Pages

Sunday, August 9, 2015

LPM Stories for Children - GRI Surabaya

Siang itu Punggawa Oost mesti tergusur dari singgasananya.

Di bagian belakang area outdoor Oost Koffie n Thee tersedia sebuah kursi panjang yang biasanya diduduki oleh para punggawa (mas-mas yang membantu pengunjung ketika memesan makanan). Hari Sabtu, 1 Agustus 2015 lalu selama beberapa jam, mas punggawa mesti legawa. Ya, hari itu ruang outdoor Oost ramai oleh audiens yang ingin menghadiri acara kami, Goodreads Indonesia Regional Surabaya. Kursi ruang outdoor Oost nyaris terisi penuh, hingga para Punggawa harus merelakan kursinya ditempati oleh audiens yang hadir.

***

Meski agak terlambat, Goodreads Surabaya ingin turut merayakan Hari Anak Nasional yang jatuh di tanggal 23 Juli 2015 lalu. Mengundang Watiek Ideo, penulis buku anak produktif dan Nindia Nurmayasari, seorang pendongeng, pengajar dan penulis buku anak. Diskusi siang itu berjalan santai. Kami membahas tentang serba-serbi cerita anak. Mulai urgensi, menulis dan mendongeng cerita anak, hingga bagaimana kiprah buku-buku cerita anak di Indonesia.

Acara kali ini menjadi menarik karena hubungan antar kedua pembicara cukup dekat. Memiliki latar belakang pendidikan yang sama, alumni jurusan Psikologi Universitas Airlangga dan sama-sama memiliki ketertarikan khusus pada dunia anak-anak. Secara kebetulan, di acara kali ini mereka mengumumkan tentang adanya proyek menulis buku anak bersama yang sedang digarap. Watiek Ideo dikenal sebagai penulis buku anak produktif. Dalam kurun waktu empat tahun berkarya di industri perbukuan, ia sudah menghasilkan seratus judul buku lebih. Karya-karyanya diterbitkan oleh berbagai penerbit, bahkan telah mendapat apresiasi positif dari Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Linda Gumelar. Sementara Nindia Nurmayasari adalah seorang pendongeng, penulis buku anak, pengajar creative writing dan konsultan pendidikan anak yang telah cukup lama bergelut dengan profesinya.

Buku-buku anak di Indonesia semakin banyak menempati rak-rak toko buku. Meski tantangan untuk menghadapi buku-buku anak terjemahan yang terus menyerbu, namun penulis buku anak lokal masih terus bergeliat. Tentu saja hal tersebut mesti diimbangi dengan masyarakat yang memahami betapa pentingnya cerita untuk anak-anak, sehingga menjadi konsumen setia buku-buku anak. Watiek Ideo banyak membagikan pengetahuannya akan industri buku anak. Menurutnya, tema Islami masih menjadi tren dunia buku anak Indonesia saat ini. Jika mesti membandingkan buku anak lokal dan luar negeri, tentu berbeda. Menurut Watiek, pasar buku anak Indonesia cenderung menyukai kisah dengan cerita yang menggurui, juga buku anak dengan komposisi teks yang lebih banyak. Pasar untuk early reader pun belum banyak yang menggarap. Meski begitu, Watiek Ideo tidak ingin mengejar momen dan tren. Misalnya ketika sedang ramai isu-isu tertentu di dunia anak, ia tidak akan begitu saja menulis kisah yang berkaitan dengan hal tersebut. Ia lebih suka untuk menuliskan apa yang sedang ia minati.

Bicara tentang karir penulisannya, Watiek Ideo telah mulai menulis sejak SD, dan mulai menulis secara menggebu setelah dirinya memiliki anak dan mendirikan bisnis clothing. Dalam menjalankan bisnisnya, ia dihadapkan dengan ilustrator. Dari sana, ia terpikir untuk berkolaborasi dengan ilustrator untuk menuliskan buku anak dan dikirimkan ke penerbit. Semenjak itu, jalan karirnya terbuka lebar. Di awal karirnya ia juga menapaki proses yang sama. Mengirimkan naskah dan mesti menghadapi berbagai penolakan. Namun karena 'darah' menulis telah mengalir dalam dirinya, kendala apa pun tak membuatnya menyerah. Dengan berbagai liku-liku itu, Watiek mengatakan bahwa pada akhirnya yang dicari penerbit bukan siapa penulisnya, namun apakah karya yang diajukan layak untuk diterbitkan dan dipasarkan. Masing-masing penerbit menetapkan standar yang berbeda dalam menerbitkan naskah buku anak. Cara cerdiknya, Watiek selalu mencaritahu dengan melakukan survey ke toko buku demi mencari tahu buku apa yang sedang digemari dari penerbit tersebut.

Watiek Ideo (paling kanan), Nindia Nurmayasari (tengah), Nabila Budayana 

Buku anak tak bisa lepas begitu saja dari ilustrasi. Berbicara tentang ilustrasi, Watiek mengatakan bahwa masing-masing buku perbandingan banyaknya teks dan ilustrasi berbeda. Tergantung untuk siapa buku tersebut ditujukan. Pembaca awal tentu membutuhkan lebih banyak komposisi gambar daripada tulisan, dan sebagainya. Penyesuaian tersebut wajib menjadi pertimbangan dari penulis sendiri. Dalam berkomunikasi dengan ilustrator, Watiek membuat sebuah tabel yang berisi keterangan cerita dan keterangan gambar. Setelah itu, barulah karya dikerjakan. Namun ternyata, dalam membuat ilustrasi, tak semudah yang dikira. Ilustrator memerlukan waktu hingga tiga bulan untuk satu judul cerita, dimana dalam satu buku terdapat beberapa cerita.

Kompromi terbesar yang mesti Watiek Ideo lakukan dengan penerbit adalah ketika ia mesti membuat komik, karena ada begitu banyak hal yang menjadi komponennya. Dalam membuat cerita, Watiek mengaku ia tak bergantung pada outline. Ide dalam kepalanya telah begitu saja terbentuk, sehingga ia jarang menggunakan 'panduan cerita'. Oleh karena itu penting sekali mengetahui kemana tujuan dari cerita yang ditulis. Watiek memberikan tips untuk penulis pemula bahwa jangan terus membaca ulang naskah dari awal, karena itu akan menghambat proses penulisan. Jika mengalami kebuntuan di tengah jalan, Watiek akan berhenti untuk melakukan hal-hal lain selain menulis. Namun dengan catatan bahwa proses berhenti itu tidak akan terlalu lama. Maksimal satu hari, ia sudah akan kembali menulis. Baginya, penulis harus berhasil memaksa dirinya sendiri untuk kembali menulis. Namun, Watiek tak pernah terlalu kesusahan untuk itu. Ia justru merasakan kejanggalan jika tak menulis. Dalam mendapatkan inspirasi, Watiek juga membaca buku-buku anak luar negeri. Yang menjadi favoritnya adalah Roald Dahl. Ia mengagumi bagaimana Dahl sebagai orang dewasa mampu menulis dengan gaya yang sangat terasa anak-anak. Di masa kecil, Watiek begitu suka membaca buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menginspirasi karir menulisnya.

Kak Nindia menjawab tentang bagaimana trik agar cerita tidak membosankan untuk anak-anak. Ia berkata bahwa kunci mendongeng adalah pemilihan cerita yang disukai oleh anak-anak, bagaimana cara penyampaian orang tua ketika membacakan cerita, dan tak kalah pentingnya, memilih momen yang tepat. Misalnya, hindari membacakan cerita ketika anak merasa lelah. Dari sisi psikologis, waktu yang baik adalah di saat sore hari atau menjelang tidur. Berperan sebagai pembaca cerita, orangtua mesti sabar dan telaten, dan jangan terobsesi untuk membacakan buku sebanyak mungkin. Jangan lupa juga untuk memerhatikan ekspresi, gestur, suara, intonasi,di atas semua hal tersebut : rasa gembira dan antusias dalam membacakan cerita. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengurangan porsi menonton televisi atau bermain gadget. Membudayakan membaca daripada menonton akan memiliki dampak lebih positif untuk anak di masa depan. Hal tersebut tentu berkaitan dengan bagaimana menumbuhkan minat baca. Minat baca pada anak tidak serta-merta tumbuh begitu saja, namun mesti didahului oleh teladan orang tua.

Berbeda dengan Watiek Ideo, Nindia Nurmaya memilih untuk 'membalik' proses penulisan cerita anaknya. Buku yang ia tulis adalah hasil dari kumpulan dongeng-dongeng yang ia bacakan di hadapan anak-anak selama ini. Ketika ditanya mengapa ia memilih membukukan dongeng-dongengnya, Nindia menjelaskan bahwa ia memiliki harapan besar untuk menyebarkan ceritanya tanpa batasan tempat. Jika pada saat mendongeng ia hanya mampu membagikan ceritanya kepada beberapa anak, maka dengan buku, kisah-kisahnya akan mampu dinikmati anak-anak lain di mana saja.

Sebagai seorang pendongeng, Nindia pun pernah mendongeng dengan konsep drama boneka. Lalu timbul pertanyaan dari audiens, berapa lama waktu efektif untuk menyajikan drama tersebut? Nindia menjelaskan bahwa durasi waktu sangat bergantung pada usia anak-anak yang menjadi audiens. Jika anak masih berusia lima tahun, drama dapat dilakukan dalam waktu sekitar lima menit. Jika audiens anak sudah berusia lebih dewasa, durasi bisa disesuaikan dengan ditambah. Apakah drama dengan dual bahasa baik untuk disajikan untuk anak? Meski mengutamakan penyajian drama dalam satu bahasa, namun semuanya dikembalikan pada tujuan pembuatan drama tersebut. Jika memang ditujukan agar anak mampu belajar bahasa asing, tentu tidak masalah menyajikan drama dalam dua bahasa.

Acara Stories for Children di harian Jawa Pos


Ketika sesi talkshow berakhir, beberapa anak-anak yang datang mendapat sesi dongeng beberapa menit dari Kak Nindia. Dengan antusias mereka berkumpul di depan dan menyimak dongeng buaya yang tak suka gosok gigi. Sama seperti setiap para penanya dewasa, salah seorang dari anak-anak tersebut mendapatkan hadiah buku dari pembicara untuk dibawa pulang. Mendapatkan keseruan dunia orang tua dan anak menjadi hal baru untuk kami, Goodreads Surabaya. Terima kasih untuk teman-teman GRI Sby yang telah bekerja keras demi acara ini, juga audiens yang telah berkenan hadir dengan antusiasme luar biasa. Terima kasih juga kami kirimkan untuk Watiek Ideo dan Nindia Nurmayasari yang dengan ketulusan hati rela berbagi wawasan dan inspirasi baru. Tentu terima kasih dan jabat tangan erat kami selalu berikan untuk semua pihak yang mendukung terselenggaranya acara ini : Oost Koffie en Thee, lokasi yang selalu hangat menyambut kehadiran kami, terutama untuk Mbak Ifana, juga Mas Seno selaku owner yang turut sibuk mendokumentasikan acara. Pun untuk Kopdar Surabaya, Event Surabaya, Agenda Kota yang telah membantu meluaskan publikasi kami kepada khalayak. Terima kasih juga untuk Prima Radio Surabaya dan Jawa Pos yang telah meliput jalannya acara. Terutama dan terbesar untuk kawan-kawan Goodreads Indonesia untuk segala dukungan dalam berliterasi.

Sebagian audiens berfoto bersama


Kami tak akan bosan menyambut teman-teman di kegiatan-kegiatan Goodreads Surabaya berikutnya! Sampai bertemu! :)


- Nabila Budayana -

*Dokumentasi acara lebih lengkap dapat diakses di sini 

No comments:

Post a Comment