"Hidupnya juga kontemporer. Gila."
Di tengah remang cahaya proyektor, wajah-wajah
itu terbius oleh ucapan-ucapan selamat ulang tahun sekaligus komentar-komentar
menarik dari rekan-rekan sang 'Pemilih Jalan Sunyi' : Slamet Abdul
Sjukur.
***
Pagi hari, 15 Februari 2014, sekitar pukul tujuh
saya mengecek ponsel yang baru menyala. Satu ruang obrolan membuat saya cukup terkejut.
Seseorang mengutip satu kalimat dari buku yang saya tulis, diikuti nama
pengirim yang meminta alamat e-mail saya. Pesan itu datang dari bapak musik kontemporer
Indonesia. Ialah Slamet Abdul Sjukur yang berkata "Gak apa. Saya masih
hidup." Itu gurauannya ketika saya meminta maaf saat saya lupa
menghubungi. Saya pun iseng bertanya buku apa yang sedang dibacanya. Sempat
saya kira jawabannya akan berkisar pada buku-buku teori musik. “Grand Design” milik
Stephen Hawking langsung meluruhkan dugaan saya. Seseorang yang menatap hidup
dengan berbeda. Namun tak selalu berupa canda. Ketika beliau menanyai saya
tentang bagaimana pendapat saya akan suatu pergelaran musik, ia tiba-tiba nyeletuk “Menurut saya itu karena
pikiran yang terlalu terkotakkan” kira-kira begitu perkataannya yang tertuju
untuk saya di tengah-tengah saya menyetir, dan beliau duduk di bangku penumpang
di samping saya – saat itu beliau percaya saja pada seorang anak muda yang
menawarkan tumpangan seperti saya - Sepanjang perjalanan hingga hari-hari
berikutnya saya terpikir apa yang dimaksudkannya. Jawaban yang tertera di
kepala saya hanya sebatas “Saya mesti meluaskan wawasan dan mengambil sudut
pandang yang berbeda.”
Saya beberapa kali disenggol Mbak Gema
Swaratyagita untuk hadir di acara PMS (Pertemuan Musik Surabaya). Beberapa kali
pula saya mangkir. Tak bisa hadir. Bosan juga meminta maaf pada Mbak Gema dan
Pak Slamet. Hingga hadirlah serangkaian acara Sluman Slumun Slamet merayakan
ulang tahun ke-79 sang musisi. Mencari-cari waktu untuk hadir, saya bertekad
untuk menikmati pamungkasnya di 21 Juni 2014 lalu. Begitu hadir, pendopo STKW Surabaya disulap remang dan
hening. Keramaian di sana, namun wajah-wajah di balik keremangan itu hanya
samar. Saya kemudian mengambil posisi lesehan dan siap menikmati pertunjukan.
Di tengah pendopo grand piano hitam mengambil sebagian besar ruang, sementara
seperangkat gamelan tertata di bagian belakang. Saya terhanyut sejak komposisi
pertama. Komposisi “Kabut” yang dimainkan langsung oleh penciptanya, Slamet Abdul Sjukur, mengisi
malam dan kanvas hening yang diberikan audiens. Kabut terasa nyata bersanding
dengan malam. Kemudian dengan cantik Gema Swaratyagita membawakan “Tobor”. Ekspresi Gema yang berbicara semakin
menampilkan keapikan “Tobor”. Setelah sibuk terpesona dengan “Tobor”, pergelaran malam itu
dilanjutkan dengan Pak Slamet dan Gema yang duduk di balik meja yang sama.
Mereka bersisian, menampilkan musik dari sepatu dan peralatan keseharian
lainnya. Hingga akhir, kelompok Gamelan Kyai Fatahilah menampilkan “Tetabeuhan
Sungut” dan “Game-Land 1”. Mereka menampilkan komposisi yang 'dihasilkan dari
mulut' dan seperangkat gamelan yang telah disiapkan. Musik yang disajikan
sangat dinamis. Terkadang setenang malam dengan nada 'satu-satu'. Di detik
berikutnya mampu riuh dengan segala rupa bunyi perangkat gamelan. Pergelaran
malam itu terkadang diiringi dengan berbagai bunyi lainnya. Derum motor atau
alarm mobil dari lingkungan sekitar. Bagi saya, “kanvas” berupa sunyi mungkin
sudah tercemar. Namun berbeda bagi seorang musisi. Musik tetap harus berjalan,
bunyi-bunyi lain (barangkali) adalah sebuah spontanitas yang datang mengisi
pertunjukkan. Bunyi-bunyi itu juga musik. Musik yang disajikan seorang Slamet
Abdul Sjukur kiranya telah menjadi familiar di antara para audiens. Sekumpulan
anak muda yang duduk persis di belakang saya, misalnya. Mereka bahkan asik
bersenandung kecil ketika “Kabut” dimainkan.
Musik-musik itu masih terbayang di kepala saya
ketika perjalanan saya membaca Sluman Slumun Slamet : Esai-Esai Slamet Abdul
Sjukur (1976-2013). Berbeda, tak biasa, apa adanya, seringkali satire,
mencerahkan. Apa yang disampaikan seseorang yang memilih jalan berbeda dari
kebanyakan orang selalu menyenangkan. Apa karena kita yang terlalu dikotakkan
aturan dan 'jalan normal yang seringkali dianggap sebagai 'jalan paling baik', sebuah batasan yang selalu sama. Slamet membuatnya berbeda. Jalan pikir dan
sudut pandang yang lain. Kurang lebih, Slamet dapat dibaca melalui kumpulan
esainya “Sluman Slumun Slamet” yang diterbitkan oleh Art Music Today. Sang
maestro membawa karakter musik kontemporer bersamanya. Mungkin akan banyak yang
bertanya-tanya apa maksud musik kontemporer itu. Menghadapi reaksi-reaksi
tersebut, Slamet terang-terangan dalam esainya.
“Tidak ada salahnya kalau orang meragukan musik
kontemporer. Musik demikian memang sukar dimengerti, tidak enak didengar dan
tidak karuan.” (hal. 6)
Namun, ia pun memberikan penjelasan lanjutan.
“Dan sesungguhnya persoalan musik kontemporer
(untuk hanya menyebutkan musik) merupakan jalinan sejumlah masalah yang masing-masing
meminta pembahasan yang hati-hati.” (hal.6)
Dan sebuah kalimatnya menjadi pemertegas “Satu
hal yang setidak-tidaknya sukar dipungkiri, bahwa musik tidak pernah berhenti
dalam memperluas daerahnya. Apa yang dianggap kemarin tidak musikal, sekarang
malah bisa menjadi ramuan yang paling sedap. Suara apapun bisa menjadi musik.”
(hal. 7)
Slamet meminta pembaca berkaca diri dengan apa
yang ditulisnya,
“Orang bahkan cepat menuntut “haknya” untuk
mengerti dan tidak segan-segan mengadili musik apa saja, termasuk musik yang di
luar kemampuan pencernaan mereka.” (hal. 11).
Slamet pun tak segan membagi hasil obrolannya
dengan musikus-musikus asing. Misalnya saja dengan Ton De Leeuw, seorang tokoh
musik penting.
“Banyak yang mengira bahwa musik kontemporer itu
ialah musik yang bermula dari beberapa gelintir komponis di barat yang terlalu
individualis dan terlepas dari masyarakat. Seolah-olah musik kontemporer itu
musik orang Barat yang tidak karuan. Ada pula yang menganggap musik tersebut
musik sekadar bunyi dan asal bunyi saja.” (hal. 72).
Dalam buku ini, penulis banyak ‘berlaku’
nyentrik, sesuai dengan karakter penulisnya. Slamet banyak bercerita tentang apa
itu musik, cara mendengarkannya yang mungkin akan menjadi masukan untuk pembaca.
Misalnya saja, Slamet menulis tentang musik yang merupakan soal saat. Musik
adalah kapan kita menyadari adanya suara. Musik memiliki ruang besar pada
Slamet hingga ia memandangnya dengan cara yang dalam dan penuh makna. Ia bahkan
tak segan mengkritik musikus barat yang kurang memperhatikan corak dan unsur
ruang dan hanya memikirkan dinamika nada dan irama. Slamet pun mampu menghubungkan
musik dengan apa saja. Dalam esainya yang berjudul “Jakarta Mementaskan Musik
Elektronik” misalnya, ia menghubungkan kedamaian ala seorang yogi, Sri
Aurobindo dengan musik.
“Kedamaian di sini adalah persenyawaan antara
suara-suara musikal dan bunyi-bunyi yang biasanya tidak kita anggap sebagai
musik...” (hal. 18)
Dalam buku tersebut, Slamet juga membahas banyak
hal. Antara lain tentang pendidikan seni dan sikap musikus yang masih banyak
‘keliru’. Yang menarik bagi saya saat beliau membahas tentang sifat
individualis dari piano. Sangat tajam dan tegas. Beliau mampu menghubungkan piano dengan sifat dasar manusia. Gaya
penyampaiannya yang apa adanya, berani, percaya diri, yakin dan penuh sindiran
itu akan membuat pembaca seringkali terbelalak. Jangan kira seorang musikus
hanya akan membahas musik. Bahkan akan ada korelasi musik dengan fisika kuantum
dan fisika mekanik untuk pendekatan musik Debussy. Ia pun berkisah tentang
partitur, sejarah cadenza, penekanan bahwa keberadaan musik sama normalnya
dengan hal-hal lain yang kita hadapi sehari-hari.
Kemudian bukan berarti ia lupa memandang hal besar. Slamet juga menyorot tentang sikap musik negeri
ini :
“Ketekunan yang bergairah ternyata adalah
salah-satu cara yang paling cocok sampai pada saat ini untuk berbuat musik yang
sungguh-sungguh di Tanah Air kita, dan bukannya tergantung pada oportunisme
serta semboyan-semboyan yang hanya membuatnya geli.” (hal. 64)
Ia pun menengok pada banyak hal lainnya. Kritik
tentang kebergantungan seorang musikus pada partitur seringkali membuat
pengalih dari keutamaan musik itu sendiri. Juga pengertian tentang
musik yang seringkali terbatasi. Beberapa kali Slamet menyinggung bahkan
membahas dengan cukup dalam korelasi antara Debussy dan gamelan. Bukan hal yang
aneh ketika seorang besar memasukkan nama-nama besar sebagai pembahasannya. Selain
Stravinsky, Debussy, Vivaldi, maupun Amir Pasaribu, ia dengan bijak menyebut nama-nama baru
berbakat layaknya Bernadeta Astari (di penampilan saat ia berusia 15 tahun). Mengatakan
perspektifnya tentang kekurangan bakat baru itu untuk berkembang. Slamet
memperluas pandangan dan area bermainnya bukan pada satu standar. Ia memutuskan
menjelajah dan mencoba berbagai kemungkinan-kemungkinan. Meski begitu, bukan
berarti ia berhenti menganalisa teori-teori semacam kromatik Bach dan relative
minor Chopin.
Penekanan pada saya agar tak terjebak persepsi
yang ditekankan oleh Agustinus Wibowo pada tulisan-tulisan perjalanannya, Gobind Vashdev pada konsep kebahagiaannya, juga kembali ditekankan oleh Slamet
Abdul Sjukur melalui esainya. Namun ini tentang persepsi teori musik yang sudah terlanjur cenderung dianggap sebagai 'keharusan'. Ia mencontohkan bagaimana seorang komposer besar seperti Chopin mengkritisi dan menghilangkan persepsi dengan tak lagi menganggap
tangga nada yang paling mudah adalah C, berdasarkan struktur jari tangan. Slamet
juga merambah ranah psikologis tentang mendengar warna dan melihat nada.
Kemampuan sinestesia pada beberapa komponis yang ia ungkapkan sejalan dengan
yang dikatakan Oliver Sacks, seorang dokter dan dosen Neurologi Klinis dan
Psikiatri di Universitas Columbia, melalui bukunya “Musicophilia” yang mengupas
tentang fenomena sinestesia pada manusia bukan sebagai metafora atau asosiasi,
namun sebagai hal yang konkrit.
“Musikus-musikus besar selalu menunjukkan kepada
kita bahwa musik itu tidak semiskin yang kita sangka.” Seorang Slamet Abdul
Sjukur telah menunjukkan itu dengan jalannya sendiri, dengan caranya sendiri.
Tentang makna musik, memaksimalkan pendengaran dan rasa untuk menikmatinya,
bahkan tentang keberanian untuk menjadi berbeda.
Slamet tak hanya menyorot tentang teknis dengan
berbagai teori yang barangkali sukar dimengerti. Ia berpetualang jauh ke dalam.
Musik bukan hanya menjadi sekadar sekunder. Namun ia menjadi hidup, menjadi
sesuatu yang krusial dengan penggalian yang tak habis-habisnya. Ia berdampak
sebegitu besar. Menentukan rasa, sikap, dan jalan pikir.
Lantas dengan semua itu, saya yang awam dan
dangkal ini membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang Slamet Abdul Sjukur.
Semua bunyi adalah musik baginya. Apa yang dipikirkannya? Atau, akankah
melelahkan untuk “mengkonversi” semuanya menjadi musik? Itu mungkin hanya
menjadi sebatas pertanyaan konyol saya belaka. Musik berarti jauh lebih besar
untuk seorang yang mencintai musik sebagai hidupnya. Cara berpikir dan
mendengar seperti itu mungkin justru yang membuatnya merasa damai dan tenang.
Ladang inspirasinya sebesar dunia. Betapa ‘terkotaknya’ cara saya dalam
menikmati dan memahami musik patut kembali dikoreksi.
Slamet sangat berani, satire bahkan mungkin bagi
sebagian orang sarkastis dalam tulisan-tulisannya. Namun itu berangkat dari
idealismenya terhadap musik. Bahwa musik tak sekadar permukaan, namun
kehakikian. Bukan sampingan, namun bagian dari keutamaan. Setelah saya menutup
halaman terakhir, backcover
menyajikan kalimat yang kuat :
“Saya memilih menempuh jalan sunyi, jauh dari
yang normal.”
Kalimat penuh kesadaran, keberanian, idealisme,
kejujuran dan komitmen. Satu kalimat yang merangkum Slamet Abdul Sjukur.
Penegasan bahwa di sanalah pilihan yang beliau ambil, keteguhan, pendekar yang
sepenuhnya memikul konsekuensi dan memilih jalannya sendiri : riuh musikal
dalam kesunyian.
Selamat Ulang Tahun, Bapak
Slamet Abdul Sjukur.
Kiranya ini sebuah ucapan yang terlambat. Yang
bahkan mungkin tak terlalu berarti. Tapi, Slamet Abdul Sjukur dan Sluman Slumun Slamet-nya
meminta pendengar dan pengagumnya untuk mendengar lebih baik. Yang berarti juga
memaknai hidup dengan lebih baik.
Satu bulan yang rasanya terlalu lama,
21 Juli 2014
Nabila Budayana
"Terimakasih mbak Nabilla atas pemberian "ijasa"-nya.
ReplyDeleteIjasa2 sekolah maupun piagam2 resmi menjadi terasa spt tidak lebih dari label yg nempel di botol obat batuk.
Salam hangat, Slamet."
Respon hangat itu dikirim sebagai balasan email saya pada Bapak Slamet tentang tulisan ini. Hari ini, 24 Maret 2015, beliau menempuh perjalanan menuju Tuhan, kembali pada Sang Pemilik Semesta.
Jika kiranya kapanpun tulisan ini terbaca oleh Anda, sepenuh hati, saya mohon sebaris doa Anda untuk kebahagiaan beliau di sisi Tuhan.
Selamat jalan, Pak Slamet Abdul Sjukur...