Napasnya memburu tak beraturan. Ditengoknya jam dinding, masih beberapa menit lewat tengah malam.

Seorang bocah laki-laki mengejutkannya, tampak di ambang pintu, dan menatapi wanita itu dengan seksama.

"Terjadi lagi?"

Sang wanita mengangguk lemah. Tubuhnya terasa lengket dengan keringat, membuat tak nyaman.

"Apa yang kali ini ibu lihat?"
Sang wanita mengacungkan telunjuk ke atas. Sang bocah membaca gerakan mulut ibunya. "Hujan"

***  

Meski lesu, kabar burung di kota ini selalu berhasil melesat cepat. Menyusup melalui celah gorong-gorong, menumpang partikel angin. Seseorang dengan begitu cepat dapat mengetahui perubahan di kota ini. Nyaris tak ada yang mampu disembunyikan kecuali bisikan hati terdalam. Dalam hitungan jam, kabar burung itu telah bertransformasi menjadi prasangka. Sedikit banyak ditambahi dan didramatisasi. Setiap orang tak lagi memperhitungkan logika dan empati, hanya keegoisan dan menikmati perhatian sebagai si paling tahu.

Si bocah laki-laki berlari ketakutan ke dalam rumah. Ini sudah kesekian kalinya. mestinya ia tak boleh setakut dulu. Ia berlari dengan derap kencang di sepanjang lantai kayu rumah. Meninggalkan bunyi derit-derit kayu dari tangga tua, melesat menuju kamar ibunya.

"Kali ini berbeda." katanya, bergetar, tersengal.

Sang ibu yang baru saja selesai menatap langit-langit, menoleh padanya.

"Mereka membawa obor dan minyak tanah."

Bocah laki-laki itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya, dan apa yang dihadapinya. Tak disangkanya, setelah membuat ibunya tak mampu lagi bicara, mereka belum puas juga. Sementara teriakan di luar rumah semakin kencang saja. Semua memaki, menyalahkan sang wanita. Ia sudah bertekad untuk melindungi ibunya, apapun yang terjadi. Ia kira ia akan kuat. Nyatanya, tubuhnya gemetar. Kepalan tangan, teriakan, minyak tanah dan obor, sudah berhasil mengecilkan nyalinya. Sang wanita beranjak memeluk putranya erat. Kini mereka mesti menghadapinya berdua saja. Sementara itu derak-derak kayu yang ditelan api terdengar, bau asap mulai menghampiri penciuman. Sang bocah terisak menangis. Sementara sang ibu berairmata dalam diamnya...

***

Meski di ujung kamar mandi, masih terasa panas. Api semakin menyudutkan. Bayangan gelap seakan telah menjangkau-jangkau. Sebelum tak sadarkan diri dalam pelukan ibunya, bocah laki-laki itu menyesal setengah mati. Ia terus saja bertanya-tanya mengapa dibiarkannya sahabat kecilnya mengetahui cerita itu. Cerita tentang mimpi ibunya yang berpayung di tengah hujan, di hari pengharapan...





Ditulis untuk Nulis Kamisan Season 3 #1


4 comments:

  1. baguuuuusssss

    *tepuk tangan*
    *tangan Adam Levine*

    ReplyDelete
  2. Aku cuma mau koreksi kata seksama yang harusnya saksama. Juga, penulisan kata sang. Penulisan setahuku harus ditulis dengan huruf kapital, misal: Sang Waktu.Huruf 's' dan 'w' menggunakan kapital. Berbeda dengan penulisan si, ditulis: si Pemangsa. Hanya objeknya yang menggunakan kapital.

    ReplyDelete