Pages

Thursday, December 6, 2012

[Book - Review] Tamu Rumah Biru - K.Usman


Tamu Rumah Biru sempat membuat saya keder dengan jumlah halaman dan ketebalannya. Tentu saja sempat terpikir jika penulis tak pintar-pintar mempertahankan stamina pembaca, buku ini akan begitu saja ditutup sebelum mencapai halaman akhir, bahkan mungkin setengahnya. Kebetulan ini karya K. Usman pertama yang saya baca. Terbit melalui nulisbuku.com, harganya terbilang cukup mahal, seiring dengan jumlah halaman yang memang banyak. Awalnya saya pikir saya akan menghabiskan banyak waktu dengan buku ini. Bahkan saya sempat berkata, buku ini akan jadi penutup Reading Challenge 2012 saja (karena saya pikir saya akan menyelesaikannya di akhir tahun). Tak disangka, saya berhasil menuntaskannya dalam kurang lebih satu minggu. Dan saya menikmatinya.



Covernya yang memang biru itu terkesan serius dan dewasa. Seorang perempuan, raut wajah laki-laki dan rumah yang terbakar. Jika anda telah menikmati beberapa halaman awal dan mencoba memahami apa yang dimaksudkan cover, anda akan mudah saja mengerti apa artinya. Sangat jelas dan gamblang. Sesuai dengan kisah yang disajikan penulis. Saya sih suka dengan cover-nya. Saat break dan menempatkan pembatas buku di salah satu halamannya, saya akan mengamati cover-nya baik-baik. Desainnya cukup ampuh sebagai penyegar. Layout halamannya pun cukup bersahabat dengan spasi yang manusiawi untuk buku setebal ini.

Buku ini bercerita tentang satu bagian perjalanan hidup Ahmad Kamal, seorang wartawan dan pengarang yang kemudian di usia paruhbayanya memilih menjadi pengembara untuk dapat memandang hidup dengan lebih luas. Ia mencari kenangan masa muda yang ditinggalkannya begitu saja agar kembali secara nyata dan mampu ia hadapi dan tuntaskan kembali. Dari perjalanan itulah seorang Ahmad Kamal bertemu dengan banyak orang baru dan orang-orang yang mengisi masa lalunya. Ia akhirnya pun harus menerima bahwa waktu tak pernah meninggalkan segalanya dalam keadaan konstan. Begitu banyak hal yang tak lagi sama, dan ia harus menerima dan menghadapinya.

Sederhana. Itu kesan saya untuk buku ini. Plotnya tidak rumit, diksinya pun mengalir lancar tanpa efek berlebih. Ternyata kederhanaan itu yang justru menjadi kekuatan penulis. Karakter, konflik, setting terasa membumi, nyata, apa adanya. Seperti mudah saja karakter-karakter itu kita temukan dalam dunia nyata. Sejenak saya pikir tak akan ada ruang imajinasi lebih yang ingin dibagikan penulis. Namun ternyata menjelang akhir, bab 'Di Negeri Suci Berseri' membuktikan prasangka saya salah.  

Meski begitu, saya yang pemuja diksi berbunga dan quote indah harus sedikit kecewa dengan minimnya hal tersebut. Typo juga masih begitu banyak ditemukan. Saya juga sedikit terganggu dengan pemberian dan penyebutan nama karakter yang 'terlalu lengkap' dengan gelar jabatannya. Beberapa kali saya sempat 'kecele' dengan penyebutan nama karakter yang lengkap itu. Sempat terpikir karakter ini akan menempati posisi yang penting di lanjutan kisah. Namun nyatanya tidak. Ia hanya 'digunakan' penulis sebagai media penyampai pesan yang ingin dibagikan.  

Membaca buku ini saya serasa sedang didongengi oleh seseorang yang telah lama belajar menjalani hidup. Begitu banyak kearifan, nilai-nilai moral, pandangan dan sikap dalam mengatasi masalah yang dibagikan. Pandangan dan kritik penulis akan berbagai bidang, mulai politik, sosial, agama, moral, sastra, dsb begitu banyak tertulis. Kadang terasa pedas dan kejam, namun juga terasa sangat bijak dan benar. Mungkin idealisme penulis akan subjektifitas pribadi yang ingin disampaikan itu yang membuatnya ingin menerbitkan buku ini secara mandiri, tanpa harus terpotong akan proses editing. Berikut sepenggal kritik sosial penulis yang saya tandai :

  "Kamal memahami, bagi orangtua Mia, dunia sastra adalah impian-impian yang hanya membuai, dan indah bagi penikmatnya. Dunia materiil bagi orangtua Mia selalu kongkret berupa jabatan, pangkat, berupa benda-benda, serta angka-angka. Memang tidak akan bertemu dengan dunia Kamal yang abstrak, dunia kata-kata, dunia imajinasi yang khayali.
    Namun, yang menyedihkan Kamal adalah mengapa anugerah Allah yang diterimanya itu disepelekan, dipinggirkan dalam kehidupan, seakan tiada memiliki fungsi dan makna. Padahal, sastra dapat memelihara kelembutan hati, membuat pembaca punya rasa haru, juga menjadikan manusia terhibur, senang dan arif-bijaksana dalam kehidupan, setelah merenungkan hasil bacaan yang bernilai sastra."

Lantas, mengapa saya harus memberi empat bintang? Selain karena buku ini berhasil membuat kesederhanaan menjadi kekuatan, saya mampu belajar banyak dari buku ini. Belajar bagaimana hidup dari seorang yang memang telah kenyang pengalaman dan berpikir arif untuk hidup.

Impian saya bertambah satu lagi. Ingin bertemu dan berbicara banyak tentang buku ini (yang berarti bicara tentang banyak sisi kehidupan) dengan sang penulis, K. Usman. :)   

No comments:

Post a Comment