Seluruh ruang terdiam ketika wanita itu
membacakan contoh narasi suatu perjalanan bersama dengan anak-anaknya. Kalau
saya tidak salah ingat, narasinya berkisah tentang matahari, tentang pantai
dan anak-anak yang berlarian. Meski hanya beberapa kalimat, saya kemudian
menutup mata dan membayangkan deskripsi suasana yang ia tampilkan pada
tulisannya. Lebih dari setahun lalu di sebuah acara perbukuan, saya mengetahui
wanita itu adalah Ade Kumalasari.
Lama tak berjumpa kembali, nama beliau terselip
di antara obrolan tim Goodreads Sby baru-baru ini. Kemudian terpikir, selain
buku-buku lokal, kami juga menggemari buku-buku terjemahan. Kami belum pernah
mendengar secara langsung bagaimana cerita di balik profesi seorang penerjemah.
Saya kemudian teringat mbak Ade dan mencoba menghubunginya. Mbak Ade sangat
ramah menyambut keinginan kami yang memintanya berbagi.
Mendekati waktu yang telah ditentukan, mbak Ade
datang dengan suami, dan kedua putrinya, #BigA dan #MediumA (sebutan untuk
mereka yang kerap kali digunakan sang ibu di media sosial). Sementara #BigA
sangat tekun dengan bacaannya, #MediumA sibuk dengan tabletnya. Kami mengobrol ringan
sejenak sebelum akhirnya acara dimulai. Dari sesi perkenalan, kami mengetahui
bahwa selain sebagai seorang ibu, Ade Kumala juga berprofesi sebagai seorang
editor dan penerjemah lepas, penulis, serta travel
worker dengan kisah-kisah perjalanan yang ia bagi di travelingprecils.com.
Sempat tinggal di Sydney Australia selama 5,5 tahun untuk menemani sang suami menempuh
pendidikan di sana, seorang Ade Kumala pernah bekerja di sebuah supermarket
hingga menjadi dosen tamu di University of Sydney. Disamping itu, ia mulai
merambah dunia penerjemahan antara tahun 2006-2012. Sebelumnya, di tahun 2005
ia terjun ke dunia teenlit dengan
menerbitkan “I’m Somebody Else”. Baginya, teenlit
merupakan jalan masuknya ke industri dunia perbukuan. Bicara tentang latar
belakang pendidikan, Ade Kumala tak memiliki background bidang sastra, justru ia lulus dari jurusan Kimia MIPA
UGM. Meski begitu, keaktifannya di penerbitan kampus membuat kemampuan
menulisnya menjadi berkembang. Berangkat dari hal tersebut, ia mengatakan bahwa
tak ada kualifikasi background
tertentu untuk menjadi seorang penerjemah. Tentu saja hal itu mesti
diimbangi dengan kesukaan dan ketekunan untuk membaca dan menulis.
Masuk ke bidang penerjemahan, Ade Kumala
menjelaskan bahwa editor dan penerjemah memiliki hubungan yang erat. Salah satu
kesamaan keduanya adalah kemampuan untuk membaca dengan cepat. Membaca dengan
cepat berguna untuk memutuskan nasib naskah yang dikerjakan. Jika ditanya,
dalam penerjemahan buku-buku Bahasa Inggris, apakah diperlukan kemampuan berbahasa
Inggris yang sangat baik? Ia menjawab tidak juga. Dengan kemampuan Bahasa
Inggris sedang dan mampu memahami bacaan, itu cukup. Terselip di antara
obrolan, bagaimana kisah seorang Ade Kumala setelah kembali ke Indonesia cukup
menarik. Di tahun 2012 ia sempat menganggur. Saat itu, seorang temannya yang
bekerja di sebuah penerbitan di Jogjakarta menawarkannya untuk melakukan
editing pada suatu naskah. Di awal karirnya menjadi editor, honor yang ia
terima tentu tak bisa banyak. Namun kemampuannya mengedit naskah berkembang
seiring berjalannya waktu, sampai akhirnya ia tak hanya mengedit, namun juga
menerjemahkan. Naskah terjemahan pertama yang ia terima adalah naskah teenlit “Accidentally Fabulous” milik Lisa Barham. Prosesnya pun tak mudah. Ade mesti menerima ujian percobaan di sepuluh
halaman pertama. Meski menghasilkan begitu banyak catatan dari penerbit, namun akhirnya
ia dipercaya sebagai seorang penerjemah.
Sesuai dengan statusnya sebagai penerjemah lepas,
disamping kesibukannya sebagai seorang ibu, ia menerjemahkan saat anak-anaknya
berada di sekolah selama 4 hingga 6 jam kerja per hari. Dengan durasi kerja
tersebut, sebuah buku rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan. Ade
pun terang-terangan menyebut jumlah honor yang ia terima, 5 – 15 Rupiah per
karakter. Masing-masing penerbit memiliki standar dan tarif penerjemahan yang
berbeda. Menurut Ade, tarif editing
adalah setengah dari tarif penerjemah, mengingat beban kerja yang juga
menyesuaikan. Jika naskah yang dikerjakan lebih rumit, penerjemah atau editor
lepas dapat melakukan nego dengan pihak penerbit. Tak begitu saja mulus, bagi
Ade kesusahan di dalam menerjemahkan adalah jika suatu naskah asli menggunakan
bahasa Slang, bukan bahasa baku. Ade mesti mencari padanan kata dengan berbagai
cara. Mulai bertanya pada suami yang pernah tinggal di Inggris, mengecek kamus,
hingga berselancar di internet. Selain itu, seorang penerjemah pun tak luput
dari proses editing. Yang kerap kali
diedit dalam naskah terjemahan bukan plot maupun kejanggalan cerita, namun
permasalahan pada idiom, kalimat efektif, dan lain sebagainya. Editor bekerja
dengan cepat. Ia tak perlu mengecek setiap paragraf, cukup ketika merasa ada
yang aneh dalam sebuah naskah, ia baru mengeditnya.
Ade Kumala memaparkan tujuh hal penting dalam
penerjemahan buku. Pertama, menerjemahkan adalah masalah menulis ulang. Kedua, sesuaikan gaya bahasa dengan target pembaca. Di poin ketiga ia mengatakan bahwa terjemahan
harus luwes, jangan selalu letterlijk
(harfiah). Kemudian, tidak perlu mengubah jalan cerita. Kelima,
hati-hati terjebak pada idiom/frasa. Hal tersebut dapat diatasi dengan
memperluas wawasan, menonton film ataupun membaca terjemahan. Poin nomor enam,
seorang penerjemah mesti teliti. Keterburu-buruan seringkali menjadikan naskah
berantakan. Kemampuan Ade yang juga seorang editor, menjadikannya seringkali
mengedit naskah terjemahannya sendiri sebelum diserahkan pada editor naskah. Yang
terakhir, kerahkan alat bantu. Baik komputer, internet, KBBI daring, Google
Translate (bagi Ade, Google Translate membantunya untuk mematik ingatan dan
menghaluskan bahasa karena adanya sinonim dari kata), Thesaurus, kamus idiom (thefreedictionary.com),
kamus urban (urbandictionary.com), Google dan Wikipedia.
Mengakhiri sesinya, ia meminta audiens untuk
menerjemahkan barang satu dua baris dari contoh buku yang ia terjemahkan.
Hasilnya cukup baik. Namun, Ade memberikan saran dengan menggunakan kalimat
efektif dan gaya bahasa yang tak terlalu baku. Ia pun menyarankan kepada
audiens yang ingin menekuni profesi penerjemah untuk memperbanyak membaca buku
berbahasa Inggris dan terjemahan, jika perlu membandingkan keduanya. Pun dengan
rajin mencari ilmu dengan mengikuti kursus, seminar ataupun workshop, berlatih
menerjemahkan, bergaul dengan orang-orang yang mendukung profesi, menawarkan
diri ke penerbit dengan menulis surat dan memberi contoh terjemahan.
Saya secara pribadi terkesan. Mbak Ade nampak
mempersiapkan benar apa yang akan ia sampaikan melalui tampilan presentasi yang
ia tunjukkan. Gaya bicaranya santai dan perlahan. Sesekali terselip humor
diantara obrolannya. Menjadi seorang ibu, travel worker, sekaligus pekerja di
industri perbukuan nampaknya tak menghalangi kegemarannya untuk berbagi ilmu. Ade
Kumala mengajak kita tersesat di dunia penerjemahan. Siapapun boleh tersesat,
asalkan memiliki kemampuan. Don’t you
dare to lost in translation?
“Translators have to prove to themselves as to
others that they are in control of what they do; that they do not just
translate well because they have a “flair” for translation, but rather because,
like other professionals, they have made a conscious effort to understand
various aspects of their work.” – Mona Baker.
Surabaya, 28 Juni 2014
Untuk Goodreads Indonesia,
Nabila Budayana
Goodreads
Indonesia regional Surabaya
Lost in
Translation : Menerjemahkan itu Menyenangkan
Pembicara : Ade
Kumalasari
Moderator :
Lalu Abdul Fatah
Tempat :
Oost Koffie & Thee Surabaya
Hari,
Tanggal : Sabtu, 21 Juni 2014
Waktu : 13.00
WIB
No comments:
Post a Comment