Tamu Rumah Biru sempat membuat
saya keder dengan jumlah halaman dan ketebalannya. Tentu saja sempat terpikir
jika penulis tak pintar-pintar mempertahankan stamina pembaca, buku ini akan
begitu saja ditutup sebelum mencapai halaman akhir, bahkan mungkin setengahnya.
Kebetulan ini karya K. Usman pertama yang saya baca. Terbit melalui
nulisbuku.com, harganya terbilang cukup mahal, seiring dengan jumlah halaman
yang memang banyak. Awalnya saya pikir saya akan menghabiskan banyak waktu
dengan buku ini. Bahkan saya sempat berkata, buku ini akan jadi penutup Reading
Challenge 2012 saja (karena saya pikir saya akan menyelesaikannya di akhir tahun).
Tak disangka, saya berhasil menuntaskannya dalam kurang lebih satu minggu. Dan
saya menikmatinya.
Covernya yang memang biru itu
terkesan serius dan dewasa. Seorang perempuan, raut wajah laki-laki dan rumah
yang terbakar. Jika anda telah menikmati beberapa halaman awal dan mencoba
memahami apa yang dimaksudkan cover, anda akan mudah saja mengerti apa artinya.
Sangat jelas dan gamblang. Sesuai dengan kisah yang disajikan penulis. Saya sih
suka dengan cover-nya. Saat break dan menempatkan pembatas buku di salah satu
halamannya, saya akan mengamati cover-nya baik-baik. Desainnya cukup ampuh
sebagai penyegar. Layout halamannya pun cukup bersahabat dengan spasi yang
manusiawi untuk buku setebal ini.
Buku ini bercerita tentang satu
bagian perjalanan hidup Ahmad Kamal, seorang wartawan dan pengarang yang
kemudian di usia paruhbayanya memilih menjadi pengembara untuk dapat
memandang hidup dengan lebih luas. Ia mencari kenangan masa muda yang
ditinggalkannya begitu saja agar kembali secara nyata dan mampu ia hadapi dan
tuntaskan kembali. Dari perjalanan itulah seorang Ahmad Kamal bertemu dengan
banyak orang baru dan orang-orang yang mengisi masa lalunya. Ia akhirnya pun
harus menerima bahwa waktu tak pernah meninggalkan segalanya dalam keadaan
konstan. Begitu banyak hal yang tak lagi sama, dan ia harus menerima dan
menghadapinya.
Sederhana. Itu kesan saya untuk buku
ini. Plotnya tidak rumit, diksinya pun mengalir lancar tanpa efek berlebih.
Ternyata kederhanaan itu yang justru menjadi kekuatan penulis. Karakter,
konflik, setting terasa membumi, nyata, apa adanya. Seperti mudah saja
karakter-karakter itu kita temukan dalam dunia nyata. Sejenak saya pikir tak
akan ada ruang imajinasi lebih yang ingin dibagikan penulis. Namun ternyata
menjelang akhir, bab 'Di Negeri Suci Berseri' membuktikan prasangka saya
salah.
Meski begitu, saya yang pemuja
diksi berbunga dan quote indah harus sedikit kecewa dengan minimnya hal
tersebut. Typo juga masih begitu banyak ditemukan. Saya juga sedikit terganggu
dengan pemberian dan penyebutan nama karakter yang 'terlalu lengkap' dengan
gelar jabatannya. Beberapa kali saya sempat 'kecele' dengan penyebutan nama
karakter yang lengkap itu. Sempat terpikir karakter ini akan menempati posisi
yang penting di lanjutan kisah. Namun nyatanya tidak. Ia hanya 'digunakan'
penulis sebagai media penyampai pesan yang ingin dibagikan.
Membaca buku ini saya serasa
sedang didongengi oleh seseorang yang telah lama belajar menjalani hidup.
Begitu banyak kearifan, nilai-nilai moral, pandangan dan sikap dalam
mengatasi masalah yang dibagikan. Pandangan dan kritik penulis akan berbagai
bidang, mulai politik, sosial, agama, moral, sastra, dsb begitu banyak
tertulis. Kadang terasa pedas dan kejam, namun juga terasa sangat bijak dan
benar. Mungkin idealisme penulis akan subjektifitas pribadi yang ingin
disampaikan itu yang membuatnya ingin menerbitkan buku ini secara mandiri,
tanpa harus terpotong akan proses editing. Berikut sepenggal kritik sosial
penulis yang saya tandai :
"Kamal memahami, bagi orangtua Mia, dunia sastra adalah
impian-impian yang hanya membuai, dan indah bagi penikmatnya. Dunia materiil
bagi orangtua Mia selalu kongkret berupa jabatan, pangkat, berupa benda-benda,
serta angka-angka. Memang tidak akan bertemu dengan dunia Kamal yang abstrak,
dunia kata-kata, dunia imajinasi yang khayali.
Namun, yang menyedihkan Kamal adalah
mengapa anugerah Allah yang diterimanya itu disepelekan, dipinggirkan dalam
kehidupan, seakan tiada memiliki fungsi dan makna. Padahal, sastra dapat
memelihara kelembutan hati, membuat pembaca punya rasa haru, juga menjadikan
manusia terhibur, senang dan arif-bijaksana dalam kehidupan, setelah
merenungkan hasil bacaan yang bernilai sastra."
Lantas, mengapa saya harus
memberi empat bintang? Selain karena buku ini berhasil membuat kesederhanaan
menjadi kekuatan, saya mampu belajar banyak dari buku ini. Belajar bagaimana
hidup dari seorang yang memang telah kenyang pengalaman dan berpikir arif untuk
hidup.
Impian saya bertambah satu lagi.
Ingin bertemu dan berbicara banyak tentang buku ini (yang berarti bicara
tentang banyak sisi kehidupan) dengan sang penulis, K. Usman. :)
No comments:
Post a Comment