Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu. Seperti
hitungan mundur di permainan petak umpet yang perlahan namun pasti, pengunjung
juga kurator bermain dan menemukan apa-apa yang tersembunyi dari lanskap sastra
anak melalui pameran Petak Umpet Sastra Anak yang diselenggarakan tanggal 7
hingga 16 November 2025 di Bentara Budaya Jogjakarta.
Jogjakarta kerap dipayungi hujan ketika pameran Arsip dan Ilustrasi : Petak
Umpet Sastra Anak diselenggarakan November 2025. Namun nuansa hangat menyambut
ketika pengunjung masuk ke ruangan. Selain pameran, penyelenggara juga
menyajikan berbagai acara diskusi dan lokakarya yang dilaksanakan sederhana
namun membawa bahasan-bahasan penting.
Diskusi di sela pameran
Dokumentasi : Elfira Prabandari
Begitu sampai di
lokasi, pintu terbuka Gedung Bentara Budaya menyambut pengunjung dengan lampu
kuning yang hangat dan buku-buku di meja yang terlihat dari luar pintu. Ketika melangkah masuk, pengunjung bisa melihat ruang pamer yang memang tak begitu
luas, namun ada penataan model U yang seakan memeluk pengunjung begitu tiba. Kita akan
langsung tahu di mana penjelajahan akan dimulai, dan di mana akan selesai. Bagi
saya yang selalu perlu menyiapkan ritme menikmati pameran, ini terasa sangat
membantu untuk mengukur seberapa lama saya bisa memberi perhatian pada satu per
satu bagian. Bagi anak-anak, rasanya pameran ini terasa cukup informatif tanpa
perlu terlalu lama menjelajah.
Pengunjung juga disambut oleh human stand sosok
laki-laki tambun berkaus merah, Sersan Grung-Grung, tokoh utama di karya fiksi
dari seorang tokoh yang menjadi pembahasan utama di pameran ini, Dwianto
Setyawan. Selain itu juga ada meja pendek yang memamerkan berbagai buku anak
yang bisa dibaca bebas oleh pengunjung. Di atas meja persis, tergantung selembar
kain bertuliskan pesan dari para kurator untuk pengunjung tentang tema Petak
Umpet Sastra Anak.
Pojok baca dan human stand Sersan Grung-Grung
Dokumentasi : Nabila Budayana
Pengunjung bisa menjelajah dimulai dari dinding sebelah kiri, memutari ruangan,
hingga berakhir di sebelah paling kanan ruangan. Kita disuguhkan instalasi
berbagai gambar sampul dan arsip dari tahun ke tahun yang menggambarkan situasi
sastra anak Indonesia. Di tengah ruangan, beberapa lemari kaca menampilkan
beberapa buku, arsip, dan komik lawas untuk ditengok pengunjung. Televisi di
tepi ruang juga menampilkan hasil wawancara dari beberapa pihak yang terhubung dengan
karya maupun kehidupan personal seorang Dwianto Setyawan.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Sembilan : Mengenal Sosok Dwianto Setyawan
Dwianto Setyawan menjadi penting dalam pameran ini. Siapa beliau? Dwianto
Setyawan merupakan seorang penulis buku anak, pemerhati, aktivis, dan kritikus
sastra anak yang lahir di Batu, Malang 12 Agustus 1949. Dwianto yang merupakan
kakak dari sastrawan Sindhunata ini berpulang di Juni 2024 pada usia 75 tahun.
Mengapa Dwianto penting untuk diangkat sebagai
sosok utama di pameran ini? Pertanyaan ini pasti hinggap di kepala pengunjung.
Selama ini nama Dwianto Setyawan tak begitu banyak dikenal oleh generasi 90an ke
bawah, namun generasi sebelumnya cukup akrab dengan karya-karya Dwianto. Dwianto
menelurkan banyak karya cerita anak, bahkan hingga delapan puluh buku. Demi
mengenang dan mengenalkan karya-karya itu kembali, penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG) menerbitkan ulang beberapa di antaranya dengan sampul baru,
seperti seri Sersan Grung-Grung. Dwianto juga menulis banyak esai terkait sastra
anak sejak 1980an. Karya-karya esainya dikumpulkan dan diterbitkan oleh KPG
dengan judul Melangkah ke Sastra Anak di November 2025.
Dokumentasi : Nabila Budayana Penghargaan juga pernah diraih beliau. Karya
Dwianto yang berjudul Tanah Sang Raksasa meraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun
2000. Walikota Malang juga memberikan tanda hormat pada beliau atas kiprahnya
sebagai penulis sastra anak era 1980-2000. Dwianto Setyawan memiliki dedikasi
pada dunia sastra anak yang perlu dimunculkan ke permukaan, sehingga kiranya hal
itulah yang membuat kurator mengangkatnya ke dalam bentuk pameran.
Meski begitu,
pameran ini bukan melulu tentang Dwianto. Menariknya, sosok Dwianto diatur
menjadi jalan pembuka pembahasan menuju berbagai situasi dan karya sastra anak
Indonesia. Hal ini yang menjadikan pameran Petak Umpet Sastra Anak menjadi ramah
untuk pengunjung, karena ia mengapresiasi kiprah seorang tokoh tanpa melupakan
adanya ekosistem dan peristiwa sastra anak lain yang juga penting untuk
diketahui.
Latar belakang pendidikan terakhir Dwianto adalah SMA. Meski begitu
ia terkenal pintar di antara saudara-saudaranya yang lain. Sejak kecil Dwianto
Setyawan menyukai dongeng, dan bertumbuh dengan tiga orang saudara yang juga
bergiat di dunia kepenulisan. Kiprah Dwianto tidak berhenti hanya sampai menjadi
penulis novel anak, namun beliau juga mendirikan penerbit DS Group yang banyak
menelurkan komik lokal dengan menggandeng seniman-seniman muda. Sayangnya,
Dwianto sempat sibuk untuk menekuni dunia bisnis belakangan, sehingga waktu
berkaryanya menjadi lebih sedikit dan mengakibatkan DS Group berhenti beroperasi
di tahun 2012.
Delapan : Perjalanan Mencari, Mengumpulkan, Memilah, Mengatur, dan
Menampilkan.
Enam bulan lamanya para kurator mengumpulkan data-data yang terasa “ngumpet”
untuk pameran ini. Mereka mengumpulkan data, mewawancara, menelusur ke
arsip-arsip lama, hingga mengunjungi langsung lokasi-lokasi yang bisa membawa
mereka ke jejak Dwianto Setyawan. Kurator bahkan menelusur hingga ke kota Batu,
kota tempat kelahiran Dwianto untuk mencari jejak-jejak karyanya.
Pameran Petak
Umpet Sastra Anak dikuratori oleh Setyaningsih, Nai Rinaket, dan Hanputro.
Setyaningsih merupakan seorang esais dan kritikus sastra anak, juga menjadi
kurator di Seri Klasik Semasa Kecil terbitan KPG. Hanputro merupakan seorang
esais yang banyak menerbitkan tulisan di media maupun buku. Sementara Nai Rinaket merupakan seorang penulis dan ilustrator yang menjadi desainer untuk Seri
Klasik Masa Kecil terbitan KPG.
Setyaningsih, Hanputro, Nai Rinaket
Dokumentasi : Elfira Prabandari
Kurator
bekerja detail dan teliti untuk pameran ini. Mereka mengurasi semua arsip, karya
tulis, bahkan hingga ilustrasi yang diperdebatkan panjang di antara mereka
sendiri. Konsep pengelompokkan karya yang diambil berdasar lini waktu juga
dikerjakan serius dengan mempertimbangkan arsip dan kejadian penting dalam
sejarah sastra anak. Mereka mengatakan, pertimbangan layout visual juga
berdampak pada jumlah karya yang ditampilkan. Jika kelak pameran ini akan
diboyong ke lokasi lain, kemungkinan jumlah arsip yang akan ditampilkan juga
bisa bertambah, menurut mereka.
Bagi saya, kerja-kerja mereka untuk sebuah
pameran luar biasa. Di waktu yang sempit dan ladang yang masih tersembunyi,
mereka bisa menggali, menemukan potongan-potongan data yang berserakan, dan
menjahitnya dengan konsep sederhana untuk pengunjung.
Mengasuh pameran ini sejak
embrio, ketiga kurator juga memandu langsung tur pengunjung untuk menikmati
pameran dengan penjelasan komplit terkait instalasi pameran.
Nai Rinaket memandu tur pameran
Dokumentasi : Aryani Wahyu, Bentara
Budaya Jogjakarta
Tujuh : Mengingat Inpres dan Perbincangan Tentangnya
Di tahun 1973-1984 pemerintah negara Indonesia mengadakan sebuah program di mana
ratusan juta buku anak diberikan pada Sekolah Dasar di Indonesia. Karya-karya
itu banyak dimanfaatkan pemerintah untuk menjadi alat propaganda nilai-nilai
yang ingin ditanamkan pada siswa SD. Kita mengenalnya sebagai proyek Inpres.
Sistemnya, buku-buku diterbitkan oleh penerbit, kemudian pemerintah membelinya
dan menyebarkannya.
Menurut Hanputro, sejarah bermula di tahun 1974 di mana Ajip
Rosidi, seorang sastrawan dan akademisi yang mengelola Pustaka Jaya, berhasil
mendorong rekannya yang bekerja sebagai staf pemerintah Kementrian Pendidikan
untuk menyelenggarakan proyek Inpres. Ide Inpres sastra anak untuk pengadaan
buku perpustakaan sekolah terjadi karena negara sedang mendapat banyak pemasukan
dari hasil pengelolaan tambang minyak. Inpres memberikan dampak ekonomi pada
penerbit dan penulis di masa itu. Dwianto menyebut dalam salah satu esainya,
bahwa proyek Inpres menjanjikan sebagai sumber penghasilan penulis. Satu karya
dari penulis terbeli, penulis akan mendapat modal hidup rata-rata Rp250.000 per
bulan selama setahun penuh di masa itu. Sementara jumlah judul buku per tahun
yang dibeli untuk proyek Inpres bisa mencapai tiga puluh dua juta ekslemplar.
Di
dinding Pameran Petak Umpet Sastra Anak, pengunjung bisa melihat berbagai
sampul buku karya penulis-penulis Inpres yang diilustrasikan oleh seniman di
masa itu. Penulis dengan nama-nama besar seperti Rosihan Anwar, Arswendo
Atmowiloto, Dwianto Setyawan, Remy Silado, hingga Bung Smas bisa disaksikan di
sampul-sampul buku yang berjajar. Bukan hanya sampul buku, bahkan juga ada
perangko-perangko yang menunjukkan upaya pemerintah mengajak pada kegiatan
membaca buku, hingga data dan artikel tentang proyek Inpres ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Kurator memilih memberikan ruang khusus untuk
Inpres karena dinilai perlu untuk diperbincangkan sebagai sebuah fenomena sejarah dalam
sastra anak Indonesia, dan banyak pengunjung yang memiliki keterhubungan dengan
fenomena itu. Rasanya hal itu sukses dilakukan, karena saya sebagai pengunjung
akhirnya mengetahui seluk beluk proyek Inpres yang selama ini hanya terdengar
sekilas dari perbincangan sana-sini.
Enam : Mengintip Fenomena Maraknya Sastra Anak Terjemahan
Sempat di suatu periode 1980-an, ditandai dengan Pekan Buku Anak tahun 1984,
lanskap sastra anak Indonesia berlimpah dengan sastra anak terjemahan, seperti
karya-karya Enid Blyton. Karya-karya itu menjadi perhatian dan banyak dinikmati
pembaca di masanya. Meski akibatnya, karya lokal juga tergeser dari perhatian
pembaca. Untungnya, Dwianto, Arswendo, Djokolelono, dan Bung Smas terus berkarya
dan “melawan” dengan sastra lokal. Saat itu, penerbit dan media cenderung
mengenalkan sastra terjemahan daripada lokal karena proses penerbitan yang bisa
lebih mudah dan murah.
Menurut Bondan Winarno, penulis Indonesia justru bisa
belajar dari karya terjemahan untuk memperbaiki mutu karangannya. Ini sejalan
dengan pendapat Dina Dyah Kusumayanti, seorang akademisi Universitas Jember yang
meneliti tentang sastra anak terjemahan menyatakan bahwa karya sastra anak
terjemahan memberi kontribusi pada tumbuh kembang relasi kultural antar bangsa
dan memberi pengetahuan tambahan mengenai karakteristik sifat-sifat unik para
tokoh, seting, dan budaya dari negara lain. Oleh karena itu mengenal keberadaan,
peran, dan posisi sastra anak terjemahan di sebuah negara adalah penting.
Menariknya, di bagian sastra anak terjemahan, Pameran Petak Umpet menampilkan
sampul-sampul buku lawas Winnetou karya Karl May cetakan 1983, Pippi Si Kaus
Panjang terbitan 1991, hingga salah satu seri Lima Sekawan yang dicetak tahun
1982. Kurator juga mengeluarkan arsip tentang ramainya iklan Klub Seri Ilmuwan
Edan tahun 1992 dan seri Goosebumps tahun 1995. Karya-karya terjemahan yang
menjadi bagian masa kecil kita ternyata begitu ramai di dunia perbukuan saat
itu. Selama ini saya yang hanya membaca dan menikmati, menjadi tercerahkan tentang bagaimana karya-karya terjemahan itu menguasai ruang baca kita.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Lima : Melompat ke Pergerakan Komik DS Group
Dwianto Setyawan bukan hanya menaruh perhatian pada novel anak, namun ia juga
ingin memberi ruang pada komik sebagai bentuk keinginannya menampilkan cerita
nuansa lokal dengan visual. Ia mengajak komikus-komikus muda untuk berkarya dan
menaungi mereka melalui penerbit DS Group. Konon, Dwianto juga berpesan pada
seniman-seniman muda itu untuk berlatih menulis, mengingat untuk menghasilkan
komik juga membutuhkan kemampuan membuat cerita. Hanputro mengatakan, DS Group
dikenang bukan hanya karena Dwianto sebagai sosok di baliknya, namun juga karena
DS Group banyak mewakili komikus dan kreator yang sebagian besar tidak memiliki
pendidikan seni. Beberapa karya terbitan DS Group menghiasi tabloid Hoplaa. Jika
melihat sekilas sampul-sampul komik yang diterbitkan DS Group, kita mungkin akan
mengiranya sebagai komik Jepang atau Amerika karena miripnya style gambar.
Majalah Dulken yang terkenal pun ternyata hasil karya DS Group.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Menariknya di bagian ini, pengunjung bisa melihat
foto Dwianto bersama Jaya Suprana dan Takeshi Maekawa. Maekawa tersohor dengan
karya komik Kungfu Boy. Darinya terlihat bahwa Dwianto juga memiliki jaringan
pertemanan yang luas. Tim DS Group terlihat produktif dengan foto-foto seniman
di rumah yang menjadi markas DS Group, bahkan foto ketika anggota DS Group
tamasya ke Jerman. Setyaningsih yang menelusur langsung ke Batu untuk menemukan
jejak-jejak karya Dwianto memandu langsung sesi ini.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Empat : Mengamati Perayaan Ilustrasi
Pameran ini bukan hanya menampilkan arsip dan sampul buku, namun juga
warna-warni ilustrasi buku anak yang dipilih oleh kurator dari kiriman ilustrasi
yang masuk. Dua puluh empat ilustrasi dari dua puluh satu ilustrator
ditampilkan. Terlihat dari berbagai karya yang dipajang, kurator ingin sebisa
mungkin menampilkan luasnya style gambar yang selama ini menjadi bagian penting
dari cerita-cerita anak yang kita nikmati. Karya-karya ini merupakan ilustrasi
dari buku-buku middle grade yang terbit di rentang waktu 1974-2000. Ilustrasi
dirayakan meriah, sama pentingnya dengan teks. Nai Rinaket mengutip perkataan
Sapardi Djoko Damono yang mengatakan hal serupa.
Seandainya di bagian atas
pajangan karya ilustrasi juga diberikan teks penanda seperti bagian-bagian lain,
bagian ini akan lebih terasa lengkap dan informatif.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Sembari memandu tur pameran, Nai berkata, baiknya
ilustrator membaca dulu cerita yang akan diilustrasikan karena ada
peristiwa-peristiwa kunci yang bisa mewakili jiwa si buku. Baginya,
ilustrator memerlukan latihan terus menerus untuk berpikir, menulis, dan
mengilustrasi. Ia juga menyatakan bahwa ilustrator membutuhkan dukungan pemerintah untuk berkembang.
Tiga : Mengapresiasi Karya Penghargaan Sastra
Terus mengelilingi pameran akan membawa kita ke sebuah bagian di mana
sampul-sampul buku anak peraih penghargaan ditampilkan. Pengunjung bisa melihat
sampul-sampul yang familiar, seperti Ayahku Seorang Nelayan karya Zunda yang
meraih apresiasi dari Bratislava dan Jerman, Gleger yang ditulis Djokolelono dan
Nai Rinaket yang diapresiasi di tingkat Asia, hingga karya-karya lain peraih
penghargaan Dewan Kesenian Jakarta, IKAPI, hingga Scarlet Pen Awards. Karya
Dwianto Setyawan yang berjudul Tanah Sang Raksasa juga ditampilkan. Karya itu
meraih penghargaan Adikarya IKAPI tahun 2000.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Sebagai kurator, Nai berkata dalam penghargaan
sastra penting untuk adanya transparansi siapa juri dan adanya catatan
pertanggungjawaban dari sebuah penghargaan. Selain itu, penghargaan sastra
didapatkan sebagai kerjasama antara banyak pihak dan perlu ruang untuk
mengapresiasi kerja-kerja tersebut.
Dua : Menengok Karya-karya yang Lahir Kembali
Sebuah buku klasik diperbincangkan terus menerus juga karena diterbitkan ulang
melalui berbagai masa. Kurator ingin menunjukkan bahwa karya-karya klasik lokal
pun diharapkan bisa diapresiasi dan disayangi sama besarnya dengan karya-karya
sastra klasik mancanegara. Ini seakan menyentil saya sebagai pembaca yang tanpa
berpikir panjang kerap lebih memilih karya klasik impor. Padahal, karya-karya
klasik lokal mestinya memiliki kedekatan akar budaya dan lebih mudah terhubung
dengan pembaca Indonesia.
Di bagian ini, pameran Petak Umpet menyuguhkan
berbagai sampul buku seri klasik yang diterbitkan kembali. Seperti Sersan
Grung-Grung karya Dwianto Setyawan, juga Pak Gangsir Juru Ramal Istana karya
Djokolelono, di mana keduanya diterbitkan ulang oleh penerbit KPG. Cerita Si
Penidur karya Aman Datuk Madjoindo yang diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka pun
terlihat. Karya Suyadi, Pedagang Peci Kecurian yang diterbitkan ulang oleh Noura
Publishing tampak. Karya S Rukiah Kertapati, Soesilo Toer, Mochtar Lubis dan
Samsoedi juga muncul.
Dokumentasi : Nabila Budayana
Satu : Saatnya Menemukan Kembali Sastra Anak Indonesia
Karya-karya juga kiprah Dwianto Setyawan menggiring pembicaraan dan membuka
ruang tampil untuk karya-karya lain di pameran ini. Meski apresiasi besar
ditujukan pada sosok Dwianto Setyawan, namun ini bukan hanya tentang merayakan
beliau, tapi juga merayakan sastra anak Indonesia. Kurator jelas tak mungkin
menampilkan semua karya, namun mereka terlihat mengurasi dengan teliti, cermat,
dan terbuka pada setiap masukan serta kritik. Kurator berharap pengunjung dapat
terpantik untuk kembali membicarakan dan memberi perhatian pada sastra anak.
Seperti yang mereka sampaikan pada kain besar di bagian depan pameran, “petak
umpet” ini masih terus berlangsung karena masih banyak yang harus ditemukan dari
peta sastra anak kita.
Hanputro sebagai salah satu kurator
Dokumentasi : Elfira Prabandari
Selamat,
sebagai pengunjung kita tiba di bagian akhir. Ternyata akhir tidak selalu sama
dengan menemukan semua kepingan dalam keseluruhan. Bisa jadi, justru dari
langkah itu menambah berbagai pertanyaan dan rasa penasaran. Seperti anak-anak
yang bermain petak umpet, kita jarang puas di satu kali putaran. Kita perlu
merasakan pengalaman mengenal lebih baik buku-buku anak yang kita nikmati dan
apa yang terjadi di baliknya. Mungkin kita perlu lebih banyak bekerja bersama,
membincangkan, dan saling merayakan. Pameran Petak Umpet Sastra Anak ini, bisa
jadi menandai bahwa ada permainan yang sudah diawali, dan terbuka untuk
dilanjutkan kembali.
Sumber :
e-katalog Petak Umpet Sastra Anak
https://bentarabudaya.com/agenda/2312/petak-umpet-sastra-anak
Artikel “Mengenang
Jejak Dwianto Setyawan dalam Dunia Komik Anak”
https://bandungbergerak.id/article/detail/1597556/mengenang-jejak-dwianto-setyawan-dalam-dunia-komik-anak
Esai “Menulis sebagai Profesi Utama” oleh Dwianto Setyawan
Ringkasan Eksekutif
“Peran Sastra Anak Terjemahan dalam Pengembangan Sastra Anak Indonesia : Upaya
Revitalisasi Sastra Anak Indonesia” oleh Dina Dyah Kusumayanti
























No comments:
Post a Comment