Riak sungai
Allegheny berhenti menari sejenak ketika menampilkan pantulan diriku di wajah
air. Kubuat ia kembali marah dengan melempar sebongkah batu hitam dari tepi. Aku
suka melihat bagaimana permukaan air itu koyak, melompat ke udara sesaat,
sebelum menampilkan lingkaran yang terus membesar, kemudian hilang. Ada kalanya
aku gagal melakukannya diam-diam, tidak seperti hari ini. Ibu pasti akan mencengkeram tanganku sebelum
aku sempat melempar. Ia akan seketika membawaku ke balik semak yang melindungi
kami dari banyak tatapan, dan memukulkan payungnya ke pantatku. Sakitnya aku
hafal benar. Menembus sampai ke pakaian dalam, dan bisa membuatku berjalan
timpang di sisa perjalanan menuju rumah. Anehnya, ia selalu membiarkan Gustav
si pengecut cilik itu untuk melakukannya. Kutebak karena Gustav lahir dengan
penis di antara kakinya.
Perjalanan ke
sungai Allegheny hari itu berbeda dan jadi kuingat selamanya. Ibu membawa koper
kulit besar yang biasa dibawa Ayah untuk bepergian ketika harus mengecek
tanah-tanah di luar kota. Ayahku spekulan tanah. Sayangnya tak banyak yang bisa
kuingat dari Ayah saat ini selain hanya punggungnya yang menjauh dari bingkai
pintu rumah setiap kali ia akan pergi. Hari itu Ayah tak ada di rumah, dan
koper besar itu tergeletak di atas lemari kamar. Ibu menjejalkan sebuah benda
besar ke dalamnya kemudian buru-buru memintaku berganti pakaian pantas. Sepanjang
jalan aku mendapat cengkeraman ibu di pergelangan tangan hingga terasa sakit.
Ini aneh. Ibu membiarkanku bermain lempar batu sampai aku puas. Kemudian ia membuka koper dengan buru-buru sampai-sampai lengan loncengnya tersangkut resleting. Tapi ia tak peduli dan menarik keluar sebuah kanvas besar. Di muka kanvas itu terlihat seorang perempuan dengan gaun garis longgar. Lengannya tergulung agar tak mengenai air baskom. Ia mencelupkan kaki seorang anak perempuan di pangkuannya. Anak kecil itu diriku, kata Ibu sembari memamerkan lebar mata terbesarnya. Ia menderap-derapkan kakinya di tepi sungai Allegheny dan mengutukku dengan banyak kata tak pantas. Kanvas itu terlempar dan membuat riak sungai menelannya sesaat sebelum membuatnya tenggelam.
***
Aku tak mengerti mengapa Ibu melakukannya hari itu. Ia bilang ia membenci dengan seluruh amarah tujuh generasi padaku, Ayah, dan perempuan berbaju longgar dalam kanvas. Sampai saat ini aku di sini. Dengan batu dan tali yang terikat di pergelangan kaki. Aku memeluk kanvas itu erat. Ibu dan aku berada di tempat yang berbeda sekarang. Ibu tak suka sungai Allegheny. Jadi ia bermain timbun tanah seperti tikus di jalan Butler dengan marmer bertuliskan nama di atas timbunan tanahnya. Aku tetap di sini. Aku suka riak air sungai Allegheny.
Surabaya, 30 Juli 2020
*Terinspirasi lukisan Mary Cassat
No comments:
Post a Comment